UMAR
ABU UBAID DAN MUSANNA DI IRAK
Musanna menuju Irak
Abu
Ubaid bin Mas'ud as-Saqafi wakil pertama di Irak. Itu sebabnya
Umar mengangkatnya sebagai panglima, dan memerintahkan memimpin pasukan itu
berangkat apabila persiapan pasukan sudah
selesai. Umar mendahulukan Musanna bin Harisah cepat-cepat dengan mengatakan: "Cepat-cepatlah supaya
kawan-kawan Anda segera menemui
Anda!" Musanna segera memacu kudanya dan kembali ke Hirah. Sementara dalam perjalanan itu ia teringat
beberapa waktu yang lalu di masa pemerintahan Abu Bakr saat al-Ala' bin
al-Hadrami menumpas kaum murtad di Bahrain. Dia bergabung kepadanya dan
menghadang setiap jalan yang dilalui kaum
murtad, yang hidupnya hanya membuat keresahan. Kemudian ia pergi
menyusuri pantai Teluk Persia dalam menghadapi intrik-intrik pihak Kisra[1], dan ia berhasil
menumpas kabilah-kabilah yang menjadi
sekutunya hingga mencapai muara Furat. Di tempat itu Abu Bakr
memperkuatnya dengan Khalid bin Walid. Musanna pun berangkat di bawah panji jenderal
jenius itu memorakporandakan pasukan Persia. Kedua pasukan itu menyeruak
ke beberapa kota, membebaskan Hirah, Anbar,
Ain Tamr dan yang lain, sehingga Khalid mencapai al-Firad di perbatasan
dengan Syam, utara Irak.
Khalid
sudah dapat menduduki tempat-tempat yang dikuasai Kisra. Musanna tentu sangat gembira Allah telah
memberikan kemenangan kepadanya. Lebih setahun ia tinggal di Hirah dan di
Sawad bersama angkatan bersenjatanya. Sesudah itu Abu Bakr memerintahkan
Khalid berangkat ke Syam untuk memimpin
pasukannya menghadapi pasukan Rumawi. Khalid
memisahkan diri dari Irak dengan beberapa pasukan inti. Musanna merasa khawatir
akan akibatnya. Tetapi Allah memberikan kemenangan kepadanya sampai
dapat menghancurkan Ormizd Jadhuweh di
reruntuhan Babel. Kemudian ia kembali ke Hirah dan bertahan di sana. Ia meminta
izin kepada Abu Bakr untuk menggunakan kaum yang j elas-j elas sudah bertobat. Karena
tidak segera mendapat jawaban dari
Khalifah yang sekarang sedang menghadapi masalah Syam, Musanna berangkat
ke Medinah. Tetapi ternyata Abu Bakr sudah
di ranjang kematian. Tak lama kemudian ia berpulang ke rahmatullah.
Pimpinan pemerintahan setelah itu di tangan Umar. Ia mengadakan mobilisasi untuk segera berangkat
bersama Musanna dengan pimpinan di tangan Abu
Ubaid.
Persekongkolan dan pergolakan di Istana Persia
Sementara
mengenang segala peristiwa ini Musanna tidak lupa adanya
pergolakan yang sekarang sedang terjadi dalam Istana Persia. Pergolakan
ini akan sangat melemahkan kekuatan Persia dan akan memperkuat tekad pasukan
Muslimin. Para Kisra itu sudah memerintah Persia, juga memerintah kawasan Arab
di Irak secara otoriter. Kisra Abraviz
(Parvez) yang membunuh Abu Qabus an-Nu'man bin alMunzir dan menghancurkan raja-raja Banu LakhnT di
Hirah, dia juga yang telah memerangi
Rumawi dan berhasil mengalahkannya, yang terus membentang sampai ke
daerah mereka di Yerusalem dan Mesir. Setelah Heraklius yang berkuasa di Rumawi,
Kisra berhasil dipukul mundur. Baik orang
Arab ataupun orang Persia yang merasa kesal karena kekejaman Kisra merasa
gembira dengan kejadian itu. Setelah Syiraweh (Kavadh II) anaknya memberontak
kepadanya dan membunuhnya, terjadi
perselisihan di kalangan pembesar-pembesar Persia dan pendapat mereka saling
berbeda mengenai apa yang menimpanya itu. Syiraweh sendiri di Persia kemudian
menjadi lambang kebodohan dan kecerobohan yang membuat keluarga istananya
tidak menyukainya. Masing-masing pihak yang
ingin menduduki takhta bersekutu dengan pihak yang mau membantunya untuk
mencapai tujuan. Parvez sendiri terbunuh, dan mereka yang berebut ingin
menduduki takhta berbunuhbunuhan,
adakalanya terang-terangan, kadang dengan pembunuhan gelap. Pihak yang
menang sempat berkuasa selama beberapa bulan, kemudian terbunuh juga. Selama empat tahun sudah
ada sembilan raja yang
berturut-turut menduduki takhta. Dengan keadaan serupa itu tidak heran kekuatan Persia menjadi lemah sekali dan
berantakan. Dalam perang dengan Arab pun keadaan jadi berbalik, malah
mereka yang menderita kekalahan.
Menyadari
kehancuran akibat kekacauan yang menimpa mereka itu pihak Persia kemudian menobatkan Syahriran anak
Ardasyir, dan kalangan kerajaan berjanji akan
mendukungnya.
Syahriran
sudah mengetahui perjalanan Khalid bin Walid dari Irak ke
Syam. Rencananya yang pertama akan mengusir Muslimin dari Irak. Tetapi Musanna berhasil mengalahkan panglimanya di
reruntuhan Babel dan mati setelah terserang demam.
Dokht
Zanan[2], putri Kisra,
menduduki takhta menggantikan saudaranya
yang laki-laki. Tetapi dia terlalu lemah untuk dapat mengatasi persoalan. la pun
diturunkan. Kemudian naik Shapur anak Syahriran menggantikannya. Shapur mengangkat Farrakhzad
menjadi perdana menterinya. la bermaksud mengawinkannya dengan Azarmi
Dokht putri Kisra, tetapi putri ini tidak
senang dikawinkan dengan hambanya. Maka ia sengaja menggunakan Siyavakhash, seorang
pembunuh bayaran, dan membunuhnya di
kamarnya pada malam pengantin. Kemudian ia pergi lagi bersamanya dengan beberapa orang pembantunya
kepada Shapur, dan setelah dikepung orang itu pun
dibunuhnya.
Sekarang
terpikir oleh Musanna akan menghadapi Persia yang istananya sedang bergolak itu. Ia meminta bantuan
Abu Bakr, tetapi karena terasa lambat, ia sendiri pergi ke Medinah
meminta bantuan dipercepat. Sekarang ia
sedang dalam perjalanan kembali ke Hirah. Masih jugakah Persia dalam pergolakannya, saat
yang paling tepat untuk mengalahkannya? Ataukah sudah tenang kembali,
sehingga untuk mengalahkannya diperlukan persiapan sumber tenaga manusia dan
perlengkapan senjata yang lebih besar?
Begitu
sampai di Hirah, pertanyaannya yang pertama mengenai perkembangan di Istana
Persia. Yang diketahuinya, selama ia tidak di tempat, mereka sibuk dengan
perselisihan mereka sendiri, sehingga Muslimin tidak lagi mendapat perhatian mereka.
Kemudian diketahuinya juga bahwa Boran putri Kisra sedang berusaha
mempersatukan mereka. Boran ini seorang pangeran putri yang cerdas dan bijak. Di
Persia, setiap mereka berselisih,
segala keputusan dan pertimbangannya yang adil, mereka terima dengan
senang hati. Sesudah Siyavakhash membunuh
Farrakhzad, dan Azarmi Dokht menduduki takhta, terjadi perselisihan.
Setelah melihat tak ada jalan untuk mendamaikan mereka, Boran mengutus orang
kepada panglima Rustum (Rustam), anak Farrakhzad memberitahukan tentang ayahnya
yang terbunuh dan mendesaknya pergi ke kota Mada'in (Ctesiphon). Ketika itu
Rustum sedang berada di celah Khurasan. Sebagai seorang panglima yang mahir,
cepatcepat ia dan pasukannya berangkat ke
Mada'in. Di perjalanan itu ia bertemu
dengan pasukan tentara Azarmi Dokht. Setelah pasukan ini dapat dilumpuhkan, kemudian Mada'in dikepungnya,
ia juga mengepung Azarmi Dokht dan
Siyavakhasy. Sesudah musuhnya dapat dikalahkan dan ia memasuki kota itu, Siyavakhasy dibunuhnya
dan Azarmi Dokht dicukil matanya.
Sekarang Boran yang naik takhta, yang akan menguasai Persia selama sepuluh tahun. Setelah itu
yang akan menjadi raja dari keluarga
Kisra: kalau ada laki-laki, kalau tidak ada ya perempuan. Boran
mengangkat Rustum menjadi perdana menteri dan panglima angkatan perang, membebaskannya dari
urusan negara. Dimintanya rakyat Persia agar
menaatinya.
Perjalanan Abu Ubaid ke Irak untuk menghadapi Persia
Semua
itu diketahui oleh Musanna sementara ia berada di Hirah, tetapi ia tak dapat
berbuat apa-apa. Pasukan sudah makin menyusut, tidak
mungkin ia akan dapat menyerang sebelum Abu Ubaid datang. Abu
Ubaid yang masih tinggal di Medinah selama sebulan setelah Musanna
— kini mempersiapkan pasukannya dan sudah siap berangkat. Selesai persiapan ia
meminta izin kepada Umar akan berangkat. Umar mengizinkan sesudah diulangnya
pesannya untuk memperhatikan pendapat
sahabat-sahabat Nabi dan mengikutsertakan mereka dalam segala hal, bermusyawarah dengan SaUt bin Qais,
mengingat keberanian dan pengalamannya. Umar memang memberi kepercayaan
kepada Salit,. sehingga ia berkata kepada Abu Ubaid: "Saya tidak
berkeberatan mengangkat S alit kalau tidak
karena ketergopohannya dalam perang. Orang yang tergopoh-gopoh dalam
perang akan kehilangan arah. Yang sangat
diperlukan dalam perang hanya orang yang tenang dan tabah." Abu Ubaid berangkat
dengan pasukannya. Sesampainya di Irak ia melihat Musanna sudah menarik
pasukannya dari Hirah ke Khaffan, di perbatasan dengan daerah
pedalaman.
Rustum
orang yang pemberani dan ambisius. Ambisinya ini membuat
rakyat Persia kagum dan senang kepadanya. Karena ambisinya ini juga
para sejarawan menyebutkan bahwa dia ahli perbintangan, di bintang-bintang itu
ia melihat nasib masa depan Persia. Ditanya bagaimana ia memegang j abatan itu
padahal sudah melihat segala yang ada dalam
perbintangan, dia menjawab: Ambisi dan kehormatan.
Tak
lama sesudah ia diangkat oleh Boran, ia menulis surat kepada para
pej abat[3] di Sawad dengan
perintah agar mereka memberontak kepada kekuasaan Muslimin. Di setiap kampung
diselundupkan satu orang
untuk menghasut penduduk, di samping mengirim pasukan untuk memancing bentrok senjata dengan Musanna. Semua
perintahnya itu sudah meluas di kalangan rakyat. Maka akibatnya
orang-orang Irak di bagian hulu sampai ke
hilir, semua bergolak. Berita peristiwa ini diketahui oleh Musanna.
Menurut hematnya tak ada gunanya pasukannya menghadapi orang-orang yang sudah disiapkan
Rustum untuk mengadakan bentrok
senjata dengan dia. Lebih baik dia berhati-hati dan menarik pasukannya dari Hirah ke Khaffan supaya tidak
disergap dari belakang. Abu Ubaid pun menyusulnya ke Khaffan dan ia menghentikan
pasukannya untuk sekadar
mengistirahatkan anak buahnya sambil mengatur rencana untuk menyerang kekuatan yang datang
hendak menyerangnya itu.
Di
Mada'in Rustum sudah mengirim dua pasukan untuk menghadapi
pasukan Muslimin, salah satunya di bawah pimpinan panglima Javan (Khafan Japan)
yang mendapat perintah menyeberangi Furat ke Hirah,
dan yang lain di bawah pimpinan panglima Narsi dengan perintah
bermarkas di Kaskar yang terletak di antara Furat dengan Tigris
(Dajlah). Abu Ubaid berangkat dari Medinah dengan empat ribu orang,
yang dalam perjalanan kemudian anggota pasukannya bertambah jumlahnya menjadi sepuluh ribu. Setelah mereka
berkumpul, ia berangkat hendak menghadapi Javan. Mereka bertemu di suatu tempat
yang disebut Namariq terletak antara
Hirah dengan Kadisiah (Qadisiyah). Kedua pihak itu bertemu dan terjadilah pertempuran
sengit yang luar biasa, dan Allah memberikan kemenangan kepada Abu Ubaid
dalam menghadapi Javan dan pasukannya itu. Javan sendiri ditawan bersama seorang
komandan bawahannya bernama Mardan Syah, tetapi orang ini dibunuh oleh yang
menawannya.
Javan
seorang panglima yang sudah berusia lanjut, ia dapat menipu orang yang menawannya dengan mengatakan: "Kalian
orang-orang Arab, orang yang suka
menepati janji. Maukah Anda mempercayai saya, dan saya akan memberikan kepada Anda dua
orang budak muda yang cekatan sekali
yang akan dapat membantu pekerjaan Anda dan akan saya berikan lagi sekian
dan sekian..." dan janji-janji lain yang melimpah. Lalu kata orang yang
menawannya: "Ya." Maka katanya: "Bawalah
saya kepada komandan Anda supaya terlihat." Dia dibawa masuk ke tempat Abu Ubaid, dan dia menyaksikan apa
yang terjadi. Tetapi ada sekelompok
Muslimin segera mengenalnya, maka kata mereka kepada Abu Ubaid: "Bunuh
saja dia. Dia komandan pasukan mereka."
"Sekalipun
dia komandan," kata Abu Ubaid. "Saya tidak akan membunuhnya, dia telah dijamin
oleh salah seorang dari kita. Dalam persahabatan dan saling menolong Muslimin seperti
satu badan, yang berlaku bagi yang seorang berarti berlaku untuk
semua."
Boran
sudah mengetahui apa yang terjadi terhadap Javan, dan berita
itu sampai juga kepada Rustum. Ia memerintahkan Jalinus untuk menolong
teman-temannya dan menyusul Narsi di Kaskar. Jalinus memisahkan diri berangkat
cepat-cepat ke tujuannya. Tetapi Abu Ubaid dalam menempuh perjalanan rupanya
lebih cepat. Tak lama sesudah mengalahkan
Javan ia memerintahkan pasukannya berangkat untuk menghadapi Narsi, yang kemudian dij umpainya
bersama-sama dengan pasukan yang sudah kalah melarikan diri dari Namariq
di suatu tempat yang disebut Saqatiah, tak jauh dari Kaskar. Hal ini terjadi
sebelum ada kontak senjata dengan Jalinus.
Narsi tidak lebih tabah dari Javan dalam menghadapi Muslimin. Ia lari bersama pasukannya
dengan meninggalkan rampasan perang
yang tidak sedikit. Sekarang Abu Ubaid tahu bahwa Jalinus dan pasukannya
berada di Barusma, sebuah desa. Ia mengejarnya terus, dan seperti Narsi ia pun
melarikan dalam kekalahan bersama pasukannya hingga mencapai
Mada'in.
Sekarang
Abu Ubaid mengerahkan para komandannya dengan dipelopori oleh Musanna, dan berhasil menduduki
daerah pinggiran Irak di bagian hulu
sampai ke hilir, dengan menyebarkan ketakutan di kalangan penduduk. Mereka teringat kini zaman
Khalid bin Walid dan tindakannya.
Para pejabat itu kembali mengajak damai Abu Ubaid sambil meminta maaf karena dulu mereka telah
berpihak dan bekerja sama dengan pihak Persia. Mereka mengatakan bahwa
mereka memang sudah tak berdaya menghadapi
segala kejadian itu. Selesai mengadakan perdamaian, mereka datang kepada Abu
Ubaid.membawakan hidangan terdiri
dari berbagai macam masakan Persia yang lezat-lezat dengan mengatakan: Ini hidangan penghormatan kami untuk
menghormati Anda. Abu Ubaid membalas:
Kalian menghormati tentara dengan hidangan seperti ini? Mereka menjawab: Tidak! Abu
Ubaid membalas lagi: Kami tidak memerlukan semua itu. Celaka benar Abu
Ubaid yang bersama-sama dengan
anggota-anggota rombongannya, baik yang dalam pertumpahan darah pernah ikut atau tidak, lalu ia
dikecualikan dari mereka dengan
menyantap makanan tersendiri. Tidak! Saya tidak akan makan apa pun dari mereka selain seperti yang
dimakan rata-rata kawan-kawan saya!" Ia tidak menyantap makanan yang dibawa oleh
para pejabat pagi itu sebelum
diketahuinya bahwa mereka juga menyediakan makanan serupa untuk anak
buahnya.
Setelah
pertempuran Saqatiah pasukan Muslimin mendapat rampasan
perang cukup banyak, di antaranya berupa makanan dalam jumlah
besar. Yang sangat menggembirakan mereka sejenis kurma yang disebut nirrisiyan yang menjadi kesukaan
raja-raja Persia. Kurma itu dibagi-bagikan kepada mereka dan diberikan
juga sebagian kepada para petani, dan
seperlimanya dikirimkan kepada Umar di Medinah dengan diserta surat pengantar: "Allah telah memberikan
kepada kami makanan yang menjadi
kesukaan para Kisra. Kami ingin Anda juga melihatnya untuk mengingat
nikmat dan karunia Allah."
Musanna
memasuki Hirah kembali dan menetap di sana dengan harapan keadaan akan kembali
stabil seperti di masa Khalid bin Walid dulu,
yang selama setahun penuh tinggal di sana tak ada pasukan Persia yang berani menantang. Mungkinkah Musanna akan
mendapat nasib seperti nasib Khalid, tinggal lama di Hirah kemudian
sempat membebaskan Mada'in? Itulah semua
cita-citanya. Harapannya yang paling besar ingin mewujudkan cita-cita
itu.
Tetapi
harapan itu rupanya segera hilang. Bagi Rustum suatu hal yang
luar biasa kalau pasukan Persia sampai kalah menghadapi orangorang
Arab yang kasar itu. Seperti sudah kita sebutkan, dia sangat sombong
dan ambisinya memang besar sekali. Dia menanyakan stafnya:
"Menurut pendapat kalian siapa yang paling kuat untuk'menghadapi
orang-orang Arab itu?" Mereka menjawab: "Bahman Jadhuweh, pejabat istana."
Bahman dipanggil dan dihadapkan pada suatu kekuatan besar. Tetapi Jalinus menambahkan: Kalau dia
kembali seperti yang pernaji dilakukannya, penggal saja lehernya, dan
perlihatkan kepada orang sejauh mana
perhatiannya terhadap situasi ini dan keinginannya untuk mengangkat apa
yang ditimpakan pasukan Muslimin terhadap pasukan Persia. Di barisan depan pasukan
dikibarkan bendera Kisra, yang terbuat dari kulit harimau, lebarnya
delapan hasta dan panjangnya dua belas
hasta. Bahman berangkat dari Mada'in dengan tujuan hendak melumatkan
musuh.
Abu
Ubaid menarik diri dan pasukannya mundur ke sebuah desa di Qus an-Natif dengan
menyeberangi sungai dan sambil menunggu kedatangan musuh, ia bertahan di sana.
Tak lama kemudian datang Bahman. Mereka
hanya dibatasi oleh sungai itu. Ia mengutus orang kepada Abu Ubaid dengan pesan: Kalian menyeberang
ke tempat kami dan akan kami biarkan kalian menyeberang, atau biarkan
kami yang menyeberang ke tempat kalian. Staf
Abu Ubaid menyarankan untuk tidak menyeberang, dan biarkan pasukan Persia
itu yang menyeberang. Tetapi lalu timbul kesombongan pada Abu Ubaid: "Jangan
mereka memperlihatkan lebih berani mati
daripada kita," katanya. "Biarlah kita yang menyeberang ke tempat mereka. Tetapi Salit
bin Qais dan beberapa tokoh
terkemuka mengimbaunya sungguh-sungguh dengan mengatakan: "Sejak dulu
pasukan Arab belum pernah berhadapan dengan pasukan Persia. Mereka sudah menyiapkan diri
untuk menghadapi kita dan akan menyambut kita dengan persiapan dan perlengkapan
besarbesaran; kita belum pernah menghadapi yang demikian. Anda telah
membawa kami ke suatu tempat yang ada lapangannya, tempat berlindung dan tempat
melakukan taktik 'serang dan kembali."' Tetapi ia menjawab: "Tidak! Kalau begitu
saya pengecut!" Ia menuduh Salit pengecut.
Tetapi ia menjawab: "Saya lebih berani dari Anda. Kami sudah memberikan
pendapat kami kepada Anda; akan Anda lihat nanti."
Anehnya,
Abu Ubaid bersikap demikian terhadap sahabat-sahabatnya. Ia
lupa nasihat Umar, supaya ia berkonsultasi dengan sahabat-sahabat Nabi,
mengikutsertakan mereka dalam musyawarah dan memperhatikan pendapat
S alit. Yang lebih mengherankan lagi ia lupa kata-kata Umar: "Anda
akan memasuki suatu negeri penuh tipu muslihat dan pengkhianatan, dan Anda akan menemui suatu golongan
yang berani melakukan segala
kejahatan, karena hanya itu yang mereka ketahui, mereka akan mengabaikan segala kebaikan karena
mereka memang tidak mengenal yang demikian." Dia lupa bahwa dialah yang ditunjuk
oleh Khalifah untuk memimpin pasukan, bukan Salit, sebab yang cocok untuk perang hanya orang yang tenang; dalam
perang Salit suka tergopoh-gopoh dan sifat demikian dalam perang akan
kehilangan arah. Tetapi kedudukan itu sering membuat orang yang arif lupa akan
kearifannya. Siapa tahu! Barangkali saran Salit agar Muslimin jangan menyeberang sungai ke pihak Persia menambah keras
kepala Abu Ubaid mau bertahan dengan
pendapatnya. Dia tetap memerintahkan anak buahnya menyeberang sungai. Mereka
menyeberang dari Marwahah tempat mereka bertahan ke Qus an-Natif, markas
pasukan Persia. Dan Salit bin Qais pun menyeberang di depan
sekali.
Pasukan
Muslimin ketika itu tak sampai sepuluh ribu orang. Kendati demikian tempat yang
ditinggal pasukan Persia di balik jembatan itu
sudah terasa sangat sempit. Di tempat itu tak ada tempat berlindung jika
melakukan taktik 'serang dan kembali.' Sesudah selesai mereka menyeberang
semua, tanpa ditunda-tunda lagi Bahman memerintahkan pasukannya
melakukan serangan, didahului oleh sepasukan gajah dengan
genta yang bergemercingan. Melihat dan mendengar dering genta yang dirasakan begitu asing dan aneh, kuda itu
lari lintang pukang. Hanya sebagian
kecil yang masih terpaksa bertahan. Pihak Persia menghujani pasukan Muslimin
dengan panah sehingga tidak sedikit mereka yang tewas. Pihak Muslimin
benar-benar merasa pedih atas bencana yang telah menimpa mereka sebelum
mereka sampai ke tempat musuh. Abu Ubaid
sendiri melihat bahwa barisannya sudah hampir kacau-balau. Sekarang dia
berikut pasukannya bergerak menuju ke arah pasukan Persia dengan berjalan kaki,
yang kemudian menyapu mereka dengan pedang,
sehingga akibatnya enam ribu orang dari mereka terbunuh. Dengan demikian
pasukan Muslimin merasa bertambah kuat. Tetapi pasukan gajah itu terus maju ke arah
mereka, dan mampu mendorong mereka
setiap mulai berhadapan. Abu Ubaid menyerukan anak buahnya agar memotong
pelangkin pasukan gajah itu dan membalikkan isinya dan membunuh mereka.
Perintah ini mereka laksanakan dan setiap
gajah mereka balikkan sehingga tak seekor gajah pun yang tidak mereka balikkan dan penumpangnya mereka
bunuh. Dengan demikian pertempuran
sengit selama beberapa waktu siang itu antara kedua pihak berlangsung
maju dan mundur, kalah dan menang silih berganti.
Pembalasan Persia dan kekalahan pasukan Muslimin
Hari
itu Abu Ubaid bernafsu sekali ingin menang. Lebih-lebih lagi karena
penolakannya atas saran-saran S alit bin Qais dan yang lain yang menasihatkan
jangan menyeberangi sungai ke tempat musuh. Sekiranya kemenangan
ada pihak di Persia dan ia sampai kalah menghadapi Persia,
niscaya dia sendiri yang akan menanggung malu, dan malu ini akan melekat padanya seumur hidup. Karenanya ia
gelisah selalu, dan setiap terjadi perubahan dalam pertempuran, keseimbangannya
terganggu. la merasa gembira manakala setiap maju ia melihat pihak Persia
mundur, tetapi kalau dilihatnya mereka maju
ia dicekam perasaan takut mendapat malu lalu ia terjun maju
untung-untungan. Ia merasa puas tatkala melihat pasukannya menjungkirbalikkan
penumpang-penumpang pasukan gajah itu
sehingga tak ada lagi orang yang akan menuntunnya. Tetapi tak jauh dari tempatnya itu ia melihat seekor
gajah putih besar melenggang-lenggangkan belalainya ke kanan dan ke kiri
sehingga dengan demikian menceraiberaikan pasukan Muslimin di
sekitarnya, dan seolah dia pahlawan besar yang sudah tahu sasaran yang akan
dihantamnya. Abu Ubaid yakin bahwa dengan
membunuh gajah ini akan membuat semangat pasukan Muslimin bangkit kembali
dan pasukan Persia akan terpukul.
Ia
melangkah maju, belalai gajah itu ditebasnya dengan pedangnya. Merasakan
pedihnya pukulan pedang, gajah itu berang sekali sambil menghampiri
Abu Ubaid. Ditendangnya orang ini dengan kakinya dan setelah terhempas jatuh diinjaknya sambil berdiri
di atas tubuh Abu Ubaid sampai ia
menemui ajalnya. Abu Ubaid memang sudah berwasiat, kalau dia mati, kepemimpinan dipegang oleh
tujuh orang dari Banu Saqif — masyarakatnya sendiri — secara bergantian
dengan menyebutkan nama-nama mereka.
Sesudah yang pertama melihat musibah yang menimpa pemimpinnya itu, dengan mengambil
bendera menggantikannya ia berusaha menjauhkan gajah itu dari Abu Ubaid,
ditariknya jenazahnya ke tempat pasukan
Muslimin dan dia kembali berusaha hendak membunuh gajah itu, tetapi seperti Abu
Ubaid dia juga menemui ajalnya.
Ketujuh orang Banu Saqif itu berturut-turut masing-masing memegang
bendera dan berjuang terus sampai menemui ajalnya.' Sejak itulah semangat mereka
menjadi lemah. Banyak di antara mereka yang kembali ke jembatan, masing-masing
mau menyelamatkan diri. Keberadaan mereka dengan pasukan itu kini sudah tak ada
artinya lagi. Pemimpin mereka sudah tak ada,
disiplin sudah rusak dan barisan mereka pun sudah
kacau-balau.
Melihat
keadaan begitu genting Musanna maju merebut bendera itu.
Ia sudah tidak ingin lagi bertempur dan mencari kemenangan sesudah musibah
menimpa pasukan Muslimin. Tetapi ia ingin menyusun kembali organisasinya lalu
menyeberang sungai kembali ke Marwahah. Setelah itulah ia nanti akan menentukan
langkah. Sementara ia sedang menyusun rencana akan kembali itu tiba-tiba
Abdullah bin Marsad asSaqafi merintangi
perahu-perahu yang akan menyeberangi jembatan sambil berteriak
sekuat-kuatnya: "Saudara-saudara! Matilah seperti pemimpin-pemimpin kita, atau menang!" Merasa ngeri
melihat apa yang dilakukan oleh Ibn
Marsad, mereka yang tidak sabar berlompatan terjun ke sungai, dan banyak di antara mereka yang
tenggelam. Musanna khawatir akan
terjadi kekacauan. Ia berdiri sambil berseru dengan bendera di tangan.
"Saudara-saudara! Saya di belakangmu, menyeberanglah menurut cara-cara kalian
dan jangan panik, tidak akan kami tinggalkan kalian sebelum kami melihat kalian sudah di
seberang!" Setelah Ibn Marsad
dijemput dan dibawa ia mendapat pukulan sebagai hukuman. Kapal yang sudah pecah
dihimpun dan dijadikan jembatan penyeberangan. Mereka mulai kembali ke
tempat semula dengan menyeberanginya. Di
belakang mereka Musanna terus bertempur. Ia dan pasukannya menghalang-halangi
pasukan Persia. Dalam posisinya yang demikian itu Musanna terkena. sasaran panah
sehingga ia mengalami luka-luka dan
meninggalkan sebuah lingkaran di baju besinya. Tetapi dia terus bertempur bersama Abu Zaid at-Ta'i
an-Nasrani melindungi pasukan
Muslimin. Keberanian Salit bin Qais tidak kurang dari Musanna. Dengan demikian pasukan Muslimin yang
masih ada dapat menyeberang ke
Marwahah. Musanna tidak beranjak di tempatnya tanpa menghiraukan luka-luka yang dideritanya.
Sesudah melihat rekanrekannya semua
menyeberang, baru ia sendiri bertolak di belakang mereka, dengan meninggalkan Salit bin Qais yang
gugur sebagai syahid, darahnya
bercampur aduk dengan tanah medan pertempuran yang telah mengubur ribuan
pahlawan Islam.
Coba
kita lihat, adakah Bahman Jadhuweh lalu menyeberang sungai
menyusul dan menggempur mereka habis-habisan sehingga segala pengaruh Muslimin
di bumi Irak terkikis habis?! Ataukah dengan kemenangan telak ini sudah cukup buat dia dapat
membanggakan diri di hadapan Rustum
dan Boran serta semua orang Persia, hal yang tak pernah diperoleh oleh
panglima-panglima lain seperti dia?!
Musanna
tidak akan lengah bahwa mungkin Bahman masih akan membuntutinya. Oleh karenanya, cepat-cepat ia dan
pasukannya meluncur turun dari
Marwahah ke Hirah, kemudian terus menyusur ke selatan menuju Ullais.
Pengejarannya ini sudah diperhitungkannya seribu kali. Mengapa tidak, mengingat
dalam pertempuran itu anggota pasukan
Muslirnin sudah begitu banyak yang terbunuh, tenggelam di Furat dan dua ribu
o.rang lagi dari Medinah lari menyelamatkan diri! Tetapi mata Abu Ubaid
yang sudah tertutup oleh kedudukan dan oleh besarnya jumlah orang, sehingga ia terdorong ingin
menyeberangi sungai itu sampai
akhirnya dia sendiri menemui ajalnya dan sekaligus menjerumuskan Muslirnin ke dalam malapetaka,
rupanya masih akan melindungi Musanna.
Sementara
masih dalam pertempuran itu Bahman mendapat berita bahwa pasukan Persia di Mada'in terpecah dua,
sebagian berpihak kepada Rustum dan
yang sebagian lagi di pihak Fairuzan menentang Rustum. Itu sebabnya ia dan pasukannya kembali ke
ibu kota. Yang masih tinggal hanya
Javan dan Mardan Syah dengan sejumlah kecil pasukan. Kedua pasukan inilah yang mengejar
Musanna dengan anggapan bahwa mereka mampu menghadapinya. Mengenai
berita-berita sekitar Persia oleh
penduduk Ullais disampaikan kepada Musanna. Ia dan pasukannya disertai sejumlah besar penduduk
Ullais segera bergerak, dan berhasil menawan Javan dan Mardan Syah.
Mereka semua akhirnya dibunuh. Dengan
demikian Javan menemui ajalnya sebagai akibat pengkhianatannya kepada Abu Ubaid ketika
ditawan di Namariq, ia pun dilindungi setelah meminta perlindungan kepada
yang menawannya. Bahwa kefhudian Javan
berkhianat dan menyalahi janji dengan memerangi kembali pihak Muslirnin,
maka hukuman mati ini sungguh adil sekali.
Pertama
sekali pasukan Muslirnin yang ikut menyaksikan Perang Jembatan
memasuki Medinah ialah Abdullah bin Zaid. Umar melihatnya
ketika ia memasuki Masjid. Ada apa, Abdullah? tanya Umar kemudian.
Abdullah melaporkan semua berita itu kepada Umar, tetapi Umar menerima berita
itu dengan sikap tenang, tidak tampak sedih. Kemudian menyusul datang mereka yang lari dari
medan pertempuran itu ke Medinah
dengan kepala menekur karena rasa malu atas kekalahan yang mereka alami sampai mereka melarikan
diri itu. Yang lain, yang juga lari, mereka turun ke lembah-lembah karena
malu akan menemui keluarga, yang akan menganggap mereka pengecut. Melihat
keadaan mereka Umar merasa kasihan. Ia berusaha menghibur dan membela mereka
dari kritik dan kemarahan orang, dengan mengatakan: "Setiap Muslim sudah dibebaskan dari sumpahnya
kepadaku. Saya adalah pasukan setiap
Muslim. Barang siapa menjumpai musuh lalu merasa ngeri maka sayalah
pasukannya. Saudara-saudara Muslirnin, janganlah kalian bersedih hati! Saya termasuk
pasukanmu dan kalian telah bergabung kembali kepada saya. Semoga Allah
mengampuni Abu Ubaid! Sekiranya dia bergabung kepada saya niscaya sayalah
pasukannya." Ketika itu Mu'az penghafal
Qur'an dari Banu Najjar termasuk yang melarikan diri ke Medinah dari
pertempuran di jembatan itu. Dia menangis setiap membaca firman Allah ini:
Barang siapa berbalik ke belakang hari
itu — kecuali untuk suatu muslihat perang atau mundur ke pasukan sendiri — ia akan mendapat kemurkaan
Allah, dan temp atnya adalah neraka,
temp at kembali yang terburuk. Untuk itu Umar berkata: "Mu'az, janganlah menangis. Saya
pasukan Anda, Anda mundur berarti kembali kepada
saya."
Sikap
Umar terhadap mereka yang lari dan kembali ke Medinah sesudah
mengalami kekalahan di j embatan, mengingatkan kita kepada sikap
Rasulullah terhadap pasukan Muslimin yang kembali dari ekspedisi
Mu'tah setelah perwira-perwira mereka terbunuh. Khalid bin Walid
mulai menyusun siasat perangnya dengan anggota pasukan yang masih ada, -kemudian kembali ke Medinah tanpa
dapat mengalahkan musuh. Penduduk
Medinah berdatangan menaburkan tanah kepada pasukan itu seraya mengatakan: "Hai orang-orang
pelarian! Kamu lari dari jalan
Allah!" Tetapi Rasulullah berkata: "Mereka bukan pelarian, tetapi
orang-orang yang akan tampil kembali, insya Allah." Tetapi mundurnya Muslimin di Mu'tah tidak seperti
kehancuran Muslimin di jembatan itu, sangat mengerikan dan akibatnya
buruk sekali. Juga sikap Umar tidak seperti
sikap Rasulullah yang penuh kasih sayang dan lembah lembut. Sungguhpun begitu, Umar cukup
belas kasihan kepada yang sudah mengalami malapetaka di j embatan itu,
bahkan ia menempatkan diri sebagai pasukan mereka, di pihak mereka dan membela
mereka. Dengan memperlihatkan sikap kasih sayang itu, mereka dapat dibuat lebih tenang dan beban aib karena kekalahan
itu terasa lebih ringan. Tidak heran, dia sudah menjadi pemimpin mereka,
menjadi Amirulmukminin, ia harus bersikap penuh kasih dan lebih menyantuni mereka. Lebih-lebih belas kasihannya kepada kaum
yang lemah, kendati terhadap kaum yang kuat ia tetap tegar dan keras, dan
memperlihatkan tangan besi terhadap orang-orang yang
zalim.
Demikian
keadaan Umar dan mereka yang berbalik dari pertempuran
Jembatan itu. Tetapi Musanna selama beberapa waktu masih bertahan di Ullais
setelah Javan, Mardan Syah dan pasukannya dihancurkan. Sesudah beristirahat dan
mengumpulkan pasukannya, sekarang
pikirannya mengenai posisinya terhadap Irak dan nasib umat Islam di sana.
Sudah tentu ini merupakan hal yang sungguh rumit. Bilamana keadaan di istana Mada'in sudah kembali tenang,
maka pasukan yang penuh sesak
didahului pasukan gajah akan kembali lagi menyerangnya. Apa yang harus ia lakukan? Adakah takdir nanti
akan menentukan bahwa kekuasaan para kisra itu sudah akan kembali hidup lagi?
Kalau itu juga yang menjadi ketentuan
Allah, maka dia dan pasukannya tak dapat lagi tinggal di Irak. Tak ada jalan lain ia
harus menarik diri, seperti mereka
yang dulu sudah menarik diri dan lari ke Medinah, dan dia sendiri kembali ke tanah kabilahnya Banu Bakr
bin Wa'il, tinggal di Bahrain menghabiskan sisa
umurnya.
Tetapi
Musanna, seperti dikatakan oleh Qais bin Asim al-Minqari ketika
ditanya oleh Abu Bakr tentang orang ini, "Dia bukan orang yang tidak
dikenal, asal usulnya diketahui, juga bukan orang yang hina. Dia Musanna bin
Harisah asy-Syaibani."
Di
Irak ia pernah memegang peranan besar, yang tidak kurang rumit
dan gawatnya dari peranannya yang sekarang. Ketika pertama kali
ia datang dari Bahrain ke Delta Mesopotamia keadaan memang sudah
seperti itu, yaitu sebelum Abu Bakr mengirimkan bala bantuan dengan Khalid bin Walid. Posisinya itu makin
genting tatkala Khalid harus
meninggalkan Irak pergi ke Syam untuk memberi pelajaran kepada Runiuwi agar melupakan bisikan setan.
Itulah wataknya, lakilaki yang
tidak mudah menyerah atau menjerumuskan diri karena takut menghadapi masa depan yang masih gelap, tetapi
dia laki-laki yang kuat yang mau
menghadapi masa depan untuk membimbing jaiannya sejarah. Akan diatasinya bencana itu sesuai
dengan apa yang diketahuinya sebagai seorang jenderal yang teliti, tekun
dan berpengalaman. Dia yakin Khalifah akan mengirimkan bala bantuan. Yang pantas
untuk menghadapi perang hanya orang yang dapat menguasai diri,
tenang.
Begitulah
Musanna, ia berdiri tegak, kukuh dan tabah. Dia menghadapi masa-masa hitam
akibat Perang Jembatan yang hampir mengikis habis kekuasaan Muslimin di Irak. Tidak cukup
hanya dengan mengutus orang meminta bala bantuan kepada Umar, karena kedatangan
pasukan dari Medinah akan memakan waktu lama, tetapi sesudah itu dikirimnya pula kabilah-kabilah Arab sehingga
jumlahnya menjadi besar, terdapat di
antaranya kaum Nasrani Banu Namr, yang pernah berkata: Kami akan bertempur bersama golongan
kami. Mereka lalu memindahkan
markasnya dari Ullais ke Marj as-Sibakh — yang terletak di antara
Kadisiah dengan Khaffan — supaya berdekatan dengan perbatasan orang-orang Arab.
Kami akan berlindung kepada mereka jika dikalahkan oleh Persia, dan akan memberi bala
bantuan baru jika Persia yang
dikalahkan. Perlu sekali mendapat bala bantuan untuk melanjutkan
keberhasilannya. Di markasnya di Marj Sibakh sudah berkumpul sejumlah besar tentara. la sudah merasa tenang.
la tinggal di tengahtengah mereka
sambil menantikan keputusan Allah, apa yang akan terjadi terhadap Persia
dan terhadap dirinya.
Sesudah
Perang Jembatan itu Umar bin Khattab tak kurang gelisahnya dari Musanna
memikirkan keadaan Muslimin di Irak. la tidak lupa
bahwa Musanna memang sangat memerlukan bala bantuan secepatnya
untuk menghadapi situasi yang sungguh genting itu. Dalam pada itu orang-orang
Arab sudah berdatangan ke Medinah dari segenap penjuru Semenanjung Arab, memenuhi seruan Khalifah
sejak dicabutnya ancaman bagi kaum
murtad yang telah memperlihatkan tobatnya. Oleh Umar mereka dimobilisasi
ke Irak. Hanya saja mereka masih mau saling
menghindar dan agak segan-segan. Mereka lebih memperlihatkan keinginan tampil ke Syam dan ikut berperang di
sana. Tetapi di Syam Khalid bin Walid
sudah mendapat kemenangan menghadapi pihak Rumawi yang dipergokinya di Yarmuk.
la tidak memerlukan bala bantuan. Oleh karena itu Umar tidak ingin mengirimkan
mereka ke Syam, dan tak ada pula orang yang berminat tampil ke Irak.
Tatkala itu Jarir bin Abdullah al-Bajili datang menemui Abu Bakr di masa
kekhalifahannya. Disebutnya perjanjian yang diadakannya dengan Rasulullah untuk mengumpulkan kabilah Bajilah yang
terpencar-pencar di beberapa
kalilah. Tetapi oleh Abu Bakr dijawab: "Anda mengganggu kami dalam
keadaan kami sekarang mau menolong pasukan Muslimin yang sedang menghadapi dua singa raksasa, Persia dan
Rumawi. Di samping itu Anda mau
membebani saya dengan pekerjaan yang tak akan mendapat rida Allah dan Rasul-Nya. Baiklah,
sekarang Anda pergi kepada Khalid bin Walid sambil menunggu ketentuan
Allah mengenai kedua persoalan ini."
Sesudah
Umar memegang tampuk pimpinan umat Jarir mengulangi lagi janji dengan Rasulullah itu, dengan
mengemukakan bukti yang kuat. Umar lalu menulis surat kepada
wakil-wakilnya. Sekarang Banu Bajilah sudah dipersamakan. Setelah mereka
berkumpul Umar berkata kepada Jarir: "Berangkatlah kalian menyusul
Musanna."
"Tetapi
kami ingin ke Syam karena leluhur kami di sana," kata Jarir. "Tidak, ke Irak saja," kata Umar lagi. "Di Syam
sudah cukup." Sementara itu Umar
masih dengan Banu Bajilah yang enggan berangkat ke Irak. Setelah mendapat tambahan
seperempat dari se‑perlima
(khums) rampasan perang yang diperoleh pasukan Muslimin barulah
mereka setuju berangkat ke Irak, dan pasukan itu dipimpin oleh Jarir. Melihat apa yang dilakukan oleh Banu
Bajilah itu yang lain pun ingin seperti mereka. Mereka yang lari dari
pertempuran di jembatan di depan sekali, diikuti oleh Banu Azd yang dipimpin
oleh Arfajah bin Harsamah, dan Banu Kinanah
di bawah pimpinan Galib bin Abdullah, dan sekian banyak lagi yang lain dari berbagai
kabilah. Sekarang mereka semua berangkat dengan membawa istri dan
anak-anak mereka, bertolak menuju Irak untuk
bergabung dengan pasukan Musanna sebagai bala
bantuan.
Musanna bertahan, bala bantuan Umar dan para kabilah
Demikian
ini posisi Umar di Medinah, dan demikian juga posisi Musanna
di Irak. Lalu bagaimana posisi Persia di Mada'in? Beritaberita
mengenai adanya bala bantuan yang datang berturut-turut ke Irak sampai juga kepada pihak Persia. Mereka merasa
takut juga sebab mereka menyadari bahaya yang sedang mengintai. Oleh
karenanya, Rustum dan Fairuzan kini berbagi kekuasaan. Mereka membentuk gabungan
pasukan yang besar di bawah pimpinan Mehran Hamazani. Mereka memerintahkan Mehran segera berangkat
untuk menghadapi pasukan Muslimin
yang siap menyerang. Angkatan perang ini berangkat didahului oleh
pasukan gajah. Mehran sendiri orang yang paling berambisi hendak mencetak kemenangan yang akan
membuat orangorang Persia lupa akan
kemenangan Bahman dalam Pertempuran Jembatan. Keberangkatan pasukan ini
pun diketahui oleh Musanna sementara ia
berada di markasnya di Marj Sibakh. la mengirim surat kepada Jarir bin Abdullah dan pemimpin-pemimpin
yang lain yang datang hendak memberikan bantuan dengan mengatakan: "Kami
menghadapi suatu masalah yang harus kami
pecahkan sebelum kalian datang kepada kami. Maka segeralah susul kami.
Sampai bertemu di Buwaib."1 Kemudian ia berangkat dengan angkatan bersenjatanya
hingga mencapai Buwaib di pantai Furat, tempat semua pasukan Muslimin
berkumpul. Mehran juga bergerak dengan
angkatan bersenjatanya hingga berhadapan langsung dengan pasukan
Muslimin, yang hanya dibatasi oleh sungai.
Musanna
merasa lega setelah memeriksa barisan angkatan bersenjatanya. Kendati ia tak
mempunyai pasukan gajah seperti pada pasukan
Persia, namun bala bantuan dari semua kekuatan di Semenanjung Arab dan
di luarnya yang sekarang bergabung, sudah cukup mewakili. Di antaranya bala bantuan yang diminta
oleh Musanna ketika ia masih di Ullais, termasuk Bajilah, Azd, Kinanah dan
kabilah-kabilah Arab yang lain yang
telah memenuhi seruan Abu Bakr; ada Banu Namir, orang-orang Nasrani yang datang bersama
Anas bin Hilal dan kaum Nasrani
Taglib yang juga datang bersama Ibn Mirda al-Fihr atTaglabi, dan para pemacu kuda. Selain mereka ada
pula beberapa kabilah Arab lain yang tinggal di Irak. Mereka semua melihat
posisi Arab yang berhadapan dengan
orang asing Persia. Mereka berteriak: Kita berperang bersama golongan
kita. Tidak sedikit dari kaum Nasrani Irak
yang dipersatukan oleh ikatan etnis bergabung dalam barisan Muslimin dan
ikut berperang.
Perjalanan pasukan Persia hendak menghadapi pasukan Muslimin
Mehran
mengirim utusan kepada Musanna dengan pesan: "Kalian menyeberang
ke tempat kami, atau biarkan kami menyeberang ke tempat
kalian." Musanna belum lupa apa yang telah menimpa Abu Ubaid
ketika ia menyeberangi sungai dan berhadapan dengan Bahman. Umar
mengimbaunya setelah peristiwa jembatan itu untuk tidak menyeberangi
sungai sebelum mencapai kemenangan. Oleh karena itu ia membalas seruan Mehran
dengan mengatakan agar mereka yang menyeberang. Sekarang pihak Persia yang menyeberang
ke Buwaib dengan mempersiapkan tiga
barisan masing-masing dengan seekor gajah.
Musanna
pun menyambut mereka dengan kudanya yang diberi nama
Syamus, yang dinaikinya hanya untuk berperang. Selesai perang kembali
dikandangkan. Kuda itu diberi nama Syamus karena sangat penurut. Dengan kudanya
itu Musanna memeriksa barisan demi barisan sambil memberi semangat dan perintah dengan
sebaik-baiknya. Pada setiap panji ia
berhenti sambil berkata: "Saya mengharapkan sekali pasukan kita jangan sampai dihancurkan oleh kita
sendiri. Apa yang akan menyenangkan hati saya hari ini berarti juga akan
menyenangkan hatimu semua." Kata-katanya
itu disambut baik oleh mereka. Mengingat waktu bulan Ramadan, ia berseru
kepada pasukan Muslimin: "Saudara-saudara.
Kalian semua sedang berpuasa, tetapi puasa dapat melemahkan badan kita. Saya berpendapat lebih baik
kalian iftar1 supaya
dengan makanan kalian lebih kuat menghadapi musuh. Memenuhi sarannya itu mereka semua beriftar. Musanna
mendengar dengungan suara yang
diulang-ulang dari pihak Persia yang makin mendekat. "Yang kalian dengar itu menandakan mereka
pengecut. Maka tetaplah kalian diam, dan berbicaralah dengan
berbisik."
Mereka
memperhatikan apa yang dikatakan Musanna itu. Segala yang
diperbuatnya atau dikatakannya yang ditujukan kepada mereka, semua mereka sambut tanpa ada kritik. Malah ia
makin dekat di hati mereka. Kata Musanna lagi:
"Saya
akan bertakbir tiga kali. Maka siap-siaplah kalian, kemudian pada takbir yang
keempat serentak seranglah."
Panji-panji
sudah disiapkan semua sambil menunggu serangan kepada musuh. Itulah saat yang
sangat dinanti-nantikan dengan harapan mendapat
kemenangan.
Pertempuran Buwaib
Tetapi
baru Musanna mengucapkan takbir pertama, pihak Persia sudah
mendahului menyerang, yang dibalas segera dengan serangan serupa.
Akibat serangan pihak Persia itu beberapa barisan pasukan Muslimin dari Banu Ijl
jadi kacau. Musanna mengutus orang kepada mereka dengan pesan: "Salam Komandan kepada
kalian, janganlah kalian mempermalu pasukan Muslimin hari ini." Sekarang
Banu Ijl memperkuat diri dan seperti pasukan
yang lain mereka juga mulai bersama-sama melakukan serangan terhadap pasukan
Persia dengan barisan mereka yang sudah lebih teratur. Kedua pihak
sekarang terlibat dalam pertempuran sengit,
yang berlangsung sampai sekian lama. Musanna melihat bahwa pertarungan
ini akan makin dahsyat dan akan memakan
waktu lebih lama. Ia sedang memikirkan cara untuk mencapai kemenangan. Terpikir olehnya akan menyerang
komandan Persia itu dan menghalaunya dari tempatnya atau membunuhnya.
Untuk melaksanakan rencananya ini ia memanggil Anas bin Hilal an-Namiri, kemudian memanggil Ibn Mirda al-Fihr at-Taglabi.
Kepada mereka masing-masing ia
berkata: "Anda orang Arab sekalipun tak seagama dengan kami. Kalau Anda melihat saya sudah
menyerang Mehran, ikutlah menyerang
bersamaku." Musanna mulai menyerang Mehran dengan gempuran yang
benar-benar telak sehingga ia tergeser dari tempatnya dan masuk ke barisan sayap
kanan. Pihak Persia melihat apa yang
terjadi, mereka menghunjam hendak melindungi pemimpin mereka. Kedua barisan tengah sekarang bertemu dan debu
pun membubung tinggi, sehingga sudah tak diketahui lagi pihak mana yang
menang.
Ketika
debu-debu itu terkuak selintas dan pasukan Muslimin melihat barisan kanan Persia sudah mundur, mereka
langsung digempur oleh barisan kanan
dan barisan kiri. Mereka mengelak ke arah pinggir sungai hendak menyelamatkan diri. Dalam pada itu
Musanna terus mengerahkan pasukannya
dan mengutus orang kepada mereka dengan mengatakan: "Adat kalian seperti bunyi
peribahasa: Belalah agama Allah, Dia akan menolong kalian." Pasukan Muslimin
tambah bersemangat menggempur barisan musuh sampai ke
pusatnya.
Kemenangan pasukan Muslimin
Pasukan
Persia sudah tak dapat lagi menahan kekuatan itu. Mereka sudah
porak poranda dan berbalik mundur melarikan diri hendak menyeberangi jembatan.
Melihat mereka sudah berantakan - demikianMusanna
cepat-cepat mendahului mereka ke j embatan dan mereka dihalau kembali dari
jembatan. Mereka makin kacau-balau. Satu regu naik
ke pantai sungai dan yang lain menggempur mereka. Barisan berkuda Muslimin kini
mengepung mereka yang sedang kacau dan ketika itulah mereka digempur habis-habisan. Demikian
rupa pasukan Persia itu dalam
ketakutan, sehingga seorang prajurit dari pasukan Muslimin dapat membunuh beberapa orang dari mereka tanpa
ada yang mampu balik membunuh, sehingga peristiwa di Buwaib ini dinamai
"Peristiwa Puluhan," karena setiap satu
orang dari seratus orang pasukan Muslimin dapat membunuh sepuluh orang
anggota pasukan Persia. Titik kelemahan
musuh terus diikuti dan dihujani dengan pukulan-pukulan mematikan sampai
malam.
Paginya
mereka terus dikejar lagi sampai malam. Oleh karena itu nyawa
melayang di medan perang Buwaib ini lebih banyak daripada di tempat mana pun. Anggota pasukan Persia yang
terbunuh sudah mencapai seratus ribu, mayatnya tergeletak di medan
pertempuran sampai busuk dan hanya
meninggalkan timbunan tulang belulang, sampai se-lama bertahun-tahun tanpa dikuburkan. Baru
kemudian tertimbun oleh tanah
setelah dibangunnya kota Kufah. Kemenangan pasukan Muslimin di Buwaib ini
meyakinkan sekali.
Kecintaan
anggota pasukan Muslimin yang serentak kepada Musanna
menjadi salah satu penyebab kemenangan itu, bahkan itulah penyebab utamanya. Mereka sudah menyaksikan ia
terjun ke dalam pertempuran dengan
gagah berani dan penuh keyakinan. Yang lain pun mengikutinya bertempur habis-habisan. Maka Allah
telah memberi pertolongan kepada mereka. Mereka yang dulu pernah lari
dari Per‑tempuran Jembatan, sekarang
bertempur mati-matian tanpa pedulikan maut untuk menebus kekalahan yang dulu
tercoreng di kening mereka.
Sementara
Musanna sedang mengatur barisan untuk menghadapi pertempuran
dilihatnya ada yang maju keluar dari barisan hendak menyerbu pasukan Persia,
tetapi oleh Musanna ia diketuk dengan tombak sambil berkata: "Jangan meninggalkan tempatmu!
Jika datang lawanmu di medan perang, bantulah kawanmu dan jangan
mempertaruhkan diri." Orang itu menjawab: "Saya memang pantas untuk itu."
Kemudian ia kembali ke tempatnya dalam
barisan. Para perwira dan prajurit-prajurit yang lain memang mempunyai
peranan luar biasa yang patut dibanggakan.
Tatkala pertempuran sedang sengit-sengitnya, Mas'ud bin Harisah — saudara Musanna — menyerbu ke tengah-tengah
medan. Dia jatuh terkapar dan
teman-temannya merasa sudah tak berdaya — sebelum pihak Persia dapat
dikalahkan. Hal ini dilihatnya saat ia sudah dalam sekarat. "Saudara-saudara Bakr bin Wa'il!"
katanya. "Angkatlah bendera kalian, semoga Allah mengangkat kalian!
Kejatuhanku ini jangan sampai membuat kalian
kehilangan semangat!" Sebelum ia terkena itu ia pernah befkata kepada mereka: ."Hati kalian
jangan cemas hanya karena melihat
saya sudah terkena sasaran. Tentara itu datang dan pergi. Pertahankanlah
garis barisan kalian. Manfaatkanlah kemampuan mereka yang di belakang kalian."
Juga Anas bin Hilal an-Namiri orang Nasrani
itu, bertempur sampai ia menemui ajalnya. Seorang budak Nasrani Banu
Taglab datang menyerang Mehran dan berhasil membunuhnya kemudian merampas kudanya. Ia lalu pergi
sambil berdendang: "Saya budak Taglabi. Saya yang membunuh pemimpin
Persia."
Sesudah
Musanna dapat mengejar pasukan Persia di jembatan dan dapat mencegah mereka menyeberang, Arfajah bin
Harsamah menggiring satu regu
pasukan berkuda Persia sampai ke Furat. Setelah mereka merasa terjepit
mereka mengadakan perlawanan dan menyerang Arfajah dan anak buahnya. Maka terjadilah lagi
pertempuran sengit, tetapi berhasil mereka dilumpuhkan. Salah seorang
dari mereka berkata kepada Arfajah: "Bawalah benderamu mundur ke belakang!"
Tetapi Arfajah menjawab: "Siapa yang paling
berani dari kalian, majulah!'' Lalu
diserangnya mereka, dan mereka lari ke arah Furat. Tetapi tak seorang pun
yang sampai ke sana dalam keadaan hidup. Dari pihak Muslimin yang luka-luka dan
terbunuh juga tidak sedikit, termasuk dari Banu Namir, Banu Taglab dan dari kabilah-kabilah
Arab yang lain di Irak. Sungguhpun begitu, kemenangan telah memahkotai
mereka, dan nama-nama mereka tercatat kekal
dalam sejarah. Dalam pandangan Tuhan mereka tetap
hidup.
Setelah
pertempuran pun usai, Musanna merangkul Mas'ud, saudaranya,
dan Anas bin Hilal orang Nasrani itu dengan perasaan amat sedih,
tanpa membedakan agama kedua orang itu. Pasukan Muslimin yang
gugur disalatkan oleh Musanna, kemudian katanya: "Sungguh kesedihan saya terasa
sudah lebih ringan karena mereka telah menyaksikan Pertempuran Buwaib. Mereka pemberani,
sabar dan tabah, tak kenal putus asa dan tak pernah mundur. Mati syahid
adalah suatu penebusan dosa."
Petang
itu selesai pertempuran pasukan Muslimin duduk-duduk dengan
perasaan gembira. Musanna berkata: "Saya sudah berperang melawan
orang-orang Arab dan bukan Arab di masa jahiliah dan Islam. Seratus orang Arab di masa jahiliah dulu bagi saya
lebih berat daripada seribu orang Arab sekarang, dan seratus orang Arab
sekarang bagi saya lebih berat daripada
seribu orang bukan Arab. Allah telah melumpuhkan kekuatan mereka,
membuat tipu daya mereka menjadi tak berdaya. Janganlah kalian gentar melihat
segala gemerlapan mereka itu. Tak ada kesulitan yang tak dapat diatasi. Mereka seperti
binatang, jika sudah terdesak atau
kehilangan arah, ke mana pun kamu bawa mereka akan ikut." Di antara mereka ada yang bercerita
bagaimana Musanna me-rebut jembatan itu dari pasukan Persia, yang
mengakibatkan hancurnya mereka. Tetapi
Musanna tidak membiarkan orang itu meneruskan ceritanya dengan membantah
bahwa itu adalah hasil kerjanya dan ia menyatakan penyesalannya dengan mengatakan: "Saya
benar-benar tidak berhasil, tetapi
Allah masih melindungi saya dari bencana dengan mendahului mereka ke j embatan sehingga saya
dapat mempersulit gerak mereka. Saya tidak akan kembali dan kalian jangan
kembali dan jangan meneladani saya. Saudara-saudara, itu adalah langkah saya
yang salah. Tidak seharusnya orang
mengganggu siapa pun kecuali orang yang sudah tidak dapat menahan
diri."
Kata-kata
yang keluar dari mulut seorang panglima yang menang perang besar ini telah
menghapus arang yang tercoreng di kening pasukan
Muslimin karena peristiwa di jembatan itu, membuktikan tentang
keberanian Musanna dan keterusterangannya memvonis dirinya sendiri — sama dengan
keberaniannya memimpin pertempuran dahsyat dan menerjunkan diri ke dalamnya.
Kalau dia seorang yang senang membangga-banggakan diri dan dimabuk pujian, tentu
ia tak akan mengeluarkan kata-kata itu. Dia melihat pasukan Persia yang berbalik
dari jembatan itu membunuhi pasukan Muslimin dan mati-matian ingin membalas dendam. la merasa sedih sekali atas
kematian beberapa orang prajuritnya,
dan menyesali perbuatannya, dan barangkali sejauh apa yang berlaku karena tindakan musuhnya yang
mati-matian sehingga kemenangan
berbalik ke pihaknya. Di samping itu, ia berani menyatakan kesalahannya,
supaya yang lain tidak mengalami seperti dia.
Dalam
Perang Buwaib itu pasukan Muslimin mendapat rampasan perang
yang tidak sedikit, terdiri dari sapi, kambing dan tepung terigu, yang kemudian dikirimkan di tangan orang-orang
yang datang dari Medinah kepada keluarga-keluarga yang ditinggalkan di
perbatasan Semenanjung Arab, dan kepada keluarga-keluarga yang tinggal
di Hirah yang sudah lebih dulu ke Irak
sebelum terjadi Perang Buwaib dan pertempuran di jembatan. Perempuan-perempuan yang
tinggal di perbatasan Semenanjung itu melihat kedatangan kafilah berkuda yang
membawa perbekalan mereka kira ada
serangan musuh. Di depan anak-anak mereka segera bersiap-siap dengan batu
dan tiang-tiang. Tetapi Amr bin Abdul-Masih yang bersama kafilah itu berkata:
"Istri-istri pasukan ini seharusnya
demikian." Kaum lelaki itu meminta jaminan keamanan dari perempuan-perempuan itu dan membawakan kabar
gembira kepada mereka tentang kemenangan dan menyerahkan segala yang dibawa
kepada mereka, dengan mengatakan:
"Inilah rampasan perang pertama."
Musanna
mengeluarkan perintah kepada para perwira dan anak buahnya.
Mereka berangkat melalui Sawad hingga sampai ke Sabat, yang
dari Mada'in sudah terlihat. Pasukan Persia di depan berlarian lintang
pukang. Pada gilirannya Musanna pun berangkat mengadakan serangan
ke Khanafis dan Anbar pada hari pasar kedua kota itu. Di kedua tempat ini
pasukannya mendapat rampasan yang tidak sedikit pula.
Pasukan Muslimin sekarang sudah sampai di Tigris dan mengadakan serangan ke desa Bagdad sampai ke Tikrit.
Setiap serangan itu mereka membunuh pasukan tentara, menawan keluarga
mereka dan mengambil harta yang ada sehingga tak terhitung banyaknya. Dengan
demikian barulah seluruh Irak mau tunduk
sekali lagi. Hasil rampasan itu oleh
Musanna dibagi-bagikan, dan penduduk negeri lebih diutamakan daripada semua
kabilah. Seperempatnya diberikan untuk daerah Bajilah sesuai dengan pesan
Umar, dan yang tiga perempat dikirimkan kepada Amirulmukminin di
Medinah.
Keadaan
di bawah Musanna sekarang sudah stabil kembali seperti pada
masa Khalid bin Walid. Kaum Muslimin yang tersebar di Sawad Irak
juga ikut menikmati hasil rampasan perang itu. Selama tinggal di Hirah yang dipikirkan Musanna siapa saja dari
anggota pasukan Muslimin yang gugur
dalam pertempuran sengit itu, serta cara-cara untuk memperkuat pasukannya
dengan orang yang akan menggantikannya.
Barangkali belum perlu meminta bala bantuan cepat-cepat. Pihak Persia
sudah dalam ketakutan setelah malapetaka yang menimpa mereka di Buwaib, sehingga ia membayangkan bahwa
sesudah itu mereka tak akan mampu
lagi mengadakan perlawanan. Malah akibatnya, perselisihan mereka di
Mada'in akan makin keras, yang akan mengakibatkan pula berkecamuknya
pemberontakan di seluruh Persia. Mereka akan makin lemah dan organisasi mereka
pun akan goyan.
Baik
kita tinggalkan dulu Musanna memikirkan posisinya yang sekarang,
dan kita sendiri memikirkan tanda-tanda (indikasi) apa akibat yang dibawa oleh
Perang Buwaib terhadap sejarah. Dalam perang ini terdapat beberapa tanda. Kita melihat kaum Nasrani
Arab penduduk Irak berada dalam barisan Muslimin, bersama-sama memerangi
pasukan Persia, dengan semangat yang sama seperti semangat Muslimin. Kita menyaksikan Musanna berkata kepada Anas bin Hilal
an-Namiri: "Anda orang Arab sekalipun tak seagama dengan kami. Kalau-Anda
melihat saya sudah menyerang Mehran, ikutlah
menyerang bersama saya." Kemudian
kata-kata yang sama dikatakannya juga kepada Ibn Mirda al-Fihri dari Banu Taglib. Bukankah ini
sudah memastikan bahwa perang di Irak itu bukan perang salib, juga bukan
perang Islam, karena bukan dibangkitkan oleh agama, melainkan oleh keinginan
orang-orang Arab membebaskan golongannya
dari kekuasaan asing yang sudah berabad-abad menjajah mereka, dan supaya
masyarakat Arab mempunyai kesatuan
politik, bagaimanapun, posisinya? Saya rasa soalnya memang sudah j elas, tak perlu diragukan lagi.
Segala pertimbangan yang membangkitkan perang di Irak sama dengan di Syam. Bahwa
perang itu untuk menyebarkan Islam tak pernah terlintas, baik dalam pikiran Abu Bakr ataupun Umar. Pikiran yang ada
pada mereka hanya supaya dakwah
Islam bebas tanpa ada rintangan apa pun. Jadi jelas, bahwa ajakan kepada Islam dengan kekuatan senjata
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam, dan tidak pula dibenarkan oleh Qur'an. Rasulullah dan para
penggantinya selalu ingat firman Allah: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan
pesan yang baik; dan berbantahlah
dengan mereka dengan cara yang lebih baik. (Qur'an, 16: 125). Dan firman-Nya lagi:
Tolaklah (kejahatan) dengan yang lebih baik; maka akan ternyata permusuhan yang ada
antara Anda dengan dia akan menjadi seperti teman dekat. (Qur'an, 41:
34).
Islam
tersebar sejalan dengan meluasnya daerah-daerah yang dibebaskan,
sebab penduduk daerah-daerah itu melihat dasar-dasar agama yang benar ini, maka mereka sangat mengagumi,
sangat menghormatinya, lalu mereka
pun menganutnya, kadang dengan pembuktian dan pemikiran, kadang dengan melihat orang-orang yang
datang dengan segala cara yang menakjubkan dalam usaha pembebasan dan
cara menjalankan kekuasaan. Kalau dengan alasan itu dapat dibenarkan mengaitkan tersebarnya Islam dengan perluasan
daerah-daerah yang dibebaskan itu,
maka tidaklah benar untuk mengatakan bahwa tujuan pembebasan itu untuk
menyebarkan Islam dengan kekuatan pedang.
lndikasi terjadinya Perang Buwaib
Inilah
beberapa indikasi terjadinya Perang Buwaib. Juga ini merupakan suatu indikasi
bahwa permusuhan Arab-Persia itu sudah sampai
di puncaknya dan sudah menghilangkan segala harapan akan ada
perdamaian atau perletakan senjata. Perang Buwaib itu terjadi sesudah
Pertempuran Jembatan yang membuat pasukan Muslimin mengalami kekalahan telak. Kebalikannya kejadian
di Buwaib telah menghapus dampak kekalahan itu dan mengangkat martabat pasukan
Muslimin; dalam hati pihak Persia
timbul rasa takut, dan semangat mereka sangat menurun. Sungguhpun begitu,
setelah Pertempuran Jembatan itu tidak terpikir oleh pasukan Muslimin
akan menyerah atau mengajak damai. Demikian
juga setelah Perang Buwaib tidak terpikir oleh pasukan Persia akan
menyerah atau mengajak damai. Jadi tak ada jalan lain perang harus berlanjut sehingga salah
satu pihak ada yang menyerah tanpa
syarat. Itu sebabnya tatkala trauma Perang Buwaib hilang dari pihak Persia,
kembali mereka berpikir-pikir tentang nasib apa yang akan menimpa mereka j ika masih terus
dalam perpecahan, masih
terbagi-bagi. Terbayang oleh mereka bahwa pasukan Arab itu akan memasuki ibu kota kerajaan mereka, akan
merobohkan semua benteng pertahanan
mereka dan putra-putra Kisra akan tunduk di bawah kekuasaan musuh. Kecuali jika terjadi suatu
mukjizat, mereka mau bersatu menghadapi kaum penyerang dan mengusirnya dari bumi
mereka. Tetapi bagaimana mereka akan bersatu sementara Rustum dan Fairuzan saling berebut kekuasaan, para pembesar
dan para petinggi terbagi-bagi, yang satu mendukung satu kelompok, yang
lain menjadi pendukung kelompok yang lain.
Oleh karena itu para pemuka Persia menemui kedua pihak dengan mengingatkan akibat
perselisihan itu akan menjerumuskan Persia ke dalam kehancuran. "Sesudah
Bagdad, Sabat dan Tikrit, kini hanya tinggal
Mada'in!" Mereka mengancam keduafiya dengan mengatakan: "Kalian bersatu atau
kami sendirilah yang akan bertindak, sebelum kita disoraki
orang!"
Sekarang
Rustum dan Fairuzan mengadakan perundingan dan meminta Boran menulis surat
untuk mendatangkan istri-istri dan gundikgundik Kisra. Setelah mereka datang,
diketahui bahwa keturunan Kisra yang
laki-laki sudah tak ada lagi selain Yazdigird bin Syahriar bin Kisra. Dulu ibunya menyembunyikannya di tempat
saudara-saudara ibunya ketika Syiri
dulu membunuhi semua anak laki-laki keturunan ayahnya. Mereka datang membawa anak itu, yang
ketika itu sudah berumur dua puluh
satu tahun.- Sesudah kemudian mereka sepakat hendak mengangkatnya ke takhta kerajaan
leluhurnya dan berlomba memberikan bantuan, Persia sekarang kembali
tenang, dan mulai mengadakan persiapan
baru untuk menuntut balas mengembalikan harga diri dan
kehormatannya.
Sudah
tentu berita-berita mengenai Persia ini sampai juga kepada Musanna.
'Ia gelisah karena yakin penduduk Sawad akan memberontak kepada pasukan Muslimin
bilamana pasukan Persia memasuki tempattempat mereka. Ditulisnya surat kepada Umar di
Medinah melaporkan segala yang diketahuinya itu serta kemungkinan akan
timbulnya pemberontakan. Tetapi surat itu
terlambat sampai ke tangan Umar. Pihak Persia sendiri sudah bersiap-siap dan persiapan
demikian sudah pula membuat gempar
desa-desa dan kota-kota di Irak. Tak ada jalan lain buat Musanna ia harus menarik pasukannya sekali
lagi ke perbatasan Semenanjung dan membawanya ke Zu Qar kemudian mengumpulkan
mereka dalam satu markas sambil
menunggu bala bantuan dari Khalifah untuk meneruskan rencananya
membebaskan Mada'in.
Tatkala
surat Musanna sampai ke tangan Umar dan ia mengetahui persiapan Persia sesudah ada persepakatan, ia
berkata: "Akan kuhajar Raja-raja Persia itu dengan raja-raja Arab!" Ia membalas
surat Musanna dengan perintah agar
segera berangkat ke perbatasan Irak dan terpencar di beberapa mata air yang berdekatan
dengan Persia, dan meminta bantuan
penduduk supaya bersama-sama di pihak mereka supaya tidak disergap
mendadak oleh Persia tanpa ada persiapan tenaga manusia dan
perlengkapan.
Musanna
bermarkas di Zu Qar. Belum terpikir oleh pihak Persia hendak
berangkat menghadapinya. Musanna tinggal di sana sampai kevmudian datang Sa'd bin Abi Waqqas menyusul.
Kedatangannya sebagai komandan pasukan yang disiapkan oleh Umar untuk
menghadapi pasukan Persia. Tetapi Musanna
tidak lama tinggal bersama Sa'd. Lukanya yang lama akibat Pertempuran Jembatan
kambuh lagi, yang dideritanya terus sampai ia menemui ajalnya. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa Musanna meninggal
di Zu Qar sebelum Sa'd tiba di Irak,
dan bahwa ia meninggalkan wasiat untuk Sa'd — yang akan kita sebutkan
nanti pada waktunya.
Dengan
meninggalnya Musanna, rasanya sudah menjadi kewajiban kita
untuk menyudahi bab ini. Tetapi sebelum kita teruskan dengan peristiwa-peristiwa dalam arus yang begitu keras,
mari kita berhenti sejenak di makam
panglima yang hebat ini untuk mengucapkan selamat j alan dan menempatkannya sebagaimana mestinya,
sesuai dengan kenyataan.
Kebesaran Musanna
Dalam
perang dengan Persia orang ini telah memikul beban Muslimin
yang begitu berat, yang belum ada orang lain melakukan hal seperti
dia. Dialah Muslim pertama yang pergi ke Delta Furat dan Tigris
dan mengajak Abu Bakr untuk memikirkan pembebasan Irak. Kalau
tidak karena kepergiannya ke sana dan sekaligus ia menyabung nyawanya
di sana, niscaya tak terpikir oleh Khalifah- untuk menghadapi Persia. Bersama dengan Khalid bin Walid tidak
sedikit daerah pinggiran Irak yang sudah dibebaskannya. Kalau tidak karena
keberanian Musanna dan pandangannya yang bijaksana di samping
kepiawaiannya memimpin pasukan, tentu
Khalid belum akan dapat pergi ke Syam dan membuktikan kemampuannya
menghadapi Persia.
Sesudah
itu Abu Bakr dulu berpesan kepada Umar untuk memobilisasi
orang bersama Musanna. Wajar sekali bilamana Musanna yang akan memimpin angkatan bersenjata ke Irak untuk
memberi pertolongan kepadanya. Dialah yang mengetahui seluk beluknya dan
memasuki daerah-daerah itu. Dalam hal ini yang mempunyai keberanian yang tak
dipunyai oleh yang lain. Sekiranya Abu Bakr
masih hidup niscaya ia tak akan
menyerahkan pimpinan itu kepada yang lain. Hanya Umar yang kemudian menyerahkannya kepada Abu Ubaid
karena ia orang yang pertama mencalonkan diri dan karena dari Banu Saqif
di Hijalz;" sedang Musanna dari Banu Bakr
bin Wa'il. Marahkah Musanna karenanya atau terluka perasaannya karena Umar
telah meninggalkan pesan Abu Bakr
mengenai dirinya? Tidak! Pikirannya lebih tinggi daripada sekadar memikirkan hal-hal serupa itu.
Orang-orang Hijaz memang sangat
fanatik terhadap orang-orang sedaerahnya, maka lalu Abu Ubaid yang
diberangkatkan ke Irak dan dia sendiri berada di bawah pimpinannya. Bersama dialah Abu Ubaid mendapat kemenangan
di Namariq, dan sesudah dia dan anak
buahnya terbunuh dalam pertempuran di j embatan, dia pula yang mengambil alih memegang
bendera dan menarik pasukannya ke Ullais, sambil menunggu datangnya bala
bantuan, dan dalam Perang Buwaib dia memimpin pertempuran begitu piawai,
yang mengingatkan orang pada peranan Khalid bin Walid dalam menghadapi
pertempuran-pertempuran besarnya.
Umar
mengangkat Abu Ubaid menjadi atasan Musanna merupakan salah satu langkah
pertamanya yang sudah diputuskan oleh Amirulmukminin dalam menyusun sistem
kepangkatan di kalangan Muslimin. Kiranya Umar dapat dimaafkan dengan langkahnya
itu mengingat Abu Ubaid adalah orang
pertama yang maju mencalonkan diri sementara yang lain masih menolak. Tetapi kenyataanhya
langkah itu memang sesuai dengan pemikiran Umar. Bukti untuk itu terjadi
pada Jarir bin Abdullah al-Bajili yang
berangkat setelah Pertempuran Jembatan sebagai bala bantuan kepada MusanAa. Setelah
diketahui ia berada tak jauh dari
posisinya, ditulisnya surat agar ia datang menghadapnya sebab ia dikirim sebagai bala bantuan kepadanya.
Tetapi Jarir membalas: "Saya tidak akan melakukan itu kecuali kalau ada
perintah dari Amirulmukminin. Anda komandan dan saya juga komandan." Musanna
rnenulis surat kepada Umar mengadukan hal Jarir itu. Tetapi Amirulmukminin menjawab: "Saya tidak akan menempatkan
Anda di atas salah seorang sahabat
Muhammad Sallallahu 'alaihi wa sallam." Ketika Umar memberangkatkan Sa'd bin Abi Waqqas ke
Irak, ia rnenulis kepada Musanna dan
kepada Jarir bahwa Sa'd-lah yang menjadi atasan mereka berdua. Soalnya karena Sa'd
termasuk salah seorang yang
mula-mula dalam Islam, dan Umar melihat orang yang mula-mula dalam Islam itu merupakan kelas yang
harus lebih diutamakan daripada kelas-kelas Muslimin yang
lain.
Musanna
tidak marah karena yang diangkat itu orang Iain, bukan dia;
karena dia memang sudah b'enar-be"har beriman, di samping sebagai seorang
prajurit sejati yang menjunjung tinggi arti disiplin. Dia sangat menaatinya, dan
ia menempatkan disiplin dan iman di atas segala kepentingan pribatii dan keinginannya. Tetapi,
kendati dia sudah dipisahkan dari kepemimpinan militer, orang tak dapat
menutup mata dari jasanya. Apa yang sudah
dicatat dalam lembaran sejarah, tak akan dapat dihapifs. Kalau Khalid bin Walid adalah
jenius perang dan Saifullah, maka Musanna bin Harisah adalah orang
pertama yang membebaskan Irak. Dialah j
enderal yang berpengalaman, yang telah memikul beban berat dalam situasi pasukan
Muslimih yang paling kritis dan berbahaya. Dialah tokoh bijaksana yang
telah mempersatukan masyarakat Arab
penduduk Irak, padahal mereka berlainan agama. Maka dengan tindakannya itu ia telah berhasil
menghantam pasukan Persia di Buwaib,
sehingga mereka tak berkutik lagi dan sejak itu tak pernah lagi
memperoleh kemenangan.
Dan
yang lebih membanggakan lagi, Musanna menyelesaikan semua
itu dalam waktu yang begitu singkat. Abu Ubaid mencapai perbatasan Irak pada permulaan musim rontok tahun
634 M., mendapat kemenangan di
Namariq bulan Oktober tahun itu juga dan terbunuh dalam pertempuran di j embatan sekitar
akhir-akhir bulan itu. Maka kemudian Musanna yang mengambil alih pimpinan
dan ia mendapat kemenangan di Ullais disusul
kemenangannya yang telak di Buwaib bulan November. Sekiranya sesudah perang di
Buwaib ia mendapat bala bantuan,
tentu ia akan memasuki Mada'in dan akan menaklukkannya sebelum akhir tahun itu. Tetapi bala
bantuan itu terlambat, dan maut pun mendahuluinya. Dia meninggal,
sementara kemenangan yang akan menjadi
mahkota kebanggaannya sepanjang masa sudah di am-bang
pintu.
Sekarang
selamat jalan wahai panglima piawai, dalam lindungan Allah!
Kini kami akan meninggalkan medan lagamu yang telah mendengungkan dengan bahana
kemenanganmu itu. Kami akan menengok Syam, mendampingi sahabatmu Khalid bin
Walid! Hendaklah orang semua ingat tahun
demi tahun, bahwa Musanna bin Harisah asySyaibani seorang pelopor dalam
merambah jalan Kedaulatan Islam, di samping selaku pendirinya yang bijak dan
kukuh. Dalam pembinaan itu orang tidak akan
menutup mata dari jasanya yang besar, bahwa dia bukan orang Kuraisy, juga bukan
dari sahabat Rasulullah. Tak pernah lagi ia memegang pimpinan militer
sesudah Khalid. Ia memegang pimpinan
militer itu dalam Perang Buwaib, yang dalam hal ini keberaniannya
sebanding dengan Khalid, atau barangkali lebih lapang dada dan lebih bijaksana
dari Khalid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar