Jumat, 21 Maret 2014

''UMAR'' PASUKAN MUSLIMIN DI IRAK

 

 

Beberapa kerajaan yang pernah menduduki Irak

Sa'd bin Abi Waqqas tinggal di Istana Kisra dan pasukan Muslimin yang lain menempati gedung-gedung di sekitar Istana itu menikmati segala kesenangan yang ada di situ. Tentu saja mereka hidup senang, mereka sudah mendapat bagian rampasan perang yang akan cukup untuk hidup beberapa tahun. Bahan makanan yang akan didatangkan dari daerah-daerah berdekatan pun cukup banyak dan mudah. Air di Sungai Tigris yang mengalir lancar akan membuat mereka lupa daerah pedalaman yang hanya ditimbuni pasir. Jembatan yang menghubungkan Seleusia dengan Ctesiphon membuat kedua kota yang indah ini sebagai tempat rekreasi bagi mereka yang hidup bermewah-mewah, layak sekali akan memberi ilham kepada penyair Arab seperti jembatan di Bagdad yang telah memberi ilham kepada Ali bin Jahm yang mengatakan:
Mata air antara ar-Rusafah dengan al-Jisr
Mengais udara dari arah yang kuketahui dan yang tak kuketahui.
Adakalanya orang berkumpul dan bertemu dengan Sa'd di Istana Kisra itu. Dengan kalangan yang mempunyai pengetahuan Sa'd ber­bicara tentang sejarah daerah-daerah itu. Sa'd misalnya mengatakan tentang daerah itu masa dahulu sebagai pusat kebudayaan dunia, dan mereka menanggapi. Di berbagai tempat di kawasan itu berdiri keraja-. an-kerajaan Babilonia, Asiria dan Kaldea. Kerajaan-kerajaan itu ada yang bertahan, ada juga yang tiba-tiba muncul kemudian ditinggalkan. Setiap kerajaan itu kemudian disebut menurut nama tempat ia menetap di sisi Ma Baina an-Nahrain ('antara dua sungai')[1]: Sungai Dajlah (Tigris) dan Sungai Furat.
Jauh di masa silam nama Mesopotamia ("Antara Dua Sungai") juga sudah dipakai nama untuk daerah-daerah ini — nama yang sudah dipakai sejak masa Firaun lama, tatkala kedaulatan Mesir membentang jauh ke sana. Sesudah masa kekuasaan Firaun itu, nama demikian juga dikenal ketika kawasan ini berada di bawah kekuasaan Yunani. Tidak heran bilamana nama ini bertahan sampai sekarang, yang melukiskan letak daerah Mesopotamia itu, dengan airnya yang mengalir memberi kemakmuran ke kawasan itu. Irak disebut "Antara Dua Sungai" (Meso­potamia) baru sesudah berada di bawah kekuasaan Persia. Kekuatan Persia bergerak ke kawasan ini dari dataran Iran setelah kekuasaan Firaun dan Yunani dihalau dari sana. Mereka menyusuri pantai-pantai Tigris dan di seberangnya, lalu mendirikan Ctesiphon sebagai ibu kota kerajaannya. Dari sana dan dari ketujuh kota di sekitarnya serta Se­leusia Yunani yang berdiri sendiri dibangunlah kota "al-Mada'in"[2] yang keagungannya, luas kekuasaannya, kekayaannya yang melimpah serta kemakmuran rakyatnya, selama berabad-abad menjadi kebanggaan seja­rah. Kalau kota-kota di Mesopotamia itu berbatasan dengan 'al-Iraq al­Ajami' (Irak-Persia), nama yang lebih umum dipakai di sini ialah Per­sia, dan mereka menganggapnya sebagian dari Persia, sama dengan Seleusia yang mereka dianggap sebagian dari Ctesiphon. Sejak itu nama Irak disebut menurut nama kota-kota itu.
Irak yang dimenangkan pasukan Muslimin dari Persia ini mem­bentang dari Delta dua sungai di selatan sampai ke utara sebelum Mosul (Mausil), berbatasan di bagian hulu dengan Syam yang besar sekali pengaruhnya dalam sejarah Persia dan Rumawi, yang juga ke­mudian berpengaruh dalam sejarah pembebasan yang dilakukan Islam. Perbatasan Irak dengan Syam telah menyebabkan berpindahnya agama­agama yang lahir di Palestina dan daerah-daerah sekitarnya, sampai pada waktu paganisme Yunani dan Majusi Persia datang menyerangnya. Itu sebabnya di sini terdapat sebuah koloni besar terdiri atas orang-orang Yahudi, juga orang-orang Nasrani setelah pindah ke Syam kemudian berimigrasi ke mari.
Mengingat kota-kota di Mesopotamia itu bertetangga dengan tanah Arab, yang juga bertetangga dengan Persia, banyak kabilah Seme­nanjung itu yang berimigrasi, menetap dan bertempat tinggal di sana. Ketika pasukan Muslimin menyerbu Mesopotamia, kawasan ini sudah biasa mereka sebut Irak dan tidak pernah menyebut nama lain. Kemu­dian kawasan di antara Sungai Tigris-Furat dan sekitarnya mereka namakan as-Sawad. Untuk membedakan Irak ini dengan Irak-Ajam, oleh para sejarawan yang satu diberi nama 'al-'Iraq al-'arabi' (Irak­Arab) dan yang lain 'al-'Iraq al- 'ajami' (Irak-Persia).
Sifat tanah kedua Irak ini sangat berbeda sekali. Irak-Arab merupa­kan dataran yang dialiri kedua sungai itu, di sana sini tersebar sungai­sungai kecil, anak-anak sungai dan kolam-kolam, sehingga sebagian tampak hijau segar dan subur oleh buah-buahan. Di ujung timur sampai di gunung dengan puncaknya yang tinggi yang memisahkannya dari Irak-Ajam, di belakang berturut-turut pegunungan dan lembah-lembah sampai ke dataran Iran. Gunung ini memang merupakan penyekat alam yang kukuh.sekali, memisahkan Asia di bagian timur jauh dari negeri­negeri Asia yang terletak di bagian barat, dan yang karenanya pula lebih banyak berhubungan dengan bangsa-bangsa yang ada di sekitar Laut Tengah (Mediterania) di Afrika dan Eropa daripada dengan ne­geri-negeri tetangga di Timur.

Pasukan Muslimin di Mada 'in, pasukan Persia bermarkas di Jalula

Pengaruh letak geografis inilah yang memungkinkan kabilah­kabilah Arab berimigrasi ke Irak dan Syam. Rumah-rumah ras Arab ini bertebaran dari Teluk Aden dan Samudera Indonesia di selatan sampai jauh ke utara di Irak dan Syam. Kabilah-kabilah ini — seperti juga se­jumlah besar tanah Semenanjung Arab — selama berabad-abad berada di bawah kekuasaan Persia dan Rumawi.
Sekarang orang-orang Arab Semenanjung berbalik menyerang ke­dua kerajaan besar ini hingga mencapai Damsyik di Syam dan Mada'in di Irak, dan Sa'd bin Abi Waqqas tinggal di Istana Kisra di ibu kota kerajaan itu.
Sa'd tinggal di ibu kota cantik ini sampai pasukannya berkumpul semua. Sudah tidak perlu lagi ia memburu pasukan Persia di Irak yang terbentang luas sampai ke balik Sungai Tigris, juga Umar tidak meng­izinkan untuk memburu mereka. Oleh karena itu tidak lebih ia hanya mengikuti berita-berita tentang mereka dengan cermat sambil mengirim mata-mata untuk kemudian melaporkan kepadanya. Bahwa pasukan Persia yang lari dalam kekalahan itu sudah sampai di Jalula (Jalula) — sekitar 40 mil utara Mada'in — dan bahwa mereka di sana melihat persimpangan jalan ke berbagai jurusan di Iran, sudah ia terima berita­nya. Mereka berkata satu sama lain: "Kalau kalian berpencar, tidak akan dapat berkumpul lagi. Tempat ini dapat menceraiberaikan kita. Mari kita berkumpul untuk memerangi pasukan Arab itu. Kalau kita yang menang, itulah yang kita harapkan; kalau kebalikannya, kita sudah menjalankan tugas kita dan tanggung jawab kita." Juga ia menerima be­rita bahwa dalam perjalanannya ke Hulwan itu Yazdigird sudah meng­adakan pertemuan dengan stafnya, pembantu-pembantu dan pasukannya dari berbagai daerah. Ia menunjuk Mehran memimpin mereka ke Jalula. Dia sendiri tinggal di tempat yang baru itu sambil mengirimkan bala bantuan berupa pasukan dan bahan makanan kepada mereka. Mereka kemudian bertemu dengan sisa-sisa tentara yang dulu di Mada'in. Me­reka menggali sebuah parit besar di sekitar kota itu lalu dipasang kawat berduri di sekelilingnya. Mereka menyiapkan sejumlah pasukan, per­lengkapan dan alat-alat pengepungan. Selanjutnya mereka saling ber­ikrar dan berjanji tidak akan lari. Pasukan Muslimin akan mereka usir sampai habis tuntas dari daerah-daerah mereka.
Berita-berita ini sampai kepada Sa'd sementara ia berada di Istana Kisra, dan kemudian disampaikan kepada Umar di Medinah. Dalam balasannya Umar menulis kepada Sa'd agar ia mengirim Hasyim bin Utbah ke Jalula dengan 12.000 anggota pasukan. Qa'qa' bin Amr supaya ditempatkan di barisan depan, dan menunjuk lagi yang akan menempati masing-masing sayap kanan dan sayap kiri serta pengawal barisan belakang masing-masing menurut namanya. Anggota-anggota pasukan itu sudah banyak berkumpul dan sudah beristirahat. Semangat mereka memang sudah menyala dan sudah siap tempur, sesudah mereka beristirahat satu bulan menikmati segala karunia Allah berupa hasil rampasan perang yang melimpah banyaknya, yang tak pernah dialami.[3]

Pengepungan dan kemenangan di Jalula

Tatkala sampai di Jalula, Hasyim melihat pihak Persia sudah mem­perkuat diri di sana dan akan mempertahankannya mati-matian. Hasyim mulai mengadakan pengepungan. Tetapi bukan pengepungan itu saja yang akan memaksa mereka menyerah. Bala bantuan buat mereka terus‑menerus datang dari Hulwan, demikian juga bala bantuan buat pasukan Muslimin datang terus-menerus dari Mada'in. Itu sebabnya proses pe­ngepungan berjalan sampai delapan puluh hari. Sementara itu pasukan Persia sudah keluar dari kubu pertahanannya untuk menghadapi pihak Muslimin, tetapi mereka dapat dipukul mundur kembali ke bentengnya. Pihak Persia yakin kalau mereka bertahan semangat dan kekuatan me­reka akan hilang. Jumlah kekuatan mereka yang dua kali jumlah pihak Muslimin tak akan ada gunanya.
Suatu hari pagi-pagi sekali Mehran, komandannya, memerintahkan penyerangan besar-besaran terhadap pasukan Muslimin. Ibn Kasir me­ngatakan: "Mereka terlibat dalam suatu pertempuran sengit yang tak pernah terjadi seperti itu sebelumnya, sehingga barisan pemanah kedua pihak habis binasa, tombak mereka masing-masing pun patah berjatuh­an. Mereka menggunakan pedang dan tabbarzin1 Waktu tiba saat lohor, pasukan Muslimin melakukan salat dengan isyarat. Satuan-satuan Majusi (Persia) terus berdatangan silih berganti. Ketika itu Qa'qa' bin Amr bertanya kepada anggota-anggota pasukannya: Kaum Muslimin! Takutkah kalian apa yang kalian lihat ini? Mereka menjawab: Ya, kita sudah letih, sebaliknya mereka sudah sempat beristirahat. Tidak — kata Qa'qa' lagi — kita serang mereka dan kita harus bersungguh-sungguh dalam mengejar mereka, sampai nanti Allah yang menjatuhkan keputus­an kepada kita. Mari kita serbu mereka sehingga serbuan satu orang dapat menyusup ke tengah-tengah mereka!
Sekarang ia mulai menyerbu dan yang lain juga ikut maju. Qa'qa' sendiri sudah rnemantapkan serangannya dengan memimpin satu pasukan yang terdiri atas para kesatria dan pahlawan-pahlawan pilihan hingga mencapai pintu parit, dan berlangsung sampai gelap malam. Qa'qa' me­lihat pasukannya sudah ada yang mulai menyudahi pertempuran karena hari sudah menjelang malam. Tetapi kemudian terdengar suara me­manggil-manggil: "Hai pasukan Muslimin, mau ke mana kalian!? Lihatlah pemimpinmu sudah di pintu parit! Marilah kita maju bersama. Untuk mernasukinya sekarang sudah tak ada lagi rintangan." Ketika itu pasu­kan Muslimin meneruskan pertempuran menghadapi musuhnya dengan begitu keras mengingatkan mereka pada kerasnya "malam yang geram" hanya saja ini lebih cepat. Sesudah mereka sampai di pintu parit dan melihat Qa'qa' sudah menguasainya, sementara melihat pasukan Persia yang terpukul mundur ke kanan dan ke kiri karena untuk kembali ke kota sudah terhalang oleh parit, ketika itulah pasukan Muslimin me­nyergap mereka di segenap penjuru. Akibatnya dari pasukan mereka yang terbunuh ketika itu 100.000 orang, dan yang masih ada lari hen­dak menuju Hulwan. Tetapi Qa'qa' terus mengejar mereka dan berhasil menyusul Mehran di Khaniqin. Orang ini dibunuhnya. Sekarang Fairuzan, ia lari terus dengan memacu kudanya ke Hulwan. Ia melaporkan kepada Yazdigird mengenai bencana yang menimpa Jalula, dan saat itu juga Yazdigird lari ke Ray.[4]
Ketika Qa'qa' kemudian memasuki kota Hulwan, pasukan pe­ngawal kota sempat mengadakan perlawanan sengit, tetapi sesudah itu mereka dapat dipukul mundur. Sekarang pasukan Muslimin memasuki kota dan berhasil mengumpulkan rampasan perang, menawan dan menarik jizyah dari mereka serta dari kampung-kampung dan daerah­daerah sekitarnya.

Sikap Umar mengenai Persia

Sa'd menulis laporan kepada Umar mengenai jatuhnya Jalula serta rampasan perang dalam jumlah besar yang diperoleh pasukan Mus­limin, serta tentang masuknya Qa'qa' ke Hulwan. Ia meminta izin akan mengejar pasukan Persia sampai ke dalam negeri mereka sendiri. Tetapi dalam hal ini Umar lebih berhati-hati. Ia tidak sependapat dengan pahlawan Kadisiah dan penakluk Mada'in itu, dengan menyebutkan dalam suratnya: "Ingin sekali saya sekiranya di antara Sawad dengan gunung itu ada penyekat, mereka tidak dapat mencapai kita dan kita pun tidak dapat mencapai mereka. Buat kita cukup daerah pedesaan Sawad itu. Saya lebih mengutamakan keselamatan pasukan Muslimin daripada rampasan perang."
Semua yang dikatakan Umar itu tepat sekali. Ketepatan pilihannya bukan karena mengutamakan keselamatan kaum Muslimin saja, tetapi lebih dari itu, pasukan Muslimin belum lagi dapat mengamankan se­luruh Irak dan memberikan kehidupan yang lebih tenteram dan stabil. Di bagian utaranya masih dikhawatirkan timbul pemberontakan, sekali­pun pasukan Muslimin sudah mendapat kemenangan di Tikrit, Mosul, Hit dan Qarqisia (Karkisia), begitu juga sesudah pembebasan Mada'in. Di bagian selatannya juga keadaannya sama, sekalipun sudah dikuasai sebelum dan sesudah Mada'in. Samasekali bukan suatu pandangan yang jauh ke depan jika pasukan Muslimin menerjang jauh sampai ke pe­gunungan Iran dan ke dataran yang begitu luas di balik pegunungan itu. Kalau kemudian Irak memberontak, seperti yang pernah terjadi sebelum Sa'd bin Abi Waqqas memasuki daerah itu dengan kemenangannya yang gemilang, untuk dapat menguasainya kembali bukanlah soal yang mudah. Memang lebih baik pasukan Muslimin menjadikan pegunungan Iran itu sebagai batas penyekat dengan pihak Persia, dan memusatkan perhatian untuk menumpas segala macam pengaruh pemberontakan di Irak, kemudian memusatkan perhatian untuk mengatur tertib hukum di daerah itu.

Politik Umar di Irak

Di samping itu pula, politik Umar sampai pada. saat itu adalah politik Arab dengan tujuan memasukkan semua ras Arab yang ter­bentang dari Samudera Indonesia sampai ke utara Irak dan Syam dalam satu kesatuan di bawah kekuasaan Semenanjung Arab, bahkan di ba­wah kekuasaan Medinah. Kesatuan semua kawasan tersebut akan cukup tenteram di bawah kekuasaan ini, kebebasan berdakwah dengan meng­ajak orang kepada agama Allah dengan argumen dan keterangan yang baik akan terjamin. Dengan politik bertetangga baik dengan Persia dan Rumawi, rasa takut dari pasukan Arab dan Muslimin akan dapat di­hilangkan. Sesudah itu Allah akan memberikan kemenangan kepada agama-Nya atas semua agama kendati orang-orang kafir tidak suka.
Tak ada jalan lain buat Sa'd kecuali tunduk pada pendapat dan perintah Amirulmukminin. Para perwira dan prajurit sangat menyetujui pendapat itu, setelah melihat angkatan bersenjatanya dari waktu ke waktu pergi hendak menumpas setiap pemberontakan yang terjadi di kawasan Sawad. Apalagi setelah mereka memperoleh rampasan perang di Kadisiah, Mada'in dan Jalula berlipat ganda banyaknya dari yang mereka harapkan. Juga bagian setiap prajurit dari rampasan perang Jalula tidak kurang dari yang diperolehnya dari rampasan Mada'in. Harta yang mereka peroleh dari tiga puluh juta, terdiri atas barang­barang berharga yang dibawa oleh mereka yang lari dari Mada'in. Di samping itu mereka juga mendapat kuda dan alat-alat perang, yang oleh pihak Persia dulu tak ada yang ditinggalkan di ibu kotanya. Juga me­reka beroleh tawanan perang yang dulu tidak mereka peroleh di Mada'in. Sesudah Sa'd membagi-bagikan rampasan perang yang besar itu, setiap orang mendapat sembilan ribu dan sembilan ekor kuda selain yang mendapat tawanan perempuan, di antaranya ada yang biasa di­besarkan dalam hidup berkecukupan dan biasa dimanja. Cara hidup ini membuat mereka tidak mampu lari ke gunung-gunung dan dataran­dataran luas berpasir.

Umar menghadapi kekayaan

Seperlima hasil rampasan perang itu oleh Sa'd dikirimkan ke Me­dinah bersama sebuah rombongan, di antaranya Ziyad bin Abi Sufyan. Setelah sampai ke hadapan Umar Ziyad melaporkan begitu lancar dan menarik mengenai pembebasan Jalula dan Hulwan, sehingga kata Umar kepadanya: "Dapatkah Anda menyampaikan ini kepada masyarakat seperti yang Anda katakan kepada saya ini sekarang?" "Ya, dapat Amirulmukminin," kata Ziyad. "Di muka bumi ini tak ada orang yang lebih saya segani dari Anda, apalagi yang lain, mengapa tidak!" Kemudian ia pergi menceritakan peristiwa itu kepada orang banyak, bagaimana peranan pahlawan-pahlawan Muslimin dalam peristiwa itu dan berapa banyak pasukan Persia yang terbunuh dan yang diperoleh dari mereka — dengan gaya bahasa yang begitu kuat dan amat menarik. Karena kagum Umar berkata: Inilah orator dengan suaranya yang benar­benar nyaring dan lancar. Tersentuh oleh pujian ini Ziyad berkata: "Pasukan kitalah yang membuat lidah ini lancar."
Setelah beberapa pemuka memberi isyarat kepada Amirulmukminin supaya hasil rampasan perang itu disimpan dalam baitulmal, maka kata­nya: "Sebelum malam tiba barang-barang ini sudah akan saya bagikan." Barang-barang rampasan perang itu diletakkan di ruangan Masjid dengan dijaga oleh Abdur-Rahman bin Auf dan Abdullah bin Arqam. Keesok‑an harinya selesai Umar mengimami salat subuh dan matahari sudah mulai terbit ia meminta barang-barang rampasan perang itu diper­lihatkan. Tetapi setelah melihat segala macam permata yakut, zamrud, berlian, emas dan perak, ia menangis: "Apa yang membuat Anda me­nangis, Amirulmukminin?" tanya Abdur-Rahman bin Auf. "Sungguh semua ini harus kita syukuri."
"Bukan ini yang membuat saya menangis," jawab Umar. "Demi Allah, jika Allah memberikan yang semacam ini kepada suatu bangsa, pasti mereka akan saling mendengki, saling membenci. Dan bila suatu bangsa sudah saling mendengki, permusuhan antara mereka akan ber­larut-larut."
Di sini kita berhenti sejenak merenungkan kata-kata mutiara ini: Orang-orang Arab itu tak pernah mengenal suatu hasil usaha yang mudah sebelum memperoleh rampasan perang yang sangat besar itu dari berbagai penjuru. Dalam mencari sesuap nasi, biasanya mereka berusaha menjelajahi bumi ini, dan yang mereka peroleh sesuai dengan kadar usaha masing-masing. Mereka pergi dalam musim panas dan musim dingin membawa perdagangan ke Yaman dan ke Syam dengan menghadapi berbagai macam kesulitan dan gangguan keamanan selama dalam perjalanan. Mereka mengawal kafilah-kafilah yang berangkat dari barat ke timur membawa segala macam harta kekayaan sekadar menerima upah dengan mempertaruhkan diri untuk menghadapi bahaya perampokan atas kafilah-kafilah itu. Untuk mendapatkan segala ke­perluan makan minum dan keperluan hidup, mereka harus bekerja keras. Tetapi sekarang rampasan perang yang mereka peroleh sudah begitu melimpah. Kiranya apa jadinya mereka dengan perubahan hidup makmur dari segi perekonomian mereka itu? Tidak heran j ika mereka kelak berakhir dengan mau hidup nyaman dan senang dengan segala kemewahan. Kenyamanan akan menimbulkan kedengkian dan permu­suhan karena masing-masing ingin mendapat rezeki yang lebih banyak yang akan dapat menambah kemewahan dan kesenangan hidupnya. Manusia jika sudah dininabobokkan oleh kenyamanan ia akan menjadi lunak, kalau sudah saling bermusuhan kekuatannya akan hilang. Lalu di mana letak seruan Allah untuk hidup dalam persaudaraan, tolong-me­nolong dan saling membantu agar menjadi anggota umat yang memberi kekuatan kepada umatnya, menjadi mendukung kebenaran seperti di­wahyukan Allah kepada Rasul-Nya, membela dan memperkuatnya. Karena khawatir akan kenyamanan yang akan membawa umat hidup santai dan saling bermusuhan itulah, maka Umar menangis. Seolah-olah ia sudah melihat dari celah-celah alam gaib apa yang sudah digariskan oleh takdir dalam suratannya bagi umat yang telah membaiatnya dan saling memperkuat itu. Jadi karena jerih payah umat, maka mengalirlah bongkahan-bongkahan emas ke Sahara Semenanjung Arab yang tandus dan gersang itu.
Umar membagi-bagikan rampasan perang yang telah membuatnya menangis itu kepada umat secara terbuka dan atas musyawarah dengan konsensus dari Muslimin. Sebagian penduduk Medinah ada yang men­dapat tambahan. Pembagian ini dilakukan seperti ketika membagikan rampasan perang yang pernah dikirimkan Sa'd selepas Perang Kadisiah.

Pasukan Rumawi di Mosul dan Tikrit

Pembagian ini dihadiri oleh Ziyad bin Abi Sufyan. Kemudian ia segera kembali kepada Sa'd bin Abi Waqqas dengan membawa surat dari Umar yang berisi perintah jangan mengejar pasukan Persia di dalam negeri mereka itu. Setelah membacanya Sa'd menganggap kebijakan Amirulmukminin ini penting; sebab ketika ia menulis surat melaporkan kepada Umar tentang berkumpulnya pihak Persia di Jalula dan bala bantuan yang dikirimkan oleh Yazdigird kepada mereka dari Hulwan, juga melaporkan bahwa pihak Rumawi di Mosul sudah ber­kumpul di Tikrit di tepi Sungai Tigris ke utara Mada'in, dan bahwa banyak orang Arab Nasrani dari kabilah Iyad, Taglib dan Namir ber­gabung kepada mereka dan membantu mereka melawan pasukan Muslimin. Umar menulis kepadanya dengan mengirim Abdullah bin Mu'tam ke Tikrit bersama 5000 orang anggota pasukan. Mereka menuju kota itu dan mengepungnya selama empat puluh hari. Setelah mereka yang mempertahankan kota merasa sudah sangat letih, dengan beberapa kapal pihak Rumawi sudah siap melarikan diri dengan membawa segala harta kekayaannya. Berita itu segera diketahui oleh Ibn Mu'tam. Cepat­cepat ia menghubungi pihak Nasrani, mengajak mereka kepada Islam dan membelanya. Mereka akan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan umat Islam yang lain. Sesudah mereka menerima baik ajakannya itu, mereka diberi tugas menjaga pintu-pintu kota yang menuju tempat kapal-kapal yang hendak berlayar ke Rumawi. Kalau mereka keluar dari pintu akan naik ke kapal, kalau mampu membunuh bunuhlah mereka. Pasukan Muslimin kemudian menyerang kota dengan bertakbir yang disambut pula dengan takbir oleh orang-orang Arab pedalaman dari sisi lain. Pasukan Rumawi menjadi kacau dan berusaha hendak keluar dari pintu-pintu itu. Dari depan mereka disambut oleh pedang pasukan Muslimin dan dari belakang oleh pedang orang-orang Arab pedalaman yang sudah menerima Islam, sehingga tak seorang pun dapat lolos dari mereka. Ketika itulah Abdullah bin Mu'tam mengirim Rib'i bin Akfal ke Mosul, sesuai dengan pesan Umar dalam suratnya kepada Sa'd. Ibn Akfal cepat-cepat berangkat bersama kabilah-kabilah Iyad, Namir dan Taglib yang sudah menerima Islam. Dua benteng di Nineveh dan Mosul disergap sebelum berita Tikrit sampai ke sana. Penghuni-penghuni kedua benteng itu sedianya hendak mengadakan perlawanan, tetapi sesudah mengetahui kejadian di Tikrit mereka mau memenuhi seruan damai dan bersedia membayar jizyah. Rampasan perang Tikrit itu dibagikan dan setiap orang dari pasukan berkuda men­dapat tiga ribu dan anggota infanteri seribu dirham.
Berita kekalahan pasukan Rumawi di Tikrit dan Mosul ini sampai juga kepada saudara-saudaranya di Syam. Mereka pun sudah meng­alami bagaimana kekuatan Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin Jar-rah seperti yang akan kita singgung sebentar lagi. Mereka dalam ke­takutan jika pasukan Muslimin di Irak sampai ke perbatasan Syam dan menyergap mereka dari belakang, padahal ketika mendapat serangan Khalid dan Abu Ubaidah mereka bertahan sambil mundur ke perbatas­an itu. Sekarang mereka akan terkepung, dan tak ada jalan lain mereka harus angkat tangan dan menyerah. Kepada penduduk al-Jazirah yang berada di bawah kekuasaan Rumawi mereka mengirim utusan untuk meminta bantuan melawan pasukan Muslimin yang ada di sana. Semua berita ini sudah sampai kepada Sa'd ketika Hasyim bin Utbah kembali dari Jalula dengan kemenangan. Juga berita tentang berkumpulnya besar-besaran pasukan Jazirah di kota Hit di pantai Furat. Atas perintah Umar sebuah pasukan dikirim ke sana di bawah pimpinan Amr bin Malik. Ternyata mereka sudah memperkuat diri di kota itu dan sudah menggali parit di sekitarnya. Dengan mewakilkan kepada Haris bin Yazid untuk meneruskan pengepungan, ia sendiri berangkat ke utara ke Qarkisia di persimpangan Furat dengan Khabur yang berada di per­batasan Irak dengan Syam. Kota ini dikuasai dengan jalan disergap dan para penjaga dan penghuninya bersedia membayar jizyah. Setelah itu ia menulis surat kepada Haris bin Yazid agar pasukan yang bertahan di Hit dibiarkan kalau mereka mau keluar dari sana. Kalau tidak, di luar parit mereka supaya digali sebuah parit lagi dan semua pintunya hanya menuju ke arah itu. Haris memberitahukan pihak Hit tentang rencananya itu, dan meyakinkan mereka bahwa pengepungan akan diteruskan sampai mereka mati. Mereka pun menyerah dan keluar meninggalkan kota itu, yang selanjutnya ditempati oleh pasukan Mus­limin.
Berita-berita mengenai kota-kota Hit dan Qarkisia serta kemenang­an pasukannya di sana sudah diketahui oleh Sa'd. la bertambah yakin akan hikmah kebijaksanaan Umar untuk tidak mengejar pasukan Yazdi­gird di pegunungan dan dataran Persia itu. Andaikata dengan kekuatan bersenjatanya ia terus mengejar mereka kemudian pihak Irak mem­berontak dan Persia berusaha mengobarkan semangat mereka, pasti ia akan menemui kesulitan untuk menumpasnya. Sesudah kemenangan Hasyim di Jalula ia mendapat berita bahwa angkatan bersenjata Persia berkumpul di Masabazan, di perbatasan Irak-Arab di sebelah timur dengan Persia di sebelah barat. Ia segera mengirim sebuah pasukan di bawah pimpinan Dirar bin Khattab untuk menghadapi mereka di datar­an Masabazan. Dalam pertempuran itu mereka dapat dipatahkan dan komandan mereka terbunuh. Kemudian mereka dikejar terus sampai ke Masabazan dan dengan jalan kekerasan kota ini pun akhirnya dapat dikuasai. Melihat penduduk yang berlarian ke gunung-gunung, ia me­manggil mereka dan panggilan itu mereka penuhi. Mereka bersedia membayar j izyah. Sekarang mereka aman tinggal di kota itu.
Kemenangan akibat serangan-serangan yang terus-menerus di Irak bagian utara dan timur itu membuat mereka tunduk kepada kekuasaan Muslimin. Sebelum di bagian utara dan timur, bagian selatan Irak sudah lebih dulu tunduk, yaitu ketika mereka melihat kekuatan Khalid bin Walid dan Musanna bin Harisah pada masa pemerintahan Abu Bakr. Bagian selatan ini pernah memberontak kepada kekuatan Muslimin ketika seluruh Irak memberontak. Sesudah Umar mengirim Sa'd bin Abi Waqqas ke Kadisiah, Utbah bin Gazwan dikirimnya untuk menye­rang selatan, yang bersama Arfajah bin Harsamah al-Bariqi berangkat ke Ubullah, di dekat Basrah sekarang, dan merebutnya kembali dari Persia sesudah pertempuran kalah menang yang silih berganti selama beberapa minggu. Ubullah ketika itu merupakan sebuah pelabuhan besar, tempat kapal-kapal yang datang dari Cina dan India berlabuh dan bertolak dari sana. Di tempat ini banyak sekali orang India yang bekerja sebagai pedagang. Penduduk Ubullah keluar dengan membawa barang-barang yang dapat mereka bawa ketika pengawal-pengawal kota sudah mengalami kekalahan. Pasukan Muslimin memasuki kota itu dan rampasan perang yang diperolehnya kemudian dibagi-bagikan. Selanjut­nya Utbah menyeberangi sungai mengejar tentara musuh yang melari­kan diri. Ia dapat menguasai majelis Maisan dan mengirimkan para pejabatnya sebagai tawanan, berikut ikat pinggangnya ke Medinah. Umar tahu siapa-siapa yang membawa ikat pinggang itu. Orang-orang Arab di Irak sangat tergila-gila kesenangan hidup. Ia khawatir sekali akibatnya bagi mereka. Maka ia memanggil Utbah untuk ditanyai apa yang telah terjadi dengan mereka itu. Utbah menunjuk Musyaji' bin Mas'ud sebagai pemimpin pasukan dan Mugirah bin Syu'bah sebagai imam salat. Mengetahui Musyaji' ditunjuk sebagai pemimpin pasukan, Umar memperlihatkan kemarahannya dengan mengatakan: "Anda me­nunjuk orang gunung untuk memimpin orang kota! Anda tahu apa yang akan terjadi?" Lalu ia menerangkan bahwa Mugirah bin Syu'bah telah rriengalahkan pasukan Persia di Margab, dan kendati Musyaji' mendapat kemenangan di Furat, namun pimpinan tentara diserahkannya kepada Mugirah, supaya orang-orang Kuraisy dan sahabat-sahabat Rasulullah tidak berada di bawah pimpinan orang badui.
Kemenangan Mugirah melawan pasukan Persia tidaklah mudah. Pertempuran itu begitu sengit, kedua pihak berperan silih berganti dan pihak Persia sudah mati-matian bertempur. Mereka bertindak demikian karena melihat sebuah satuan yang mereka kira bala bantuan untuk pasukan Muslimin. Kekuatan mereka ambruk dan mereka dapat dipukul mundur. Sebenarnya satuan itu tidak lain dari serombongan perempuan Muslimin yang keluar dari kemah-kemah mereka, lalu dengan meng­gunakan kerudung sebagai bendera, mereka datang hendak membantu pasukan Muslimin.
Ia meminta Utbah kembali ke tempat pekerjaannya dan dibebaskan dari tugas itu, tetapi dia menolak. Sementara sedang dalam perjalanan ke Irak, Utbah menemui ajalnya. Maka Mugirah menggantikannya me­mimpin pasukan.[5]
**

Pertimbangan-pertimbangan dan kebijakan Umar di Irak

Sesudah keadaan pasukan Muslimin mulai tenang di Irak, sekarang tiba saatnya memikirkan untuk menyusun organisasi mereka sendiri.
Adakah perkiraan kita, bahwa mereka dibiarkan cukup dengan meng­ajarkan agama kepada penduduk yang sudah menerima Islam, dan menerima jizyah dari yang bukan Muslim? Itulah yang sudah dilakukan Rasulullah tatkala kabilah-kabilah dan kota-kota di Semenanjung Arab menyatakan sudah menjadi keluarga Muslim. la mengirim orang-orang yang ditugaskan mengajarkan agama kepada mereka, dan ada yang bertugas memungut zakat. Coba kita lihat, kalau Umar melakukan hal serupa itu untuk Irak, terjaminkah keamanan masa depannya? Rasulullah tidak pernah memerangi kabilah-kabilah dan tidak pula membebaskan kota-kota yang sudah masuk ke dalam lingkungan Islam — kecuali Me­kah dan Ta'if. Sungguhpun begitu, kaum murtad di seluruh Semenan­jung Arab telah mengambil kesempatan pertama dengan menyatakan pembangkangan tak lama sebelum Rasulullah wafat, dan yang kemu­dian menyebar luas seperti api di tengah-tengah jerami kering setelah Abu Bakr dibaiat, padahal Semenanjung itu berpenduduk Arab, dan kekuasaan Medinah tidak pula membebani mereka dan hati mereka pun tidak membencinya seperti kebencian mereka yang bukan Arab.
Seperti sudah kita lihat, mengingat pembangkangan orang-orang Arab yang berakibat pecahnya perang di sana sini, maka wajar sekali j ika Umar merasa khawatir orang-orang Persia penduduk Irak, yang kebanyakan belum lagi masuk Islam, akan membangkang, bahkan mem­bangkangnya orang-orang Arab Irak sendiri, baik yang sudah masuk Is­lam atau yang masih dalam kepercayaan lama. Mereka semua sudah biasa dengan segala kenikmatan dan kesenangan hidup di bawah ke‑kuasaan Hirah dan Mada'in, juga sudah biasa dengan berbagai ke­hidupan serba mewah, yang dalam banyak hal tidak sesuai dengan cara­cara kehidupan Arab di Semenanjung, dan dengan ajaran agama yang diwahyukan Allah kepada Nabi berbangsa Arab itu. Kalau Arab Seme­nanjung itu dibiarkan dalam keadaan mereka sendiri, mereka lebih cenderung memberontak. Umar mempunyai pandangan yang lebih jauh dan lebih berhati-hati untuk membiarkan kekacauan yang mulai terlihat gejalanya di negeri-negeri yang sudah dibebaskan itu, yang masih bertetangga dengan Semenanjung Arab. Percikan-percikan kekacauan demikian adakalanya akan meluas. Bagi Amirulmukminin, semua itu sudah cukup untuk memperkirakan segala akibatnya.
Bukan itu saja yang menimbulkan kekhawatiran Umar. Kalau dia merasa aman dari pembangkangan penduduk Irak jika dibiarkan begitu, dan membiarkan kaum Muslimin memberi pelajaran agama kepada mereka yang sudah masuk Islam, dia hams juga membuat perhitungan sungguh-sungguh terhadap pasukan Persia yang sudah dipukul mundur oleh pasukannya ke balik pegunungan mereka sendiri. Umar sudah pernah berangan-angan sekiranya ada sebuah gunung penyekat dari api sehingga ia tak dapat mencapai mereka dan mereka pun tak dapat mencapainya. Tetapi gunung demikian tidak ada. Jadi tidak heran jika pasukan Persia yang dipukul mundur sampai dataran Iran itu berpikir ingin kembali ke Irak untuk membalas dendam dan merebut kembali apa yang lepas dari tangan mereka, seperti yang pernah mereka lakukan setelah Khalid bin Walid menguasai Hirah dan Anbar kemudian di­tinggalkan pergi ke Syam untuk membantu pasukan Muslimin di sana. Usaha balas dendam pihak Persia itu lebih cenderung akan berhasil kalau kekuatan pasukan Muslimin ditarik dari Irak. Sebaliknya, kalau ia tetap di sana dan kedudukannya diperkuat, pihak Persia akan lebih dulu berpikir seribu kali sebelum melakukan tindakannya untuk membalas dendam. Kalaupun mereka berani bertindak, angkatan bersenjata Amirul­mukminin sudah cukup kuat dan siap menghadapi mereka, menumpas atau memukul mundur mereka ke balik pegunungan Persia. Bahkan sudah siap maju sampai ke dataran mereka serta menguasai negeri mereka, seperti yang sudah dilakukannya terhadap Irak dan meng­habiskan kekuasaan dan pengaruh mereka di sana.
Dua pertimbangan ini tidak lepas dari perhitungan Umar. Bahkan barangkali bukan itu yang menjadi pusat pemikirannya selama ini, mengingat keduanya adalah hal yang wajar, dan karena ketika Umar berencana meneruskan perang di Irak tidak bermaksud hendak meng‑usir orang-orang Persia dari sana dan sesudah itu membiarkan mereka begitu saja. Tujuan Umar hendak menggabungkan Irak dengan Syam dalam satu kesatuan tanah Arab yang terbentang dari Teluk Aden sampai ke Samudera Indonesia dan dari Teluk Persia di selatan jauh ke utara pedalaman Sahara Syam. Oleh karena itu sudah selayaknya yang akan mengurus Irak adalah pihak yang menang, dan memastikan keber­adaannya di sana serta yang mengatur sistem pemerintahannya. Adakah sistem pemerintahan ini akan seperti sistem yang dibuat oleh Rumawi dan Persia di negeri-negeri yang mereka duduki? Atau bagaimana sistem yang akan diterapkan oleh Umar di negeri-negeri yang sudah dibebaskan untuk kedaulatan Islam yang baru tumbuh itu?
Andaikata Umar memutuskan untuk memperturutkan keinginan pasukannya yang sudah mendapat kemenangan di Irak, niscaya ia me­nempuh kebijakan seperti Persia dan Rumawi yang memberikan segala­nya kepada pihak militer, dan untuk penduduk tak ada yang ditinggal­kan selain remah dan sisa-sia kelebihan dari pasukannya, seperti halnya dengan pejabat-pejabat Persia yang tidak pernah meninggalkan apa pun untuk petani-petani yang bekerja mengolah tanah mereka, selain remah yang oleh mereka sudah tidak diperlukan lagi. Pasukan Muslimin di Kadisiah, di Mada'in, di Jalula dan di tempat-tempat pertempuran yang lain mendapat rampasan perang yang semula tidak mereka impikan samasekali. Mereka melihat kekayaan di segenap penjuru Irak, kekaya­an yang akan mendorong mereka hidup bersenang-senang dan ber­mewah-mewah sesuka hati mereka, di bawah lindungan pedang. Tetapi kita masih ingat, apa yang dikatakan Khalid bin Walid kepada pasukan­nya tatkala mendapat kemenangan di Walajah pada pertama kali pa­sukan Muslimin menyerbu Irak. Ia berpidato di hadapan mereka dengan mengatakan: "Tidakkah kalian lihat makanan ini yang setinggi gunung? Demi Allah, kalau hanya untuk mencari makan, dan bukan karena kewajiban kita berjuang demi Allah dan mengajak orang kepada ajaran Allah Subhanahu wa ta 'ala, pasti kita gempur desa ini sehingga hanya tinggal kita yang berkuasa di sini, dan orang yang enggan berjuang seperti yang kalian lakukan ini, kita biarkan dalam kelaparan dan kekurangan." Apa artinya makanan di Walajah ini dibandingkan dengan makanan yang ada di Mada'in! Apa artinya kekayaan Furat dibanding­kan dengan kekayaan Tigris! Apa artinya keagungan Hirah dan ke­megahan Khawarnaq dan Sadir[6] dibandingkan dengan keagungan Istana Kisra dan tempat bersemayam raja diraja dan takhtanya! Yang berkuasa dan berhak menikmati semua ini adalah pasukan Muslimin. Merekalah yang sekarang berada di puncak kemenangan itu. Bukankah sudah se­pantasnya jika Umar memperturutkan keinginan mereka dan membiar­kan mereka menikmati segala kekayaan Irak seperti yang dilakukan Kisra terhadap pasukannya yang sudah mendapat kemenangan, demi­kian juga yang dilakukan Kaisar!
Ke sanalah arah pemikiran Umar, yang juga dimusyawarahkan dengan sahabat-sahabatnya. Yang pertama sekali terlintas dalam pikir­annya ketika ia teringat pada perintah-perintah Abu Bakr kepada para panglimanya saat melepas mereka untuk membebaskan Irak. Pekerjaan orang-orang Arab di Irak sebagai petani yang mengolah tanah mereka sendiri, tetapi sedikit sekali hasil yang mereka peroleh. Kebanyakan hasilnya jatuh ke tangan para pemuka-pemuka Persia yang memper­lakukan orang-orang Arab begitu hina dan kejam. Abu Bakr sudah ber­pesan kepada para panglimanya agar tidak memperlakukan orang-orang Arab secara tidak baik. Jangan sampai ada yang terbunuh dari mereka, juga jangan ada yang ditawan, dan segala yang berhubungan dengan kepentingan mereka jangan sampai mereka dirugikan. Politik ini semua merupakan kebijakan yang harus diberlakukan terhadap semua pendu­duk Irak, yang Arab dan yang bukan Arab. Lebih dari itu, orang-orang Persia sendiri harus merasa — mereka yang tidak mengadakan per­lawanan dan tidak merintangi pasukan Muslimin — bahwa pemerintah­an baru ini tidak akan mengganggu kepentingan mereka. Mereka secara pribadi dan keluarga mereka tak boleh dirugikan. Mereka yang tinggal di tanah itu semua sama. Kalau ada di antara mereka yang melarikan diri karena takut melihat perang, kemudian kembali lagi ke tanah mereka, keamanan mereka harus dijamin. Kharaj atau jizyah yang diberlakukan oleh pejabat Muslim tidak boleh memberatkan. Dengan demikian, dan dengan ditegakkannya keadilan di antara penduduk, maka semua warga di bawah pemerintahan Muslimin akan merasa tenteram.

Mencari pemukiman yang cocok

Tetapi mereka juga harus sadar bahwa para penanggung jawab itu mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk menumpas semua angan­angan untuk memberontak, yang mungkin menggoda pikiran mereka atas nama keangkuhan pribadi atau kebanggaan golongan. Pasukan ini harus mempunyai kawasan tersendiri yang tidak bercampur aduk de­ngan rumah-rumah penduduk, bahkan harus dikhususkan untuk mereka saja. Satuan-satuan tentara itu berkumpul di tempat ini, tetapi mereka harus selalu siap untuk menghadapi perang setiap saat. Dengan demi­kian mereka dapat menyelamatkan Irak dari pemberontakan dan dari pihak Persia yang masih berpikir hendak membalas dendam. Dengan pemerintahan ini mereka sudah merasa tenang, dan secara terhormat setiap saat mampu memberikan penjagaan.
Inilah kebijaksanaan yang berjalan di sana sesuai dengan pendapat Umar setelah bermusyawarah dengan para sahabatnya. Beberapa peristiwa pun telah mendukung terlaksananya semua itu dengan tenang tanpa menimbulkan gejolak di kalangan penduduk Irak dan Persia, dan pa­sukan Muslimin juga tidak merasa bahwa mereka tidak mendapat ram­pasan perang. Sebabnya, beberapa kota di Irak udaranya mengganggu kesehatan pasukan Muslimin. Delegasi yang datang kepada Umar dari Jalula, Hulwan, Tikrit dan Mosul melaporkan tentang pembebasan dan rampasan perang itu. Selesai melihat segala keperluan mereka Umar berkata: "Sikap kalian ini bukan lagi sikap ketika kalian berangkat me­nuju tempat-tempat ini. Delegasi dari Kadisiah dan Mada'in juga sudah pernah datang yang juga keluar dari suatu tempat menuju tempat­tempat lain. Apa yang membuat kalian berubah?!"
"Keadaan setempat yang tidak sehat," jawab mereka.
Umar menanyakan kepada Sa'd di Mada'in mengenai perubahan yang terjadi dengan orang-orang Arab itu. Tetapi jawaban Sa'd sama dengan laporan mereka. Ketika itu Huzaifah bin al-Yaman juga tinggal di Mada'in bersama Sa'd. la pun menulis kepada Umar sebelum ke­datangan delegasi itu dengan mengatakan bahwa "orang-orang Arab menjadi kurus-kurus dan tenaganya sudah sangat berkurang." Khalifah merasa khawatir j ika segala yang terjadi itu akan membuat para prajuritnya sampai tak bertenaga. la segera menulis kepada Sa'd me­ngatakan: "Iklim itu akan cocok buat orang-orang Arab hanya jika cocok dengan unta dan negeri mereka. Kirimlah seorang peneliti untuk menyelidiki sebuah daerah pemukiman untuk mereka dari segi darat dan laut. Jangan ada lautan dan jembatan antara saya dengan kalian." Maksud Umar dengan suratnya itu untuk memastikan dua hal: Pertama, daerah yang akan dipilih untuk pemukiman orang-orang Arab harus kering seperti di pedalaman, tetapi ada sumber air yang bagus. Kedua, jangan terhalang oleh lautan atau jembatan untuk pengiriman bala bantuan kepada pasukan yang tinggal di daerah itu jika sewaktu-waktu diperlukan. Kewaspadaan Umar ini menganggap laut itu seperti kapal yang berbahaya, dan untuk itu ia berpendapat antara dia dengan ang‑katan bersenjatanya jangan sampai dipisahkan oleh apa pun yang akan membahayakan pengiriman bala bantuan kepada mereka.
Membangun kota Kufah dan Basrah
Sa'd segera memanggil Abdullah bin al-Mu'tam dari Mosul dan Qa'qa' bin Amr dari Jalula kemudian mengutus mereka untuk meneliti tempat yang baik buat pemukiman orang-orang Arab seperti digambar­kan oleh Amirulmukminin. Umar menanyakan orang-orang di sekitar­nya di Medinah siapa orang yang tahu tentang seluk beluk tempat di Irak, adakah yang mengetahui tempat yang ia lukiskan itu. Mereka sependapat bahwa kota Kufah yang di dekat Hirah itulah letak yang terbaik. Kufah kotanya hijau, segar dan sehat, seperti Hirah, terletak di sepanjang Furat, dan tidak jauh dari padang pasir. Sa'd berangkat dari Mada'in ke Kufah dan mencari tempat yang paling tinggi. Di tempat itu ia membangun sebuah mesjid, dan halaman luas di sekitarnya kira­kira sejauh sasaran anak panah dari tengah mesjid, dibiarkan untuk dijadikan pasar bagi orang yang berjual beli. Sesudah mesjid dibangun kemudian dipasang sebuah tenda seluas dua ratus depa dengan tiang­tiang dari pualam yang diambil dari istana-istana Kisra, langit-langitnya menyerupai langit-langit gereja Rumawi. Di sekeliling pekarangan mesjid digali parit supaya orang tidak berebut menyerbu bangunan itu. Seorang ahli bangunan orang Persia membangun sebuah rumah model bangunan Kisra dari batu merah untuk Sa'd yang sekaligus dijadikan baitulmal, berhadapan dengan mesjid dan diberi nama Istana Sa'd. Di sekitar halaman mesjid dibangun pula tempat-tempat tinggal tentara, setiap kabilah memilih tempatnya sendiri kemudian dipasang kemah. Sesudah keadaan mereka mantap Sa'd menulis laporan kepada Umar dengan mengatakan: "Saya sudah sampai di sebuah tempat di Kufah, terletak di antara daratan Hirah dengan Sungai Furat. Di,tempat ini rerumputan esparto dan tanaman untuk makan ternak tumbuh subur. Saya biarkan pasukan Muslimin memilih tempat ini atau Mada'in. Mereka yang senang tinggal di Mada'in saya biarkan di sana sebagai tempat pengintaian."
Sekarang mereka sudah betah tinggal di Kufah. Kekuatan mereka pun sudah pulih. Mereka meminta izin kepada Umar akan mendirikan tempat-tempat tinggal dari batang-batang buluh (bambu) yang lebih tahan daripada kemah. Umar mengizinkan dengan suratnya yang me­ngatakan: "Barak tentara lebih penting bagi kalian. Saya tidak ingin menentang kalian." Begitu surat Umar dibacakan kepada mereka, se‑gera mereka mendirikan tempat-tempat tinggal dari batang-batang buluh. Tetapi kemudian terjadi kebakaran di tempat itu yang melalap semua tempat tinggal mereka. Malam itu mereka sudah tak mempunyai tempat berteduh lagi. Adakah mereka akan mengulang lagi kembali ke kemah? Itu adalah tempat berteduh yang mutlak perlu untuk melindungi orang dari tempat terbuka. Tetapi mereka kini sudah biasa tinggal dalam rumah sehingga mereka tidak tahan lagi tinggal di kemah-kemah. Mereka mengutus orang kepada Umar untuk menyampaikan berita kebakaran dan sekaligus meminta izin akan mendirikan rumah-rumah dari batu bata. Umar pun mengizinkan dengan mengatakan: "Lakukan­lah tetapi jangan ada yang melebihi tiga bilik, dan dalam membangun jangan saling berlomba. Berpeganglah pada kebiasaan, seperti yang sudah ditentukan oleh negara." Sama seperti rumah-rumah yang di­bangun di Kufah, sekarang mereka mendirikan demikian. Kedudukan kota ini menyaingi Hirah, sehingga ibu kota Banu Lakhm itu mirip sebuah desa yang berdiri di samping kota yang dalam beberapa tahun kemudian telah menjadi sebuah ibu kota penting dalam sejarah Islam.
Sekarang Sa'd sudah menetap di Kufah. Di gedung itu ditambah sebuah pintu ke pelampang, karena keributan orang di pasar meng­ganggu pembicaraan. Ada orang yang menuduh bahwa Sa'd meme­rintahkan kepada ahli bangunannya: Redamlah suara itu dari tempatku. Berita ini sampai juga kepada Umar, dan orang menamakan rumah itu Istana Sa'd. Umar menugaskan Muhammad bin Maslamah ke Kufah dengan pesan: Pergilah ke istana itu dan bakarlah pintunya, kemudian kembalikanlah seperti yang semula." Sesampainya di Kufah Ibn Mas­lamah menyampaikan berita itu kepada Sa'd. la meminta Ibn Maslamah datang, tetapi ia menolak masuk ke dalam gedung itu. Sa'd datang menemuinya dan menawarkan bantuan nafkah kepadanya, tetapi ditolak dan hanya menyodorkan surat Umar yang isinya: "Saya mendapat berita bahwa Anda telah membangun sebuah istana yang sekaligus dijadikan benteng dan diberi nama Istana Sa'd, dan jarak antara Anda dengan rakyat dipasang pintu. Itu bukanlah istana Anda, tetapi itulah istana celaka. Pindahlah ke rumah yang di sebelah baitulmal dan tutup­lah, dan janganlah ada pintu ke istana yang akan merintangi orang masuk dan menghilangkan hak-hak mereka, dan sesuaikan tempat pertemuanmu dengan jalan keluar dari rumah Anda." *
Sesudah membaca isi surat itu Sa'd bersumpah bahwa ia tak pernah melakukan seperti yang katakan itu. Ibn Maslamah dapat me­nerima kebenaran sumpahnya. Ia kembali pulang dan menyampaikansemua berita itu kepada Umar. "Mengapa tidak Anda terima dari Sa'd? !" tanya Umar. "Kalau Anda setuju tentu Anda tulis atau meng­izinkan saya melakukan itu." Dalam hal ini Umar menjawab: "Orang yang paling sempurna pendapatnya, kalau tak ada suatu pesan yang dibawanya ia akan mengambil keputusan sendiri atau memberikan pen­dapatnya tanpa harus mengelak." Tetapi Amirulmukminin dapat me­maafkan Sa'd dan membenarkan tindakannya itu.
Kota Basrah dibangun bersamaan waktunya dengan dibangunnya kota Kufah di dekat Ubullah di Delta Furat-Tigris yang bersambung ke Teluk Persia. Kejadian ini dalam tahun 18 Hijri, tahun keempat pe­merintahan Umar. Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa Basrah dibangun sebelum Kufah, kendati bangunan-bangunan rumahnya baru dibuat dengan bata setelah rumah-rumah di Kufah. Al-Balazuri me­nyebutkan bahwa Utbah bin Gazwan menyerbu Ubullah dalam tahun ke-14 Hijri, yang sesudah dibebaskan ia menulis kepada Umar: Untuk pasukan Muslimin perlu ada tempat tinggal untuk musim dingin, dan dapat menernpatinya usai perang. Dalam jawabannya Khalifah berkata: Kalau sahabat-sahabat Anda setuju di satu tempat, tetapi dekat dengan mata air dan tempat penggembalaan, laporkanlah kepada saya suasana­nya. Umar cukup puas dengan letak Basrah itu ketika Utbah melukis­kannya. Orang berdatangan -ke tempat itu dan membangun tempat­tempat tinggal dari buluh, dan Utbah membangun sebuah mesjid juga dari batang buluh. Kalau pasukan itu berperang mereka mencabuti bambu-bambu itu lalu diikat. Bilamana kelak kembali dari medan pe­rang mereka bangun kembali. Karena kebakaran yang dulu pernah melalap Kufah, Umar mengizinkan penduduk Basrah membangun dari batu bata seperti yang kemudian dilakukan oleh pihak Kufah. Kota Basrah setelah itu menjadi pelabuhan Irak ke Teluk Persia. Tempat­tempat tinggal di sana dibangun dari batu dan didirikan pula sebuah mesjid yang termasuk mesjid paling megah. Pengaruhnya dalam sejarah Islam kemudian sama dengan Kufah dulu.
Sementara kita sedang menulis sejarah di masa Umar kita tidak bermaksud melampauinya dengan menyebut perkembangan kedua kota itu kemudian hari. Cukup kita singgung saja bahwa kedua kota ini telah mewariskan berbagai aliran atau mazhab dalam sejarah, bahasa, sastra, fikih dan peradaban Islam, yang pengaruhnya masih terasa sampai sekarang. Dalam hal ini kedua kota itu berlomba, seperti juga halnya dalam mengarahkan roda politik negara secara umum, dan khususnya di Irak. Kedua kota itu pada masa Umar mulai memantapkan kedudukan‑nya masing-masing. Hal ini wajar saja mengingat Kufah merupakan ibu kota Irak dan Basrah pelabuhannya yang pertama. Penduduk Se­menanjung Arab seperti sudah disebutkan di atas memonopoli kedua kota itu; penduduk daerah Yaman dan sekitarnya di selatan memilih Kufah, kalangan Medinah dan penduduk bagian utara ke Basrah. Perpindahan ini dalam perang dengan Persia kemudian hari baik sekali pengaruhnya.
Sesudah kedua kota itu dibangun sumber penghasilan mana yang menjadi tumpuan hidup mereka. Sudah lama seluruh Irak dalam ke­adaan tenang sebelum angkatan bersenjata Muslimin harus berperang lagi menghadapi Yazdigird dan pasukannya di Persia, dan berhasil memperoleh rampasan perang. Orang-orang Arab tidak biasa bertani dalam arti menggantungkan pekerjaannya pada tanah pertanian Irak. Adakah mereka lalu memeras jerih payah para petani itu seperti yang dilakukan dulu oleh para pejabat Persia?
Jawaban atas pertanyaan ini akan terasa mengganggu sehubungan dengan soal Kufah dan Basrah serta penduduknya yang menggantung­kan hidupnya kepada kedua kota itu. Sama halnya dengan angkatan bersenjata Muslimin di Mada'in, Jalula, Tikrit, Mosul dan tempat­tempat lain di seluruh Irak, yang juga menggantungkan hidupnya ke daerah-daerah itu. Di atas sudah kita sebutkan bahwa Umar menjalan­kan kebijakan politiknya seperti yang sudah dijalankan oleh Abu Bakr sebelumnya. Dipesankannya kepada para perwira dan anggota-anggota pasukannya untuk tidak mengganggu para petani, dan supaya berlaku adil terhadap semua penduduk- sehingga mereka merasa benar-benar aman di bawah pemerintahan Muslimin, kharaj atau jizyah yang diber­lakukan oleh pejabat Muslim tidak boleh memberatkan. Sesudah Jalula dibebaskan Sa'd menulis kepada Umar mengenai nasib para petani itu. Di antara mereka ada yang lari, tetapi ada juga yang tinggal. Mereka yang sudah melarikan diri sekitar 130.000 orang dari sekitar 30.000 kepala keluarga. Dalam jawabannya Umar mengatakan: "Biarkan para petani seperti dalam keadaan mereka, kecuali yang ikut memerangi atau menyeberang kepada musuh. Perlakukan mereka seperti terhadap pe­tani-petani lain sebelum itu. Kalau saya sudah menulis kepada Anda mengenai suatu masyarakat teruskanlah begitu. Adapun yang di luar para petani cara mengatur rampasan perangnya — yakni pembebasan­nya — terserah kepada kalian. Barang siapa dari yang ikut berperang meninggalkan tanahnya, maka itu untuk kalian. Kalau kalian ajak me­reka dan kalian menerima jizyah dan kalian kembalikan kepada merekasebelum pembagian, biarkanlah begitu, dan yang tidak kalian panggil, maka rampasan perang yang sudah ditentukan Allah itu untuk kalian."[7]
Semua perintah Umar itu oleh Sa'd dilaksanakan. Para petani di­kembalikan ke tempat mereka, dan yang masih berkepala batu dipang­gil, dan yang kembali dikenakan kharaj dan mendapat perlindungan. Segala yang menjadi milik Kisra dan para keluarga Istana serta pejabat­pejabat tinggi dan yang lain bersama mereka tetapi masih keras kepala, disita. Dari harta yang disita ini banyak yang dibagikan kepada pen­duduk yang berada di antara gunung Persia dengan perbatasan Arab. Harta yang disita oleh Sa'd ditahan tak boleh dijual, juga semua ke­mudahan (fasilitas) untuk kepentingan umum tak boleh dijual, seperti benteng, saluran air, segala sarana-sarana penghubung dan yang ber­hubungan dengan rumah-rumah ibadah kaum Majusi.
Akibat pelaksanaan kebijakan ini maka semua tanah tetap di ta­ngan kaum petani dan mereka dianggap kaum zimmi,[8] baik yang tinggal di tanahnya selama masa perang atau yang lari karena ketakutan kemudian kembali lagi sesudah perang. Tanah yang sudah dikuasai di­kembalikan kepada petani atau yang bukan petani yang ikut berperang, kemudian mereka dipanggil oleh Sa'd dan dianggap kaum zimmi yang tanahnya belum dibagikan kepada pasukan Muslimin. Adapun tanah­tanah milik para kisra (raja-raja), anggota keluarganya, kaum ningrat dan para pejabat yang ikut berperang, menjadi milik negara, tak boleh diperjualbelikan, sementara petani-petani Irak boleh menggarapnya atas dasar sewa yang dibayar untuk perbendaharaan negara. Undang-undang itu berlaku atas tanah-tanah yang sudah dikuasai uhtuk rumah-rumah ibadah kaum Majusi. Mengenai segala kemudahan untuk kepentingan umum seperti saluran air dan segala sarana penghubung sudah dijadikan milik umum. Larangan diperjualbelikan tetap berlaku atas kemanfaatan yang sudah ditentukan untuk itu.
Ketentuan ini telah menyebabkan rnelimpahnya pemasukan ke dalam kas negara dari berbagai sumber — dari kharaj, jizyah dan sewa tanah milik negara. Dari sumber inilah segala anggaran dikeluarkan untuk pasukan dan keluarganya di Kufah, Basrah serta keperluan per­senjataan Iainnya. Anggota-anggota pasukan itu sebenarnya mengharap­kan sekiranya tanah di Sawad itu dibagikan kepada mereka dan men­jadi milik pribadi dan ahli warisnya di kemudian hari. Pemberian yang sudah begitu melimpah diberikan kepada mereka itu tidak membuat mereka enggan untuk menyampaikan keinginannya kepada kalangan eksekutif. Tetapi permintaan mereka oleh Umar ditolak dengan ine­ngatakan: "Kalau kalian tidak akan saling tinju tentu saya berikan."
Sejak semula Umar memang sudah menolak memberikan pembagi­an tanah kepada anggota pasukan, supaya mereka tidak mendiami daerah pertanian dan membiasakan diri hidup menetap dan akan membuat mereka bermalas-malas j ika ada mobilisasi, sementara negara masih memerlukan tenaga dan semangat mereka, dan memerlukan angkatan bersenjata yang sepenuhnya harus selalu siap. Bagaimana Amirul­mukminin akan merasa tenang melihat anggota pasukannya mau hidup menetap padahal pihak Persia besok akan kembali datang untuk mem­balas dendam, dan mereka sudah menghasut Irak seperti yang mereka lakukan dulu! Biarlah tanah Kisra itu menjadi milik negara yang akan digarap oleh para petani penduduk Irak. Biarlah pasukan Musiimin itu tinggal di barak-barak siap memenuhi setiap panggilan untuk meng­hadapi perang.
Pemberian kepada penduduk Kufah dan Basrah jumlahnya sama seperti yang diberikan kepada prajurit-prajurit. Bahkan pemberian ini telah menambah banyaknya para penetap di kedua kota itu sehingga penduduk di sana hidup nyaman dan berkecukupan. Sungguhpun begitu penduduk Basrah masih merasa iri terhadap penduduk Kufah karena letak kota mereka serta rezeki yang melimpah kepada mereka. Umar bin Khattab bertanya kepada sebuah delegasi yang datang menemuinya dari Basrah sehubungan dengan keperluan mereka. Ahnaf bin Qais yang datang bersama mereka berkata: "Amirulmukminin, rezeki me‑mang di tangan Allah. Saudara-saudara kami yang tinggal di kota-kota menempati rumah-rumah orang dahulu, yang letaknya di sekitar air tawar dan kebun-kebun rimbun, sedang kami tinggal di tanah rawa yang asin dan lembab, rumput pun tak dapat tumbuh. Dari arah timur, laut asin dan dari arah barat padang pasir tandus. Pertanian dan pe­ternakan tak ada di tempat kami. Segala keperluan dan makanan kami seperti keluar dari kerongkongan burung unta. Laki-laki yang lemah mencari air tawar dari jarak dua farsakh,1 dan untuk keperluan yang sama seorang perempuan pergi dengan mengikat anaknya dengan tambang seperti mengikat kambing, karena khawatir diserang musuh atau dimakan binatang buas. Kalau keadaan kami tidak diangkat dari kesengsaraan dan kemiskinan kami, kami akan seperti mereka yang sudah punah." Setelah itu pemberian kepada mereka oleh Umar di­tambah, dan dengan memerintahkan wakilnya di Kufah — ketika itu Abu Musa al-Asy'ari — untuk dibuatkan sungai yang airnya disalurkan dari Sungai Tigris sejauh tiga farsakh di sebelah utara.
Dengan demikian kaum Muslimin di Irak hidup makmur yang tak ada taranya di Semenanjung itu. Di samping kemakmurannya itu mereka hidup terhormat sebagai pihak pembebas yang telah membawa kemenangan. Mereka tinggal dalam keadaan demikian selama beberapa tahun. Mereka tidak lagi memikirkan akan menaklukkan Persia atau berusaha mengadakan pembebasan baru. Cukup dengan menangkis Hormuzan j ika ia mencoba menyerang bagian tenggara dari arah Basrah. Soalnya, karena Umar tetap dengan pendapatnya, bahwa cukup sampai Irak saja dan perbatasannya hams dipertahankan. Itu sebabnya ia menolak keinginan pasukannya yang sudah memukul mundur Hor­muzan untuk mengejar terus sampai ke dalam negerinya. Ia meme­rintahkan mereka untuk mengadakan gencatan senjata dengan syarat­syarat yang sudah berulang kali dilanggar oleh Hormuzan. Orang ini ditawan lalu dikirimkan kepada Umar di Medinah. Rasanya bukan tempatnya di sini menguraikan lebih terinci apa yang telah diperbuat Hormuzan terhadap pasukan Muslimin dan perlakuan mereka terhadap­nya. Tak lama lagi sesudah ini kita akan kembali ke soal ini.

Membangun Irak demi kesejahteraan

Umar tetap bersikeras dengan pendapatnya bahwa buat dia cukup hanya sampai di Irak dan ia akan mengusir Persia dari perbatasannya Ketika itu Persia sudah tidak memperhatikan Irak karena sedang sibuk dengan pergolakan yang terjadi di Istananya, di samping segalanya me­mang sudah tidak terurus dan keserakahan pribadi-pribadi yang hanya mementingkan diri sendiri. Keadaan di Irak juga menjadi kacau, semua fasilitas umum rusak, produksi dan hasil bumi terlantar. Sekarang Umar ingin mencurahkan perhatiannya pada usaha perbaikannya. la me­ngerahkan pembantu-pembantunya untuk memperbaiki prasarana jalan, mengatur pengairan (irigasi) supaya air dapat mencapai setiap sudut tanah pertanian yang produktif. Jembatan-jembatan besar kecil diper­baiki. Semua bangunan yang roboh atau rusak akibat perang di segenap penjuru negeri diperbaiki kembali. Ahli-ahli bangunan orang Persia yang tinggal di Irak merupakan tenaga yang paling tepat untuk me­laksanakan pekerjaan ini.
Sesudah mereka melihat pemerintahan Muslimin di negeri ini se­karang stabil, dan Kisra sendiri sudah tidak mampu mengembalikan kekuasaannya, ditambah lagi keamanan, ketenteraman dan keadilan yang begitu merata, maka mereka pun merasa lebih baik bekerja sama dengan penguasa sekarang demi kebaikan Irak dan rakyatnya.

Pengaruh kebijakan Umar dalam kehidupan di Irak

Dengan selesainya semua perbaikan ini pemerintah baru sekarang terasa sudah makin mantap. Pembesar-pembesar Persia sendiri yang tinggal di Irak sebagai kaum zimmi dan melihat harta kekayaan mereka sudah dikembalikan kepada mereka akibat pembangunan ini, justru membuat mereka bertambah kaya. Para petani juga merasakan kemak­muran itu telah membuat mereka hidup lebih aman dan lebih senang. Orang-orang Arab dari kabilah-kabilah yang tinggal di sekitarnya me­lihat pemerintahan bangsanya ternyata lebih baik daripada Persia, dan keadilan lebih merata. Semua pihak merasa puas dengan sistem yang oleh Amirulmukminin diperkenalkan sebagai dasar pemerintahannya itu. Mereka lebih tekun mengembangkan harta mereka, lebih rajin mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Untuk apa mereka memusatkan pikiran ke soal yang lain padahal mereka tahu kekuatan Musiimin di setiap tempat di dekat mereka selalu siap menumpas segala macam usaha yang hendak mengobarkan pemberontakan.
Usaha mencari rezeki dan kekayaan memang menjadi pendorong semua orang Irak. Sebaliknya para prajurit yang datang itu merasa sudah cukup senang dengan pemberian yang mereka terima. Tetapi mereka satu sama lain masih saling iri dan bersaing. Kita sudah melihat bagaimana orang Basrah iri hati terhadap penduduk Kufah karena letak dan besarnya kekayaan kota itu. Kabilah-kabilah yang tinggal di kedua kota ini saling bersaing dan saling berbangga-bangga, karena watak dasar kabilah memang mendorong mereka ke arah yang demikian. Di­tambah lagi kesenjangan yang ada makin memperkuat semangat mereka. Mereka melihat Umar membeda-bedakan mereka dan lebih mengutama­kan Kuraisy daripada yang lain, mengangkat kedudukan kaum Mu­hajirin dan Ansar melebihi yang lain. Ini juga yang mendorong mereka melakukan tipu muslihat terhadap orang-orang yang lebih mendapat tempat dalam hati Khalifah. Muslihat itulah pula yang sampai me­ngaitkan Sa'd bin Abi Waqqas kepada hal-hal yang memang tak pernah dikatakannya ketika ia membuat pintu gedung itu. Ada lagi golongan yang melaporkan Sa'd kepada Umar, bahwa salatnya tidak becus. Umar mengutus orang untuk menanyakan kepada penduduk tentang kebenar­an berita tersebut. Setelah diketahui bahwa ia mengimami salat seperti dilakukan oleh Rasulullah, ia berkata: Abu Ishaq,[9] itu hanya tuduhan orang kepada Anda! Demikian rupa muslihat penduduk Kufah itu ke­pada Sa'd bahwa katanya pada suatu hari ia berkata di hadapan mereka: Ya Allah, janganlah ada seorang amir[10] pun yang menyenangi mereka, dan janganlah pula ada amir yang mereka senangi. Tetapi se­olah-olah Allah telah mengabulkan doa Sa'd. Setiap ada pemimpin di Kufah pasti oleh penduduk difitnah kepada Khalifah. Soalnya karena pemimpin itu memandang mereka saling menipu dan saling mengobar­kan permusuhan. Maka ia berusaha menumpas fitnah mereka itu, lalu berbalik, merekalah yang mengadukannya kepada Amirulmukminin.
Pengaruh persaingan antara penduduk Kufah dengan penduduk Basrah dan Muslimin yang lain di Irak tak ada yang perlu dikhawatir­kan akan membawa akibat pada pemerintahan Umar. Semua Muslimin sebenarnya tentara yang siap dipanggil ke medan perang setiap saat. Ketika itulah persaingan mereka akan mereda. Lalu rakyat hanya me­nantikan berita-berita, apa yang terjadi, menguntungkankah atau me­rugikan. Segala kegiatan pembangunan yang sudah begitu membahana di seluruh Irak membuat semua orang sudah begitu sibuk sehingga tidak mau lagi mereka mendengarkan berita-berita tentang persaingan itu. Di samping itu, Umar yang begitu tegas dan keras, adalah juga orang yang sangat bijaksana dan penuh kasih. Sikap kerasnya itu tidak akan membiarkan timbulnya kerusuhan, sikap bijaksana dan kasih sayang­nya tidak akan membiarkan orang yang merasa dirugikan mengeluh. Dengan demikian, keadaan di Irak.tetap berjalan tenang dan menye­nangkan, tidak sampai mengganggu Khaiifah, juga tidak mengganggu kaum Muslimin yang lain.
*
**
Sementara Sa'd bin Abi Waqqas berangkat dari Kadisiah ke Mada'in dan menugaskan para perwiranya ke Jalula, Tikrit dan Mosul, di samping untuk membangun kota Kufah dan Basrah, dan keadaan di seluruh Irak tenang dan aman, — perwira-perwira lain seperti Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Khalid bin al-Walid, Yazid bin Abi Sufyan, Amr bin al-As, Syurahbil bin Hasanah dan yang lain serta para prajuritnya, semua sedang berjuang menghadapi pasukan Rumawi di Syam. Dalam pada itu Umar bin Khattab berpindah-pindah dari Medinah ke Baitul­mukadas (Yerusalem) kemudian ke Damsyik. Sekarang kita pun akan berpindah pula ke Syam menemani mereka. Kita akan melihat bagai­mana pelaksanaan kesatuan orang-orang Arab di selatan Semenanjung itu sampai ke pedalaman Samawah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar