UMAR MENDAMPINGI NABI
Umar masuk ke
dalam agama Allah ini dengan semangat yang sama seperti ketika dulu memusuhi Islam. Begitu ia
berada dalam keluarga Islam, lebih
cenderung ia mengumumkan keislamannya itu terang-terangan kepada semua orang Kuraisy.
Sebelum itu kaum Muslimin tak dapat melaksanakan salat di Ka'bah, tetapi
dengan kegigihan Umar melawan Kuraisy mereka
pun dibiarkan salat di sana. Dakwah Islam yang mulanya dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi, setelah Umar menganut Islam dakwah dilakukan terang-terangan.
Muslimin kini sudah dapat duduk di
sekitar Ka'bah dan melakukan tawaf serta berlaku adil terhadap orang yang dulu
memperlakukan mereka dengan kasar. Oleh karenanya, berita tentang
Muhammad kini lebih tersebar di kalangan
para kabilah Kuraisy semua. Tidak sedikit dari keluarga Kuraisy yang lalu
menyambut Islam. Ketika itulah Kuraisy berkomplot. Kabilah-kabilah mereka
mengadakan kesepakatan dan menulis piagam yang kemudian digantungkan di dalam
Ka'bah, yang isinya merupakan penegasan bahwa di antara mereka tidak akan
mengadakan hubungan dagang atau hubungan
apa pun dengan Muhammad, dengan Banu Hasyim dan Banu Abdul-Muttalib. Dengan demikian perang
antara Kuraisy dengan pihak Muslimin bertambah
sengit.
Permusuhan Kuraisy terhadap Muslimin
Dalam
perang ini Kuraisy menggunakan segala macam senjata: senjata
propaganda dengan melukiskan Muhammad menyihir orang dengan
kata-kata yang dapat memecah belah orangtua dengan anak, saudara
dengan saudara, suami dengan istri dan antarkeluarga. Lalu anNadr
bin al-Haris datang menyusup menggantikan Muhammad pada setiap
majelis pertemuan untuk bercerita kepada Kuraisy tentang Persia dan agamanya.
Kemudian katanya: "Sungguh, cerita Muhammad tidak akan lebih baik dari cerita
saya. Apa yang diceritakannya hanya dongeng-dongeng
zaman dulu, hanya menyalin cerita seperti yang saya lakukan ini." Mereka juga menyebarkan kabar bahwa
ada seorang budak Nasrani bernama
Jabr yang mengajari Muhammad dengan segala yang diajarkannya itu. Muhammad ketika itu sering
duduk-duduk di kedai budak itu di Marwah.
Sekarang
Kuraisy makin menjadi-jadi mengganggu Muhammad dan
sahabat-sahabatnya: Umm Jamil istri Abu Lahab memasang duri di jalan yang akan
dilalui Rasulullah; Umayyah bin Khalaf setiap melihatnya mengeluarkan kata-kata kotor yang ditujukan
kepadanya. Cobaan yang dialami kaum duafa dengan segala macam cara
kekerasan sudah merupakan soal yang biasa terjadi di Mekah setiap hari.
Rasulullah dan kaum Muslimin yang tetap tinggal di Mekah dan tidak ikut hijrah
ke Abisinia menghadapi semua penderitaan
yang menimpa mereka itu dengan hati
tabah dan sabar. Sesudah gangguan itu sampai di puncaknya dan mereka diboikot
oleh Kuraisy, mereka pergi berlindung ke celah-celah gunung di luar kota
Mekah. Di sana mereka benar-benar menderita
kekurangan. Makanan yang mereka peroleh hanya sedikit sekali dibawa oleh
penduduk yang masih merasa iba melihat keadaan mereka. Kalau tidak karena itu mereka akan mati
kelaparan. Mereka tinggal di celah gunung itu selama tiga tahun
terus-menerus, tak dapat keluar selain pada
bulan-bulan suci. Pada bulan-bulan itu Muhammad turun menemui orang-orang Arab untuk menyampaikan
tugas Tuhannya. Di antara mereka yang melihat kesabaran dan ketabahannya
serta ketabahan sahabat-sahabatnya menelan
segala penderitaan dengan penuh
iman kepada kebenaran yang diwahyukan Allah kepadanya itu, ada yang lalu
menjadi pengikutnya,
Tetapi
dalam pada itu ada dua tokoh, Hisyam bin Amr dan Zuhair bin Abi Umayyah
yang tidak senang melihat piagam yang begitu kejam berupa pemboikotan kepada
Muhammad itu. Setelah mengadakan pertemuan
dengan beberapa tokoh, mereka sepakat mencabut piagam itu dari dinding
Ka'bah lalu merobeknya. Kuraisy tidak bereaksi atas perbuatan mereka itu. Dengan demikian Muhammad dan
sahabat-sahabatnya keluar dari
celah gunung. la tetap menyampaikan dakwahnya di Mekah dan di kalangan kabilah-kabilah yang datang
ke kota itu pada bulan-bulan suci. Kuraisy makin keras menyerang Muhammad
setiap melihat Muhammad masih juga gigih
menyampaikan dakwahnya. Kemudian pamannya Abu Talib meninggal, disusul
istrinya Khadijah. Peristiwa ini makin mendorong Kuraisy melakukan penganiayaan
kepadanya. Ia mencoba mencari bantuan
kabilah Saqif di Ta'if, tetapi ia diusir dengan cara yang kejam. Pada musim-musim
ziarah ia pun pergi menawarkan diri
kepada kabilah-kabilah di tempat-tempat mereka, tetapi tak ada yang
menyambutnya.
Sesudah
itu terjadi peristiwa Isra, malah ada sekelompok Muslimin yang
lalu meninggalkan agamanya. Kuraisy makin gigih menyakiti mereka yang
masih tetap bertahan dalam Islam dengan harapan supaya mereka juga keluar.
Tetapi dakwah Muhammad yang sudah berjalan bertahun-tahun dan sudah membekas, banyak di
antara mereka yang berpikir-pikir
tentang dakwah itu dan tentang kebenaran yang dibawanya. Bekas yang paling dalam pada penduduk Yasrib,
melebihi penduduk Arab lainnya. Sekelompok orang yang dulu sudah masuk
Islam, mereka itulah yang menjadi bibit
Ikrar Aqabah Pertama. Dan ini pula yang menyebabkan Rasulullah pertama kali
berpikir tentang hijrah ke Yasrib.
Tahun
berikutnya, ada tujuh puluh lima orang Muslim datang dari Medinah — tujuh puluh tiga laki-laki dan dua
perempuan. Mereka inilah yang
membaiat Ikrar Aqabah Kedua. Rasulullah menerima baiat mereka bahwa
mereka akan memberikan perlindungan kepadanya sebagaimana perlindungan yang
mereka berikan kepada istri dan anakanak
mereka. Sejak itu ia menganjurkan sahabat-sahabatnya di Mekah agar menyusul kaum
Ansar di Yasrib dengan j alan meninggalkan Mekah secara terpencar-pencar
supaya tidak membuat gempar Kuraisy. Inilah
pertama kali hijrah ke Medinah. Islam pun pindah ke sana, dan dari sana pula Islam tersebar ke kawasan-kawasan
lain di Semenanjung.
Peranan Umar di Mekah dan hijrahnya ke Medinah
Saat
yang terjadi antara islamnya Umar dengan perintah Muhammad kepada
sahabat-sahabatnya agar menyusul Ansar ke Yasrib, sudah
tentu merupakan saat yang paling penting yang pernah dialami oleh Rasulullah
dan agama Allah ini. Adakah juga peranan Umar bin Khattab yang sejalan dengan wataknya yang suka
berterus terang dan tegas, dengan
rasa harga diri yang tinggi itu? Dalam buku-buku biografi dan buku-buku sejarah tidak banyak yang
kita peroleh mengenai hal ini.
Tetapi ini tidak berarti bahwa di masa mudanya, masa sedang perkasa dan
sedang kuat-kuatnya Umar memegang peranan yang negatif dalam hal-hal yang
dialami oleh Rasulullah dan kaum Muslimin. Sudah tentu ketika itu ia termasuk
Muslim yang paling tabah dan sabar dalam menanggung penderitaan, dan yang paling
keras memberikan pembelaan sedapat yang dapat dilakukannya dalam menghadapi
gangguan kepada Rasulullah dan saudara-saudaranya kaum Muslimin. Tetapi dia juga orang yang sangat
meyakini ketertiban dan berusaha sedapat mungkin menaati dan menjaganya. Yang
demikian ini sudah menjadi bawaannya sejak masa jahiliah, dan lebih-lebih
lagi sesudah dalam Islam.
Kebijakan
Rasulullah pada periode yang sedang kita bicarakan sekarang selalu menghindari segala bentuk
kekerasan. Tak lebih ia hanya memaafkan setiap perlakuan tidak baik yang
ditujukan kepadanya. Ia berdakwah dengan bijaksana, mengajak orang
dengan cara-cara yang baik dan berdiskusi
dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang semula sangat memusuhinya berubah menjadi
seperti sahabat karib. Itulah sikapnya terhadap Kuraisy ketika itu di Mekah dan
terhadap Saqif di Ta'if, juga
terhadap kabilah-kabilah lain yang diajaknya memasuki pintu cahaya dan
bimbingan Allah. Tetapi mereka bersikap sombong dan menolak ajakannya. Ini suatu
kebijakan yang tak terdapat dalam ketegasan
dan kekuatan Umar seperti ketika ia masuk Islam dan mati-matian melawan
kaum musyrik sehingga ia dan kaum Muslimin bersama-sama dengan dia dapat salat
di Ka'bah.
Setelah terjadi
hijrah, Umar pun ikut hijrah ke Medinah seperti Muslimin yang lain. Dengan diam-diam
ditinggalkannya Mekah tanpa setahu
penduduknya, kendati ada sebuah sumber yang dihubungkan kepada Ali bin Abi Talib menyebutkan: "Setahu
saya semua Muhajirin hijrah dengan
sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin Khattab. Sesudah siap akan berangkat hijrah dibawanya pedangnya
dan diselempangkannya panahnya
dengan menggenggam anak panah di tangan dan sebatang tongkat komando. Ia pergi menuju Ka'bah
sementara orangorang Kuraisy di
beranda Ka'bah. Umar melakukan tawaf di Ka'bah tujuh kali dengan khusyuk, menuju ke
Maqam
(Ibrahim)
lalu salat. Setelah itu setiap
lingkaran orang banyak didatanginya satu persatu seraya berkata kepada mereka: "Wajah-wajah celaka! Allah
menista orangorang ini! Barang siapa
ingin diratapi ibunya, ingin anaknya menjadi yatim atau istrinya menjadi
janda, temui aku di balik lembah itu."
Baik
Ibn Hisyam, Ibn Sa'd atau at-Tabari tidak mencatat peristiwa ini.
Ibn Hisyam dalam as-Sirah
an-Nabawiyah dan
Ibn Sa'd dalam atTabaqat
al-Kubra menyebutkan
bahwa Rasulullah mengizinkan orang hijrah
meninggalkan Mekah dengan terpencar-pencar sehingga tidak menimbulkan
kegaduhan di kalangan Kuraisy, dan Muslimin keluar secara bebas.
Yang mempunyai kendaraan dapat bergantian, yang tidak supaya berjalan kaki. Umar
bin Khattab berkata: "Saya dan Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan Hisyam bin al-As bin Wa'il sudah
berjanji akan keluar diam-diam. Kami
berkata, j ika di antara kita ada yang terlambat dari waktu yang sudah
dijanjikan, berangkatlah dua orang. Saya berangkat bersama Ayyasy bin Abi Rabi'ah; Hisyam bin al-As
masih tertahan. Seperti yang lain dia juga dibujuk oleh Kuraisy. Saya dan
Ayyasy meneruskan perjalanan sampai di
Quba'." Sesudah itu sumber tersebut menyebutkan bahwa Ayyasy kembali ke
Mekah memenuhi permintaan ibunya, dan bahwa di sana ia dimasukkan ke dalam
penjara, kemudian dibujuk dan dia pun terbujuk.
Adakah
kedua sumber ini saling bertentangan? Atau keduanya dapat
disesuaikan, bahwa ia menantang orang-orang musyrik seperti dalam sumber
yang dihubungkan kepada Ali bin Abi Talib, kemudian setelah itu menurut sumber Ibn Hisyam dan Ibn Sa'd
ia berangkat hijrah dengan
diam-diam? Kita lebih cenderung pada pendapat bahwa Umar tidak menantang
siapa pun, dan bahwa dia hijrah meninggalkan Mekah diam-diam tanpa diketahui
penduduk Mekah. Dia melakukan itu bukan
karena lemah atau takut, yang memang tak pernah dikenalnya selama hidupnya, tetapi dia laki-laki yang penuh
disiplin. Dia mengikuti jemaah dan meminta yang lain juga mengikuti
mereka. Kaum Muslimin semua berangkat hijrah
dengan diam-diam. Jadi tidak heran jika Umar juga mengikuti jejak mereka untuk
menjaga ketentuan yang berlaku, dan
supaya tidak timbul perasaan pada mereka yang pergi diam-diam bahwa keimanan Umar kepada Allah dan
Rasul-Nya lebih kuat dari mereka.
Umar sudah
sampai di Quba'. Di Banu Amr bin Auf ia bersama keluarganya tinggal pada
keluarga Rifa'ah bin Abdul-Munzir. Setelah Rasulullah yang hijrah ditemani Abu Bakr tiba,
Umar termasuk yang menyambutnya dan pergi bersama-sama dengan rombongan
itu ke Medinah. Seperti Rasulullah dan
Muslimin yang lain Umar juga ikut bekerja membangun mesjid dan tempat
tinggal Rasulullah. Setelah itu Rasulullah 'alaihis-salam
pindah dari
rumah Abu Ayyub al-Ansari.
Peristiwa
hijrah ke Medinah ini merupakan permulaan zaman baru dan
kebijaksanaan baru dalam sejarah Islam dan kaum Muslimin. Kaum
Muhajirin yang hijrah dari Mekah berkumpul dengan mereka yang
sudah menganut Islam di Medinah. Mereka kini merupakan suatu kekuatan
yang dapat mengangkat martabat dan membina kaum Muslimin.
Rasulullah menginginkan agar martabat mereka lebih tinggi, persatuan mereka lebih kuat. Dengan menjalin
pertalian yang lebih erat antara kaum
Muhajirin dengan kaum Ansar, maka rasa persatuan dan harga diri mereka itu akan lebih kuat lagi. Oleh
karena itu diajaknya mereka saling bersaudara setiap dua orang. Dia
sendin mempersaudarakan Ali bin Abi Talib;
Hamzah pamannya dipersaudarakan dengan bekas budaknya Zaid bin Harisah; Abu Bakr
dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid; juga setiap orang dari kaum
Muhajirin dipersaudarakan dengan seorang dari Ansar, yang oleh Rasulullah
dijadikan hukum saudara sedarah dan senasab. Dalam hal ini Umar bin Khattab
dipersaudarakan dengan Utban bin Malik,
saudara Banu Salim bin Auf bin Amr bin Auf al-Khazraji.[1]
Cara
mempersaudarakan demikian memperkuat kedudukan Muslimin di
Medinah, sehingga kaum musyrik dan Yahudi benar-benar memperhitungkan kekuatan mereka. Karena itu
kalangan Yahudi tanpa ragu lagi
mengajak damai dengan Rasulullah. Mereka membuat perjanjian dengan Rasulullah yang menjamin adanya
kebebasan beragama dan kebebasan
menyatakan pendapat serta menghormati kota Medinah, menghormati kehidupan
dan harta dan larangan melakukan kejahatan. Persetujuan ini memperlemah
kedudukan Aus dan Khazraj yang masih tetap musyrik, dan sekaligus memperkuat
kedudukan kaum Muslimin.
Kedudukan dan
kekuatan yang dicapai Muslimin dalam kehidupan masyarakat di Medinah telah
membuka cakrawala bam bagi Umar bin Khattab,
yang selama di Mekah tak pernah ada. Dia laki-laki yang penuh disiplin, laki-laki bijaksana yang telah
berjuang demi disiplin. Kaum
Muslimin di Mekah merupakan kaum minoritas yang dilindungi oleh keimanan
mereka yang kuat kepada Allah dan Rasul-Nya sehingga mereka tidak tergoda dan
tidak menjadi lemah, dengan bersikap negatif dalam perlawanan terhadap mereka
yang mencoba menggoda agar meninggalkan agama Allah. Perlawanan negatif demikian
tidak sesuai dengan watak Umar yang selalu
memberontak meluap-luap menantang siapa saja yang mau merintanginya.
Untuk itu di Mekah tidak cukup tempat untuk melaksanakan segala kegiatannya
sehingga menampakkan hasil. Tetapi dalam kehidupan Muslimin sekarang di Medinah
dengan segala disiplinnya yang begitu jelas,
bagi Umar sudah tiba saatnya untuk memperlihatkan kepribadiannya dan
harus ada pengaruhnya dalam kehidupan
masyarakat. Bahkan ada sifat-sifat Umar yang di Mekah dulu tak terlihat sudah mulai tampak: sebagai
manusia yang dapat melihat peristiwa sebelum terjadi, dan apa yang
terjadi seolah sudah diduganya.
Umar dan permulaan azan
Sesudah
Rasulullah merasa tenang di Medinah, pada waktunya tanpa dipanggil
orang-orang datang berkumpul untuk salat. Rasulullah ingin menggunakan trompet seperti trompet orang
Yahudi untuk memanggil Muslimin.
Tetapi ia tidak menyukai trompet, maka dimintanya menggunakan genta yang ditabuh pada waktu salat
seperti dilakukan orang Nasrani.
Genta dibuat dengan menugaskan Umar agar keesokannya membeli dua potong kayu. Sementara Umar sedang
tidur di rumahnya ia bermimpi:
"Jangan gunakan genta, tetapi untuk salat serukanlah azan." Umar pergi menemui Rasulullah
memberitahukan mimpinya. Tetapi
wahyu sudah mendahuluinya. Ada juga disebutkan bahwa Abdullah bin Zaid (bin Sa'labah) sudah lebih dulu datang
kepada Rasulullah dengan mengatakan:
"Rasulullah, semalam saya seperti bermimpi: Ada laki-laki berpakaian
hijau lewat di depan saya membawa genta. Saya tanyakan kepadanya: Hai hamba
Allah, akan Anda jual genta itu? Orang itu menjawab dengan bertanya: Akan Anda apakan? 'Untuk
memanggil orang salat,' jawab saya.
'Boleh saya tunjukkan yang lebih baik?' tanyanya lagi. Kemudian ia menyebutkan kepadanya lafal
azan. Rasulullah pun lalu menyuruh Bilal dan ia menyerukan azan dengan
lafal itu. Umar di rumahnya mendengar suara
azan itu, ia keluar menemui Rasulullah sambil menyeret jubahnya dan
berkata: "Rasulullah, demi Yang mengutus Anda dengan sebenarnya, saya bermimpi
seperti itu."
Sejak
itu suara azan bergema di udara Medinah setiap hari lima kali, dan ini
merupakan bukti yang nyata bahwa Muslimin kini di atas angin, lebih unggul. Azan
untuk salat merupakan seruan kepada disiplin yang menambah kekuatan orang yang berpegang pada
disiplin itu. Bahwa hal ini sudah dikatakan Umar sebelum turun wahyu,
suatu bukti bahwa agama telah menyerap ke dalam diri orang kuat ini, sehingga
pikirannya hanya tertumpu pada disiplin yang akan membuat agama ini makin kukuh
dan tersebar luas.
Tetapi
orang-orang Yahudi dan kaum musyrik yang masih berpegang pada
kepercayaan mereka sudah merasa jemu. Mereka mulai berkomplot
dan mengadakan oposisi. Dalam menghadapi persekongkolan itu banyak cara
yang ditempuh Muslimin, termasuk cara-cara kekerasan kalau perlu. Seperti yang
lain Umar bin Khattab juga ikut mengadakan perlawanan.
Dengan
maksud menakut-nakuti pihak Yahudi dan kaum munafik dan untuk
meyakinkan pihak Kuraisy, bahwa lebih baik mereka menempuh jalan damai demi
kebebasan berdakwah agama, Rasulullah mengirim beberapa ekspedisi dan pimpinannya
diserahkan kepada Hamzah bin
Abdul-Muttalib, Ubaidah bin al-Haris, Sa'd bin Abi Waqqas dan Abdullah bin Jahsy, seperti juga sebagian
ekspedisi yang dipimpin sendiri oleh Nabi. Buku-buku biografi dan
buku-buku sejarah samasekali tak ada yang
menyebutkan bahwa Umar pernah terlibat dalam ekspedisi yang pertama ini. Barangkali
Rasulullah lebih menyukai ia tinggal di Medinah mengingat kebijakannya
yang baik serta keterusterangannya dalam
menegakkan kebenaran. Hal ini terlihat tatkala ada delegasi Nasrani dari Najran datang ke
Medinah mau berdebat dengan Rasulullah. Tetapi perdebatan mereka, juga
perdebatan Yahudi, ditolak dengan firman Allah:
"Katakanlah:
Wahai Ahli Kitab! Marilah men ggunakan istilah yang
sama antara kami den gan kamu: bahwa kita takkan men yembah siapa
pun selain Allah; bahwa kita takkan mempersekutukan sesuatu apa
pun dengan Dia; bahwa kita tak akan saling mempertuhan satu sama
lain selain Allah. Jika mereka berpaling; katakanlah: Saksikanlah
bahwa kami orang-orang Muslim (tunduk bersujud pada kehendak
Allah)." (Qur'an,
3:64).
Kemudian
ia mengajak delegasi itu menerima
apa yang sudah diwahyukan itu atau saling berdoa.[2] Tetapi
pihak
Nasrani berpendapat akan kembali kepada masyarakat mereka tanpa
mengadakan mubahalah.
Mereka
juga melihat Nabi sangat teguh berpegang pada
keadilan. Mereka ingin supaya dikirim orang bersama mereka yang dapat memberikan keputusan mengenai
hal-hal yang mereka perselisihkan. Kata Rasulullah kepada mereka: Ke
marilah sore nanti; akan saya utus orang
yang kuat dan jujur bersama kalian. Ibn Hisyam menceritakan bahwa Umar
bin Khattab ketika itu berkata: Yang paling
saya sukai waktu itu ialah pimpinan, dengan harapan sayalah yang akan
menjadi pemimpin itu. Saya pergi ke mesjid akan salat lohor dengan datang lebih dulu. Selesai Rasulullah
Sallallahu
'alaihi wa sallam
mengucapkan
salam, ia melihat ke kanan dan ke kiri. Saya sengaja
menjulurkan kepala lebih tinggi supaya ia melihat saya. Sementara ia
sedang mencari-cari dengan pandangannya, terlihat Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Ia
dipanggilnya seraya katanya: Anda pergilah bersama mereka dan selesaikan apa yang mereka
perselisihkan dengan adil dan besar. Setelah itu Abu Ubaidah
berangkat."
Sebenarnya
Umar sangat mengharapkan dia yang akan ditunjuk oleh
Rasulullah menjadi penengah, seperti yang biasa dilakukannya sejak
nenek moyangnya dulu di zaman jahiliah, jika terjadi perselisihan di antara para
kabilah. Tetapi pilihan Nabi jatuh kepada Abu Ubaidah, padahal Umar begitu dekat
di hatinya. Hal ini membuktikan bahwa Rasulullah menginginkan Umar tetap berada
di Medinah. Keterusterangannya, keberanian serta pandangannya yang tepat sangat
diperlukan. Tetapi mungkin juga ia khawatir
mengingat watak Umar yang keras, maka yang dipilihnya Abu Ubaidah, karena
selain kejujurannya, sikapnya lemah lembut dan periang.
Umar, Perang Badr dan tawanan perang
Kuraisy
tidak puas dengan perdamaian yang ditawarkan Rasulullah agar
memberikan kebebasan orang berdakwah demi agama Allah. Mereka
bahkan tetap memperlihatkan permusuhan kepadanya dan kepada
sahabat-sahabatnya. Tatkala Rasulullah dengan kekuatan tiga ratus orang
Muslimin keluar meiiyongsong mereka di Badr, dan dia tahu bahwa
di pihak Mekah yang datang dengan kekuatan lebih dari seribu orang. ia
bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya: Akan tetap menghadapi perang dengan mereka atau akan kembali ke
Medinah. Umar dan Abu Bakr menyarankan lebih baik mereka dihadapi.
Setelah pertempuran dimulai, dan perang
pun berkobar, korban pertama di pihak Muslimin adalah Mihja', bekas budak Umar bin
Khattab. Di tengahtengah pertempuran
itu Umar pun sempat membunuh saudara ibunya, al-As bin Hisyam. Disebutkan bahwa ketika itu Umar
bertemu dengan Sa'id. anak al-As, maka katanya: "Saya lihat Anda seperti
menyimpan sesuatu dalam hati Anda. Saya
lihat Anda mengira saya sudah membunuh ayah Anda. Kalaupun saya bunuh
dia, tidak perlu saya meminta maaf kepada
Anda, sebab yang saya bunuh paman saya, saudara ibu saya al-As bin Hisyam bin al-Mugirah. Tentang
bapa Anda, ketika saya melewatinya ia sedang mencari-cari sesuatu seperti
lembu mencari tanduknya. saya menghindar dari dia. Lalu ia mendatangi Ulayya,
sepupunya, maka dibunuhnyalah dia."
Kata-kata yang
diucapkan Umar ini merupakan yang pertama kali dikutip tentang dia dalam perang ini, perang yang
telah membentuk sejarah Islam dan sejarah dunia ke dalam bentuk baru.
Perang ini melukiskan pengaruh yang
ditanamkan Islam ke dalam diri Umar dengan sangat j elas sekali. Demi
agama ini orang harus menganggap segalanya
itu tak ada artinya, ia tak boleh ragu ketika terjadi jika ia harus
berhadapan dengan saudara atau dengan kerabat dekat. Ia mempersembahkan hidupnya untuk Allah dan di jalan
Allah. Dengan pertimbangan apa pun ia tak boleh ragu dalam membela agama
Allah.
Muslimin menawan
tujuh puluh orang Kuraisy, kebanyakan pemimpin-pemimpin dan orang-orang
berpengaruh di kalangan mereka. Umar bin
Khattab termasuk orang yang paling keras ingin membunuh para tawanan itu. Tetapi para tawanan itu masih
ingin hidup dengan jalan penebusan. Mereka mengutus orang kepada Abu Bakr
agar membicarakan dengan Rasulullah untuk
bermurah hati kepada mereka dan
mereka bersedia membayar tebusan. Abu Bakr berjanji akan berusaha.
Tetapi karena mereka khawatir Umar akan mempersulit keadaan, mereka juga
mengutus orang kepada Umar dengan pesan seperti kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga.
Abu Bakr datang menemui Rasulullah
dengan permintaan agar bermurah hati kepada para tawanan perang itu atau menerima
tebusan dari mereka, yang berarti
dengan demikian akan memperkuat Muslimin. Tetapi Umar tetap keras dan tegar. "Rasulullah," katanya.
"Mereka musuh-musuh Allah. Dulu mereka mendustakan, memerangi dan
mengusir Rasulullah. Penggal sajalah leher mereka. Mereka inilah biang
orang-orang kafir, pemuka-pemuka orang sesat. Allah sudah menghina kaum musyrik
itu dengan Islam."
Dalam hal ini
Rasulullah bermusyawarah dengan Muslimin dan berakhir dengan menerima tebusan dan Nabi
membebaskan mereka. Tetapi tak lama sesudah itu datang wahyu dengan
firman Allah ini:
"Tidak
sepatutnya seorang nabi akan mempunyai tawanantawanan
perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia. Kamu men
ghendaki harta benda dunia; Allah men ghendaki akhirat. Allah
Mahakuasa,
Mahabijaksana." (Qur'an,
8:67).
Begitulah
Umar, memberikan pendapatnya sekitar peristiwa Badr, seolah
sudah melihat peristiwa itu sebelum terjadi, seperti halnya dengan
soal azan untuk salat. Dengan demikian Nabi dan kaum Muslimin sangat
menghargai pendapatnya, kedudukannya makin tinggi di samping Nabi dan di
kalangan kaum Muslimin umumnya.
Sekarang datang
Mikraz bin Hafs hendak menebus Suhail bin Amr. Suhail ini seorang orator ulung. Melihat Mikraz
melakukan tebusan, cepat-cepat Umar
menemui Rasulullah seraya katanya: Izinkan saya mencabut dua gigi seri Suhail bin Amr ini supaya
lidahnya menjulur ke luar dan tidak lagi berpidato mencerca Anda di
mana-mana. Tetapi Rasulullah menjawab:
"Saya
tidak akan memperlakukannya secara kejam, supaya Allah tidak
memperlakukan saya demikian, sekalipun saya seorang
nabi."
Ucapan
Umar itu terus terang menunjukkan kegigihannya mengenai pendapatnya
untuk tidak membiarkan para tawanan yang berkemampuan
kembali mengadakan perlawanan kepada kaum Muslimin. la sangat menekankan
pendapatnya itu kendati masyarakat Muslimin sudah memutuskan menerima
tebusan.
Wahyu turun
memperkuat pendapat Umar mengenai para tawanan perang. Ini juga yang membuat
Umar makin dekat di hati Nabi. Ia telah menjadi pendampingnya seperti juga Abu
Bakr: Hafsah putri Umar istri Khunais bin
Huzafah, adalah salah seorang yang mula-mula dalam Islam. Tetapi Hafsah
ditinggalkan wafat oleh Khunais beberapa bulan sebelum Perang Badr.
Kemudian Rasulullah menikah dengan Hafsah, seperti dengan Aisyah putri Abu Bakr sebelum itu.
Pertalian semenda ini makin mempererat hubungan Nabi dengan Umar,
sehingga dengan demikian lebih memudahkan
Umar sering datang menemui Nabi, seperti juga Abu
Bakr.
Umar dalam Perang Uhud
Tahun
berikutnya cepat-cepat Kuraisy mengadakan persiapan untuk melakukan balas dendam
terhadap kekalahannya di Badr. Para sahabat menyarankan
kepada Rasulullah untuk keluar menyongsong musuh di Uhud, di luar kota Medinah. Rasulullah masuk ke
rumahnya, disusul oleh Abu Bakr dan Umar, yang kemudian mengenakan ikat
kepala dan baju besinya. Dengan menyandang
pedang ia berangkat bersama sahabat-sahabatnya hendak menghadapi musuh:
Sampai menjelang tengah hari pasukan Muslimin di pihak yang menang. Tetapi
kemudian keadaan berbalik menimpa mereka tatkala pasukan pemanah melanggar perintah Rasulullah. Mereka turun dari markas
mereka di atas bukit, ikut yang lain memperebutkan rampasan -perang.
Kesempatan ini digunakan oleh Khalid bin Walid memutar pasukan berkuda Kuraisy
ke belakang pasukan Muslimin. Kemudian ia
berteriak sekeras-kerasnya yang membuat pihak Kuraisy kembali menyerang
Muhammad dan sahabat-sahabatnya, yang sedang sibuk mengumpulkan rampasan
perang. Karena serangan Kuraisy itu
sekarang pasukan Muslimin menjadi kacau dan barisan centang-perenang, keadaan makin panik
dan mereka ceraiberai setelah seorang musyrik berteriak: Muhammad sudah
terbunuh!
Mendengar
teriakan itu terbayang oleh pihak Muslimin bahwa mereka dan agama yang mereka
imani tidak akan lagi tetap hidup. Agama
ini tetap hidup dan mereka juga tetap hidup karena Allah sudah menjanjikan
kepada Rasul-Nya kemenangan. Sekarang Rasulullah sudah terbunuh di
tangan kaum musyrik, dan sahabat-sahabatnya sudah mengalami kekalahan dihajar
oleh pihak musyrik! Bahkan tokoh-tokoh Muhajirin dan Ansar pun sudah pasrah dan sudah
putus asa. Mereka lalu pergi menyendiri dan duduk-duduk di sisi gunung.
Ketika itulah kemudian Anas bin an-Nadr datang ke tempat mereka. Dilihatnya juga
ada Umar bin Khattab, Talhah bin Ubaidillah dan beberapa orang lagi kaum Muslimin yang sedang dalam keadaan kacau
balau dan putus asa, tak tahu apa yang harus diperbuat. Ketika itu ia
berkata kepada mereka: "Mengapa kamu
duduk-duduk di sini?!" Mereka menjawab: "Rasulullah sudah terbunuh." "Untuk apa lagi kita hidup
sesudah itu. Bangunlah! Biarlah kita juga mati untuk tujuan yang sama."
Sesudah itu ia maju menghadapi musuh. Ia
bertempur mati-matian, bertempur tiada taranya. Ia menemui ajalnya
setelah mengalami tujuh puluh pukulan musuh, sehingga ketika itu orang sudah tidak dapat
mengenalnya lagi, kalau tidak karena saudara perempuannya yang datang dan dapat
mengenalnya dari ujung jarinya.
Tetapi
setelah kemudian Muslimin tahu bahwa Rasulullah masih hidup,
keimanan mereka kembali menggugah mereka, bahwa Allah akan
menolong Rasul-Nya. Abu Bakr, Umar, Ali bin Abi Talib, azZubair bin
al-Awwam dan yang lain bergegas melindunginya. Mengetahui keadaan ini Khalid bin Walid naik ke atas
bukit memimpin pasukan berkuda
dengan tujuan menghabisi Muhammad dan orang-orang di sekitarnya. Tetapi Umar bin Khattab dan
beberapa orang lagi dari pihak
Muslimin sudah siap menghadapi Khalid dan pasukan berkudanya.
Mati-matian mereka mengadakan perlawanan dan melindungi Rasulullah sampai berhasil mengusir mereka mundur.
Tujuan Khalid tidak tercapai.
Di atas Sudah
kita sebutkan tentang Umar dan apa yang diduganya akan terjadi, seperti soal azan untuk salat,
membuktikan bahwa agama telah menyerap ke dalam diri orang kuat ini,
sehingga pikirannya hanya tertumpu pada disiplin yang akan membuat agama ini
makin kukuh dan tersebar lebih luas. Sikap
Umar terhadap tawanan Perang Badr dan wahyu yang kemudian turun
memperkuat pendapatnya serta sikapnya menghadapi Khalid bin Walid sebelum menyergap Nabi
dan orangorang di sekitarnya, kedua sikapnya ini sudah menunjukkan bukti
yang kuat sekali tentang menyatunya agama Allah ke dalam diri Umar begitu rupa sehingga ia begitu bersemangat dan makin
kuat hendak membelanya. Tidak heran, sejak mudanya hatinya sudah teguh
pada apa yang diyakininya, dan orang
demikian bersedia menyerahkan hidupnya demi keyakinannya. Kita sudah melihat beberapa posisi
Umar di masa jahiliah. Semangatnya
atau fanatiknya yang begitu besar terhadap Kuraisy di luar
kabilah-kabilah yang lain, juga semangatnya dalam menghadapi dakwah Muhammad, sehingga dia sendiri
juga ikut menyiksa kaum Muslimin
yang mula-mula. Setelah mendapat hidayah dan Allah membimbing hatinya dengan inaan yang kuat
kepada-Nya, ia berdiri tegak di samping agama Allah, membelanya dengan semangat
dan cara yang sama seperti ketika
memeranginya dulu. Sekarang, setelah Muslimin dapat agama dan Nabinya,
dalam membela agama ini Umar mau
mengorbankan segalanya, juga mau mengorbankan nyawanya. Rasa putus asa
yang sempat menimpanya dan menimpa Muslimin yang lain tatkala pihak Kuraisy mengatakan Nabi
sudah meninggal, menjadi. sebagian rasa semangatnya terhadap agama ini,
sehingga rasa sedihnya itu membuatnya lepas
dari ketajaman pikirannya. Tetapi setelah diketahuinya bahwa Rasulullah
masih hidup, ia tampil menyerahkan seluruh
hidupnya demi imannya itu, dan Allah memberi kemenangan kepadanya melawan jenderal jenius yang sangat
dibanggakan Kuraisy itu dan telah
memberi keuntungan kepada mereka dalam Perang Uhud.
Tetapi iman dan
semangat Umar terhadap imannya itu tak dapat menahan kebanggaan dirinya, tak dapat menahan
kepercayaannya kepada pendapatnya di
depan Rasulullah sendiri. Dalam membanggakan pendapatnya Umar termasuk orang yang paling
kuat alasannya di kalangan Muslimin, dan paling menonjol. Memang benar
bahwa Muslimin, semuanya tidak mengenal lemah, dan ada yang menyampaikan pendapatnya kepada Rasulullah dan be'rdebat untuk
mempertahankan pendapatnya atau mau
meyakinkan lawan bicaranya, yang memang sudah menjadi ciri khas orang-orang yang
berpendirian kuat di masamasa
revolusi, karena dengan itu mereka ingin pendirian yang menjadi cita-citanya
mencapai tujuan. Tetapi Umar yang paling berterus terang dan paling
berani. Tanpa mengurangi cintanya kepada Rasulullah serta kuatnya iman akan risalahnya, ia mau menyampaikan
pendapatnya di depan Rasulullah dan mau mempertahankannya. Sudah kita
lihat sikapnya mengenai tawanan Perang Badr, bagaimana ia meminta izin akan
mencabut dua gigi seri Suhail bin Amr
sesudah Muslimin menerima tebusan
para tawanan itu. Dan kelak kita akan melihat sikap demikian ini dalam persahabatannya dengan Rasulullah dan
pada masa pemerintahan Abu Bakr.
Kita akan melihat ijtihadnya di masa Rasulullah yang kemudian sebagian
dikuatkan oleh Qur'an, di samping ketentuanketentuan hukum dan prinsip-prinsip
hasil ijtihadnya yang kita lihat sesudah
Rasulullah wafat, yang sampai sekarang tetap menjadi pegangan kaum
Muslimin.
Setelah
Rasulullah selesai menghadapi perang dengan Banu Mustaliq, ada dua
orang dari kalangan Muslimin yang bertengkar mem‑perebutkan mata air; yang seorang dari kalangan
Muhajirin dan yang seorang lagi dari
Ansar. Yang dari Muhajirin berteriak: Saudara-saudara Muhajirin! Dibalas oleh Ansar: Saudara-saudara
Ansar! Pada waktu itulah Abdullah bin Ubai bin Salul, pemimpin kaum munafik di
Medinah berkata kepada orang-orang di sekitarnya: "Di kota kita ini
sudah banyak kaum Muhajirin. Penggabungan
kita dengan mereka akan seperti kata peribahasa: 'Seperti membesarkan
anak harimau.' Sungguh, kalau kita sudah
kembali ke Medinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina." Kata-kata ini
disampaikan kepada Rasulullah, yang
ketika itu ada Umar bin Khattab. Umar naik pitam dan katanya: Rasulullah, perintahkan kepada Abbad
bin Bisyir supaya membunuhnya.
Tetapi Rasulullah menjawab: Umar, bagaimana kalau sampai menjadi
pembicaraan orang, bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri. Lalu ia
meminta diumumkan supaya kaum Muslimin
segera berangkat pada waktu yang tidak biasa mereka
lakukan.
Ijtihad Umar di masa Rasulullah
Abdullah bin
Ubai menemui Rasulullah dan membantah bahwa ia berkata demikian. Tetapi wahyu datang
mendustakannya. Ketika itu Abdullah
anak Abdullah bin Ubai — yang sudah menganut Islam dengan baik — berkata:
"Rasulullah, saya mendengar Anda menginginkan Abdullah bin Ubai dibunuh. Kalau memang
begitu, berikanlah tugas itu kepada
saya, akan saya bawakan kepalanya kepada Anda. Orang-orang Khazraj sudah tahu,
tak ada orang yang begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya
lakukan. Saya khawatir Anda akan menyerahkan
tugas ini kepada orang lain. Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, saya
tak akan dapat menahan diri membiarkan orang yang membunuh ayah saya berjalan
bebas. Tentu akan saya bunuh dia dan berarti saya membunuh orang beriman
yang membunuh orang kafir, dan saya akan masuk neraka." Rasulullah
menjawab:
“Kita tidak akan
membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama
dia masih bersama dengan kita."
Sejak
itu penduduk Medinah melihat kepada Abdullah bin
Ubai dengan penuh curiga dan tidak lagi menghargainya. Tatkala pada suatu hari
Nabi sedang berbicara dengan Umar mengenai masa‑lah-masalah kaum Muslimin, sampai juga
menyebut-nyebut Abdullah bin Ubai
dan yang juga disalahkan oleh golongannya sendiri. "Umar, bagaimana pendapatmu," kata Rasulullah. "Ya, kalau
Anda bunuh dia ketika Anda katakan kepada saya supaya dibunuh saja, tentu
akan jadi gempar karenanya. Kalau sekarang saya suruh bunuh tentu akan Anda
bunuh." "Sungguh sudah saya ketahui bahwa perintah Rasulullah lebih besar
artinya daripada perintah saya."
Sesudah Abdullah
bin Ubai meninggal dan Nabi bermaksud menyembahyangkannya, Umar segera mengingatkan tipu
daya dan kejahatan orang itu
terhadap Islam, dengan membacakan firman Allah: "Engkau
memohonkan ampunan untuk mereka atau tidak memohonkan ampunan,
— sampai tujuh puluh kali sekalipun, Allah tidak akan men
gampuni, sebab mereka sudah mengingkari Allah dan Rasul-Nya. Allah
tidak memberi petunjuk kepada golongan orang fasik." (Qur'an,
9:80).
Nabi tersenyum melihat semangat Umar demikian rupa menyerang
orang yang sudah meninggal seraya katanya: "Kalau saya tahu dengan menambah
lebih dari tujuh puluh dapat diampuni akan kutambah." Nabi
menyembahyangkan juga dan ikut mengantarkan sampai selesai penguburan. Setelah itu datang firman
Allah: "Sekali-kali
janganlah
kau men yembahyangkan siapa pun dari mereka yang mati, juga
jan ganlah berdiri di atas kuburannya; mereka mengingkari Allah
dan
Rasul-Nya, dan mati dalam keadaanfasik." (Qur'an,
9:84).
Rasulullah
mengumumkan tentang keberangkatan menunaikan ibadah
haji pada tahun keenam sesudah hijrah ke Medinah. Sesampainya ke
dekat Mekah, pasukan berkuda Kuraisy menghadangnya dan melarang memasuki Mekah.
Mereka bersumpah bahwa Muhammad tak boleh masuk
dengan paksa, padahal kedatangan Rasulullah untuk menunaikan ibadah haji; bukan
untuk berperang. Oleh karena itu ia dan sahabat-sahabatnya berhenti di Hudaibiah
dan bermaksud mengadakan perundingan dengan
pihak Kuraisy agar dibukakan jalan untuk melakukan tawaf di Ka'bah dan menyelesaikan kewajiban
haji. Ia memanggil Umar bin Khattab
supaya memasuki Mekah dan berbicara dengan Kuraisy mengenai maksud
kedatangannya. Tetapi Umar berkata: "Rasulullah, saya khawatir Kuraisy akan mengadakan
tindakan terhadap saya, mengingat di
Mekah sudah tidak ada lagi Banu Adi bin Ka'b yang akan melindungi saya. Kuraisy sudah cukup
mengetahui bagaimana permusuhan
saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka dulu. Saya ingin menyarankan orang yang lebih baik dalam
hal ini daripada saya, yaitu Usman bin Affan."
Usman pun
memasuki Mekah. Lama ia mengadakan pembicaraan dengan Kuraisy dan terpisah dari
Muslimin, sehingga dikira ia sudah dibunuh.
Maka Rasulullah dan sahabat-sahabatnya mengadakan ikrar atau yang dikenal dengan Bai'at Ridwan akan
memerangi Kuraisy kalau sampai
Usman dibunuh. Tetapi tak lama kemudian Usman kembali dan mengatakan bahwa untuk menjaga kewibawaan
Kuraisy di kalangan orang-orang Arab mereka menolak kedatangan Muslimin
ke Mekah tahun ini. Namun mereka tidak menolak perundingan untuk keluar dari
suasana permusuhan, sesudah diyakinkan bahwa
Muhammad datang akan menunaikan ibadah haji, bukan untuk berperang.
Pembicaraan dilanjutkan antara kedua pihak
untuk mengadakan perjanjian dan mencari perdamaian. Tetapi Umar tampaknya sudah kesal
benar karena Nabi menyetujui pembicaraan demikian, sehingga ia melompat
dan pergi menemui Abu Bakr, dan katanya:
Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah? Abu Bakr menjawab: Ya, memang! Bukankah kita ini
Muslimin? tanya Umar lagi. Ya. memang! kata Abu Bakr. Umar melanjutkan:
Bukankah mereka kaum musyrik? Ya, benar!
jawab Abu Bakr. Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita? tanya Umar.
Akhirnya kata Abu Bakr kepada Umar:
Umar, duduklah, taatilah dia dan jangan langgar perintahnya. Saya
bersaksi, bahwa dia Rasulullah. Umar pun kemudian berkata: Saya bersaksi bahwa
dia Rasulullah.
Umar
merasa tidak puas pembicaraannya dengan Abu Bakr. Ia pergi menemui
Rasulullah dengan garis-garis kemarahan masih membayang di mukanya. Maka
katanya: Rasulullah, bukankah Anda Rasulullah? Ya, memang, jawab Nabi. Bukankah
kita ini Muslimin? tanya Umar lagi. Ya, memang! Bukankah mereka kaum musyrik?
Ya, benar! Tanya Umar lagi: Mengapa kita
mau direndahkan dalam soal agama kita? Lalu kata
Rasulullah:
"Saya hamba
Allah dan Rasul-Nya. Saya tidak akan melanggar perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyesatkan
saya."
Dengan
jawaban itu
Umar terdiam. Setelah itu kemudian ia pernah berkata: Saya masih mengeluarkan
zakat, berpuasa, salat dan membebaskan budak di antara yang saya kerjakan waktu itu, sebab saya
khawatirkan kata-kata yang saya ucapkan itu, sementara saya mengharapkan
segala yang terbaik.
Kita
lihat bagaimana ia begitu percaya diri dan sangat membanggakan pendapatnya.
Betapa Umar tidak akan merasa bangga dengan pendapatnya itu karena Qur'an sudah
memperkuat sikapnya dalam menghadapi para
tawanan Badr. la tetap dengan pendapatnya bahwa Abdullah bin Ubai harus
dibunuh sampai kemudian ia dapat diyakinkan bahwa perintah Rasulullah lebih besar artinya
daripada perintahnya. Begitu juga ia
masih bertahan dengan pendapatnya mengenai Perjanjian Hudaibiah, sampai
kemudian turun wahyu memperkuat Rasulullah dan disebutkan bahwa perjanjian itu
akan merupakan kemenangan besar. Perdebatannya dengan Rasulullah seperti ia
berdebat dengan orang lain sebelum dapat
dibuktikan kebenarannya, baik dengan wahyu atau melihat bukti yang nyata
atau sebaliknya.
Kita
melihat bahwa dengan pikirannya Umar tidak berorientasi kepada
teori-teori yang abstrak yang disusun dan diuji coba agar dapat dijadikan pegangan yang logis, tetapi langsung
orientasinya kepada Islam, seperti sebelum itu, dengan pengalaman yang
praktis dalam kenyataan hidup yang dihadapinya. Pengalaman praktis ini jugalah
yang menggugah pikirannya mengenai para
tawanan Badr, mengenai Abdullah bin Ubai dan mengenai Perjanjian
Hudaibiah. Ini juga yang kemudian menggugah pikirannya, yang tidak disertai
turunnya wahyu, mengenai persoalan-persoalan umat Islam umumnya, atau yang
khusus mengenai Nabi.
Kegemaran
penduduk Mekah memang minuman keras, dan Umar pun
di masa j ahiliah termasuk orang yang sudah sangat kecanduan khamar. Ketika
itu kaum Muslimin juga minum minuman keras selama mereka masih tinggal di Mekah sampai beberapa
tahun kemudian setelah hijrah ke Medinah. Umar melihat betapa minuman itu
dapat membakar amarah hati orang dan
membuat peminumnya saling mengecam
dan memaki. Tidak jarang orang-orang Yahudi dan kaum munafik menggunakan
kesempatan minum minuman itu untuk membangkitkan pertentangan lama antara Aus
dengan Khazraj. Sehubungan dengan itu Umar menanyakan soal minuman keras ini
kepada Rasulullah— ketika itu Qur'an belum
menyinggungnya — maka kata Nabi: Allahumma ya Allah, jelaskanlah soal ini
kepada kami.
Setelah itu
kemudian turun ayat ini:
"Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah, keduanya men gandung dosa hesar dan heherapa
man
faat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada man
faatnya." (Qur'an,
2:219).
Karena
dalam ayat ini minuman belum merupakan
larangan kaum Muslimin tetap saja menghabiskan waktu malam dengan minum minuman
khamar sebanyak-banyaknya. Kalau mereka melakukan salat, sudah tidak tahu lagi
apa yang mereka baca.
Kembali Umar
bertanya dan katanya: Allahumma ya Allah, jelaskanlah tentang khamar itu kepada kami. Minuman ini
merusak pikiran dan harta! Kemudian
turun ayat ini:
"Orang-orang
beriman! Jan ganlah kamu
mendekati salat dalam keadaan mabuk supaya kamu tahu apa yang
kamu ucapkan."
Sejak itu muazin
Rasulullah berkata: Orang yang mabuk jangan
mendekati salat. Kaum Muslimin sudah mulai mengurangi minum khamar kendati belum berhenti samasekali.
Pengaruh buruk yang ada pada sebagian
mereka masih terasa. Ketika sedang minumminum salah seorang dari Ansar
sempat mencederai salah seorang dari Muhajirin dengan tulang unta yang mereka makan
akibat perselisihan di antara mereka. Dan ada dua suku yang sedang mabuk
bertengkar lalu mereka saling tikam. Umar
kembali berkata setelah melihat semua itu: Ya Allah, jelaskanlah kepada kami
tentang hukum khamar ini dengan tegas, sebab ini telah merusak pikiran dan harta.
Setelah
itu firman Allah
turun:
"Hai
orang-orang beriman! Bahwa anggur dan judi, dan (persembahan
kepada) batu-batu, atau meramal nasib dengan anak panah,
suatu perbuatan keji buatan setan. Jauhilah supaya kamu beruntung.
Dengan minuman keras dan judi maksud setan hanya akan menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu dan men
galangi kamu mengingat Allah dan melaksanakan salat. Tidakkah
kamu
hendak berhenti juga?" (Qur'an,
5:90-91).
Di
kalangan Muslimin ada orang yang merasa kurang senang dengan
larangan itu, lalu berkata: Mungkinkah khamar itu kotor, keji, padahal
sudah bersarang di perut si polan dan si polan yang sudah terbunuh dalam
Perang Uhud, di perut si anu dan si anu yang sudah terbunuh dalam Perang Badr?
Maka
firman Allah ini turun:
"Bagi
mereka
yang beriman dan berbuat baik tiada berdosa atas apa yang mereka
makan (waktu lalu), selama mereka menjaga diri dan beriman dan
berbuat segala amal kebaikan, kemudian menjaga diri dan beriman,
kemudian sekali lagi menjaga diri dan berbuat baik. Allah mencintai
orang yang berbuat amal kebaikan. " (Qur'an,
5:93).
Demikian salah
satu peranan Umar sehubungan dengan beberapa persoalan umat Islam secara umum sebelum ada
ketentuan wahyu. Mengenai hubungan
dengan Rasulullah secara pribadi dalam pandangan Umar bukan tidak sama dengan segala urusan
Muslimin yang lain. Oleh karenanya tidak segan-segan ia membicarakannya
dengan Nabi. Bukhari menyebutkan dengan
mengacu kepada Aisyah yang mengatakan: Umar berkata kepada Rasulullah
Sallalldhu
'alaihi wa sallam: "Pasangkan
hijablah untuk istri-istrimu. Tetapi Nabi tidak melakukan‑nya. Ketika itu istri-istri Nabi malam-malam
pergi ke tempat-tempat orang buang
air. Suatu ketika Umar bin Khattab melihat Saudah binti Zam'ah — sosok perempuan ini tinggi — maka kata
Umar: saya mengenal Anda, Saudah. Harapannya supaya memakai hijab, maka
Allah menurunkan ayat hijab." Disebutkan bahwa Umar berkata: "Rasulullah, yang datang kepada Anda ada orang yang baik, ada
yang jahat. Sebaiknya para
Ummul-mu'minin
('Ibu
orang-orang beriman') suruh memakai hijab."
Ayat
hijab seperti firman Allah ini:
"Wahai
istri-istri Nabi! Kamu
tidak seperti perempuan lain mana pun; jika kamu bertakwa, jan
ganlah terlalu lunak bicara, supaya orang yang ada pen yakit di
dalam
hatinya, tidak bangkit nafsunya; tapi bicaralah dengan katakata
yang baik. Dan tinggallah di rumah kamu dengan tenang, dan jan
ganlah memamerkan diri seperti orang jahiliah dulu; dirikanlah
salat
dan keluarkanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya;
Allah
hanya hendak menghilangkan segala yang nista dari kamu, ahli bait,
dan membuat kamu benar-benar suci dan bersih." (Qur'an,
33:32-33).
Dan firman-Nya lagi: "Wahai
Nabi! katakanlah kepada istriistrimu,
putri-putrimu dan perempuan-perempuan beriman, agar mereka
men genakan jilbab (bila keluar), supaya mereka lebih mudah dikenal
dan tidak diganggu. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih." (Qur'an,
33:59).
Umar dan istri-istri Nabi
Masih ada
peranan Umar yang lain dengan Nabi yang menyangkut hubungan pribadi, yang mungkin tidak akan
diketahuinya kalau tidak karena
Hafsah sebagai salah seorang Ummul-mu'minin.
Suatu
ketika istri-istri
Nabi mengutus Zainab binti Jahsy kepadanya — yang ketika itu sedang di
rumah Aisyah — mengatakan terus terang bahwa Nabi memperlakukan mereka tidak
adil, dan karena cintanya kepada Aisyah mereka merasa dirugikan. Setelah Maria melahirkan
Ibrahim besar sekali cinta Rasulullah
kepada bayinya ini. Hal ini dinyatakan oleh Hafsah dan Aisyah, diikuti
oleh istri-istrinya yang lain, sehingga Nabi bermaksud meninggalkan mereka dan mengancam akan
menceraikan mereka. Disebutkan dalam
Sahih
dari
Ibn Abbas bahwa ia bertanya kepada Umar,
siapa dari dua istri Nabi yang menunjukkan perasaan demikian itu. Hafsah dan Aisyah, jawab Umar.
Kemudian katanya lagi: "Ya, sungguh di zaman jahiliah dulu,
perempuan-perempuan tidak kami hargai. Baru setelah Allah memberikan ketentuan
tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka." Dan katanya lagi: "Ketika
saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba
istri saya berkata: 'Coba Anda berbuat begini atau begitu. Jawab saya, 'Ada
urusan apa Anda di sini, dan perlu apa dengan urusan saya.' Dia pun membalas,
'Aneh sekali Anda ini, Umar. Anda
tidak mau ditentang, padahal putri kita menentang Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam sehingga
ia gusar sepanjang
hari. Kata Umar selanjutnya: "Saya ambil mantelku, saya pergi
keluar menemui Hafsah. 'Anakku', kata saya kepadanya. 'Anda menentang
Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam sampai
ia merasa gusar
sepanjang hari?! Hafsah menjawab: 'Memang kami menentangnya.'
'Anda harus tahu', kata saya. 'Kuperingatkan Anda jangan teperdaya.
Orang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dan mengira
cinta Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam hanya
karenanya.' Kemudian saya
pergi menemui Umm Salamah, karena kami masih berkerabat. Hal ini saya bicarakan dengan dia.
Kata Umm Salamah kepada saya: 'Aneh sekali Anda ini, Umar! Anda sudah ikut
campur dalam segala hal,
sampai-sampai mau mencampuri urusan Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam dengan
rumah tangganya!' Kata Umar lagi:
'Kata-katanya mempengaruhi saya sehingga tidak jadi saya melakukan apa yang sudah saya rencanakan. Saya pun
pergi. Ada seorang kawan dari Ansar
yang suka membawa berita kepada saya j ika saya tidak hadir, kalau dia yang tidak hadir saya yang
membawakan berita buat dia. Kami
sedang dalam keadaan cemas karena konon salah seorang raja Gassan akan menuju ke tempat kami.
Sementara kami sedang gelisah
demikian, tiba-tiba temanku orang Ansar itu datang mengetuk pintu seraya
berkata: Buka, buka. Orang Gassan itu datang?! tanya saya. Bukan, katanya. Lebih penting dari
itu. Rasulullah Sallallahu
'alaihi
wa sallam telah
meninggalkan semua istrinya. Karena tunduk kepada
Hafsah dan Aisyah! Saya ambil pakaianku dan saya pergi hendak
menemuinya. Saya lihat Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam
di
Masyrabah yang dinaikinya dengan anak tangga dari batang kurma
yang berlekuk-lekuk. Pelayan Rasulullah orang hitam itu di atas anak
tangga. Kata saya kepadanya: Katakair ada Umar bin Khattab. Saya pun diizinkan
masuk. Kata Umar selanjutnya: Maka saya ceritakan
kepada Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam peristiwa
itu. Sesudah sampai
pada cerita tentang Umm Salamah ia tersenyum."
Dalam sebuah
sumber disebutkan bahwa Nabi meninggalkan istriistrinya sebulan penuh. Sesudah cukup satu bulan,
ketika itu Muslimin yang sedang berada dalam Masjid sedang menekur dalam
suasana kesedihan; mereka berkata:
Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam menceraikan
istri-istrinya. Ketika itulah Umar pergi hendak menemui Rasulullah
Sallallahu
'alalhi wa sallam di
Masyrabah. la memanggil Rabah
pembantunya supaya memintakan izin, tetapi Rabah tidak menjawab. la
mengulangi permintaannya. Sesudah untuk kedua kalinya Rabah tidak memberikan jawaban, dengan suara lebih
keras Umar berkata: "Rabah, mintakan
saya izin kepada Rasulullah — Sallallahu
'alaihi wa sallam —
saya kira dia sudah menduga kedatangan saya ini ada hubungannya
dengan Hafsah. Sungguh, kalau dia menyuruh saya memenggal leher Hafsah, akan
saya penggal lehernya." Sekali ini Nabi memberi izin dan Umar pun masuk. Tak
lama kemudian kata Umar: "Rasulullah, apa
yang menyebabkan Anda tersinggung karena para istri itu. Kalau mereka Anda ceraikan, niscaya Tuhan di
samping Anda, demikian juga para
malaikat — Jibril dan Mikail—juga saya, Abu Bakr, dan semua orang beriman berada di pihak
Anda." la terus bicara dengan Nabi
sehingga bayangan kemarahan di wajahnya berangsur hilang dan ia pun
tertawa.
Disebutkan
bahwa Umar telah menemui istri-istri Nabi sesudah mereka
ditinggalkan oleh Nabi dan berkata kepada mereka: "Kalau kamu tidak mau
mengubah sikap kamu Allah akan menggantikan kamu dengan yang lebih baik dari
kamu semua." Salah seorang dari mereka menjawab: "Umar, Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam tak
pernah menceramahi istri-istrinya, mengapa Anda yang berceramah! Dalam hal
ini
firman Allah turun:
"Allah
telah mewajibkan kepada kamu (hai manusia), melepaskan sumpah
kamu (dalam beberapa hal); dan Allah Pelindung kamu, dan Dia
Mahatahu, Mahabijaksana. Tatkala Nabi secara rahasia menyampaikan
suatu berita kepada salah seorang istrinya, maka kemudian ia (istrinya)
membocorkannya (kepada yang lain), dan Allah memberitahukan
hal itu kepadanya (Nabi), ia memberitahukan sebagian dan men
yembunyikan yang sebagian. Maka setelah ia memberitahukan hal demikian kepadanya
(istrinya) ia berkata, "Siapa yang men gatakan ini kepadamu?"
(Nabi) berkata, "Yang memberitahukan Yang Mahatahu, Maha
Men genal (segalanya)." Jika kamu berdua bertobat kepada Allah,
hatimu memang sudah cenderung; tetapi jika kamu saling membantu
menentangnya, sun gguh Allah Pelindungnya, juga Jibril dan orang
yang saleh di antara orang-orang beriman — dan sesudah itu, para
malaikat akan melindungi(nya). Kir any a Tuhannya, jika ia men
ceraikan kamu (semua), memberinya ganti istri-istri yang lebih
baik
dari kamu, —perempuan-perempuan
yang patuh men yerahkan kehendak,
yang beriman, yang patuh, yang bertobat, yang beribadah, yang
men gembara (karena iman) dan yang berpuasa, —yang
pernah bersuami,
yang pera wan." (Qur'an,
66:2-5). Sesudah ayat-ayat turun Rasulullah
kembali kepada istri-istrinya yang sudah bertobat.[3]
Semua sejarawan
mencatat peristiwa ini, yakni bahwa wahyu itu memperkuat pendapat Umar. Menurut
Sahih
Umar berkata:
"Tuhan menyetujui pendapat saya dalam tiga hal. Kata saya: Rasulullah,
kita
Rasulullah,
sebaiknya istri-istri Anda itu mengenakan hijab, sebab yang berbicara kepada mereka ada orang yang baik, ada
yang jahat." Maka turun ayat hijab.
Tatkala istri-istri Nabi Sallallahu
'alaihi wa sallam berkumpul
karena perasaan cemburu, saya berkata kepada mereka: Kalau
kamu diceraikan mudah-mudahan Tuhan memberi ganti dengan istri-istri
yang lebih baik, maka turun ayat ini." Barangkali turunnya wahyu
sesuai dengan pendapat Umar dalam peristiwa-peristiwa itu, itu pula
sampai Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam berkata:
"Allah telah
menempatkan kebenaran di lidah dan di hati Umar," atau ia katanya: "Allah
telah menentukan kebenaran di lidah Umar apa yang
dikatakannya."
Dari
sekian banyak peristiwa yang dialami Umar, dari para tawanan Badr,
Abdullah bin Ubai, Perjanjian Hudaibiah, ketentuan minuman keras sampai kepada
masalah istri-istri Nabi merupakan bukti yang cukup menonjol dan mengungkapkan
sebagian kepribadian Umar, yang makin lama
terasa makin jelas. Dengan segala keberaniannya, keterusterangannya dan
kepribadiannya yang begitu menonjol dan segala yang sudah kita sebutkan di atas, bukanlah semua itu
yang menjadi tujuan kita, juga bukan
dengan pendapatnya yang tepat dan pengetahuannya yang luas yang kita inginkan, tetapi yang menjadi
tujuan kita dengan semua peristiwa
itu hanya untuk menunjukkan betapa besar perhatiannya terhadap segala
kepentingan umum yang dihadapinya serta politik bangsanya yang banyak mendapat perhatian itu. Ia
mengurus semua persoalan dan
pekerjaan itu dengan disiplin yang tinggi. Segi ini padanya memang lebih menonjol dari yang lain. Itu
sebabnya Nabi menyebut dia sebagai wazirnya. Dan bilamana bermusyawarah
dengan sahabat-sahabatnya ia menempatkan
pendapat Umar sama dengan pendapat yang dikemukakan Abu Bakr, orang
pilihan dan sahabat Rasulullah.
Penghargaan
kepada Umar di mata semua Muslimin sudah begitu tinggi, padahal dalam banyak peristiwa Nabi
sering menentang pendapatnya karena sikap Umar yang begitu bersikukuh
sudah melampaui sikap keteguhan hati. Karenanya tidak bertemu dengan sifat-sifat
Rasulullah yang mempunyai keteguhan hati
dan bijaksana, mempunyai kemampuan dan sifat
pemaaf.
Sesudah
Muslimin berangkat akan membebaskan Mekah, Abbas bin
Abdul-Muttalib keluar. Maka dilihatnya pasukan dan kekuatan kemenakannya
itu, dan Kuraisy tak akan lagi mampu menandinginya. Juga
Abu Sufyan bin Harb keluar dalam satu regu hendak mencari-cari berita.
Sementara Abu Sufyan berbicara dengan kawan-kawannya Abbas sudah
mengenal suaranya. Maka katanya:
"Hai
Abu Sufyan, Rasulullah berada di tengah-tengah rombongan itu.
Apa jadinya Kuraisy jika ia memasuki Mekah dengan kekerasan!" Abu
Sufyan menukas: "Apa yang harus kita perbuat! Kupertaruhkan ibu-bapaku."
Ketika itu Abbas di atas seekor bagal putih kepunyaan Nabi.
Dinaikkannya ia di belakangnya, sedang teman-temannya disuruhnya kembali ke Mekah dan Abu Sufyan diajaknya
ke tempat Nabi. Melihat bagal itu dan
mengetahui ada Abu Sufyan, sadar dia bahwa Abbas mau melindunginya. Maka
cepat-cepat Umar menuju ke kemah Nabi dan
ia meminta izin akan memenggal leher Abu Sufyan. Tetapi Abbas berkata:
"Rasulullah, saya sudah melindunginya." Sekarang terjadi perdebatan sengit antara Umar dengan
Abbas mengenai Abu Sufyan. Rasulullah menangguhkan perkara itu sampai
besok.
Keesokan
harinya Abu Sufyan sudah menerima Islam setelah terjadi dialog dengan
Rasulullah. Nabi memberikan kehormatan kepada Abu Sufyan dengan mengatakan: "Barang siapa datang ke
rumah Abu Sufyan, ia akan selamat, barang siapa menutup pintu rumahnya ia
akan selamat dan barang siapa masuk ke dalam
Masjid ia juga akan selamat." Umar pergi dengan hati kesal karena Abu
Sufyan selamat. Sesudah kemudian Mekah
membuka pintu, baru dia tahu pentingnya perintah Rasulullah, seperti soal Abdullah bin
Ubai dulu, bahwa perintah Rasulullah
lebih besar artinya daripada perintahnya. Tetapi kegigihan dan
keterusterangannya serta sikapnya sering menentang pendapat Nabi seperti yang sudah saya sebutkan, tak pernah
mengurangi kedudukan Umar yang tetap
terhormat. Soalnya karena apa yang dilihatnya dan disampaikannya itu
benar-benar keluar dari hati yang ikhlas. Bagi orang yang ikhlas memang patut sekali kita hormati,
kendati pendapatnya tidak kita terima. Bagaimana pendapat kita kalau apa yang
dikatakannya itu dalam banyak hal
memang benar. Lalu bagaimana pendapat kita kalau kita berbeda pendapat kemudian kita
lihat pendapatnya itu yang benar dan
kita menerima pendapatnya. Ketika Nabi mengutus Abu Hurairah agar memberitahukan bahwa barang siapa
mengucapkan kalimat syahadat — tiada
tuhan selain Allah — dengan sungguh-sungguh dari hati, ia akan masuk surga.
Setelah hal itu didengar oleh Umar, dengan keras ia mau mengoreksi Rasulullah,
dan langsung ia mengikutinya akan
menanyakan kembali kepada Rasulullah, benarkah ia telah mengutus Abu Hurairah dengan pengumuman
berita itu. Sesudah oleh Rasulullah dibenarkan, Umar berkata: Jangan
lakukan itu! Saya khawatir orang hanya akan
berpegang pada itu; biarlah orang mewujudkannya dengan amal perbuatan.
Pendapatnya oleh Rasulullah diterima.
Saat sakit
Rasulullah yang terakhir terasa sudah makin berat, ia memberi isyarat kepada
beberapa pemuka Muslimin yang ada di sekelilingnya dalam rumah ketika itu dengan
mengatakan: "Bawakan dawat dan
lembaran, akan saya minta tuliskan surat buat kamu sekalian, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan
sesat." Ada sebagian mereka yang
menentang, dipelopori oleh Umar dengan mengatakan: "Rasulullah sudah dalam keadaan sakit. Pada kita
sudah ada Qur'an, sudah cukup
Kitabullah buat kita." Melihat perselisihan pendapat itu Nabi berkata:
"Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di hadapan Nabi." Penulisan tidak j adi. Barangkali
ia lebih banyak terkesan oleh pendapat Umar daripada pendapat yang lain,
karena diketahuinya benar kejujuran dan
keikhlasannya serta keterusterangannya dalam menyampaikan
pendapat.
Yang ikhlas dan zuhud
Yang
lebih pantas kita hormati dan kita hargai justru orang yang tidak
begitu mengutariiakan kepentingannya sendiri, dan dengan ikhlas memberikan
pendapatnya demi kepentingan umum. Dalam hal ini Umar merupakan
teladan yang baik. Di atas sudah kita lihat pendapat-pendapatnya itu memang bersih dari segala yang
mencurigakan. Bahkan juga sudah kita lihat bagaimana cita-citanya
sekiranya Allah mengharamkan khamar yang ketika itu belum diharamkan, padahal
di zaman jahiliah dia sendiri seorang
peminum minuman keras yang sudah melebihi semestinya. Harapannya agar minuman
itu diharamkan hanya karena cintanya
demi segala kebaikan masyarakat disertai disiplinnya yang begitu kuat. Di
samping itu ia termasuk seorang zahid
yang paling
keras menjauhi harta. Kalau Rasulullah
memberikan kepadanya harta hasil rampasan perang yang diperoleh Muslimin, ia
berkata: "Berikan kepada yang lebih miskin dari saya." Suatu hari ia berkata
demikian kepada Rasulullah, maka kata Nabi: "Terimalah dan simpan
kemudian sedekahkan."
Bahkan begitu
kuat zuhudnya, ketika ia mendapat bagian tanah di Khaibar, dan ia menemui Nabi
Sallallahu
'alaihi wa sallam maka
katanya:
"Saya mendapat bagian tanah di Khaibar, yang sebenarnya belum
pernah saya mendapat harta begitu berharga, tetapi apa yang harus
saya perbuat dengan itu." "Kalau Anda mau pokoknya wakafkan dan sedekahkan
dengan itu." Maka dengan itu oleh Umar disedekahkan kepada fakir miskin, kaum kerabat, membebaskan
hamba sahaya, fi
sabilillah dan
kepada tamu. Boleh juga orang yang mengurusnya ikut menikmati dengan sepantasnya
atau memberikan kepada teman yang tidak
ikut memilikinya. Dan dia berkata: Yang tak boleh dijual, dihibahkan atau
diwariskan pokoknya. Inilah yang pertama kali sedekah dilakukan dalam Islam, dan inilah pokok yang
pertama yang menjadi sistem wakaf di kalangan Muslimin di mana pun mereka
berada.
Tidak heran jika
orang yang sudah demikian rupa keadaannya dan zuhudnya akan sangat dihargai dan dihormati oleh
semua umat Islam lepas dari wataknya
yang begitu keras dan tegar. Ia juga sangat dicintai dan dihargai oleh
Rasulullah sehingga ia memanggilnya dengan Saudaraku. Pernah Umar meminta izin kepadanya akan
melaksanakan umrah. Nabi mengizinkan dengan mengatakan: "Saudaraku,
jangan lupakan kami dalam doa Anda." Setiap
Umar ingat akan kata-kata ini ia berkata: "Sejak terbit matahari kata "Saudaraku," inilah
yang saya senangi."
Allah menempatkan kebenaran di lidah dan di hati Umar
Keikhlasan
dan kebersihan hati dari segala hawa nafsu serta cintanya
pada keadilan, itulah yang membuat gelar "al-Faruq"
melekat
padanya. Belum
terdapat kata sepakat siapa yang menamakan Umar alFaruq. Ketika
ditanya mengenai hal ini menurut sumber dari Aisyah ketika
ditanya ia berkata: "Nabi 'alaihis-salam."
Disebutkan
bahwa Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam berkata:
"Allah menempatkan kebenaran
di lidah dan di hati Umar. Dialah al-Faruq"
("Pemisah"),
yang
memisahkan antara yang hak dengan yang batil." Dalam at-Tabaqat
Ibn
Sa'd mengutip sebuah ungkapan berikut rujukannya sebagai berikut:
"Saya mendapat kabar bahwa yang pertama kali mengatakan Umar
al-Faruq Ahli Kitab. Kaum Muslimin menggunakan sebutan itu dari kata-kata
mereka. Belum ada suatu berita yang kami terima bahwa Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam pernah
mengatakan itu." Mana pun
yang benar dari sumber-sumber tersebut, yang tak dapat diragukan lagi
Umar adalah seorang Faruq
—
yang memisahkan antara yang hak dengan
yang batil. Dan inilah yang mengabadikan nama al-Faruq
sepanjang
sejarah, yang melekat pada Umar sampai sekarang, dan akan tetap demikian
selamanya.
Mengenai
sikapnya yang begitu keras dan tegar, itu pulalah maka Nabi
lebih mengutamakan Abu Bakr, dan selain Abu Bakr tak ada orang
yang lebih diutamakan, karena keikhlasannya, keterusterangannya,
keteguhan hati serta kebijakannya. Umar, yang begitu terkenal karena
sikapnya yang keras dan tegar sehingga tak dapat ditawar-tawar, dalam
beberapa peristiwa tampak ia lemah lembut dengan perasaan yang
halus seperti sebagian sudah kita kemukakan peristiwanya ketika ia masuk Islam.
Disebutkan bahwa ketika Umar meminta izin akan menemui Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam, ada
beberapa perempuan
Kuraisy yang sedang berbicara kepada Nabi dengan suara tinggi.
Setelah diizinkan, perempuan-perempuan itu cepat-cepat mengenakan
hijab.[4] Begitu Umar masuk,
Rasulullah tertawa seraya berkata:
"Heran saya melihat perempuan-perempuan yang sejak tadi sudah di tempat
saya, tetapi begitu mendengar suara Anda cepat-cepat mereka mengenakan hijab."
Umar menjawab: "Lebih berhak Rasulullah yang
harus mereka segani." Kemudian sambungnya: "Mereka memusuhi diri mereka
sendiri. Kalian segan kepada saya dan tidak segan kepada Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam? Mereka
menjawab: "Ya, karena Anda
kasar dan keras."
Akhlak Umar dan kesedihannya ketika Nabi wafat
Mungkin karena
kerasnya Umar, ketika dalam sakitnya Rasulullah meminta Abu Bakr mengimami
salat. Suatu waktu Abu Bakr tak ada di tempat, dan yang menjadi imam salat Umar dengan
suaranya yang nyaring terdengar menggelegar, maka Rasulullah bertanya:
"Mana Abu Bakr? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang
demikian."
Melihat
wataknya yang keras dan tegar adakalanya kita heran ketika ada
berita Rasulullah telah wafat melihat Umar kebingungan menghadapi kenyataan. Ia
menolak setiap usaha orang yang hendak meyakinkannya mengenai kenyataan pahit
itu. Ia berdiri di depan orang banyak sambil
berkata: "Ada orang dari kaum munafik yang mengira bahwa Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam telah
wafat. Tetapi, demi Allah
sebenarnya dia tidak meninggal, melainkan ia pergi kepada Tuhan, seperti Musa bin Imran. Ia telah
menghilang dari tengah-tengah masyarakatnya selama empat puluh hari, kemudian
kembali lagi ke tengah mereka setelah
dikatakan dia sudah mati. Sungguh, Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga. Orang yang
menduga bahwa dia telah meninggal,
tangan dan kakinya harus dipotong!" Setelah Abu Bakr datang dan sesudah melihat Rasulullah ia pun
yakin bahwa Rasulullah memang sudah tiada. Abu Bakr mendatangi
orang-orang yang sedang berkerumun itu lalu
katanya: "Barang siapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal.
Tetapi barang siapa menyembah Allah, Allah
hidup selamanya tak pernah mati."
Kemudian
ia membacakan
firman Allah:
"Muhammad
hanyalah seorang Rasul; sebelumnya
pun telah berlalu rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh
kamu akan berbalik belakang? Barang siapa berbalik belakang samasekali takkan
merugikan Allah tetapi Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang
bersyukur." (Qur'an,
3:144).
Setelah
Abu Bakr membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua
kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah ia yakin bahwa Rasulullah memang sudah wafat, seolah ia tak
pernah mendengar ayat itu
sebelumnya. Saat itu mana wataknya yang keras dan tegar itu! Bahkan mana
pula ketidaksabarannya dan yang selalu gelisah dibandingkan dengan ketabahan Abu Bakr yang
begitu lembut hati, cepat keluar air mata, teman dekat dan pilihan RasuluUah
itu, mana pula tempat Umar dibandingkan dengan ketabahan Abu
Bakr!
Tetapi tak lama
setelah kembali sadar, Umar kembali pula sebagai manusia politik. Kembali ia memikirkan masa depan
kaum Muslimin sesudah peristiwa yang
sungguh memilukan hati itu. Besar sekali dampak pemikiran dan tindakannya dalam menghadapi
situasi kritis semacam ini, sehingga ia dapat menangkis setiap permusuhan
terhadap Islam, dan sekaligus membuka jalan
untuk penyebarannya di barat dan di timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar