''UMAR'' PASUKAN MUSLIMIN DI IRAK
Beberapa kerajaan yang pernah menduduki Irak
Sa'd
bin Abi Waqqas tinggal di Istana Kisra dan pasukan Muslimin yang
lain menempati gedung-gedung di sekitar Istana itu menikmati segala
kesenangan yang ada di situ. Tentu saja mereka hidup senang, mereka
sudah mendapat bagian rampasan perang yang akan cukup untuk
hidup beberapa tahun. Bahan makanan yang akan didatangkan dari
daerah-daerah berdekatan pun cukup banyak dan mudah. Air di Sungai
Tigris yang mengalir lancar akan membuat mereka lupa daerah pedalaman yang hanya
ditimbuni pasir. Jembatan yang menghubungkan Seleusia dengan Ctesiphon membuat kedua kota yang
indah ini sebagai tempat rekreasi bagi mereka yang hidup bermewah-mewah, layak
sekali akan memberi ilham kepada
penyair Arab seperti jembatan di Bagdad yang telah memberi ilham kepada
Ali bin Jahm yang mengatakan:
Mata
air antara ar-Rusafah dengan al-Jisr
Mengais
udara dari arah yang kuketahui dan yang tak kuketahui.
Adakalanya
orang berkumpul dan bertemu dengan Sa'd di Istana Kisra itu. Dengan kalangan
yang mempunyai pengetahuan Sa'd berbicara
tentang sejarah daerah-daerah itu. Sa'd misalnya mengatakan tentang
daerah itu masa dahulu sebagai pusat kebudayaan dunia, dan mereka
menanggapi. Di berbagai tempat di kawasan itu berdiri keraja-. an-kerajaan
Babilonia, Asiria dan Kaldea. Kerajaan-kerajaan itu ada yang
bertahan, ada juga yang tiba-tiba muncul kemudian ditinggalkan. Setiap kerajaan
itu kemudian disebut menurut nama tempat ia menetap di sisi Ma Baina an-Nahrain
('antara dua sungai')[1]: Sungai Dajlah
(Tigris) dan Sungai Furat.
Jauh
di masa silam nama Mesopotamia ("Antara Dua Sungai") juga
sudah dipakai nama untuk daerah-daerah ini — nama yang sudah dipakai sejak masa Firaun lama, tatkala kedaulatan
Mesir membentang jauh ke sana. Sesudah masa kekuasaan Firaun itu, nama
demikian juga dikenal ketika kawasan ini
berada di bawah kekuasaan Yunani. Tidak heran bilamana nama ini bertahan sampai sekarang,
yang melukiskan letak daerah Mesopotamia itu, dengan airnya yang mengalir
memberi kemakmuran ke kawasan itu. Irak disebut "Antara Dua Sungai" (Mesopotamia) baru sesudah berada di bawah kekuasaan
Persia. Kekuatan Persia bergerak ke kawasan ini dari dataran Iran setelah
kekuasaan Firaun dan Yunani dihalau dari sana. Mereka menyusuri pantai-pantai
Tigris dan di seberangnya, lalu mendirikan Ctesiphon sebagai ibu kota
kerajaannya. Dari sana dan dari ketujuh kota
di sekitarnya serta Seleusia Yunani
yang berdiri sendiri dibangunlah kota "al-Mada'in"[2] yang keagungannya, luas kekuasaannya, kekayaannya yang
melimpah serta kemakmuran rakyatnya, selama berabad-abad menjadi
kebanggaan sejarah. Kalau kota-kota di Mesopotamia itu berbatasan dengan
'al-Iraq alAjami' (Irak-Persia), nama yang
lebih umum dipakai di sini ialah Persia, dan mereka menganggapnya sebagian dari
Persia, sama dengan Seleusia yang
mereka dianggap sebagian dari Ctesiphon. Sejak itu nama Irak disebut
menurut nama kota-kota itu.
Irak
yang dimenangkan pasukan Muslimin dari Persia ini membentang
dari Delta dua sungai di selatan sampai ke utara sebelum Mosul
(Mausil), berbatasan di bagian hulu dengan Syam yang besar sekali
pengaruhnya dalam sejarah Persia dan Rumawi, yang juga kemudian
berpengaruh dalam sejarah pembebasan yang dilakukan Islam. Perbatasan Irak
dengan Syam telah menyebabkan berpindahnya agamaagama yang lahir di Palestina dan daerah-daerah
sekitarnya, sampai pada waktu
paganisme Yunani dan Majusi Persia datang menyerangnya. Itu sebabnya di sini terdapat sebuah koloni
besar terdiri atas orang-orang Yahudi, juga orang-orang Nasrani setelah pindah
ke Syam kemudian berimigrasi ke mari.
Mengingat
kota-kota di Mesopotamia itu bertetangga dengan tanah Arab, yang juga bertetangga dengan Persia, banyak
kabilah Semenanjung itu yang
berimigrasi, menetap dan bertempat tinggal di sana. Ketika pasukan Muslimin
menyerbu Mesopotamia, kawasan ini sudah biasa mereka sebut Irak dan tidak pernah
menyebut nama lain. Kemudian kawasan di antara Sungai Tigris-Furat dan
sekitarnya mereka namakan as-Sawad.
Untuk membedakan Irak ini dengan Irak-Ajam, oleh para sejarawan yang satu diberi nama
'al-'Iraq al-'arabi' (IrakArab) dan yang lain 'al-'Iraq al-
'ajami' (Irak-Persia).
Sifat
tanah kedua Irak ini sangat berbeda sekali. Irak-Arab merupakan
dataran yang dialiri kedua sungai itu, di sana sini tersebar sungaisungai
kecil, anak-anak sungai dan kolam-kolam, sehingga sebagian tampak
hijau segar dan subur oleh buah-buahan. Di ujung timur sampai di
gunung dengan puncaknya yang tinggi yang memisahkannya dari Irak-Ajam,
di belakang berturut-turut pegunungan dan lembah-lembah sampai
ke dataran Iran. Gunung ini memang merupakan penyekat alam yang kukuh.sekali,
memisahkan Asia di bagian timur jauh dari negerinegeri Asia yang terletak di bagian barat, dan
yang karenanya pula lebih banyak
berhubungan dengan bangsa-bangsa yang ada di sekitar Laut Tengah (Mediterania)
di Afrika dan Eropa daripada dengan negeri-negeri tetangga di
Timur.
Pasukan Muslimin di Mada 'in, pasukan Persia bermarkas di Jalula
Pengaruh
letak geografis inilah yang memungkinkan kabilahkabilah
Arab berimigrasi ke Irak dan Syam. Rumah-rumah ras Arab ini bertebaran dari Teluk Aden dan Samudera Indonesia
di selatan sampai jauh ke utara di Irak dan Syam. Kabilah-kabilah ini —
seperti juga sejumlah besar tanah
Semenanjung Arab — selama berabad-abad berada di bawah kekuasaan Persia
dan Rumawi.
Sekarang
orang-orang Arab Semenanjung berbalik menyerang kedua kerajaan besar ini hingga
mencapai Damsyik di Syam dan Mada'in di
Irak, dan Sa'd bin Abi Waqqas tinggal di Istana Kisra di ibu kota kerajaan
itu.
Sa'd
tinggal di ibu kota cantik ini sampai pasukannya berkumpul semua.
Sudah tidak perlu lagi ia memburu pasukan Persia di Irak yang terbentang luas
sampai ke balik Sungai Tigris, juga Umar tidak mengizinkan untuk memburu
mereka. Oleh karena itu tidak lebih ia hanya mengikuti berita-berita tentang mereka dengan
cermat sambil mengirim mata-mata
untuk kemudian melaporkan kepadanya. Bahwa pasukan Persia yang lari dalam
kekalahan itu sudah sampai di Jalula (Jalula) — sekitar 40 mil utara Mada'in —
dan bahwa mereka di sana melihat persimpangan jalan ke berbagai jurusan di Iran,
sudah ia terima beritanya. Mereka
berkata satu sama lain: "Kalau kalian berpencar, tidak akan dapat berkumpul lagi. Tempat ini dapat
menceraiberaikan kita. Mari kita berkumpul untuk memerangi pasukan Arab itu.
Kalau kita yang menang, itulah yang
kita harapkan; kalau kebalikannya, kita sudah menjalankan tugas kita dan tanggung jawab kita."
Juga ia menerima berita bahwa dalam perjalanannya ke Hulwan itu
Yazdigird sudah mengadakan pertemuan dengan stafnya, pembantu-pembantu dan
pasukannya dari berbagai daerah. Ia menunjuk Mehran memimpin mereka ke Jalula.
Dia sendiri tinggal di tempat yang baru itu
sambil mengirimkan bala bantuan berupa pasukan dan bahan makanan kepada
mereka. Mereka kemudian bertemu dengan
sisa-sisa tentara yang dulu di Mada'in. Mereka menggali sebuah parit
besar di sekitar kota itu lalu dipasang kawat berduri di sekelilingnya. Mereka menyiapkan
sejumlah pasukan, perlengkapan dan
alat-alat pengepungan. Selanjutnya mereka saling berikrar dan berjanji tidak akan lari. Pasukan
Muslimin akan mereka usir sampai habis tuntas dari daerah-daerah
mereka.
Berita-berita
ini sampai kepada Sa'd sementara ia berada di Istana Kisra,
dan kemudian disampaikan kepada Umar di Medinah. Dalam balasannya Umar menulis kepada Sa'd agar ia
mengirim Hasyim bin Utbah ke Jalula
dengan 12.000 anggota pasukan. Qa'qa' bin Amr supaya ditempatkan di
barisan depan, dan menunjuk lagi yang akan menempati masing-masing sayap kanan dan sayap
kiri serta pengawal barisan belakang
masing-masing menurut namanya. Anggota-anggota pasukan itu sudah banyak
berkumpul dan sudah beristirahat. Semangat mereka memang sudah menyala dan sudah siap
tempur, sesudah mereka beristirahat
satu bulan menikmati segala karunia Allah berupa hasil rampasan perang
yang melimpah banyaknya, yang tak pernah dialami.[3]
Pengepungan dan kemenangan di Jalula
Tatkala
sampai di Jalula, Hasyim melihat pihak Persia sudah memperkuat diri di sana dan
akan mempertahankannya mati-matian. Hasyim mulai mengadakan pengepungan. Tetapi bukan
pengepungan itu saja yang akan
memaksa mereka menyerah. Bala bantuan buat mereka terus‑menerus datang
dari Hulwan, demikian juga bala bantuan buat pasukan Muslimin datang
terus-menerus dari Mada'in. Itu sebabnya proses pengepungan berjalan sampai
delapan puluh hari. Sementara itu pasukan Persia sudah keluar dari kubu
pertahanannya untuk menghadapi pihak Muslimin, tetapi mereka dapat dipukul
mundur kembali ke bentengnya. Pihak Persia
yakin kalau mereka bertahan semangat dan kekuatan mereka akan hilang.
Jumlah kekuatan mereka yang dua kali jumlah pihak Muslimin tak akan ada
gunanya.
Suatu
hari pagi-pagi sekali Mehran, komandannya, memerintahkan penyerangan
besar-besaran terhadap pasukan Muslimin. Ibn Kasir mengatakan: "Mereka terlibat dalam suatu pertempuran
sengit yang tak pernah terjadi seperti itu sebelumnya, sehingga barisan
pemanah kedua pihak habis binasa, tombak
mereka masing-masing pun patah berjatuhan. Mereka menggunakan pedang dan
tabbarzin1 Waktu tiba saat lohor, pasukan Muslimin melakukan salat dengan
isyarat. Satuan-satuan Majusi
(Persia) terus berdatangan silih berganti. Ketika itu Qa'qa' bin Amr bertanya kepada anggota-anggota pasukannya:
Kaum Muslimin! Takutkah kalian apa yang kalian lihat ini? Mereka
menjawab: Ya, kita sudah letih, sebaliknya
mereka sudah sempat beristirahat. Tidak — kata Qa'qa' lagi — kita serang mereka dan kita harus
bersungguh-sungguh dalam mengejar
mereka, sampai nanti Allah yang menjatuhkan keputusan kepada kita. Mari kita serbu mereka sehingga
serbuan satu orang dapat menyusup ke tengah-tengah
mereka!
Sekarang
ia mulai menyerbu dan yang lain juga ikut maju. Qa'qa' sendiri
sudah rnemantapkan serangannya dengan memimpin satu pasukan yang
terdiri atas para kesatria dan pahlawan-pahlawan pilihan hingga mencapai
pintu parit, dan berlangsung sampai gelap malam. Qa'qa' melihat pasukannya
sudah ada yang mulai menyudahi pertempuran karena hari sudah menjelang malam.
Tetapi kemudian terdengar suara memanggil-manggil: "Hai pasukan Muslimin, mau ke
mana kalian!? Lihatlah pemimpinmu sudah di pintu parit! Marilah kita maju
bersama. Untuk mernasukinya sekarang sudah
tak ada lagi rintangan." Ketika itu pasukan Muslimin meneruskan
pertempuran menghadapi musuhnya dengan begitu keras mengingatkan mereka pada
kerasnya "malam yang geram" hanya saja ini
lebih cepat. Sesudah mereka sampai di pintu parit dan melihat Qa'qa' sudah menguasainya, sementara
melihat pasukan Persia yang terpukul
mundur ke kanan dan ke kiri karena untuk kembali ke kota sudah terhalang oleh parit, ketika itulah
pasukan Muslimin menyergap mereka
di segenap penjuru. Akibatnya dari pasukan mereka yang terbunuh ketika itu 100.000 orang, dan yang
masih ada lari hendak menuju Hulwan. Tetapi Qa'qa' terus mengejar mereka
dan berhasil menyusul Mehran di Khaniqin.
Orang ini dibunuhnya. Sekarang Fairuzan, ia lari terus dengan memacu kudanya ke Hulwan. Ia
melaporkan kepada Yazdigird mengenai bencana yang menimpa Jalula, dan
saat itu juga Yazdigird lari ke Ray.[4]
Ketika
Qa'qa' kemudian memasuki kota Hulwan, pasukan pengawal
kota sempat mengadakan perlawanan sengit, tetapi sesudah itu mereka dapat dipukul mundur. Sekarang pasukan
Muslimin memasuki kota dan berhasil
mengumpulkan rampasan perang, menawan dan menarik jizyah dari mereka serta dari
kampung-kampung dan daerahdaerah sekitarnya.
Sikap Umar mengenai Persia
Sa'd
menulis laporan kepada Umar mengenai jatuhnya Jalula serta rampasan perang dalam jumlah besar yang diperoleh
pasukan Muslimin, serta tentang masuknya Qa'qa' ke Hulwan. Ia meminta
izin akan mengejar pasukan Persia sampai ke dalam negeri mereka sendiri. Tetapi
dalam hal ini Umar lebih berhati-hati. Ia
tidak sependapat dengan pahlawan Kadisiah dan penakluk Mada'in itu,
dengan menyebutkan dalam suratnya: "Ingin sekali saya sekiranya di antara Sawad
dengan gunung itu ada penyekat, mereka
tidak dapat mencapai kita dan kita pun tidak dapat mencapai mereka. Buat kita cukup
daerah pedesaan Sawad itu. Saya lebih mengutamakan keselamatan pasukan
Muslimin daripada rampasan perang."
Semua
yang dikatakan Umar itu tepat sekali. Ketepatan pilihannya bukan karena mengutamakan keselamatan kaum
Muslimin saja, tetapi lebih dari itu,
pasukan Muslimin belum lagi dapat mengamankan seluruh Irak dan memberikan kehidupan yang lebih
tenteram dan stabil. Di bagian utaranya masih dikhawatirkan timbul
pemberontakan, sekalipun pasukan Muslimin
sudah mendapat kemenangan di Tikrit, Mosul, Hit dan Qarqisia (Karkisia), begitu
juga sesudah pembebasan Mada'in. Di bagian selatannya juga keadaannya
sama, sekalipun sudah dikuasai sebelum dan sesudah Mada'in. Samasekali bukan
suatu pandangan yang jauh ke depan jika
pasukan Muslimin menerjang jauh sampai ke pegunungan Iran dan ke dataran yang begitu luas di
balik pegunungan itu. Kalau kemudian
Irak memberontak, seperti yang pernah terjadi sebelum Sa'd bin Abi Waqqas memasuki daerah itu dengan
kemenangannya yang gemilang, untuk dapat menguasainya kembali bukanlah
soal yang mudah. Memang lebih baik pasukan
Muslimin menjadikan pegunungan Iran itu sebagai batas penyekat dengan
pihak Persia, dan memusatkan perhatian untuk
menumpas segala macam pengaruh pemberontakan di Irak, kemudian memusatkan
perhatian untuk mengatur tertib hukum di daerah itu.
Politik Umar di Irak
Di
samping itu pula, politik Umar sampai pada. saat itu adalah politik Arab dengan
tujuan memasukkan semua ras Arab yang terbentang
dari Samudera Indonesia sampai ke utara Irak dan Syam dalam satu kesatuan di bawah kekuasaan Semenanjung
Arab, bahkan di bawah kekuasaan Medinah. Kesatuan semua kawasan tersebut
akan cukup tenteram di bawah kekuasaan ini,
kebebasan berdakwah dengan mengajak
orang kepada agama Allah dengan argumen dan keterangan yang baik akan
terjamin. Dengan politik bertetangga baik dengan Persia dan Rumawi, rasa takut
dari pasukan Arab dan Muslimin akan dapat dihilangkan. Sesudah itu Allah akan memberikan
kemenangan kepada agama-Nya atas semua agama kendati orang-orang kafir
tidak suka.
Tak
ada jalan lain buat Sa'd kecuali tunduk pada pendapat dan perintah
Amirulmukminin. Para perwira dan prajurit sangat menyetujui pendapat
itu, setelah melihat angkatan bersenjatanya dari waktu ke waktu
pergi hendak menumpas setiap pemberontakan yang terjadi di kawasan
Sawad. Apalagi setelah mereka memperoleh rampasan perang di
Kadisiah, Mada'in dan Jalula berlipat ganda banyaknya dari yang mereka
harapkan. Juga bagian setiap prajurit dari rampasan perang Jalula tidak kurang
dari yang diperolehnya dari rampasan Mada'in. Harta
yang mereka peroleh dari tiga puluh juta, terdiri atas barangbarang
berharga yang dibawa oleh mereka yang lari dari Mada'in. Di samping
itu mereka juga mendapat kuda dan alat-alat perang, yang oleh pihak Persia dulu tak ada yang ditinggalkan di ibu
kotanya. Juga mereka beroleh tawanan
perang yang dulu tidak mereka peroleh di Mada'in. Sesudah Sa'd membagi-bagikan rampasan
perang yang besar itu, setiap orang
mendapat sembilan ribu dan sembilan ekor kuda selain yang mendapat tawanan perempuan, di antaranya ada
yang biasa dibesarkan dalam hidup berkecukupan dan biasa dimanja. Cara
hidup ini membuat mereka tidak mampu lari
ke gunung-gunung dan datarandataran luas berpasir.
Umar menghadapi kekayaan
Seperlima
hasil rampasan perang itu oleh Sa'd dikirimkan ke Medinah
bersama sebuah rombongan, di antaranya Ziyad bin Abi Sufyan. Setelah sampai ke
hadapan Umar Ziyad melaporkan begitu lancar dan menarik mengenai pembebasan Jalula dan Hulwan,
sehingga kata Umar kepadanya:
"Dapatkah Anda menyampaikan ini kepada masyarakat seperti yang Anda
katakan kepada saya ini sekarang?" "Ya, dapat Amirulmukminin," kata Ziyad. "Di muka bumi ini tak
ada orang yang lebih saya segani dari Anda, apalagi yang lain, mengapa tidak!"
Kemudian ia pergi menceritakan
peristiwa itu kepada orang banyak, bagaimana peranan pahlawan-pahlawan Muslimin dalam
peristiwa itu dan berapa banyak
pasukan Persia yang terbunuh dan yang diperoleh dari mereka — dengan gaya
bahasa yang begitu kuat dan amat menarik. Karena kagum Umar berkata: Inilah
orator dengan suaranya yang benarbenar
nyaring dan lancar. Tersentuh oleh pujian ini Ziyad berkata: "Pasukan
kitalah yang membuat lidah ini lancar."
Setelah
beberapa pemuka memberi isyarat kepada Amirulmukminin supaya hasil rampasan
perang itu disimpan dalam baitulmal, maka katanya: "Sebelum malam tiba
barang-barang ini sudah akan saya bagikan." Barang-barang rampasan perang itu
diletakkan di ruangan Masjid dengan dijaga oleh Abdur-Rahman bin Auf dan
Abdullah bin Arqam. Keesok‑an harinya
selesai Umar mengimami salat subuh dan matahari sudah mulai terbit ia meminta barang-barang rampasan
perang itu diperlihatkan. Tetapi setelah melihat segala macam permata
yakut, zamrud, berlian, emas dan perak, ia
menangis: "Apa yang membuat Anda menangis, Amirulmukminin?" tanya
Abdur-Rahman bin Auf. "Sungguh semua ini harus kita
syukuri."
"Bukan
ini yang membuat saya menangis," jawab Umar. "Demi Allah,
jika Allah memberikan yang semacam ini kepada suatu bangsa, pasti
mereka akan saling mendengki, saling membenci. Dan bila suatu bangsa
sudah saling mendengki, permusuhan antara mereka akan berlarut-larut."
Di
sini kita berhenti sejenak merenungkan kata-kata mutiara ini: Orang-orang
Arab itu tak pernah mengenal suatu hasil usaha yang mudah
sebelum memperoleh rampasan perang yang sangat besar itu dari
berbagai penjuru. Dalam mencari sesuap nasi, biasanya mereka berusaha
menjelajahi bumi ini, dan yang mereka peroleh sesuai dengan kadar
usaha masing-masing. Mereka pergi dalam musim panas dan musim
dingin membawa perdagangan ke Yaman dan ke Syam dengan menghadapi berbagai macam
kesulitan dan gangguan keamanan selama dalam perjalanan. Mereka mengawal kafilah-kafilah
yang berangkat dari barat ke timur membawa segala macam harta kekayaan
sekadar menerima upah dengan mempertaruhkan
diri untuk menghadapi bahaya perampokan atas kafilah-kafilah itu. Untuk
mendapatkan segala keperluan makan
minum dan keperluan hidup, mereka harus bekerja keras. Tetapi sekarang rampasan perang yang
mereka peroleh sudah begitu melimpah. Kiranya apa jadinya mereka dengan
perubahan hidup makmur dari segi perekonomian mereka itu? Tidak heran j ika
mereka kelak berakhir dengan mau hidup nyaman dan senang dengan segala
kemewahan. Kenyamanan akan menimbulkan kedengkian dan permusuhan karena
masing-masing ingin mendapat rezeki yang lebih banyak yang akan dapat menambah
kemewahan dan kesenangan hidupnya. Manusia jika sudah dininabobokkan oleh
kenyamanan ia akan menjadi lunak, kalau
sudah saling bermusuhan kekuatannya akan hilang. Lalu di mana letak
seruan Allah untuk hidup dalam persaudaraan, tolong-menolong dan saling
membantu agar menjadi anggota umat yang memberi kekuatan kepada umatnya, menjadi mendukung
kebenaran seperti diwahyukan Allah
kepada Rasul-Nya, membela dan memperkuatnya. Karena khawatir akan kenyamanan yang akan membawa
umat hidup santai dan saling
bermusuhan itulah, maka Umar menangis. Seolah-olah ia sudah melihat dari celah-celah alam gaib apa
yang sudah digariskan oleh takdir
dalam suratannya bagi umat yang telah membaiatnya dan saling memperkuat itu. Jadi karena jerih payah
umat, maka mengalirlah bongkahan-bongkahan emas ke Sahara Semenanjung
Arab yang tandus dan gersang itu.
Umar
membagi-bagikan rampasan perang yang telah membuatnya menangis
itu kepada umat secara terbuka dan atas musyawarah dengan konsensus dari Muslimin. Sebagian penduduk
Medinah ada yang mendapat tambahan. Pembagian ini dilakukan seperti
ketika membagikan rampasan perang yang
pernah dikirimkan Sa'd selepas Perang Kadisiah.
Pasukan Rumawi di Mosul dan Tikrit
Pembagian
ini dihadiri oleh Ziyad bin Abi Sufyan. Kemudian ia segera kembali kepada Sa'd
bin Abi Waqqas dengan membawa surat dari
Umar yang berisi perintah jangan mengejar pasukan Persia di dalam
negeri mereka itu. Setelah membacanya Sa'd menganggap kebijakan
Amirulmukminin ini penting; sebab ketika ia menulis surat melaporkan
kepada Umar tentang berkumpulnya pihak Persia di Jalula dan
bala bantuan yang dikirimkan oleh Yazdigird kepada mereka dari Hulwan, juga melaporkan bahwa pihak Rumawi di
Mosul sudah berkumpul di Tikrit di
tepi Sungai Tigris ke utara Mada'in, dan bahwa banyak orang Arab Nasrani dari kabilah Iyad,
Taglib dan Namir bergabung kepada
mereka dan membantu mereka melawan pasukan Muslimin. Umar menulis kepadanya dengan mengirim Abdullah
bin Mu'tam ke Tikrit bersama 5000 orang anggota pasukan. Mereka menuju kota itu
dan mengepungnya selama empat puluh hari. Setelah mereka yang mempertahankan kota merasa sudah sangat letih,
dengan beberapa kapal pihak Rumawi
sudah siap melarikan diri dengan membawa segala harta kekayaannya. Berita
itu segera diketahui oleh Ibn Mu'tam. Cepatcepat ia menghubungi pihak Nasrani, mengajak
mereka kepada Islam dan membelanya.
Mereka akan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan umat Islam yang
lain. Sesudah mereka menerima baik ajakannya itu, mereka diberi tugas menjaga
pintu-pintu kota yang menuju tempat kapal-kapal yang hendak berlayar ke
Rumawi. Kalau mereka keluar dari pintu akan naik ke kapal, kalau mampu membunuh
bunuhlah mereka. Pasukan Muslimin kemudian
menyerang kota dengan bertakbir yang
disambut pula dengan takbir oleh orang-orang Arab pedalaman dari sisi
lain. Pasukan Rumawi menjadi kacau dan berusaha hendak keluar dari pintu-pintu
itu. Dari depan mereka disambut oleh pedang
pasukan Muslimin dan dari belakang oleh pedang orang-orang Arab pedalaman
yang sudah menerima Islam, sehingga tak seorang pun dapat lolos dari mereka. Ketika itulah Abdullah
bin Mu'tam mengirim Rib'i bin Akfal
ke Mosul, sesuai dengan pesan Umar dalam suratnya kepada Sa'd. Ibn Akfal cepat-cepat berangkat
bersama kabilah-kabilah Iyad, Namir dan Taglib yang sudah menerima Islam.
Dua benteng di Nineveh dan Mosul disergap sebelum berita Tikrit sampai ke sana.
Penghuni-penghuni kedua benteng itu
sedianya hendak mengadakan perlawanan, tetapi sesudah mengetahui kejadian
di Tikrit mereka mau memenuhi seruan damai
dan bersedia membayar jizyah. Rampasan perang Tikrit itu dibagikan dan setiap orang
dari pasukan berkuda mendapat tiga ribu dan anggota infanteri seribu
dirham.
Berita
kekalahan pasukan Rumawi di Tikrit dan Mosul ini sampai juga
kepada saudara-saudaranya di Syam. Mereka pun sudah mengalami
bagaimana kekuatan Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin Jar-rah
seperti yang akan kita singgung sebentar lagi. Mereka dalam ketakutan jika
pasukan Muslimin di Irak sampai ke perbatasan Syam dan menyergap mereka dari belakang, padahal ketika
mendapat serangan Khalid dan Abu
Ubaidah mereka bertahan sambil mundur ke perbatasan itu. Sekarang mereka
akan terkepung, dan tak ada jalan lain mereka harus angkat tangan dan menyerah. Kepada penduduk
al-Jazirah yang berada di bawah kekuasaan Rumawi mereka mengirim utusan
untuk meminta bantuan melawan pasukan
Muslimin yang ada di sana. Semua berita ini sudah sampai kepada Sa'd ketika Hasyim
bin Utbah kembali dari Jalula dengan
kemenangan. Juga berita tentang berkumpulnya besar-besaran pasukan Jazirah di kota Hit di
pantai Furat. Atas perintah Umar
sebuah pasukan dikirim ke sana di bawah pimpinan Amr bin Malik. Ternyata
mereka sudah memperkuat diri di kota itu dan sudah menggali parit di sekitarnya. Dengan mewakilkan
kepada Haris bin Yazid untuk meneruskan pengepungan, ia sendiri berangkat
ke utara ke Qarkisia di persimpangan Furat
dengan Khabur yang berada di perbatasan Irak dengan Syam. Kota ini
dikuasai dengan jalan disergap dan para
penjaga dan penghuninya bersedia membayar jizyah. Setelah itu ia menulis surat kepada Haris bin Yazid agar
pasukan yang bertahan di Hit
dibiarkan kalau mereka mau keluar dari sana. Kalau tidak, di luar parit mereka supaya digali sebuah parit lagi dan
semua pintunya hanya menuju ke arah itu. Haris memberitahukan pihak Hit
tentang rencananya itu, dan meyakinkan mereka bahwa pengepungan akan diteruskan
sampai mereka mati. Mereka pun menyerah dan keluar meninggalkan kota itu, yang
selanjutnya ditempati oleh pasukan Muslimin.
Berita-berita
mengenai kota-kota Hit dan Qarkisia serta kemenangan
pasukannya di sana sudah diketahui oleh Sa'd. la bertambah yakin akan
hikmah kebijaksanaan Umar untuk tidak mengejar pasukan Yazdigird
di pegunungan dan dataran Persia itu. Andaikata dengan kekuatan bersenjatanya
ia terus mengejar mereka kemudian pihak Irak memberontak dan Persia berusaha mengobarkan semangat
mereka, pasti ia akan menemui kesulitan untuk menumpasnya. Sesudah
kemenangan Hasyim di Jalula ia mendapat berita bahwa angkatan bersenjata Persia
berkumpul di Masabazan, di perbatasan
Irak-Arab di sebelah timur dengan Persia di sebelah barat. Ia segera
mengirim sebuah pasukan di bawah pimpinan
Dirar bin Khattab untuk menghadapi mereka di dataran Masabazan. Dalam pertempuran itu mereka dapat
dipatahkan dan komandan mereka
terbunuh. Kemudian mereka dikejar terus sampai ke Masabazan dan dengan
jalan kekerasan kota ini pun akhirnya dapat dikuasai. Melihat penduduk yang berlarian ke
gunung-gunung, ia memanggil mereka dan panggilan itu mereka penuhi.
Mereka bersedia membayar j izyah. Sekarang mereka aman tinggal di kota
itu.
Kemenangan
akibat serangan-serangan yang terus-menerus di Irak bagian utara dan timur itu
membuat mereka tunduk kepada kekuasaan Muslimin. Sebelum di bagian utara dan timur,
bagian selatan Irak sudah lebih dulu
tunduk, yaitu ketika mereka melihat kekuatan Khalid bin Walid dan Musanna bin Harisah pada masa
pemerintahan Abu Bakr. Bagian selatan
ini pernah memberontak kepada kekuatan Muslimin ketika seluruh Irak memberontak. Sesudah Umar
mengirim Sa'd bin Abi Waqqas ke Kadisiah, Utbah bin Gazwan dikirimnya
untuk menyerang selatan, yang bersama
Arfajah bin Harsamah al-Bariqi berangkat ke Ubullah, di dekat Basrah sekarang, dan
merebutnya kembali dari Persia sesudah pertempuran kalah menang yang
silih berganti selama beberapa minggu.
Ubullah ketika itu merupakan sebuah pelabuhan besar, tempat kapal-kapal
yang datang dari Cina dan India berlabuh dan bertolak dari sana. Di tempat ini banyak sekali
orang India yang bekerja sebagai pedagang. Penduduk Ubullah keluar dengan
membawa barang-barang yang dapat mereka bawa ketika pengawal-pengawal kota sudah
mengalami kekalahan. Pasukan Muslimin memasuki kota itu dan rampasan perang yang
diperolehnya kemudian dibagi-bagikan. Selanjutnya Utbah menyeberangi sungai mengejar tentara
musuh yang melarikan diri. Ia dapat menguasai majelis Maisan dan
mengirimkan para pejabatnya sebagai tawanan,
berikut ikat pinggangnya ke Medinah. Umar tahu siapa-siapa yang membawa ikat
pinggang itu. Orang-orang Arab di
Irak sangat tergila-gila kesenangan hidup. Ia khawatir sekali akibatnya bagi mereka. Maka ia memanggil Utbah
untuk ditanyai apa yang telah terjadi
dengan mereka itu. Utbah menunjuk Musyaji' bin Mas'ud sebagai pemimpin pasukan dan Mugirah bin
Syu'bah sebagai imam salat. Mengetahui Musyaji' ditunjuk sebagai pemimpin
pasukan, Umar memperlihatkan kemarahannya
dengan mengatakan: "Anda menunjuk orang gunung untuk memimpin orang
kota! Anda tahu apa yang akan terjadi?" Lalu ia menerangkan bahwa Mugirah bin
Syu'bah telah rriengalahkan pasukan Persia
di Margab, dan kendati Musyaji' mendapat kemenangan di Furat, namun pimpinan tentara
diserahkannya kepada Mugirah, supaya
orang-orang Kuraisy dan sahabat-sahabat Rasulullah tidak berada di bawah
pimpinan orang badui.
Kemenangan
Mugirah melawan pasukan Persia tidaklah mudah. Pertempuran itu begitu sengit,
kedua pihak berperan silih berganti dan pihak Persia sudah mati-matian
bertempur. Mereka bertindak demikian karena
melihat sebuah satuan yang mereka kira bala bantuan untuk pasukan
Muslimin. Kekuatan mereka ambruk dan mereka dapat dipukul mundur. Sebenarnya
satuan itu tidak lain dari serombongan perempuan Muslimin yang keluar dari kemah-kemah mereka,
lalu dengan menggunakan kerudung sebagai bendera, mereka datang hendak
membantu pasukan Muslimin.
Ia
meminta Utbah kembali ke tempat pekerjaannya dan dibebaskan dari
tugas itu, tetapi dia menolak. Sementara sedang dalam perjalanan ke
Irak, Utbah menemui ajalnya. Maka Mugirah menggantikannya memimpin pasukan.[5]
**
Pertimbangan-pertimbangan dan kebijakan Umar di Irak
Sesudah
keadaan pasukan Muslimin mulai tenang di Irak, sekarang tiba
saatnya memikirkan untuk menyusun organisasi mereka
sendiri.
Adakah
perkiraan kita, bahwa mereka dibiarkan cukup dengan mengajarkan agama kepada
penduduk yang sudah menerima Islam, dan menerima jizyah dari yang bukan Muslim? Itulah
yang sudah dilakukan Rasulullah tatkala kabilah-kabilah dan kota-kota di
Semenanjung Arab menyatakan sudah menjadi keluarga Muslim. la mengirim
orang-orang yang ditugaskan mengajarkan
agama kepada mereka, dan ada yang bertugas memungut zakat. Coba kita
lihat, kalau Umar melakukan hal serupa itu untuk Irak, terjaminkah keamanan masa
depannya? Rasulullah tidak pernah memerangi
kabilah-kabilah dan tidak pula membebaskan kota-kota yang sudah masuk ke dalam lingkungan
Islam — kecuali Mekah dan Ta'if.
Sungguhpun begitu, kaum murtad di seluruh Semenanjung Arab telah
mengambil kesempatan pertama dengan menyatakan pembangkangan tak lama sebelum Rasulullah wafat,
dan yang kemudian menyebar luas
seperti api di tengah-tengah jerami kering setelah Abu Bakr dibaiat, padahal
Semenanjung itu berpenduduk Arab, dan kekuasaan Medinah tidak pula
membebani mereka dan hati mereka pun tidak membencinya seperti kebencian mereka
yang bukan Arab.
Seperti
sudah kita lihat, mengingat pembangkangan orang-orang Arab
yang berakibat pecahnya perang di sana sini, maka wajar sekali j
ika Umar merasa khawatir orang-orang Persia penduduk Irak, yang kebanyakan
belum lagi masuk Islam, akan membangkang, bahkan membangkangnya
orang-orang Arab Irak sendiri, baik yang sudah masuk Islam
atau yang masih dalam kepercayaan lama. Mereka semua sudah biasa
dengan segala kenikmatan dan kesenangan hidup di bawah ke‑kuasaan Hirah dan Mada'in, juga sudah biasa dengan
berbagai kehidupan serba mewah, yang
dalam banyak hal tidak sesuai dengan caracara kehidupan Arab di
Semenanjung, dan dengan ajaran agama yang diwahyukan Allah kepada Nabi berbangsa
Arab itu. Kalau Arab Semenanjung itu dibiarkan dalam keadaan mereka sendiri,
mereka lebih cenderung memberontak. Umar mempunyai pandangan yang lebih jauh dan
lebih berhati-hati untuk membiarkan kekacauan yang mulai terlihat gejalanya di
negeri-negeri yang sudah dibebaskan itu, yang masih bertetangga dengan Semenanjung Arab.
Percikan-percikan kekacauan demikian
adakalanya akan meluas. Bagi Amirulmukminin, semua itu sudah cukup untuk
memperkirakan segala akibatnya.
Bukan
itu saja yang menimbulkan kekhawatiran Umar. Kalau dia merasa aman dari
pembangkangan penduduk Irak jika dibiarkan begitu, dan membiarkan kaum Muslimin memberi pelajaran
agama kepada mereka yang sudah masuk Islam, dia hams juga membuat
perhitungan sungguh-sungguh terhadap pasukan Persia yang sudah dipukul mundur
oleh pasukannya ke balik pegunungan mereka
sendiri. Umar sudah pernah berangan-angan sekiranya ada sebuah gunung
penyekat dari api sehingga ia tak dapat mencapai mereka dan mereka pun tak dapat
mencapainya. Tetapi gunung demikian tidak ada. Jadi tidak heran jika pasukan Persia yang dipukul mundur sampai dataran
Iran itu berpikir ingin kembali ke
Irak untuk membalas dendam dan merebut kembali apa yang lepas dari tangan
mereka, seperti yang pernah mereka lakukan setelah Khalid bin Walid menguasai
Hirah dan Anbar kemudian ditinggalkan
pergi ke Syam untuk membantu pasukan Muslimin di sana. Usaha balas dendam pihak Persia itu lebih
cenderung akan berhasil kalau
kekuatan pasukan Muslimin ditarik dari Irak. Sebaliknya, kalau ia tetap
di sana dan kedudukannya diperkuat, pihak Persia akan lebih dulu berpikir seribu kali sebelum melakukan
tindakannya untuk membalas dendam.
Kalaupun mereka berani bertindak, angkatan bersenjata Amirulmukminin sudah cukup kuat dan siap menghadapi
mereka, menumpas atau memukul mundur mereka ke balik pegunungan Persia. Bahkan
sudah siap maju sampai ke dataran mereka serta menguasai negeri mereka, seperti
yang sudah dilakukannya terhadap Irak dan menghabiskan kekuasaan dan
pengaruh mereka di sana.
Dua
pertimbangan ini tidak lepas dari perhitungan Umar. Bahkan barangkali bukan itu
yang menjadi pusat pemikirannya selama ini, mengingat keduanya adalah hal yang wajar, dan
karena ketika Umar berencana meneruskan perang di Irak tidak bermaksud
hendak meng‑usir orang-orang Persia dari sana dan sesudah itu membiarkan mereka
begitu saja. Tujuan Umar hendak
menggabungkan Irak dengan Syam dalam
satu kesatuan tanah Arab yang terbentang dari Teluk Aden sampai ke
Samudera Indonesia dan dari Teluk Persia di selatan jauh ke utara pedalaman Sahara Syam. Oleh karena itu sudah
selayaknya yang akan mengurus Irak adalah pihak yang menang, dan
memastikan keberadaannya di sana serta yang
mengatur sistem pemerintahannya. Adakah sistem pemerintahan ini akan seperti sistem yang
dibuat oleh Rumawi dan Persia di
negeri-negeri yang mereka duduki? Atau bagaimana sistem yang akan
diterapkan oleh Umar di negeri-negeri yang sudah dibebaskan untuk kedaulatan
Islam yang baru tumbuh itu?
Andaikata
Umar memutuskan untuk memperturutkan keinginan pasukannya
yang sudah mendapat kemenangan di Irak, niscaya ia menempuh kebijakan seperti Persia dan Rumawi yang
memberikan segalanya kepada pihak
militer, dan untuk penduduk tak ada yang ditinggalkan selain remah dan
sisa-sia kelebihan dari pasukannya, seperti halnya dengan pejabat-pejabat Persia
yang tidak pernah meninggalkan apa pun untuk petani-petani yang bekerja mengolah
tanah mereka, selain remah yang oleh mereka sudah tidak diperlukan lagi. Pasukan
Muslimin di Kadisiah, di Mada'in, di Jalula
dan di tempat-tempat pertempuran yang lain mendapat rampasan perang yang
semula tidak mereka impikan samasekali.
Mereka melihat kekayaan di segenap penjuru Irak, kekayaan yang akan mendorong mereka hidup
bersenang-senang dan bermewah-mewah
sesuka hati mereka, di bawah lindungan pedang. Tetapi kita masih ingat, apa yang dikatakan Khalid bin
Walid kepada pasukannya tatkala
mendapat kemenangan di Walajah pada pertama kali pasukan Muslimin menyerbu Irak. Ia berpidato di
hadapan mereka dengan mengatakan: "Tidakkah kalian lihat makanan ini yang
setinggi gunung? Demi Allah, kalau hanya
untuk mencari makan, dan bukan karena kewajiban kita berjuang demi Allah
dan mengajak orang kepada ajaran Allah
Subhanahu wa ta 'ala, pasti kita gempur desa ini sehingga hanya
tinggal kita yang berkuasa di sini,
dan orang yang enggan berjuang seperti yang kalian lakukan ini, kita
biarkan dalam kelaparan dan kekurangan." Apa artinya makanan di Walajah ini
dibandingkan dengan makanan yang ada di
Mada'in! Apa artinya kekayaan Furat dibandingkan dengan kekayaan Tigris! Apa artinya keagungan
Hirah dan kemegahan Khawarnaq dan
Sadir[6] dibandingkan
dengan keagungan Istana Kisra dan tempat bersemayam raja diraja dan
takhtanya! Yang berkuasa dan berhak menikmati semua ini adalah pasukan Muslimin.
Merekalah yang sekarang berada di puncak kemenangan itu. Bukankah sudah sepantasnya jika Umar memperturutkan keinginan
mereka dan membiarkan mereka
menikmati segala kekayaan Irak seperti yang dilakukan Kisra terhadap pasukannya yang sudah mendapat
kemenangan, demikian juga yang dilakukan Kaisar!
Ke
sanalah arah pemikiran Umar, yang juga dimusyawarahkan dengan
sahabat-sahabatnya. Yang pertama sekali terlintas dalam pikirannya ketika ia
teringat pada perintah-perintah Abu Bakr kepada para panglimanya saat melepas
mereka untuk membebaskan Irak. Pekerjaan orang-orang Arab di Irak sebagai petani
yang mengolah tanah mereka sendiri, tetapi
sedikit sekali hasil yang mereka peroleh. Kebanyakan hasilnya jatuh ke tangan para pemuka-pemuka Persia
yang memperlakukan orang-orang
Arab begitu hina dan kejam. Abu Bakr sudah berpesan kepada para
panglimanya agar tidak memperlakukan orang-orang Arab secara tidak baik. Jangan sampai ada yang
terbunuh dari mereka, juga jangan
ada yang ditawan, dan segala yang berhubungan dengan kepentingan mereka jangan sampai mereka
dirugikan. Politik ini semua merupakan kebijakan yang harus diberlakukan
terhadap semua penduduk Irak, yang
Arab dan yang bukan Arab. Lebih dari itu, orang-orang Persia sendiri
harus merasa — mereka yang tidak mengadakan perlawanan dan tidak merintangi pasukan Muslimin —
bahwa pemerintahan baru ini tidak akan mengganggu kepentingan mereka.
Mereka secara pribadi dan keluarga mereka
tak boleh dirugikan. Mereka yang tinggal di tanah itu semua sama. Kalau ada di antara
mereka yang melarikan diri karena
takut melihat perang, kemudian kembali lagi ke tanah mereka, keamanan mereka harus dijamin. Kharaj atau jizyah
yang diberlakukan oleh pejabat Muslim tidak boleh memberatkan. Dengan
demikian, dan dengan ditegakkannya keadilan
di antara penduduk, maka semua warga di bawah pemerintahan Muslimin akan
merasa tenteram.
Mencari pemukiman yang cocok
Tetapi
mereka juga harus sadar bahwa para penanggung jawab itu mempunyai kekuatan dan
kemampuan untuk menumpas semua anganangan
untuk memberontak, yang mungkin menggoda pikiran mereka atas nama
keangkuhan pribadi atau kebanggaan golongan. Pasukan ini harus mempunyai kawasan tersendiri yang tidak
bercampur aduk dengan rumah-rumah
penduduk, bahkan harus dikhususkan untuk mereka saja. Satuan-satuan tentara itu berkumpul di
tempat ini, tetapi mereka harus selalu siap untuk menghadapi perang setiap saat.
Dengan demikian mereka dapat
menyelamatkan Irak dari pemberontakan dan dari pihak Persia yang masih berpikir hendak membalas
dendam. Dengan pemerintahan ini
mereka sudah merasa tenang, dan secara terhormat setiap saat mampu
memberikan penjagaan.
Inilah
kebijaksanaan yang berjalan di sana sesuai dengan pendapat Umar setelah bermusyawarah dengan para
sahabatnya. Beberapa peristiwa pun
telah mendukung terlaksananya semua itu dengan tenang tanpa menimbulkan gejolak di kalangan penduduk Irak dan
Persia, dan pasukan Muslimin juga tidak merasa bahwa mereka tidak
mendapat rampasan perang. Sebabnya, beberapa kota di Irak udaranya mengganggu
kesehatan pasukan Muslimin. Delegasi yang datang kepada Umar dari Jalula,
Hulwan, Tikrit dan Mosul melaporkan tentang pembebasan dan rampasan perang itu. Selesai melihat segala
keperluan mereka Umar berkata:
"Sikap kalian ini bukan lagi sikap ketika kalian berangkat menuju
tempat-tempat ini. Delegasi dari Kadisiah dan Mada'in juga sudah pernah datang yang juga keluar dari suatu tempat
menuju tempattempat lain. Apa yang membuat kalian
berubah?!"
"Keadaan
setempat yang tidak sehat," jawab mereka.
Umar
menanyakan kepada Sa'd di Mada'in mengenai perubahan yang
terjadi dengan orang-orang Arab itu. Tetapi jawaban Sa'd sama dengan laporan mereka. Ketika itu Huzaifah bin
al-Yaman juga tinggal di Mada'in bersama Sa'd. la pun menulis kepada Umar
sebelum kedatangan delegasi itu dengan
mengatakan bahwa "orang-orang Arab menjadi kurus-kurus dan tenaganya
sudah sangat berkurang." Khalifah merasa
khawatir j ika segala yang terjadi itu akan membuat para prajuritnya sampai tak bertenaga. la segera
menulis kepada Sa'd mengatakan:
"Iklim itu akan cocok buat orang-orang Arab hanya jika cocok dengan unta
dan negeri mereka. Kirimlah seorang peneliti untuk menyelidiki sebuah daerah pemukiman untuk mereka
dari segi darat dan laut. Jangan ada lautan dan jembatan antara saya
dengan kalian." Maksud Umar dengan suratnya itu untuk memastikan dua hal:
Pertama, daerah yang akan dipilih
untuk pemukiman orang-orang Arab harus kering seperti di pedalaman, tetapi ada sumber
air yang bagus. Kedua, jangan
terhalang oleh lautan atau jembatan untuk pengiriman bala bantuan kepada
pasukan yang tinggal di daerah itu jika sewaktu-waktu diperlukan. Kewaspadaan Umar ini menganggap laut
itu seperti kapal yang berbahaya, dan untuk itu ia berpendapat antara dia
dengan ang‑katan bersenjatanya jangan sampai dipisahkan oleh apa pun yang akan
membahayakan pengiriman bala bantuan kepada
mereka.
Membangun
kota Kufah dan Basrah
Sa'd
segera memanggil Abdullah bin al-Mu'tam dari Mosul dan Qa'qa'
bin Amr dari Jalula kemudian mengutus mereka untuk meneliti tempat yang baik buat pemukiman orang-orang Arab
seperti digambarkan oleh
Amirulmukminin. Umar menanyakan orang-orang di sekitarnya di Medinah siapa orang yang tahu tentang seluk
beluk tempat di Irak, adakah yang mengetahui tempat yang ia lukiskan itu.
Mereka sependapat bahwa kota Kufah yang di
dekat Hirah itulah letak yang terbaik. Kufah kotanya hijau, segar dan
sehat, seperti Hirah, terletak di sepanjang Furat, dan tidak jauh dari padang
pasir. Sa'd berangkat dari Mada'in ke Kufah
dan mencari tempat yang paling tinggi. Di tempat itu ia membangun sebuah mesjid, dan halaman luas
di sekitarnya kirakira sejauh sasaran anak panah dari tengah mesjid,
dibiarkan untuk dijadikan pasar bagi orang yang berjual beli. Sesudah mesjid
dibangun kemudian dipasang sebuah tenda
seluas dua ratus depa dengan tiangtiang dari pualam yang diambil dari istana-istana
Kisra, langit-langitnya menyerupai
langit-langit gereja Rumawi. Di sekeliling pekarangan mesjid digali parit
supaya orang tidak berebut menyerbu bangunan itu. Seorang ahli bangunan orang
Persia membangun sebuah rumah model bangunan Kisra dari batu merah untuk Sa'd
yang sekaligus dijadikan baitulmal, berhadapan dengan mesjid dan diberi nama
Istana Sa'd. Di sekitar halaman mesjid
dibangun pula tempat-tempat tinggal tentara, setiap kabilah memilih tempatnya sendiri kemudian
dipasang kemah. Sesudah keadaan
mereka mantap Sa'd menulis laporan kepada Umar dengan mengatakan: "Saya sudah sampai di sebuah
tempat di Kufah, terletak di antara daratan Hirah dengan Sungai Furat.
Di,tempat ini rerumputan esparto dan
tanaman untuk makan ternak tumbuh subur. Saya biarkan pasukan Muslimin memilih
tempat ini atau Mada'in. Mereka yang
senang tinggal di Mada'in saya biarkan di sana sebagai tempat
pengintaian."
Sekarang
mereka sudah betah tinggal di Kufah. Kekuatan mereka pun
sudah pulih. Mereka meminta izin kepada Umar akan mendirikan tempat-tempat tinggal dari batang-batang buluh
(bambu) yang lebih tahan daripada kemah. Umar mengizinkan dengan suratnya
yang mengatakan: "Barak tentara lebih penting bagi kalian. Saya tidak ingin
menentang kalian." Begitu surat Umar dibacakan kepada mereka, se‑gera mereka mendirikan tempat-tempat tinggal dari
batang-batang buluh. Tetapi kemudian
terjadi kebakaran di tempat itu yang melalap semua tempat tinggal mereka.
Malam itu mereka sudah tak mempunyai tempat berteduh lagi. Adakah mereka akan
mengulang lagi kembali ke kemah? Itu adalah tempat berteduh yang mutlak perlu
untuk melindungi orang dari tempat terbuka.
Tetapi mereka kini sudah biasa tinggal dalam rumah sehingga mereka tidak
tahan lagi tinggal di kemah-kemah. Mereka mengutus orang kepada Umar untuk
menyampaikan berita kebakaran dan sekaligus
meminta izin akan mendirikan rumah-rumah dari batu bata. Umar pun mengizinkan dengan
mengatakan: "Lakukanlah tetapi jangan ada yang melebihi tiga bilik, dan
dalam membangun jangan saling berlomba.
Berpeganglah pada kebiasaan, seperti yang sudah ditentukan oleh negara." Sama seperti
rumah-rumah yang dibangun di Kufah,
sekarang mereka mendirikan demikian. Kedudukan kota ini menyaingi Hirah,
sehingga ibu kota Banu Lakhm itu mirip sebuah desa yang berdiri di
samping kota yang dalam beberapa tahun kemudian telah menjadi sebuah ibu kota
penting dalam sejarah Islam.
Sekarang
Sa'd sudah menetap di Kufah. Di gedung itu ditambah sebuah pintu ke pelampang,
karena keributan orang di pasar mengganggu
pembicaraan. Ada orang yang menuduh bahwa Sa'd memerintahkan kepada ahli bangunannya: Redamlah
suara itu dari tempatku. Berita ini
sampai juga kepada Umar, dan orang menamakan rumah itu Istana Sa'd. Umar menugaskan Muhammad bin Maslamah
ke Kufah dengan pesan: Pergilah ke
istana itu dan bakarlah pintunya, kemudian kembalikanlah seperti yang semula." Sesampainya
di Kufah Ibn Maslamah menyampaikan berita itu kepada Sa'd. la meminta
Ibn Maslamah datang, tetapi ia menolak masuk ke dalam gedung itu. Sa'd datang
menemuinya dan menawarkan bantuan nafkah kepadanya, tetapi ditolak dan hanya menyodorkan surat Umar yang isinya:
"Saya mendapat berita bahwa Anda telah membangun sebuah istana yang
sekaligus dijadikan benteng dan diberi
nama Istana Sa'd, dan jarak antara Anda dengan rakyat dipasang pintu. Itu bukanlah istana
Anda, tetapi itulah istana celaka.
Pindahlah ke rumah yang di sebelah baitulmal dan tutuplah, dan janganlah ada pintu ke istana yang akan
merintangi orang masuk dan menghilangkan hak-hak mereka, dan sesuaikan
tempat pertemuanmu dengan jalan keluar dari rumah Anda." *
Sesudah
membaca isi surat itu Sa'd bersumpah bahwa ia tak pernah
melakukan seperti yang katakan itu. Ibn Maslamah dapat menerima
kebenaran sumpahnya. Ia kembali pulang dan menyampaikansemua berita itu kepada Umar. "Mengapa tidak Anda
terima dari Sa'd? !" tanya Umar.
"Kalau Anda setuju tentu Anda tulis atau mengizinkan saya melakukan itu." Dalam hal ini Umar
menjawab: "Orang yang paling
sempurna pendapatnya, kalau tak ada suatu pesan yang dibawanya ia akan
mengambil keputusan sendiri atau memberikan pendapatnya tanpa harus mengelak." Tetapi
Amirulmukminin dapat memaafkan Sa'd dan membenarkan tindakannya
itu.
Kota
Basrah dibangun bersamaan waktunya dengan dibangunnya kota
Kufah di dekat Ubullah di Delta Furat-Tigris yang bersambung ke Teluk Persia.
Kejadian ini dalam tahun 18 Hijri, tahun keempat pemerintahan Umar. Ada juga
sumber yang menyebutkan bahwa Basrah dibangun sebelum Kufah, kendati bangunan-bangunan
rumahnya baru dibuat dengan bata setelah rumah-rumah di Kufah.
Al-Balazuri menyebutkan bahwa Utbah bin
Gazwan menyerbu Ubullah dalam tahun ke-14 Hijri, yang sesudah dibebaskan
ia menulis kepada Umar: Untuk pasukan
Muslimin perlu ada tempat tinggal untuk musim dingin, dan dapat
menernpatinya usai perang. Dalam jawabannya Khalifah berkata: Kalau
sahabat-sahabat Anda setuju di satu tempat, tetapi dekat dengan mata air dan
tempat penggembalaan, laporkanlah kepada saya suasananya. Umar cukup puas
dengan letak Basrah itu ketika Utbah melukiskannya. Orang berdatangan -ke tempat itu dan
membangun tempattempat tinggal dari buluh, dan Utbah membangun sebuah mesjid
juga dari batang buluh. Kalau
pasukan itu berperang mereka mencabuti bambu-bambu itu lalu diikat. Bilamana kelak
kembali dari medan perang mereka bangun kembali. Karena kebakaran yang dulu
pernah melalap Kufah, Umar
mengizinkan penduduk Basrah membangun dari batu bata seperti yang kemudian dilakukan oleh
pihak Kufah. Kota Basrah setelah itu
menjadi pelabuhan Irak ke Teluk Persia. Tempattempat tinggal di sana dibangun dari batu dan
didirikan pula sebuah mesjid yang termasuk mesjid paling megah.
Pengaruhnya dalam sejarah Islam kemudian sama dengan Kufah
dulu.
Sementara
kita sedang menulis sejarah di masa Umar kita tidak bermaksud melampauinya dengan menyebut
perkembangan kedua kota itu kemudian
hari. Cukup kita singgung saja bahwa kedua kota ini telah mewariskan
berbagai aliran atau mazhab dalam sejarah, bahasa, sastra, fikih dan peradaban
Islam, yang pengaruhnya masih terasa sampai sekarang. Dalam hal ini kedua kota itu berlomba,
seperti juga halnya dalam mengarahkan roda politik negara secara umum,
dan khususnya di Irak. Kedua kota itu pada masa Umar mulai memantapkan
kedudukan‑nya masing-masing. Hal ini wajar saja mengingat Kufah merupakan ibu
kota Irak dan Basrah pelabuhannya yang pertama. Penduduk Semenanjung Arab seperti sudah disebutkan di atas
memonopoli kedua kota itu; penduduk
daerah Yaman dan sekitarnya di selatan memilih Kufah, kalangan Medinah dan
penduduk bagian utara ke Basrah. Perpindahan ini dalam perang dengan Persia
kemudian hari baik sekali pengaruhnya.
Sesudah
kedua kota itu dibangun sumber penghasilan mana yang menjadi tumpuan hidup mereka. Sudah lama seluruh
Irak dalam keadaan tenang sebelum
angkatan bersenjata Muslimin harus berperang lagi menghadapi Yazdigird
dan pasukannya di Persia, dan berhasil memperoleh rampasan perang. Orang-orang Arab tidak
biasa bertani dalam arti
menggantungkan pekerjaannya pada tanah pertanian Irak. Adakah mereka lalu
memeras jerih payah para petani itu seperti yang dilakukan dulu oleh para
pejabat Persia?
Jawaban
atas pertanyaan ini akan terasa mengganggu sehubungan dengan soal Kufah dan Basrah serta penduduknya
yang menggantungkan hidupnya kepada kedua kota itu. Sama halnya dengan
angkatan bersenjata Muslimin di Mada'in,
Jalula, Tikrit, Mosul dan tempattempat lain di seluruh Irak, yang juga
menggantungkan hidupnya ke daerah-daerah itu. Di atas sudah kita sebutkan
bahwa Umar menjalankan kebijakan politiknya seperti yang sudah
dijalankan oleh Abu Bakr sebelumnya.
Dipesankannya kepada para perwira dan anggota-anggota pasukannya untuk tidak mengganggu para petani, dan
supaya berlaku adil terhadap semua
penduduk- sehingga mereka merasa benar-benar aman di bawah pemerintahan
Muslimin, kharaj atau jizyah yang diberlakukan oleh pejabat Muslim tidak boleh
memberatkan. Sesudah Jalula dibebaskan Sa'd
menulis kepada Umar mengenai nasib para petani itu. Di antara mereka ada yang
lari, tetapi ada juga yang tinggal. Mereka yang sudah melarikan diri sekitar 130.000 orang
dari sekitar 30.000 kepala
keluarga. Dalam jawabannya Umar mengatakan: "Biarkan para petani seperti dalam keadaan mereka, kecuali yang
ikut memerangi atau menyeberang
kepada musuh. Perlakukan mereka seperti terhadap petani-petani lain
sebelum itu. Kalau saya sudah menulis kepada Anda mengenai suatu masyarakat teruskanlah begitu.
Adapun yang di luar para petani cara
mengatur rampasan perangnya — yakni pembebasannya — terserah kepada kalian. Barang siapa dari
yang ikut berperang meninggalkan
tanahnya, maka itu untuk kalian. Kalau kalian ajak mereka dan kalian menerima jizyah dan kalian
kembalikan kepada merekasebelum pembagian, biarkanlah begitu, dan yang
tidak kalian panggil, maka rampasan perang yang sudah ditentukan Allah itu untuk
kalian."[7]
Semua
perintah Umar itu oleh Sa'd dilaksanakan. Para petani dikembalikan ke tempat mereka, dan yang masih
berkepala batu dipanggil, dan yang kembali dikenakan kharaj dan mendapat
perlindungan. Segala yang menjadi milik Kisra dan para keluarga Istana
serta pejabatpejabat tinggi dan yang lain bersama mereka tetapi masih keras
kepala, disita. Dari harta yang disita ini
banyak yang dibagikan kepada penduduk yang berada di antara gunung Persia
dengan perbatasan Arab. Harta yang
disita oleh Sa'd ditahan tak boleh dijual, juga semua kemudahan
(fasilitas) untuk kepentingan umum tak boleh dijual, seperti benteng, saluran
air, segala sarana-sarana penghubung dan yang berhubungan dengan rumah-rumah
ibadah kaum Majusi.
Akibat
pelaksanaan kebijakan ini maka semua tanah tetap di tangan
kaum petani dan mereka dianggap kaum zimmi,[8] baik yang
tinggal di
tanahnya selama masa perang atau yang lari karena ketakutan kemudian
kembali lagi sesudah perang. Tanah yang sudah dikuasai dikembalikan kepada
petani atau yang bukan petani yang ikut berperang, kemudian mereka dipanggil
oleh Sa'd dan dianggap kaum zimmi yang tanahnya belum dibagikan kepada pasukan Muslimin.
Adapun tanahtanah milik para kisra
(raja-raja), anggota keluarganya, kaum ningrat dan para pejabat yang ikut berperang, menjadi
milik negara, tak boleh diperjualbelikan, sementara petani-petani Irak
boleh menggarapnya atas dasar sewa
yang dibayar untuk perbendaharaan negara. Undang-undang itu berlaku atas
tanah-tanah yang sudah dikuasai uhtuk rumah-rumah ibadah kaum Majusi.
Mengenai segala kemudahan untuk kepentingan umum seperti saluran air dan segala sarana
penghubung sudah dijadikan milik umum. Larangan diperjualbelikan tetap
berlaku atas kemanfaatan yang sudah ditentukan untuk itu.
Ketentuan
ini telah menyebabkan rnelimpahnya pemasukan ke dalam
kas negara dari berbagai sumber — dari kharaj, jizyah dan sewa tanah milik negara. Dari sumber inilah segala
anggaran dikeluarkan untuk pasukan dan keluarganya di Kufah, Basrah serta
keperluan persenjataan Iainnya. Anggota-anggota pasukan itu sebenarnya
mengharapkan sekiranya tanah di Sawad itu
dibagikan kepada mereka dan menjadi milik pribadi dan ahli warisnya di
kemudian hari. Pemberian yang sudah begitu
melimpah diberikan kepada mereka itu tidak membuat mereka enggan untuk menyampaikan keinginannya
kepada kalangan eksekutif. Tetapi permintaan mereka oleh Umar ditolak
dengan inengatakan: "Kalau kalian tidak akan saling tinju tentu saya
berikan."
Sejak
semula Umar memang sudah menolak memberikan pembagian
tanah kepada anggota pasukan, supaya mereka tidak mendiami daerah
pertanian dan membiasakan diri hidup menetap dan akan membuat mereka
bermalas-malas j ika ada mobilisasi, sementara negara masih memerlukan
tenaga dan semangat mereka, dan memerlukan angkatan bersenjata yang sepenuhnya
harus selalu siap. Bagaimana Amirulmukminin akan merasa tenang melihat anggota
pasukannya mau hidup menetap padahal pihak
Persia besok akan kembali datang untuk membalas dendam, dan mereka sudah
menghasut Irak seperti yang mereka lakukan dulu! Biarlah tanah Kisra itu menjadi
milik negara yang akan digarap oleh para petani penduduk Irak. Biarlah pasukan
Musiimin itu tinggal di barak-barak siap
memenuhi setiap panggilan untuk menghadapi perang.
Pemberian
kepada penduduk Kufah dan Basrah jumlahnya sama seperti
yang diberikan kepada prajurit-prajurit. Bahkan pemberian ini telah
menambah banyaknya para penetap di kedua kota itu sehingga penduduk
di sana hidup nyaman dan berkecukupan. Sungguhpun begitu penduduk
Basrah masih merasa iri terhadap penduduk Kufah karena letak
kota mereka serta rezeki yang melimpah kepada mereka. Umar bin
Khattab bertanya kepada sebuah delegasi yang datang menemuinya dari
Basrah sehubungan dengan keperluan mereka. Ahnaf bin Qais yang
datang bersama mereka berkata: "Amirulmukminin, rezeki me‑mang di tangan Allah.
Saudara-saudara kami yang tinggal di kota-kota menempati rumah-rumah orang dahulu, yang letaknya
di sekitar air tawar dan kebun-kebun
rimbun, sedang kami tinggal di tanah rawa yang asin dan lembab, rumput pun tak dapat
tumbuh. Dari arah timur, laut asin
dan dari arah barat padang pasir tandus. Pertanian dan peternakan tak
ada di tempat kami. Segala keperluan dan makanan kami seperti keluar dari
kerongkongan burung unta. Laki-laki yang lemah mencari air tawar dari jarak dua
farsakh,1 dan untuk keperluan yang sama seorang perempuan pergi dengan mengikat
anaknya dengan tambang seperti mengikat kambing, karena khawatir diserang musuh
atau dimakan binatang buas. Kalau keadaan kami tidak diangkat dari kesengsaraan dan kemiskinan kami, kami akan
seperti mereka yang sudah punah." Setelah itu pemberian kepada mereka oleh Umar
ditambah, dan dengan memerintahkan wakilnya di Kufah — ketika itu Abu Musa al-Asy'ari — untuk dibuatkan sungai yang
airnya disalurkan dari Sungai Tigris sejauh tiga farsakh di sebelah
utara.
Dengan
demikian kaum Muslimin di Irak hidup makmur yang tak ada
taranya di Semenanjung itu. Di samping kemakmurannya itu mereka
hidup terhormat sebagai pihak pembebas yang telah membawa kemenangan.
Mereka tinggal dalam keadaan demikian selama beberapa tahun. Mereka tidak lagi memikirkan akan
menaklukkan Persia atau berusaha mengadakan pembebasan baru. Cukup dengan
menangkis Hormuzan j ika ia mencoba
menyerang bagian tenggara dari arah Basrah. Soalnya, karena Umar tetap
dengan pendapatnya, bahwa cukup sampai Irak
saja dan perbatasannya hams dipertahankan. Itu sebabnya ia menolak
keinginan pasukannya yang sudah memukul mundur Hormuzan untuk mengejar terus
sampai ke dalam negerinya. Ia memerintahkan
mereka untuk mengadakan gencatan senjata dengan syaratsyarat yang sudah
berulang kali dilanggar oleh Hormuzan. Orang ini ditawan lalu dikirimkan kepada
Umar di Medinah. Rasanya bukan tempatnya di
sini menguraikan lebih terinci apa yang telah diperbuat Hormuzan terhadap
pasukan Muslimin dan perlakuan mereka terhadapnya. Tak lama lagi sesudah ini
kita akan kembali ke soal ini.
Membangun Irak demi kesejahteraan
Umar
tetap bersikeras dengan pendapatnya bahwa buat dia cukup hanya
sampai di Irak dan ia akan mengusir Persia dari perbatasannya Ketika
itu Persia sudah tidak memperhatikan Irak karena sedang sibuk dengan pergolakan
yang terjadi di Istananya, di samping segalanya memang sudah tidak terurus dan keserakahan
pribadi-pribadi yang hanya mementingkan diri sendiri. Keadaan di Irak
juga menjadi kacau, semua fasilitas umum
rusak, produksi dan hasil bumi terlantar. Sekarang Umar ingin mencurahkan
perhatiannya pada usaha perbaikannya. la mengerahkan pembantu-pembantunya untuk memperbaiki
prasarana jalan, mengatur pengairan
(irigasi) supaya air dapat mencapai setiap sudut tanah pertanian yang produktif.
Jembatan-jembatan besar kecil diperbaiki. Semua bangunan yang roboh atau
rusak akibat perang di segenap penjuru
negeri diperbaiki kembali. Ahli-ahli bangunan orang Persia yang tinggal
di Irak merupakan tenaga yang paling tepat untuk melaksanakan pekerjaan
ini.
Sesudah
mereka melihat pemerintahan Muslimin di negeri ini sekarang
stabil, dan Kisra sendiri sudah tidak mampu mengembalikan kekuasaannya,
ditambah lagi keamanan, ketenteraman dan keadilan yang
begitu merata, maka mereka pun merasa lebih baik bekerja sama dengan
penguasa sekarang demi kebaikan Irak dan rakyatnya.
Pengaruh kebijakan Umar dalam kehidupan di Irak
Dengan
selesainya semua perbaikan ini pemerintah baru sekarang terasa sudah makin mantap. Pembesar-pembesar
Persia sendiri yang tinggal di Irak
sebagai kaum zimmi dan melihat harta kekayaan mereka sudah
dikembalikan kepada mereka akibat pembangunan ini, justru membuat mereka
bertambah kaya. Para petani juga merasakan kemakmuran itu telah membuat mereka hidup lebih aman
dan lebih senang. Orang-orang Arab
dari kabilah-kabilah yang tinggal di sekitarnya melihat pemerintahan
bangsanya ternyata lebih baik daripada Persia, dan keadilan lebih merata. Semua pihak merasa puas
dengan sistem yang oleh
Amirulmukminin diperkenalkan sebagai dasar pemerintahannya itu. Mereka
lebih tekun mengembangkan harta mereka, lebih rajin mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Untuk apa
mereka memusatkan pikiran ke soal yang lain padahal mereka tahu kekuatan
Musiimin di setiap tempat di dekat
mereka selalu siap menumpas segala macam usaha yang hendak mengobarkan
pemberontakan.
Usaha
mencari rezeki dan kekayaan memang menjadi pendorong semua orang Irak. Sebaliknya para prajurit yang
datang itu merasa sudah cukup senang
dengan pemberian yang mereka terima. Tetapi mereka satu sama lain masih saling iri dan
bersaing. Kita sudah melihat bagaimana orang Basrah iri hati terhadap penduduk
Kufah karena letak dan besarnya
kekayaan kota itu. Kabilah-kabilah yang tinggal di kedua kota ini saling bersaing dan saling
berbangga-bangga, karena watak dasar kabilah memang mendorong mereka ke
arah yang demikian. Ditambah lagi
kesenjangan yang ada makin memperkuat semangat mereka. Mereka melihat
Umar membeda-bedakan mereka dan lebih mengutamakan Kuraisy daripada yang lain, mengangkat
kedudukan kaum Muhajirin dan Ansar melebihi yang lain. Ini juga yang
mendorong mereka melakukan tipu muslihat
terhadap orang-orang yang lebih mendapat tempat dalam hati Khalifah. Muslihat itulah pula
yang sampai mengaitkan Sa'd bin Abi
Waqqas kepada hal-hal yang memang tak pernah dikatakannya ketika ia membuat pintu gedung itu.
Ada lagi golongan yang melaporkan Sa'd kepada Umar, bahwa salatnya tidak
becus. Umar mengutus orang untuk menanyakan
kepada penduduk tentang kebenaran berita tersebut. Setelah diketahui
bahwa ia mengimami salat seperti dilakukan
oleh Rasulullah, ia berkata: Abu Ishaq,[9] itu hanya tuduhan
orang kepada Anda! Demikian rupa
muslihat penduduk Kufah itu kepada
Sa'd bahwa katanya pada suatu hari ia berkata di hadapan mereka: Ya
Allah, janganlah ada seorang amir[10] pun yang
menyenangi mereka, dan janganlah pula ada
amir yang mereka senangi. Tetapi seolah-olah Allah telah
mengabulkan doa Sa'd. Setiap ada pemimpin di Kufah pasti oleh penduduk difitnah
kepada Khalifah. Soalnya karena pemimpin
itu memandang mereka saling menipu dan saling mengobarkan permusuhan.
Maka ia berusaha menumpas fitnah mereka itu, lalu berbalik, merekalah yang
mengadukannya kepada Amirulmukminin.
Pengaruh
persaingan antara penduduk Kufah dengan penduduk Basrah dan Muslimin yang lain
di Irak tak ada yang perlu dikhawatirkan
akan membawa akibat pada pemerintahan Umar. Semua Muslimin sebenarnya tentara yang siap dipanggil ke medan
perang setiap saat. Ketika itulah persaingan mereka akan mereda. Lalu
rakyat hanya menantikan berita-berita,
apa yang terjadi, menguntungkankah atau merugikan. Segala kegiatan pembangunan yang sudah
begitu membahana di seluruh Irak
membuat semua orang sudah begitu sibuk sehingga tidak mau lagi mereka mendengarkan berita-berita
tentang persaingan itu. Di samping itu, Umar yang begitu tegas dan keras,
adalah juga orang yang sangat bijaksana dan penuh kasih. Sikap kerasnya itu
tidak akan membiarkan timbulnya kerusuhan,
sikap bijaksana dan kasih sayangnya tidak akan membiarkan orang yang merasa
dirugikan mengeluh. Dengan demikian,
keadaan di Irak.tetap berjalan tenang dan menyenangkan, tidak sampai mengganggu Khaiifah, juga
tidak mengganggu kaum Muslimin yang lain.
*
**
**
Sementara
Sa'd bin Abi Waqqas berangkat dari Kadisiah ke Mada'in
dan menugaskan para perwiranya ke Jalula, Tikrit dan Mosul, di
samping untuk membangun kota Kufah dan Basrah, dan keadaan di seluruh Irak tenang dan aman, — perwira-perwira
lain seperti Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Khalid bin al-Walid, Yazid bin
Abi Sufyan, Amr bin al-As, Syurahbil bin Hasanah dan yang lain serta para
prajuritnya, semua sedang berjuang menghadapi pasukan Rumawi di Syam. Dalam pada
itu Umar bin Khattab berpindah-pindah dari Medinah ke Baitulmukadas (Yerusalem)
kemudian ke Damsyik. Sekarang kita pun akan berpindah pula ke Syam menemani mereka. Kita akan
melihat bagaimana pelaksanaan
kesatuan orang-orang Arab di selatan Semenanjung itu sampai ke pedalaman
Samawah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar