Jumat, 21 Maret 2014

 UMAR

ABU UBAID DAN MUSANNA DI IRAK

 

 

Musanna menuju Irak

Abu Ubaid bin Mas'ud as-Saqafi wakil pertama di Irak. Itu sebabnya Umar mengangkatnya sebagai panglima, dan meme­rintahkan memimpin pasukan itu berangkat apabila persiapan pasukan sudah selesai. Umar mendahulukan Musanna bin Harisah cepat-cepat dengan mengatakan: "Cepat-cepatlah supaya kawan-kawan Anda segera menemui Anda!" Musanna segera memacu kudanya dan kembali ke Hirah. Sementara dalam perjalanan itu ia teringat beberapa waktu yang lalu di masa pemerintahan Abu Bakr saat al-Ala' bin al-Hadrami me­numpas kaum murtad di Bahrain. Dia bergabung kepadanya dan meng­hadang setiap jalan yang dilalui kaum murtad, yang hidupnya hanya membuat keresahan. Kemudian ia pergi menyusuri pantai Teluk Persia dalam menghadapi intrik-intrik pihak Kisra[1], dan ia berhasil menumpas kabilah-kabilah yang menjadi sekutunya hingga mencapai muara Furat. Di tempat itu Abu Bakr memperkuatnya dengan Khalid bin Walid. Musanna pun berangkat di bawah panji jenderal jenius itu memorak­porandakan pasukan Persia. Kedua pasukan itu menyeruak ke beberapa kota, membebaskan Hirah, Anbar, Ain Tamr dan yang lain, sehingga Khalid mencapai al-Firad di perbatasan dengan Syam, utara Irak.
Khalid sudah dapat menduduki tempat-tempat yang dikuasai Kisra. Musanna tentu sangat gembira Allah telah memberikan kemenangan kepadanya. Lebih setahun ia tinggal di Hirah dan di Sawad bersama angkatan bersenjatanya. Sesudah itu Abu Bakr memerintahkan Khalid  berangkat ke Syam untuk memimpin pasukannya menghadapi pasukan Rumawi. Khalid memisahkan diri dari Irak dengan beberapa pasukan inti. Musanna merasa khawatir akan akibatnya. Tetapi Allah mem­berikan kemenangan kepadanya sampai dapat menghancurkan Ormizd Jadhuweh di reruntuhan Babel. Kemudian ia kembali ke Hirah dan bertahan di sana. Ia meminta izin kepada Abu Bakr untuk mengguna­kan kaum yang j elas-j elas sudah bertobat. Karena tidak segera men­dapat jawaban dari Khalifah yang sekarang sedang menghadapi ma­salah Syam, Musanna berangkat ke Medinah. Tetapi ternyata Abu Bakr sudah di ranjang kematian. Tak lama kemudian ia berpulang ke rahmatullah. Pimpinan pemerintahan setelah itu di tangan Umar. Ia mengadakan mobilisasi untuk segera berangkat bersama Musanna dengan pimpinan di tangan Abu Ubaid.

Persekongkolan dan pergolakan di Istana Persia

Sementara mengenang segala peristiwa ini Musanna tidak lupa adanya pergolakan yang sekarang sedang terjadi dalam Istana Persia. Pergolakan ini akan sangat melemahkan kekuatan Persia dan akan memperkuat tekad pasukan Muslimin. Para Kisra itu sudah memerintah Persia, juga memerintah kawasan Arab di Irak secara otoriter. Kisra Abraviz (Parvez) yang membunuh Abu Qabus an-Nu'man bin al­Munzir dan menghancurkan raja-raja Banu LakhnT di Hirah, dia juga yang telah memerangi Rumawi dan berhasil mengalahkannya, yang terus membentang sampai ke daerah mereka di Yerusalem dan Mesir. Setelah Heraklius yang berkuasa di Rumawi, Kisra berhasil dipukul mundur. Baik orang Arab ataupun orang Persia yang merasa kesal karena kekejaman Kisra merasa gembira dengan kejadian itu. Setelah Syiraweh (Kavadh II) anaknya memberontak kepadanya dan mem­bunuhnya, terjadi perselisihan di kalangan pembesar-pembesar Persia dan pendapat mereka saling berbeda mengenai apa yang menimpanya itu. Syiraweh sendiri di Persia kemudian menjadi lambang kebodohan dan kecerobohan yang membuat keluarga istananya tidak menyukainya. Masing-masing pihak yang ingin menduduki takhta bersekutu dengan pihak yang mau membantunya untuk mencapai tujuan. Parvez sendiri terbunuh, dan mereka yang berebut ingin menduduki takhta berbunuh­bunuhan, adakalanya terang-terangan, kadang dengan pembunuhan gelap. Pihak yang menang sempat berkuasa selama beberapa bulan, kemudian terbunuh juga. Selama empat tahun sudah ada sembilan raja yang berturut-turut menduduki takhta. Dengan keadaan serupa itu tidak heran kekuatan Persia menjadi lemah sekali dan berantakan. Dalam perang dengan Arab pun keadaan jadi berbalik, malah mereka yang menderita kekalahan.
Menyadari kehancuran akibat kekacauan yang menimpa mereka itu pihak Persia kemudian menobatkan Syahriran anak Ardasyir, dan kalangan kerajaan berjanji akan mendukungnya.
Syahriran sudah mengetahui perjalanan Khalid bin Walid dari Irak ke Syam. Rencananya yang pertama akan mengusir Muslimin dari Irak. Tetapi Musanna berhasil mengalahkan panglimanya di reruntuhan Ba­bel dan mati setelah terserang demam.
Dokht Zanan[2], putri Kisra, menduduki takhta menggantikan sau­daranya yang laki-laki. Tetapi dia terlalu lemah untuk dapat mengatasi persoalan. la pun diturunkan. Kemudian naik Shapur anak Syahriran menggantikannya. Shapur mengangkat Farrakhzad menjadi perdana menterinya. la bermaksud mengawinkannya dengan Azarmi Dokht putri Kisra, tetapi putri ini tidak senang dikawinkan dengan hambanya. Maka ia sengaja menggunakan Siyavakhash, seorang pembunuh bayaran, dan membunuhnya di kamarnya pada malam pengantin. Kemudian ia pergi lagi bersamanya dengan beberapa orang pembantunya kepada Shapur, dan setelah dikepung orang itu pun dibunuhnya.
Sekarang terpikir oleh Musanna akan menghadapi Persia yang istananya sedang bergolak itu. Ia meminta bantuan Abu Bakr, tetapi karena terasa lambat, ia sendiri pergi ke Medinah meminta bantuan dipercepat. Sekarang ia sedang dalam perjalanan kembali ke Hirah. Masih jugakah Persia dalam pergolakannya, saat yang paling tepat untuk mengalahkannya? Ataukah sudah tenang kembali, sehingga untuk mengalahkannya diperlukan persiapan sumber tenaga manusia dan perlengkapan senjata yang lebih besar?
Begitu sampai di Hirah, pertanyaannya yang pertama mengenai perkembangan di Istana Persia. Yang diketahuinya, selama ia tidak di tempat, mereka sibuk dengan perselisihan mereka sendiri, sehingga Muslimin tidak lagi mendapat perhatian mereka. Kemudian diketahui­nya juga bahwa Boran putri Kisra sedang berusaha mempersatukan mereka. Boran ini seorang pangeran putri yang cerdas dan bijak. Di Persia, setiap mereka berselisih, segala keputusan dan pertimbangannya yang adil, mereka terima dengan senang hati. Sesudah Siyavakhash membunuh Farrakhzad, dan Azarmi Dokht menduduki takhta, terjadi perselisihan. Setelah melihat tak ada jalan untuk mendamaikan mereka, Boran mengutus orang kepada panglima Rustum (Rustam), anak Farrakhzad memberitahukan tentang ayahnya yang terbunuh dan men­desaknya pergi ke kota Mada'in (Ctesiphon). Ketika itu Rustum sedang berada di celah Khurasan. Sebagai seorang panglima yang mahir, cepat­cepat ia dan pasukannya berangkat ke Mada'in. Di perjalanan itu ia bertemu dengan pasukan tentara Azarmi Dokht. Setelah pasukan ini dapat dilumpuhkan, kemudian Mada'in dikepungnya, ia juga mengepung Azarmi Dokht dan Siyavakhasy. Sesudah musuhnya dapat dikalahkan dan ia memasuki kota itu, Siyavakhasy dibunuhnya dan Azarmi Dokht dicukil matanya. Sekarang Boran yang naik takhta, yang akan me­nguasai Persia selama sepuluh tahun. Setelah itu yang akan menjadi raja dari keluarga Kisra: kalau ada laki-laki, kalau tidak ada ya perempuan. Boran mengangkat Rustum menjadi perdana menteri dan panglima angkatan perang, membebaskannya dari urusan negara. Dimintanya rakyat Persia agar menaatinya.

Perjalanan Abu Ubaid ke Irak untuk menghadapi Persia

Semua itu diketahui oleh Musanna sementara ia berada di Hirah, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Pasukan sudah makin menyusut, tidak mungkin ia akan dapat menyerang sebelum Abu Ubaid datang. Abu Ubaid yang masih tinggal di Medinah selama sebulan setelah Musanna — kini mempersiapkan pasukannya dan sudah siap berangkat. Selesai persiapan ia meminta izin kepada Umar akan berangkat. Umar mengizinkan sesudah diulangnya pesannya untuk memperhatikan pen­dapat sahabat-sahabat Nabi dan mengikutsertakan mereka dalam segala hal, bermusyawarah dengan SaUt bin Qais, mengingat keberanian dan pengalamannya. Umar memang memberi kepercayaan kepada Salit,. sehingga ia berkata kepada Abu Ubaid: "Saya tidak berkeberatan mengangkat S alit kalau tidak karena ketergopohannya dalam perang. Orang yang tergopoh-gopoh dalam perang akan kehilangan arah. Yang sangat diperlukan dalam perang hanya orang yang tenang dan tabah." Abu Ubaid berangkat dengan pasukannya. Sesampainya di Irak ia melihat Musanna sudah menarik pasukannya dari Hirah ke Khaffan, di perbatasan dengan daerah pedalaman.
Rustum orang yang pemberani dan ambisius. Ambisinya ini mem­buat rakyat Persia kagum dan senang kepadanya. Karena ambisinya ini juga para sejarawan menyebutkan bahwa dia ahli perbintangan, di bintang-bintang itu ia melihat nasib masa depan Persia. Ditanya bagai­mana ia memegang j abatan itu padahal sudah melihat segala yang ada dalam perbintangan, dia menjawab: Ambisi dan kehormatan.
Tak lama sesudah ia diangkat oleh Boran, ia menulis surat kepada para pej abat[3] di Sawad dengan perintah agar mereka memberontak kepada kekuasaan Muslimin. Di setiap kampung diselundupkan satu orang untuk menghasut penduduk, di samping mengirim pasukan untuk memancing bentrok senjata dengan Musanna. Semua perintahnya itu sudah meluas di kalangan rakyat. Maka akibatnya orang-orang Irak di bagian hulu sampai ke hilir, semua bergolak. Berita peristiwa ini di­ketahui oleh Musanna. Menurut hematnya tak ada gunanya pasukannya menghadapi orang-orang yang sudah disiapkan Rustum untuk mengada­kan bentrok senjata dengan dia. Lebih baik dia berhati-hati dan menarik pasukannya dari Hirah ke Khaffan supaya tidak disergap dari belakang. Abu Ubaid pun menyusulnya ke Khaffan dan ia menghentikan pasukan­nya untuk sekadar mengistirahatkan anak buahnya sambil mengatur rencana untuk menyerang kekuatan yang datang hendak menyerangnya itu.
Di Mada'in Rustum sudah mengirim dua pasukan untuk meng­hadapi pasukan Muslimin, salah satunya di bawah pimpinan panglima Javan (Khafan Japan) yang mendapat perintah menyeberangi Furat ke Hirah, dan yang lain di bawah pimpinan panglima Narsi dengan perintah bermarkas di Kaskar yang terletak di antara Furat dengan Tigris (Dajlah). Abu Ubaid berangkat dari Medinah dengan empat ribu orang, yang dalam perjalanan kemudian anggota pasukannya bertambah jumlahnya menjadi sepuluh ribu. Setelah mereka berkumpul, ia berang­kat hendak menghadapi Javan. Mereka bertemu di suatu tempat yang disebut Namariq terletak antara Hirah dengan Kadisiah (Qadisiyah). Kedua pihak itu bertemu dan terjadilah pertempuran sengit yang luar biasa, dan Allah memberikan kemenangan kepada Abu Ubaid dalam menghadapi Javan dan pasukannya itu. Javan sendiri ditawan bersama seorang komandan bawahannya bernama Mardan Syah, tetapi orang ini dibunuh oleh yang menawannya.
Javan seorang panglima yang sudah berusia lanjut, ia dapat menipu orang yang menawannya dengan mengatakan: "Kalian orang-orang Arab, orang yang suka menepati janji. Maukah Anda mempercayai saya, dan saya akan memberikan kepada Anda dua orang budak muda yang cekatan sekali yang akan dapat membantu pekerjaan Anda dan akan saya berikan lagi sekian dan sekian..." dan janji-janji lain yang melimpah. Lalu kata orang yang menawannya: "Ya." Maka katanya: "Bawalah saya kepada komandan Anda supaya terlihat." Dia dibawa masuk ke tempat Abu Ubaid, dan dia menyaksikan apa yang terjadi. Tetapi ada sekelompok Muslimin segera mengenalnya, maka kata mereka kepada Abu Ubaid: "Bunuh saja dia. Dia komandan pasukan mereka."
"Sekalipun dia komandan," kata Abu Ubaid. "Saya tidak akan membunuhnya, dia telah dijamin oleh salah seorang dari kita. Dalam persahabatan dan saling menolong Muslimin seperti satu badan, yang berlaku bagi yang seorang berarti berlaku untuk semua."
Boran sudah mengetahui apa yang terjadi terhadap Javan, dan berita itu sampai juga kepada Rustum. Ia memerintahkan Jalinus untuk menolong teman-temannya dan menyusul Narsi di Kaskar. Jalinus memisahkan diri berangkat cepat-cepat ke tujuannya. Tetapi Abu Ubaid dalam menempuh perjalanan rupanya lebih cepat. Tak lama sesudah mengalahkan Javan ia memerintahkan pasukannya berangkat untuk menghadapi Narsi, yang kemudian dij umpainya bersama-sama dengan pasukan yang sudah kalah melarikan diri dari Namariq di suatu tempat yang disebut Saqatiah, tak jauh dari Kaskar. Hal ini terjadi sebelum ada kontak senjata dengan Jalinus. Narsi tidak lebih tabah dari Javan dalam menghadapi Muslimin. Ia lari bersama pasukannya dengan meninggal­kan rampasan perang yang tidak sedikit. Sekarang Abu Ubaid tahu bahwa Jalinus dan pasukannya berada di Barusma, sebuah desa. Ia mengejarnya terus, dan seperti Narsi ia pun melarikan dalam kekalahan bersama pasukannya hingga mencapai Mada'in.
Sekarang Abu Ubaid mengerahkan para komandannya dengan di­pelopori oleh Musanna, dan berhasil menduduki daerah pinggiran Irak di bagian hulu sampai ke hilir, dengan menyebarkan ketakutan di kalangan penduduk. Mereka teringat kini zaman Khalid bin Walid dan tindakannya. Para pejabat itu kembali mengajak damai Abu Ubaid sambil meminta maaf karena dulu mereka telah berpihak dan bekerja sama dengan pihak Persia. Mereka mengatakan bahwa mereka memang sudah tak berdaya menghadapi segala kejadian itu. Selesai mengadakan perdamaian, mereka datang kepada Abu Ubaid.membawakan hidangan terdiri dari berbagai macam masakan Persia yang lezat-lezat dengan mengatakan: Ini hidangan penghormatan kami untuk menghormati Anda. Abu Ubaid membalas: Kalian menghormati tentara dengan hi­dangan seperti ini? Mereka menjawab: Tidak! Abu Ubaid membalas lagi: Kami tidak memerlukan semua itu. Celaka benar Abu Ubaid yang bersama-sama dengan anggota-anggota rombongannya, baik yang dalam pertumpahan darah pernah ikut atau tidak, lalu ia dikecualikan dari mereka dengan menyantap makanan tersendiri. Tidak! Saya tidak akan makan apa pun dari mereka selain seperti yang dimakan rata-rata kawan-kawan saya!" Ia tidak menyantap makanan yang dibawa oleh para pejabat pagi itu sebelum diketahuinya bahwa mereka juga me­nyediakan makanan serupa untuk anak buahnya.
Setelah pertempuran Saqatiah pasukan Muslimin mendapat ram­pasan perang cukup banyak, di antaranya berupa makanan dalam jumlah besar. Yang sangat menggembirakan mereka sejenis kurma yang disebut nirrisiyan yang menjadi kesukaan raja-raja Persia. Kurma itu dibagi-bagikan kepada mereka dan diberikan juga sebagian kepada para petani, dan seperlimanya dikirimkan kepada Umar di Medinah dengan diserta surat pengantar: "Allah telah memberikan kepada kami makanan yang menjadi kesukaan para Kisra. Kami ingin Anda juga melihatnya untuk mengingat nikmat dan karunia Allah."
Musanna memasuki Hirah kembali dan menetap di sana dengan harapan keadaan akan kembali stabil seperti di masa Khalid bin Walid dulu, yang selama setahun penuh tinggal di sana tak ada pasukan Persia yang berani menantang. Mungkinkah Musanna akan mendapat nasib seperti nasib Khalid, tinggal lama di Hirah kemudian sempat mem­bebaskan Mada'in? Itulah semua cita-citanya. Harapannya yang paling besar ingin mewujudkan cita-cita itu.
Tetapi harapan itu rupanya segera hilang. Bagi Rustum suatu hal yang luar biasa kalau pasukan Persia sampai kalah menghadapi orang­orang Arab yang kasar itu. Seperti sudah kita sebutkan, dia sangat sombong dan ambisinya memang besar sekali. Dia menanyakan staf­nya: "Menurut pendapat kalian siapa yang paling kuat untuk'meng­hadapi orang-orang Arab itu?" Mereka menjawab: "Bahman Jadhuweh, pejabat istana." Bahman dipanggil dan dihadapkan pada suatu kekuatan besar. Tetapi Jalinus menambahkan: Kalau dia kembali seperti yang pernaji dilakukannya, penggal saja lehernya, dan perlihatkan kepada orang sejauh mana perhatiannya terhadap situasi ini dan keinginannya untuk mengangkat apa yang ditimpakan pasukan Muslimin terhadap pasukan Persia. Di barisan depan pasukan dikibarkan bendera Kisra, yang terbuat dari kulit harimau, lebarnya delapan hasta dan panjangnya dua belas hasta. Bahman berangkat dari Mada'in dengan tujuan hendak melumatkan musuh.
Abu Ubaid menarik diri dan pasukannya mundur ke sebuah desa di Qus an-Natif dengan menyeberangi sungai dan sambil menunggu kedatangan musuh, ia bertahan di sana. Tak lama kemudian datang Bahman. Mereka hanya dibatasi oleh sungai itu. Ia mengutus orang kepada Abu Ubaid dengan pesan: Kalian menyeberang ke tempat kami dan akan kami biarkan kalian menyeberang, atau biarkan kami yang menyeberang ke tempat kalian. Staf Abu Ubaid menyarankan untuk tidak menyeberang, dan biarkan pasukan Persia itu yang menyeberang. Tetapi lalu timbul kesombongan pada Abu Ubaid: "Jangan mereka memperlihatkan lebih berani mati daripada kita," katanya. "Biarlah kita yang menyeberang ke tempat mereka. Tetapi Salit bin Qais dan bebe­rapa tokoh terkemuka mengimbaunya sungguh-sungguh dengan me­ngatakan: "Sejak dulu pasukan Arab belum pernah berhadapan dengan pasukan Persia. Mereka sudah menyiapkan diri untuk menghadapi kita dan akan menyambut kita dengan persiapan dan perlengkapan besar­besaran; kita belum pernah menghadapi yang demikian. Anda telah membawa kami ke suatu tempat yang ada lapangannya, tempat ber­lindung dan tempat melakukan taktik 'serang dan kembali."' Tetapi ia menjawab: "Tidak! Kalau begitu saya pengecut!" Ia menuduh Salit pe­ngecut. Tetapi ia menjawab: "Saya lebih berani dari Anda. Kami sudah memberikan pendapat kami kepada Anda; akan Anda lihat nanti."
Anehnya, Abu Ubaid bersikap demikian terhadap sahabat-sahabatnya. Ia lupa nasihat Umar, supaya ia berkonsultasi dengan sahabat-sahabat Nabi, mengikutsertakan mereka dalam musyawarah dan memperhatikan pendapat S alit. Yang lebih mengherankan lagi ia lupa kata-kata Umar: "Anda akan memasuki suatu negeri penuh tipu muslihat dan peng­khianatan, dan Anda akan menemui suatu golongan yang berani melakukan segala kejahatan, karena hanya itu yang mereka ketahui, mereka akan mengabaikan segala kebaikan karena mereka memang tidak mengenal yang demikian." Dia lupa bahwa dialah yang ditunjuk oleh Khalifah untuk memimpin pasukan, bukan Salit, sebab yang cocok untuk perang hanya orang yang tenang; dalam perang Salit suka tergopoh-gopoh dan sifat demikian dalam perang akan kehilangan arah. Tetapi kedudukan itu sering membuat orang yang arif lupa akan ke­arifannya. Siapa tahu! Barangkali saran Salit agar Muslimin jangan menyeberang sungai ke pihak Persia menambah keras kepala Abu Ubaid mau bertahan dengan pendapatnya. Dia tetap memerintahkan anak buahnya menyeberang sungai. Mereka menyeberang dari Mar­wahah tempat mereka bertahan ke Qus an-Natif, markas pasukan Per­sia. Dan Salit bin Qais pun menyeberang di depan sekali.
Pasukan Muslimin ketika itu tak sampai sepuluh ribu orang. Ken­dati demikian tempat yang ditinggal pasukan Persia di balik jembatan itu sudah terasa sangat sempit. Di tempat itu tak ada tempat berlindung jika melakukan taktik 'serang dan kembali.' Sesudah selesai mereka menyeberang semua, tanpa ditunda-tunda lagi Bahman memerintahkan pasukannya melakukan serangan, didahului oleh sepasukan gajah de­ngan genta yang bergemercingan. Melihat dan mendengar dering genta yang dirasakan begitu asing dan aneh, kuda itu lari lintang pukang. Hanya sebagian kecil yang masih terpaksa bertahan. Pihak Persia menghujani pasukan Muslimin dengan panah sehingga tidak sedikit mereka yang tewas. Pihak Muslimin benar-benar merasa pedih atas bencana yang telah menimpa mereka sebelum mereka sampai ke tempat musuh. Abu Ubaid sendiri melihat bahwa barisannya sudah hampir kacau-balau. Sekarang dia berikut pasukannya bergerak menuju ke arah pasukan Persia dengan berjalan kaki, yang kemudian menyapu mereka dengan pedang, sehingga akibatnya enam ribu orang dari mereka terbunuh. Dengan demikian pasukan Muslimin merasa bertambah kuat. Tetapi pasukan gajah itu terus maju ke arah mereka, dan mampu mendorong mereka setiap mulai berhadapan. Abu Ubaid menyerukan anak buahnya agar memotong pelangkin pasukan gajah itu dan mem­balikkan isinya dan membunuh mereka. Perintah ini mereka laksanakan dan setiap gajah mereka balikkan sehingga tak seekor gajah pun yang tidak mereka balikkan dan penumpangnya mereka bunuh. Dengan demikian pertempuran sengit selama beberapa waktu siang itu antara kedua pihak berlangsung maju dan mundur, kalah dan menang silih berganti.

Pembalasan Persia dan kekalahan pasukan Muslimin

Hari itu Abu Ubaid bernafsu sekali ingin menang. Lebih-lebih lagi karena penolakannya atas saran-saran S alit bin Qais dan yang lain yang menasihatkan jangan menyeberangi sungai ke tempat musuh. Sekiranya kemenangan ada pihak di Persia dan ia sampai kalah menghadapi Per­sia, niscaya dia sendiri yang akan menanggung malu, dan malu ini akan melekat padanya seumur hidup. Karenanya ia gelisah selalu, dan setiap terjadi perubahan dalam pertempuran, keseimbangannya terganggu. la merasa gembira manakala setiap maju ia melihat pihak Persia mundur, tetapi kalau dilihatnya mereka maju ia dicekam perasaan takut men­dapat malu lalu ia terjun maju untung-untungan. Ia merasa puas tatkala melihat pasukannya menjungkirbalikkan penumpang-penumpang pasukan gajah itu sehingga tak ada lagi orang yang akan menuntunnya. Tetapi tak jauh dari tempatnya itu ia melihat seekor gajah putih besar meleng­gang-lenggangkan belalainya ke kanan dan ke kiri sehingga dengan demi­kian menceraiberaikan pasukan Muslimin di sekitarnya, dan seolah dia pahlawan besar yang sudah tahu sasaran yang akan dihantamnya. Abu Ubaid yakin bahwa dengan membunuh gajah ini akan membuat semangat pasukan Muslimin bangkit kembali dan pasukan Persia akan terpukul.
Ia melangkah maju, belalai gajah itu ditebasnya dengan pedangnya. Merasakan pedihnya pukulan pedang, gajah itu berang sekali sambil menghampiri Abu Ubaid. Ditendangnya orang ini dengan kakinya dan setelah terhempas jatuh diinjaknya sambil berdiri di atas tubuh Abu Ubaid sampai ia menemui ajalnya. Abu Ubaid memang sudah ber­wasiat, kalau dia mati, kepemimpinan dipegang oleh tujuh orang dari Banu Saqif — masyarakatnya sendiri — secara bergantian dengan me­nyebutkan nama-nama mereka. Sesudah yang pertama melihat musibah yang menimpa pemimpinnya itu, dengan mengambil bendera mengganti­kannya ia berusaha menjauhkan gajah itu dari Abu Ubaid, ditariknya jenazahnya ke tempat pasukan Muslimin dan dia kembali berusaha hendak membunuh gajah itu, tetapi seperti Abu Ubaid dia juga menemui ajalnya. Ketujuh orang Banu Saqif itu berturut-turut masing-masing memegang bendera dan berjuang terus sampai menemui ajalnya.' Sejak itulah semangat mereka menjadi lemah. Banyak di antara mereka yang kembali ke jembatan, masing-masing mau menyelamatkan diri. Ke­beradaan mereka dengan pasukan itu kini sudah tak ada artinya lagi. Pemimpin mereka sudah tak ada, disiplin sudah rusak dan barisan mereka pun sudah kacau-balau.
Melihat keadaan begitu genting Musanna maju merebut bendera itu. Ia sudah tidak ingin lagi bertempur dan mencari kemenangan sesudah musibah menimpa pasukan Muslimin. Tetapi ia ingin menyusun kembali organisasinya lalu menyeberang sungai kembali ke Marwahah. Setelah itulah ia nanti akan menentukan langkah. Sementara ia sedang menyusun rencana akan kembali itu tiba-tiba Abdullah bin Marsad as­Saqafi merintangi perahu-perahu yang akan menyeberangi jembatan sambil berteriak sekuat-kuatnya: "Saudara-saudara! Matilah seperti pe­mimpin-pemimpin kita, atau menang!" Merasa ngeri melihat apa yang dilakukan oleh Ibn Marsad, mereka yang tidak sabar berlompatan terjun ke sungai, dan banyak di antara mereka yang tenggelam. Musanna khawatir akan terjadi kekacauan. Ia berdiri sambil berseru dengan ben­dera di tangan. "Saudara-saudara! Saya di belakangmu, menyeberanglah menurut cara-cara kalian dan jangan panik, tidak akan kami tinggalkan kalian sebelum kami melihat kalian sudah di seberang!" Setelah Ibn Marsad dijemput dan dibawa ia mendapat pukulan sebagai hukuman. Kapal yang sudah pecah dihimpun dan dijadikan jembatan penye­berangan. Mereka mulai kembali ke tempat semula dengan me­nyeberanginya. Di belakang mereka Musanna terus bertempur. Ia dan pasukannya menghalang-halangi pasukan Persia. Dalam posisinya yang demikian itu Musanna terkena. sasaran panah sehingga ia mengalami luka-luka dan meninggalkan sebuah lingkaran di baju besinya. Tetapi dia terus bertempur bersama Abu Zaid at-Ta'i an-Nasrani melindungi pasukan Muslimin. Keberanian Salit bin Qais tidak kurang dari Musanna. Dengan demikian pasukan Muslimin yang masih ada dapat menyeberang ke Marwahah. Musanna tidak beranjak di tempatnya tanpa menghiraukan luka-luka yang dideritanya. Sesudah melihat rekan­rekannya semua menyeberang, baru ia sendiri bertolak di belakang mereka, dengan meninggalkan Salit bin Qais yang gugur sebagai syahid, darahnya bercampur aduk dengan tanah medan pertempuran yang telah mengubur ribuan pahlawan Islam.
Coba kita lihat, adakah Bahman Jadhuweh lalu menyeberang su­ngai menyusul dan menggempur mereka habis-habisan sehingga segala pengaruh Muslimin di bumi Irak terkikis habis?! Ataukah dengan kemenangan telak ini sudah cukup buat dia dapat membanggakan diri di hadapan Rustum dan Boran serta semua orang Persia, hal yang tak pernah diperoleh oleh panglima-panglima lain seperti dia?!
Musanna tidak akan lengah bahwa mungkin Bahman masih akan membuntutinya. Oleh karenanya, cepat-cepat ia dan pasukannya me­luncur turun dari Marwahah ke Hirah, kemudian terus menyusur ke selatan menuju Ullais. Pengejarannya ini sudah diperhitungkannya seribu kali. Mengapa tidak, mengingat dalam pertempuran itu anggota pasukan Muslirnin sudah begitu banyak yang terbunuh, tenggelam di Furat dan dua ribu o.rang lagi dari Medinah lari menyelamatkan diri! Tetapi mata Abu Ubaid yang sudah tertutup oleh kedudukan dan oleh besarnya jumlah orang, sehingga ia terdorong ingin menyeberangi sungai itu sampai akhirnya dia sendiri menemui ajalnya dan sekaligus menjerumuskan Muslirnin ke dalam malapetaka, rupanya masih akan melindungi Musanna.
Sementara masih dalam pertempuran itu Bahman mendapat berita bahwa pasukan Persia di Mada'in terpecah dua, sebagian berpihak kepada Rustum dan yang sebagian lagi di pihak Fairuzan menentang Rustum. Itu sebabnya ia dan pasukannya kembali ke ibu kota. Yang masih tinggal hanya Javan dan Mardan Syah dengan sejumlah kecil pasukan. Kedua pasukan inilah yang mengejar Musanna dengan ang­gapan bahwa mereka mampu menghadapinya. Mengenai berita-berita sekitar Persia oleh penduduk Ullais disampaikan kepada Musanna. Ia dan pasukannya disertai sejumlah besar penduduk Ullais segera ber­gerak, dan berhasil menawan Javan dan Mardan Syah. Mereka semua akhirnya dibunuh. Dengan demikian Javan menemui ajalnya sebagai akibat pengkhianatannya kepada Abu Ubaid ketika ditawan di Namariq, ia pun dilindungi setelah meminta perlindungan kepada yang me­nawannya. Bahwa kefhudian Javan berkhianat dan menyalahi janji dengan memerangi kembali pihak Muslirnin, maka hukuman mati ini sungguh adil sekali.
Pertama sekali pasukan Muslirnin yang ikut menyaksikan Perang Jembatan memasuki Medinah ialah Abdullah bin Zaid. Umar melihat­nya ketika ia memasuki Masjid. Ada apa, Abdullah? tanya Umar kemudian. Abdullah melaporkan semua berita itu kepada Umar, tetapi Umar menerima berita itu dengan sikap tenang, tidak tampak sedih. Kemudian menyusul datang mereka yang lari dari medan pertempuran itu ke Medinah dengan kepala menekur karena rasa malu atas ke­kalahan yang mereka alami sampai mereka melarikan diri itu. Yang lain, yang juga lari, mereka turun ke lembah-lembah karena malu akan menemui keluarga, yang akan menganggap mereka pengecut. Melihat keadaan mereka Umar merasa kasihan. Ia berusaha menghibur dan membela mereka dari kritik dan kemarahan orang, dengan mengatakan: "Setiap Muslim sudah dibebaskan dari sumpahnya kepadaku. Saya adalah pasukan setiap Muslim. Barang siapa menjumpai musuh lalu merasa ngeri maka sayalah pasukannya. Saudara-saudara Muslirnin, janganlah kalian bersedih hati! Saya termasuk pasukanmu dan kalian telah bergabung kembali kepada saya. Semoga Allah mengampuni Abu Ubaid! Sekiranya dia bergabung kepada saya niscaya sayalah pasukan­nya." Ketika itu Mu'az penghafal Qur'an dari Banu Najjar termasuk yang melarikan diri ke Medinah dari pertempuran di jembatan itu. Dia menangis setiap membaca firman Allah ini: Barang siapa berbalik ke belakang hari itu — kecuali untuk suatu muslihat perang atau mundur ke pasukan sendiri — ia akan mendapat kemurkaan Allah, dan temp atnya adalah neraka, temp at kembali yang terburuk. Untuk itu Umar berkata: "Mu'az, janganlah menangis. Saya pasukan Anda, Anda mundur berarti kembali kepada saya."
Sikap Umar terhadap mereka yang lari dan kembali ke Medinah sesudah mengalami kekalahan di j embatan, mengingatkan kita kepada sikap Rasulullah terhadap pasukan Muslimin yang kembali dari eks­pedisi Mu'tah setelah perwira-perwira mereka terbunuh. Khalid bin Walid mulai menyusun siasat perangnya dengan anggota pasukan yang masih ada, -kemudian kembali ke Medinah tanpa dapat mengalahkan musuh. Penduduk Medinah berdatangan menaburkan tanah kepada pasukan itu seraya mengatakan: "Hai orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!" Tetapi Rasulullah berkata: "Mereka bukan pelarian, tetapi orang-orang yang akan tampil kembali, insya Allah." Tetapi mundurnya Muslimin di Mu'tah tidak seperti kehancuran Muslimin di jembatan itu, sangat mengerikan dan akibatnya buruk sekali. Juga sikap Umar tidak seperti sikap Rasulullah yang penuh kasih sayang dan lembah lembut. Sungguhpun begitu, Umar cukup belas kasihan kepada yang sudah mengalami malapetaka di j embatan itu, bahkan ia me­nempatkan diri sebagai pasukan mereka, di pihak mereka dan membela mereka. Dengan memperlihatkan sikap kasih sayang itu, mereka dapat dibuat lebih tenang dan beban aib karena kekalahan itu terasa lebih ringan. Tidak heran, dia sudah menjadi pemimpin mereka, menjadi Amirulmukminin, ia harus bersikap penuh kasih dan lebih menyantuni mereka. Lebih-lebih belas kasihannya kepada kaum yang lemah, kendati terhadap kaum yang kuat ia tetap tegar dan keras, dan memperlihatkan tangan besi terhadap orang-orang yang zalim.
Demikian keadaan Umar dan mereka yang berbalik dari per­tempuran Jembatan itu. Tetapi Musanna selama beberapa waktu masih bertahan di Ullais setelah Javan, Mardan Syah dan pasukannya di­hancurkan. Sesudah beristirahat dan mengumpulkan pasukannya, seka­rang pikirannya mengenai posisinya terhadap Irak dan nasib umat Islam di sana. Sudah tentu ini merupakan hal yang sungguh rumit. Bilamana keadaan di istana Mada'in sudah kembali tenang, maka pasukan yang penuh sesak didahului pasukan gajah akan kembali lagi menyerangnya. Apa yang harus ia lakukan? Adakah takdir nanti akan menentukan bahwa kekuasaan para kisra itu sudah akan kembali hidup lagi? Kalau itu juga yang menjadi ketentuan Allah, maka dia dan pasukannya tak dapat lagi tinggal di Irak. Tak ada jalan lain ia harus menarik diri, seperti mereka yang dulu sudah menarik diri dan lari ke Medinah, dan dia sendiri kembali ke tanah kabilahnya Banu Bakr bin Wa'il, tinggal di Bahrain menghabiskan sisa umurnya.
Tetapi Musanna, seperti dikatakan oleh Qais bin Asim al-Minqari ketika ditanya oleh Abu Bakr tentang orang ini, "Dia bukan orang yang tidak dikenal, asal usulnya diketahui, juga bukan orang yang hina. Dia Musanna bin Harisah asy-Syaibani."
Di Irak ia pernah memegang peranan besar, yang tidak kurang rumit dan gawatnya dari peranannya yang sekarang. Ketika pertama kali ia datang dari Bahrain ke Delta Mesopotamia keadaan memang sudah seperti itu, yaitu sebelum Abu Bakr mengirimkan bala bantuan dengan Khalid bin Walid. Posisinya itu makin genting tatkala Khalid harus meninggalkan Irak pergi ke Syam untuk memberi pelajaran kepada Runiuwi agar melupakan bisikan setan. Itulah wataknya, laki­laki yang tidak mudah menyerah atau menjerumuskan diri karena takut menghadapi masa depan yang masih gelap, tetapi dia laki-laki yang kuat yang mau menghadapi masa depan untuk membimbing jaiannya sejarah. Akan diatasinya bencana itu sesuai dengan apa yang diketahui­nya sebagai seorang jenderal yang teliti, tekun dan berpengalaman. Dia yakin Khalifah akan mengirimkan bala bantuan. Yang pantas untuk menghadapi perang hanya orang yang dapat menguasai diri, tenang.
Begitulah Musanna, ia berdiri tegak, kukuh dan tabah. Dia meng­hadapi masa-masa hitam akibat Perang Jembatan yang hampir mengikis habis kekuasaan Muslimin di Irak. Tidak cukup hanya dengan meng­utus orang meminta bala bantuan kepada Umar, karena kedatangan pasukan dari Medinah akan memakan waktu lama, tetapi sesudah itu dikirimnya pula kabilah-kabilah Arab sehingga jumlahnya menjadi besar, terdapat di antaranya kaum Nasrani Banu Namr, yang pernah berkata: Kami akan bertempur bersama golongan kami. Mereka lalu memindahkan markasnya dari Ullais ke Marj as-Sibakh — yang terletak di antara Kadisiah dengan Khaffan — supaya berdekatan dengan per­batasan orang-orang Arab. Kami akan berlindung kepada mereka jika dikalahkan oleh Persia, dan akan memberi bala bantuan baru jika Persia yang dikalahkan. Perlu sekali mendapat bala bantuan untuk melanjut­kan keberhasilannya. Di markasnya di Marj Sibakh sudah berkumpul sejumlah besar tentara. la sudah merasa tenang. la tinggal di tengah­tengah mereka sambil menantikan keputusan Allah, apa yang akan terjadi terhadap Persia dan terhadap dirinya.
Sesudah Perang Jembatan itu Umar bin Khattab tak kurang ge­lisahnya dari Musanna memikirkan keadaan Muslimin di Irak. la tidak lupa bahwa Musanna memang sangat memerlukan bala bantuan secepatnya untuk menghadapi situasi yang sungguh genting itu. Dalam pada itu orang-orang Arab sudah berdatangan ke Medinah dari segenap penjuru Semenanjung Arab, memenuhi seruan Khalifah sejak dicabut­nya ancaman bagi kaum murtad yang telah memperlihatkan tobatnya. Oleh Umar mereka dimobilisasi ke Irak. Hanya saja mereka masih mau saling menghindar dan agak segan-segan. Mereka lebih memperlihatkan keinginan tampil ke Syam dan ikut berperang di sana. Tetapi di Syam Khalid bin Walid sudah mendapat kemenangan menghadapi pihak Rumawi yang dipergokinya di Yarmuk. la tidak memerlukan bala bantuan. Oleh karena itu Umar tidak ingin mengirimkan mereka ke Syam, dan tak ada pula orang yang berminat tampil ke Irak. Tatkala itu Jarir bin Abdullah al-Bajili datang menemui Abu Bakr di masa kekha­lifahannya. Disebutnya perjanjian yang diadakannya dengan Rasulullah untuk mengumpulkan kabilah Bajilah yang terpencar-pencar di bebe­rapa kalilah. Tetapi oleh Abu Bakr dijawab: "Anda mengganggu kami dalam keadaan kami sekarang mau menolong pasukan Muslimin yang sedang menghadapi dua singa raksasa, Persia dan Rumawi. Di samping itu Anda mau membebani saya dengan pekerjaan yang tak akan mendapat rida Allah dan Rasul-Nya. Baiklah, sekarang Anda pergi kepada Khalid bin Walid sambil menunggu ketentuan Allah mengenai kedua persoalan ini."
Sesudah Umar memegang tampuk pimpinan umat Jarir mengulangi lagi janji dengan Rasulullah itu, dengan mengemukakan bukti yang kuat. Umar lalu menulis surat kepada wakil-wakilnya. Sekarang Banu Bajilah sudah dipersamakan. Setelah mereka berkumpul Umar berkata kepada Jarir: "Berangkatlah kalian menyusul Musanna."
"Tetapi kami ingin ke Syam karena leluhur kami di sana," kata Jarir. "Tidak, ke Irak saja," kata Umar lagi. "Di Syam sudah cukup." Sementara itu Umar masih dengan Banu Bajilah yang enggan berangkat ke Irak. Setelah mendapat tambahan seperempat dari se‑perlima (khums) rampasan perang yang diperoleh pasukan Muslimin barulah mereka setuju berangkat ke Irak, dan pasukan itu dipimpin oleh Jarir. Melihat apa yang dilakukan oleh Banu Bajilah itu yang lain pun ingin seperti mereka. Mereka yang lari dari pertempuran di jembatan di depan sekali, diikuti oleh Banu Azd yang dipimpin oleh Arfajah bin Harsamah, dan Banu Kinanah di bawah pimpinan Galib bin Abdullah, dan sekian banyak lagi yang lain dari berbagai kabilah. Sekarang mereka semua berangkat dengan membawa istri dan anak-anak mereka, bertolak menuju Irak untuk bergabung dengan pasukan Musanna sebagai bala bantuan.

Musanna bertahan, bala bantuan Umar dan para kabilah

Demikian ini posisi Umar di Medinah, dan demikian juga posisi Musanna di Irak. Lalu bagaimana posisi Persia di Mada'in? Berita­berita mengenai adanya bala bantuan yang datang berturut-turut ke Irak sampai juga kepada pihak Persia. Mereka merasa takut juga sebab mereka menyadari bahaya yang sedang mengintai. Oleh karenanya, Rustum dan Fairuzan kini berbagi kekuasaan. Mereka membentuk gabungan pasukan yang besar di bawah pimpinan Mehran Hamazani. Mereka memerintahkan Mehran segera berangkat untuk menghadapi pasukan Muslimin yang siap menyerang. Angkatan perang ini berang­kat didahului oleh pasukan gajah. Mehran sendiri orang yang paling berambisi hendak mencetak kemenangan yang akan membuat orang­orang Persia lupa akan kemenangan Bahman dalam Pertempuran Jembatan. Keberangkatan pasukan ini pun diketahui oleh Musanna sementara ia berada di markasnya di Marj Sibakh. la mengirim surat kepada Jarir bin Abdullah dan pemimpin-pemimpin yang lain yang datang hendak memberikan bantuan dengan mengatakan: "Kami menghadapi suatu masalah yang harus kami pecahkan sebelum kalian datang kepada kami. Maka segeralah susul kami. Sampai bertemu di Buwaib."1 Kemu­dian ia berangkat dengan angkatan bersenjatanya hingga mencapai Buwaib di pantai Furat, tempat semua pasukan Muslimin berkumpul. Mehran juga bergerak dengan angkatan bersenjatanya hingga ber­hadapan langsung dengan pasukan Muslimin, yang hanya dibatasi oleh sungai.
Musanna merasa lega setelah memeriksa barisan angkatan ber­senjatanya. Kendati ia tak mempunyai pasukan gajah seperti pada pasukan Persia, namun bala bantuan dari semua kekuatan di Seme­nanjung Arab dan di luarnya yang sekarang bergabung, sudah cukup mewakili. Di antaranya bala bantuan yang diminta oleh Musanna ketika ia masih di Ullais, termasuk Bajilah, Azd, Kinanah dan kabilah-kabilah Arab yang lain yang telah memenuhi seruan Abu Bakr; ada Banu Namir, orang-orang Nasrani yang datang bersama Anas bin Hilal dan kaum Nasrani Taglib yang juga datang bersama Ibn Mirda al-Fihr at­Taglabi, dan para pemacu kuda. Selain mereka ada pula beberapa kabilah Arab lain yang tinggal di Irak. Mereka semua melihat posisi Arab yang berhadapan dengan orang asing Persia. Mereka berteriak: Kita berperang bersama golongan kita. Tidak sedikit dari kaum Nasrani Irak yang dipersatukan oleh ikatan etnis bergabung dalam barisan Muslimin dan ikut berperang.

Perjalanan pasukan Persia hendak menghadapi pasukan Muslimin

Mehran mengirim utusan kepada Musanna dengan pesan: "Kalian menyeberang ke tempat kami, atau biarkan kami menyeberang ke tempat kalian." Musanna belum lupa apa yang telah menimpa Abu Ubaid ketika ia menyeberangi sungai dan berhadapan dengan Bahman. Umar mengimbaunya setelah peristiwa jembatan itu untuk tidak me­nyeberangi sungai sebelum mencapai kemenangan. Oleh karena itu ia membalas seruan Mehran dengan mengatakan agar mereka yang me­nyeberang. Sekarang pihak Persia yang menyeberang ke Buwaib de­ngan mempersiapkan tiga barisan masing-masing dengan seekor gajah.
Musanna pun menyambut mereka dengan kudanya yang diberi nama Syamus, yang dinaikinya hanya untuk berperang. Selesai perang kembali dikandangkan. Kuda itu diberi nama Syamus karena sangat penurut. Dengan kudanya itu Musanna memeriksa barisan demi barisan sambil memberi semangat dan perintah dengan sebaik-baiknya. Pada setiap panji ia berhenti sambil berkata: "Saya mengharapkan sekali pasukan kita jangan sampai dihancurkan oleh kita sendiri. Apa yang akan menyenangkan hati saya hari ini berarti juga akan menyenangkan hatimu semua." Kata-katanya itu disambut baik oleh mereka. Meng­ingat waktu bulan Ramadan, ia berseru kepada pasukan Muslimin: "Saudara-saudara. Kalian semua sedang berpuasa, tetapi puasa dapat melemahkan badan kita. Saya berpendapat lebih baik kalian iftar1 su­paya dengan makanan kalian lebih kuat menghadapi musuh. Memenuhi sarannya itu mereka semua beriftar. Musanna mendengar dengungan suara yang diulang-ulang dari pihak Persia yang makin mendekat. "Yang kalian dengar itu menandakan mereka pengecut. Maka tetaplah kalian diam, dan berbicaralah dengan berbisik."
Mereka memperhatikan apa yang dikatakan Musanna itu. Segala yang diperbuatnya atau dikatakannya yang ditujukan kepada mereka, semua mereka sambut tanpa ada kritik. Malah ia makin dekat di hati mereka. Kata Musanna lagi:
"Saya akan bertakbir tiga kali. Maka siap-siaplah kalian, kemudian pada takbir yang keempat serentak seranglah."
Panji-panji sudah disiapkan semua sambil menunggu serangan ke­pada musuh. Itulah saat yang sangat dinanti-nantikan dengan harapan mendapat kemenangan.

Pertempuran Buwaib

Tetapi baru Musanna mengucapkan takbir pertama, pihak Persia sudah mendahului menyerang, yang dibalas segera dengan serangan serupa. Akibat serangan pihak Persia itu beberapa barisan pasukan Muslimin dari Banu Ijl jadi kacau. Musanna mengutus orang kepada mereka dengan pesan: "Salam Komandan kepada kalian, janganlah kalian mempermalu pasukan Muslimin hari ini." Sekarang Banu Ijl memperkuat diri dan seperti pasukan yang lain mereka juga mulai bersama-sama melakukan serangan terhadap pasukan Persia dengan barisan mereka yang sudah lebih teratur. Kedua pihak sekarang terlibat dalam pertempuran sengit, yang berlangsung sampai sekian lama. Musanna melihat bahwa pertarungan ini akan makin dahsyat dan akan memakan waktu lebih lama. Ia sedang memikirkan cara untuk mencapai kemenangan. Terpikir olehnya akan menyerang komandan Persia itu dan menghalaunya dari tempatnya atau membunuhnya. Untuk me­laksanakan rencananya ini ia memanggil Anas bin Hilal an-Namiri, kemudian memanggil Ibn Mirda al-Fihr at-Taglabi. Kepada mereka masing-masing ia berkata: "Anda orang Arab sekalipun tak seagama dengan kami. Kalau Anda melihat saya sudah menyerang Mehran, ikutlah menyerang bersamaku." Musanna mulai menyerang Mehran dengan gempuran yang benar-benar telak sehingga ia tergeser dari tempatnya dan masuk ke barisan sayap kanan. Pihak Persia melihat apa yang terjadi, mereka menghunjam hendak melindungi pemimpin mereka. Kedua barisan tengah sekarang bertemu dan debu pun membubung tinggi, sehingga sudah tak diketahui lagi pihak mana yang menang.
Ketika debu-debu itu terkuak selintas dan pasukan Muslimin melihat barisan kanan Persia sudah mundur, mereka langsung digempur oleh barisan kanan dan barisan kiri. Mereka mengelak ke arah pinggir sungai hendak menyelamatkan diri. Dalam pada itu Musanna terus mengerahkan pasukannya dan mengutus orang kepada mereka dengan mengatakan: "Adat kalian seperti bunyi peribahasa: Belalah agama Allah, Dia akan menolong kalian." Pasukan Muslimin tambah bersemangat menggempur barisan musuh sampai ke pusatnya.

Kemenangan pasukan Muslimin

Pasukan Persia sudah tak dapat lagi menahan kekuatan itu. Mereka sudah porak poranda dan berbalik mundur melarikan diri hendak me­nyeberangi jembatan. Melihat mereka sudah berantakan - demikian­Musanna cepat-cepat mendahului mereka ke j embatan dan mereka dihalau kembali dari jembatan. Mereka makin kacau-balau. Satu regu naik ke pantai sungai dan yang lain menggempur mereka. Barisan ber­kuda Muslimin kini mengepung mereka yang sedang kacau dan ketika itulah mereka digempur habis-habisan. Demikian rupa pasukan Persia itu dalam ketakutan, sehingga seorang prajurit dari pasukan Muslimin dapat membunuh beberapa orang dari mereka tanpa ada yang mampu balik membunuh, sehingga peristiwa di Buwaib ini dinamai "Peristiwa Puluhan," karena setiap satu orang dari seratus orang pasukan Mus­limin dapat membunuh sepuluh orang anggota pasukan Persia. Titik kelemahan musuh terus diikuti dan dihujani dengan pukulan-pukulan mematikan sampai malam.
Paginya mereka terus dikejar lagi sampai malam. Oleh karena itu nyawa melayang di medan perang Buwaib ini lebih banyak daripada di tempat mana pun. Anggota pasukan Persia yang terbunuh sudah men­capai seratus ribu, mayatnya tergeletak di medan pertempuran sampai busuk dan hanya meninggalkan timbunan tulang belulang, sampai se-lama bertahun-tahun tanpa dikuburkan. Baru kemudian tertimbun oleh tanah setelah dibangunnya kota Kufah. Kemenangan pasukan Muslimin di Buwaib ini meyakinkan sekali.
Kecintaan anggota pasukan Muslimin yang serentak kepada Mu­sanna menjadi salah satu penyebab kemenangan itu, bahkan itulah penyebab utamanya. Mereka sudah menyaksikan ia terjun ke dalam pertempuran dengan gagah berani dan penuh keyakinan. Yang lain pun mengikutinya bertempur habis-habisan. Maka Allah telah memberi pertolongan kepada mereka. Mereka yang dulu pernah lari dari Per‑tempuran Jembatan, sekarang bertempur mati-matian tanpa peduli­kan maut untuk menebus kekalahan yang dulu tercoreng di kening mereka.
Sementara Musanna sedang mengatur barisan untuk menghadapi pertempuran dilihatnya ada yang maju keluar dari barisan hendak me­nyerbu pasukan Persia, tetapi oleh Musanna ia diketuk dengan tombak sambil berkata: "Jangan meninggalkan tempatmu! Jika datang lawanmu di medan perang, bantulah kawanmu dan jangan mempertaruhkan diri." Orang itu menjawab: "Saya memang pantas untuk itu." Kemudian ia kembali ke tempatnya dalam barisan. Para perwira dan prajurit-prajurit yang lain memang mempunyai peranan luar biasa yang patut dibangga­kan. Tatkala pertempuran sedang sengit-sengitnya, Mas'ud bin Harisah — saudara Musanna — menyerbu ke tengah-tengah medan. Dia jatuh terkapar dan teman-temannya merasa sudah tak berdaya — sebelum pihak Persia dapat dikalahkan. Hal ini dilihatnya saat ia sudah dalam sekarat. "Saudara-saudara Bakr bin Wa'il!" katanya. "Angkatlah ben­dera kalian, semoga Allah mengangkat kalian! Kejatuhanku ini jangan sampai membuat kalian kehilangan semangat!" Sebelum ia terkena itu ia pernah befkata kepada mereka: ."Hati kalian jangan cemas hanya karena melihat saya sudah terkena sasaran. Tentara itu datang dan pergi. Pertahankanlah garis barisan kalian. Manfaatkanlah kemampuan mereka yang di belakang kalian." Juga Anas bin Hilal an-Namiri orang Nasrani itu, bertempur sampai ia menemui ajalnya. Seorang budak Nasrani Banu Taglab datang menyerang Mehran dan berhasil mem­bunuhnya kemudian merampas kudanya. Ia lalu pergi sambil berden­dang: "Saya budak Taglabi. Saya yang membunuh pemimpin Persia."
Sesudah Musanna dapat mengejar pasukan Persia di jembatan dan dapat mencegah mereka menyeberang, Arfajah bin Harsamah meng­giring satu regu pasukan berkuda Persia sampai ke Furat. Setelah mereka merasa terjepit mereka mengadakan perlawanan dan menyerang Arfajah dan anak buahnya. Maka terjadilah lagi pertempuran sengit, tetapi berhasil mereka dilumpuhkan. Salah seorang dari mereka berkata kepada Arfajah: "Bawalah benderamu mundur ke belakang!" Tetapi Arfajah menjawab: "Siapa yang paling berani dari kalian, majulah!'' Lalu diserangnya mereka, dan mereka lari ke arah Furat. Tetapi tak seorang pun yang sampai ke sana dalam keadaan hidup. Dari pihak Muslimin yang luka-luka dan terbunuh juga tidak sedikit, termasuk dari Banu Namir, Banu Taglab dan dari kabilah-kabilah Arab yang lain di Irak. Sungguhpun begitu, kemenangan telah memahkotai mereka, dan nama-nama mereka tercatat kekal dalam sejarah. Dalam pandangan Tuhan mereka tetap hidup.
Setelah pertempuran pun usai, Musanna merangkul Mas'ud, sau­daranya, dan Anas bin Hilal orang Nasrani itu dengan perasaan amat sedih, tanpa membedakan agama kedua orang itu. Pasukan Muslimin yang gugur disalatkan oleh Musanna, kemudian katanya: "Sungguh kesedihan saya terasa sudah lebih ringan karena mereka telah me­nyaksikan Pertempuran Buwaib. Mereka pemberani, sabar dan tabah, tak kenal putus asa dan tak pernah mundur. Mati syahid adalah suatu penebusan dosa."
Petang itu selesai pertempuran pasukan Muslimin duduk-duduk dengan perasaan gembira. Musanna berkata: "Saya sudah berperang melawan orang-orang Arab dan bukan Arab di masa jahiliah dan Islam. Seratus orang Arab di masa jahiliah dulu bagi saya lebih berat daripada seribu orang Arab sekarang, dan seratus orang Arab sekarang bagi saya lebih berat daripada seribu orang bukan Arab. Allah telah melumpuh­kan kekuatan mereka, membuat tipu daya mereka menjadi tak berdaya. Janganlah kalian gentar melihat segala gemerlapan mereka itu. Tak ada kesulitan yang tak dapat diatasi. Mereka seperti binatang, jika sudah terdesak atau kehilangan arah, ke mana pun kamu bawa mereka akan ikut." Di antara mereka ada yang bercerita bagaimana Musanna me-rebut jembatan itu dari pasukan Persia, yang mengakibatkan hancurnya mereka. Tetapi Musanna tidak membiarkan orang itu meneruskan ceritanya dengan membantah bahwa itu adalah hasil kerjanya dan ia menyatakan penyesalannya dengan mengatakan: "Saya benar-benar tidak berhasil, tetapi Allah masih melindungi saya dari bencana dengan mendahului mereka ke j embatan sehingga saya dapat mempersulit gerak mereka. Saya tidak akan kembali dan kalian jangan kembali dan jangan meneladani saya. Saudara-saudara, itu adalah langkah saya yang salah. Tidak seharusnya orang mengganggu siapa pun kecuali orang yang sudah tidak dapat menahan diri."
Kata-kata yang keluar dari mulut seorang panglima yang menang perang besar ini telah menghapus arang yang tercoreng di kening pasukan Muslimin karena peristiwa di jembatan itu, membuktikan tentang keberanian Musanna dan keterusterangannya memvonis dirinya sendiri — sama dengan keberaniannya memimpin pertempuran dahsyat dan menerjunkan diri ke dalamnya. Kalau dia seorang yang senang membangga-banggakan diri dan dimabuk pujian, tentu ia tak akan mengeluarkan kata-kata itu. Dia melihat pasukan Persia yang berbalik dari jembatan itu membunuhi pasukan Muslimin dan mati-matian ingin membalas dendam. la merasa sedih sekali atas kematian beberapa orang prajuritnya, dan menyesali perbuatannya, dan barangkali sejauh apa yang berlaku karena tindakan musuhnya yang mati-matian sehingga kemenangan berbalik ke pihaknya. Di samping itu, ia berani menyata­kan kesalahannya, supaya yang lain tidak mengalami seperti dia.
Dalam Perang Buwaib itu pasukan Muslimin mendapat rampasan perang yang tidak sedikit, terdiri dari sapi, kambing dan tepung terigu, yang kemudian dikirimkan di tangan orang-orang yang datang dari Medi­nah kepada keluarga-keluarga yang ditinggalkan di perbatasan Seme­nanjung Arab, dan kepada keluarga-keluarga yang tinggal di Hirah yang sudah lebih dulu ke Irak sebelum terjadi Perang Buwaib dan pertem­puran di jembatan. Perempuan-perempuan yang tinggal di perbatasan Semenanjung itu melihat kedatangan kafilah berkuda yang membawa perbekalan mereka kira ada serangan musuh. Di depan anak-anak mereka segera bersiap-siap dengan batu dan tiang-tiang. Tetapi Amr bin Abdul-Masih yang bersama kafilah itu berkata: "Istri-istri pasukan ini seharusnya demikian." Kaum lelaki itu meminta jaminan keamanan dari perempuan-perempuan itu dan membawakan kabar gembira kepada mereka tentang kemenangan dan menyerahkan segala yang dibawa kepada mereka, dengan mengatakan: "Inilah rampasan perang pertama."
Musanna mengeluarkan perintah kepada para perwira dan anak buahnya. Mereka berangkat melalui Sawad hingga sampai ke Sabat, yang dari Mada'in sudah terlihat. Pasukan Persia di depan berlarian lintang pukang. Pada gilirannya Musanna pun berangkat mengadakan serangan ke Khanafis dan Anbar pada hari pasar kedua kota itu. Di kedua tempat ini pasukannya mendapat rampasan yang tidak sedikit pula. Pasukan Muslimin sekarang sudah sampai di Tigris dan mengada­kan serangan ke desa Bagdad sampai ke Tikrit. Setiap serangan itu mereka membunuh pasukan tentara, menawan keluarga mereka dan mengambil harta yang ada sehingga tak terhitung banyaknya. Dengan demikian barulah seluruh Irak mau tunduk sekali lagi. Hasil rampasan itu oleh Musanna dibagi-bagikan, dan penduduk negeri lebih diutama­kan daripada semua kabilah. Seperempatnya diberikan untuk daerah Bajilah sesuai dengan pesan Umar, dan yang tiga perempat dikirimkan kepada Amirulmukminin di Medinah.
Keadaan di bawah Musanna sekarang sudah stabil kembali seperti pada masa Khalid bin Walid. Kaum Muslimin yang tersebar di Sawad Irak juga ikut menikmati hasil rampasan perang itu. Selama tinggal di Hirah yang dipikirkan Musanna siapa saja dari anggota pasukan Muslimin yang gugur dalam pertempuran sengit itu, serta cara-cara untuk memperkuat pasukannya dengan orang yang akan mengganti­kannya. Barangkali belum perlu meminta bala bantuan cepat-cepat. Pihak Persia sudah dalam ketakutan setelah malapetaka yang menimpa mereka di Buwaib, sehingga ia membayangkan bahwa sesudah itu mereka tak akan mampu lagi mengadakan perlawanan. Malah akibat­nya, perselisihan mereka di Mada'in akan makin keras, yang akan mengakibatkan pula berkecamuknya pemberontakan di seluruh Persia. Mereka akan makin lemah dan organisasi mereka pun akan goyan.
Baik kita tinggalkan dulu Musanna memikirkan posisinya yang sekarang, dan kita sendiri memikirkan tanda-tanda (indikasi) apa akibat yang dibawa oleh Perang Buwaib terhadap sejarah. Dalam perang ini terdapat beberapa tanda. Kita melihat kaum Nasrani Arab penduduk Irak berada dalam barisan Muslimin, bersama-sama memerangi pasukan Persia, dengan semangat yang sama seperti semangat Muslimin. Kita menyaksikan Musanna berkata kepada Anas bin Hilal an-Namiri: "Anda orang Arab sekalipun tak seagama dengan kami. Kalau-Anda melihat saya sudah menyerang Mehran, ikutlah menyerang bersama saya." Kemudian kata-kata yang sama dikatakannya juga kepada Ibn Mirda al-Fihri dari Banu Taglib. Bukankah ini sudah memastikan bahwa perang di Irak itu bukan perang salib, juga bukan perang Islam, karena bukan dibangkitkan oleh agama, melainkan oleh keinginan orang-orang Arab membebaskan golongannya dari kekuasaan asing yang sudah berabad-abad menjajah mereka, dan supaya masyarakat Arab mem­punyai kesatuan politik, bagaimanapun, posisinya? Saya rasa soalnya memang sudah j elas, tak perlu diragukan lagi. Segala pertimbangan yang membangkitkan perang di Irak sama dengan di Syam. Bahwa perang itu untuk menyebarkan Islam tak pernah terlintas, baik dalam pikiran Abu Bakr ataupun Umar. Pikiran yang ada pada mereka hanya supaya dakwah Islam bebas tanpa ada rintangan apa pun. Jadi jelas, bahwa ajakan kepada Islam dengan kekuatan senjata tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, dan tidak pula dibenarkan oleh Qur'an. Rasulullah dan para penggantinya selalu ingat firman Allah: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pesan yang baik; dan berbantahlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik. (Qur'an, 16: 125). Dan firman-Nya lagi: Tolaklah (kejahatan) dengan yang lebih baik; maka akan ternyata permusuhan yang ada antara Anda dengan dia akan menjadi seperti teman dekat. (Qur'an, 41: 34).
Islam tersebar sejalan dengan meluasnya daerah-daerah yang di­bebaskan, sebab penduduk daerah-daerah itu melihat dasar-dasar agama yang benar ini, maka mereka sangat mengagumi, sangat menghormati­nya, lalu mereka pun menganutnya, kadang dengan pembuktian dan pemikiran, kadang dengan melihat orang-orang yang datang dengan segala cara yang menakjubkan dalam usaha pembebasan dan cara menjalankan kekuasaan. Kalau dengan alasan itu dapat dibenarkan mengaitkan tersebarnya Islam dengan perluasan daerah-daerah yang dibebaskan itu, maka tidaklah benar untuk mengatakan bahwa tujuan pembebasan itu untuk menyebarkan Islam dengan kekuatan pedang.

lndikasi terjadinya Perang Buwaib

Inilah beberapa indikasi terjadinya Perang Buwaib. Juga ini merupakan suatu indikasi bahwa permusuhan Arab-Persia itu sudah sampai di puncaknya dan sudah menghilangkan segala harapan akan ada perdamaian atau perletakan senjata. Perang Buwaib itu terjadi sesudah Pertempuran Jembatan yang membuat pasukan Muslimin mengalami kekalahan telak. Kebalikannya kejadian di Buwaib telah menghapus dampak kekalahan itu dan mengangkat martabat pasukan Muslimin; dalam hati pihak Persia timbul rasa takut, dan semangat mereka sangat menurun. Sungguhpun begitu, setelah Pertempuran Jembatan itu tidak terpikir oleh pasukan Muslimin akan menyerah atau mengajak damai. Demikian juga setelah Perang Buwaib tidak terpikir oleh pasukan Persia akan menyerah atau mengajak damai. Jadi tak ada jalan lain perang harus berlanjut sehingga salah satu pihak ada yang menyerah tanpa syarat. Itu sebabnya tatkala trauma Perang Buwaib hilang dari pihak Persia, kembali mereka berpikir-pikir tentang nasib apa yang akan menimpa mereka j ika masih terus dalam perpecahan, masih terbagi-bagi. Terbayang oleh mereka bahwa pasukan Arab itu akan memasuki ibu kota kerajaan mereka, akan merobohkan semua benteng pertahanan mereka dan putra-putra Kisra akan tunduk di bawah kekuasaan musuh. Kecuali jika terjadi suatu mukjizat, mereka mau bersatu menghadapi kaum penyerang dan mengusirnya dari bumi mereka. Tetapi bagaimana mereka akan bersatu sementara Rustum dan Fairuzan saling berebut kekuasaan, para pembesar dan para petinggi terbagi-bagi, yang satu mendukung satu kelompok, yang lain menjadi pendukung kelompok yang lain. Oleh karena itu para pemuka Persia menemui kedua pihak dengan mengingatkan akibat perselisihan itu akan menjerumuskan Persia ke dalam kehancuran. "Sesudah Bagdad, Sabat dan Tikrit, kini hanya tinggal Mada'in!" Mereka mengancam keduafiya dengan mengatakan: "Kalian bersatu atau kami sendirilah yang akan bertindak, sebelum kita disoraki orang!"
Sekarang Rustum dan Fairuzan mengadakan perundingan dan me­minta Boran menulis surat untuk mendatangkan istri-istri dan gundik­gundik Kisra. Setelah mereka datang, diketahui bahwa keturunan Kisra yang laki-laki sudah tak ada lagi selain Yazdigird bin Syahriar bin Kisra. Dulu ibunya menyembunyikannya di tempat saudara-saudara ibunya ketika Syiri dulu membunuhi semua anak laki-laki keturunan ayahnya. Mereka datang membawa anak itu, yang ketika itu sudah berumur dua puluh satu tahun.- Sesudah kemudian mereka sepakat hendak mengangkatnya ke takhta kerajaan leluhurnya dan berlomba memberikan bantuan, Persia sekarang kembali tenang, dan mulai meng­adakan persiapan baru untuk menuntut balas mengembalikan harga diri dan kehormatannya.
Sudah tentu berita-berita mengenai Persia ini sampai juga kepada Musanna. 'Ia gelisah karena yakin penduduk Sawad akan memberontak kepada pasukan Muslimin bilamana pasukan Persia memasuki tempat­tempat mereka. Ditulisnya surat kepada Umar di Medinah melaporkan segala yang diketahuinya itu serta kemungkinan akan timbulnya pem­berontakan. Tetapi surat itu terlambat sampai ke tangan Umar. Pihak Persia sendiri sudah bersiap-siap dan persiapan demikian sudah pula membuat gempar desa-desa dan kota-kota di Irak. Tak ada jalan lain buat Musanna ia harus menarik pasukannya sekali lagi ke perbatasan Semenanjung dan membawanya ke Zu Qar kemudian mengumpulkan mereka dalam satu markas sambil menunggu bala bantuan dari Kha­lifah untuk meneruskan rencananya membebaskan Mada'in.
Tatkala surat Musanna sampai ke tangan Umar dan ia mengetahui persiapan Persia sesudah ada persepakatan, ia berkata: "Akan kuhajar Raja-raja Persia itu dengan raja-raja Arab!" Ia membalas surat Mu­sanna dengan perintah agar segera berangkat ke perbatasan Irak dan terpencar di beberapa mata air yang berdekatan dengan Persia, dan meminta bantuan penduduk supaya bersama-sama di pihak mereka supaya tidak disergap mendadak oleh Persia tanpa ada persiapan tenaga manusia dan perlengkapan.
Musanna bermarkas di Zu Qar. Belum terpikir oleh pihak Persia hendak berangkat menghadapinya. Musanna tinggal di sana sampai ke­vmudian datang Sa'd bin Abi Waqqas menyusul. Kedatangannya sebagai komandan pasukan yang disiapkan oleh Umar untuk menghadapi pasukan Persia. Tetapi Musanna tidak lama tinggal bersama Sa'd. Lukanya yang lama akibat Pertempuran Jembatan kambuh lagi, yang dideritanya terus sampai ia menemui ajalnya. Beberapa sumber me­nyebutkan bahwa Musanna meninggal di Zu Qar sebelum Sa'd tiba di Irak, dan bahwa ia meninggalkan wasiat untuk Sa'd — yang akan kita sebutkan nanti pada waktunya.
Dengan meninggalnya Musanna, rasanya sudah menjadi kewajiban kita untuk menyudahi bab ini. Tetapi sebelum kita teruskan dengan peristiwa-peristiwa dalam arus yang begitu keras, mari kita berhenti sejenak di makam panglima yang hebat ini untuk mengucapkan selamat j alan dan menempatkannya sebagaimana mestinya, sesuai dengan ke­nyataan.

Kebesaran Musanna

Dalam perang dengan Persia orang ini telah memikul beban Mus­limin yang begitu berat, yang belum ada orang lain melakukan hal seperti dia. Dialah Muslim pertama yang pergi ke Delta Furat dan Tigris dan mengajak Abu Bakr untuk memikirkan pembebasan Irak. Kalau tidak karena kepergiannya ke sana dan sekaligus ia menyabung nyawanya di sana, niscaya tak terpikir oleh Khalifah- untuk menghadapi Persia. Bersama dengan Khalid bin Walid tidak sedikit daerah pinggir­an Irak yang sudah dibebaskannya. Kalau tidak karena keberanian Musanna dan pandangannya yang bijaksana di samping kepiawaiannya memimpin pasukan, tentu Khalid belum akan dapat pergi ke Syam dan membuktikan kemampuannya menghadapi Persia.
Sesudah itu Abu Bakr dulu berpesan kepada Umar untuk memo­bilisasi orang bersama Musanna. Wajar sekali bilamana Musanna yang akan memimpin angkatan bersenjata ke Irak untuk memberi pertolong­an kepadanya. Dialah yang mengetahui seluk beluknya dan memasuki daerah-daerah itu. Dalam hal ini yang mempunyai keberanian yang tak dipunyai oleh yang lain. Sekiranya Abu Bakr masih hidup niscaya ia tak akan menyerahkan pimpinan itu kepada yang lain. Hanya Umar yang kemudian menyerahkannya kepada Abu Ubaid karena ia orang yang pertama mencalonkan diri dan karena dari Banu Saqif di Hijalz;" sedang Musanna dari Banu Bakr bin Wa'il. Marahkah Musanna karena­nya atau terluka perasaannya karena Umar telah meninggalkan pesan Abu Bakr mengenai dirinya? Tidak! Pikirannya lebih tinggi daripada sekadar memikirkan hal-hal serupa itu. Orang-orang Hijaz memang sangat fanatik terhadap orang-orang sedaerahnya, maka lalu Abu Ubaid yang diberangkatkan ke Irak dan dia sendiri berada di bawah pimpinan­nya. Bersama dialah Abu Ubaid mendapat kemenangan di Namariq, dan sesudah dia dan anak buahnya terbunuh dalam pertempuran di j embatan, dia pula yang mengambil alih memegang bendera dan me­narik pasukannya ke Ullais, sambil menunggu datangnya bala bantuan, dan dalam Perang Buwaib dia memimpin pertempuran begitu piawai, yang mengingatkan orang pada peranan Khalid bin Walid dalam meng­hadapi pertempuran-pertempuran besarnya.
Umar mengangkat Abu Ubaid menjadi atasan Musanna merupakan salah satu langkah pertamanya yang sudah diputuskan oleh Amirul­mukminin dalam menyusun sistem kepangkatan di kalangan Muslimin. Kiranya Umar dapat dimaafkan dengan langkahnya itu mengingat Abu Ubaid adalah orang pertama yang maju mencalonkan diri sementara yang lain masih menolak. Tetapi kenyataanhya langkah itu memang sesuai dengan pemikiran Umar. Bukti untuk itu terjadi pada Jarir bin Abdullah al-Bajili yang berangkat setelah Pertempuran Jembatan se­bagai bala bantuan kepada MusanAa. Setelah diketahui ia berada tak jauh dari posisinya, ditulisnya surat agar ia datang menghadapnya sebab ia dikirim sebagai bala bantuan kepadanya. Tetapi Jarir mem­balas: "Saya tidak akan melakukan itu kecuali kalau ada perintah dari Amirulmukminin. Anda komandan dan saya juga komandan." Musanna rnenulis surat kepada Umar mengadukan hal Jarir itu. Tetapi Amirul­mukminin menjawab: "Saya tidak akan menempatkan Anda di atas salah seorang sahabat Muhammad Sallallahu 'alaihi wa sallam." Ketika Umar memberangkatkan Sa'd bin Abi Waqqas ke Irak, ia rnenulis kepada Musanna dan kepada Jarir bahwa Sa'd-lah yang menjadi atasan mereka berdua. Soalnya karena Sa'd termasuk salah seorang yang mula-mula dalam Islam, dan Umar melihat orang yang mula-mula dalam Islam itu merupakan kelas yang harus lebih diutamakan daripada kelas-kelas Muslimin yang lain.
Musanna tidak marah karena yang diangkat itu orang Iain, bukan dia; karena dia memang sudah b'enar-be"har beriman, di samping sebagai seorang prajurit sejati yang menjunjung tinggi arti disiplin. Dia sangat menaatinya, dan ia menempatkan disiplin dan iman di atas segala kepentingan pribatii dan keinginannya. Tetapi, kendati dia sudah di­pisahkan dari kepemimpinan militer, orang tak dapat menutup mata dari jasanya. Apa yang sudah dicatat dalam lembaran sejarah, tak akan dapat dihapifs. Kalau Khalid bin Walid adalah jenius perang dan Saifullah, maka Musanna bin Harisah adalah orang pertama yang membebaskan Irak. Dialah j enderal yang berpengalaman, yang telah memikul beban berat dalam situasi pasukan Muslimih yang paling kritis dan berbahaya. Dialah tokoh bijaksana yang telah mempersatukan masyarakat Arab penduduk Irak, padahal mereka berlainan agama. Maka dengan tindakannya itu ia telah berhasil menghantam pasukan Persia di Buwaib, sehingga mereka tak berkutik lagi dan sejak itu tak pernah lagi memperoleh kemenangan.
Dan yang lebih membanggakan lagi, Musanna menyelesaikan semua itu dalam waktu yang begitu singkat. Abu Ubaid mencapai perbatasan Irak pada permulaan musim rontok tahun 634 M., mendapat kemenangan di Namariq bulan Oktober tahun itu juga dan terbunuh dalam pertempuran di j embatan sekitar akhir-akhir bulan itu. Maka kemudian Musanna yang mengambil alih pimpinan dan ia mendapat kemenangan di Ullais disusul kemenangannya yang telak di Buwaib bulan November. Sekiranya sesudah perang di Buwaib ia mendapat bala bantuan, tentu ia akan memasuki Mada'in dan akan menakluk­kannya sebelum akhir tahun itu. Tetapi bala bantuan itu terlambat, dan maut pun mendahuluinya. Dia meninggal, sementara kemenangan yang akan menjadi mahkota kebanggaannya sepanjang masa sudah di am-bang pintu.
Sekarang selamat jalan wahai panglima piawai, dalam lindungan Allah! Kini kami akan meninggalkan medan lagamu yang telah men­dengungkan dengan bahana kemenanganmu itu. Kami akan menengok Syam, mendampingi sahabatmu Khalid bin Walid! Hendaklah orang semua ingat tahun demi tahun, bahwa Musanna bin Harisah asy­Syaibani seorang pelopor dalam merambah jalan Kedaulatan Islam, di samping selaku pendirinya yang bijak dan kukuh. Dalam pembinaan itu orang tidak akan menutup mata dari jasanya yang besar, bahwa dia bukan orang Kuraisy, juga bukan dari sahabat Rasulullah. Tak pernah lagi ia memegang pimpinan militer sesudah Khalid. Ia memegang pim­pinan militer itu dalam Perang Buwaib, yang dalam hal ini keberani­annya sebanding dengan Khalid, atau barangkali lebih lapang dada dan lebih bijaksana dari Khalid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar