Jumat, 21 Maret 2014

UMAR MENDAMPINGI NABI



Umar masuk ke dalam agama Allah ini dengan semangat yang sama seperti ketika dulu memusuhi Islam. Begitu ia berada dalam ke­luarga Islam, lebih cenderung ia mengumumkan keislamannya itu terang-terangan kepada semua orang Kuraisy. Sebelum itu kaum Mus­limin tak dapat melaksanakan salat di Ka'bah, tetapi dengan kegigihan Umar melawan Kuraisy mereka pun dibiarkan salat di sana. Dakwah Is­lam yang mulanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, setelah Umar menganut Islam dakwah dilakukan terang-terangan. Muslimin kini sudah dapat duduk di sekitar Ka'bah dan melakukan tawaf serta ber­laku adil terhadap orang yang dulu memperlakukan mereka dengan kasar. Oleh karenanya, berita tentang Muhammad kini lebih tersebar di kalangan para kabilah Kuraisy semua. Tidak sedikit dari keluarga Kuraisy yang lalu menyambut Islam. Ketika itulah Kuraisy berkomplot. Kabilah-kabilah mereka mengadakan kesepakatan dan menulis piagam yang kemudian digantungkan di dalam Ka'bah, yang isinya merupakan penegasan bahwa di antara mereka tidak akan mengadakan hubungan dagang atau hubungan apa pun dengan Muhammad, dengan Banu Hasyim dan Banu Abdul-Muttalib. Dengan demikian perang antara Kuraisy dengan pihak Muslimin bertambah sengit.

Permusuhan Kuraisy terhadap Muslimin

Dalam perang ini Kuraisy menggunakan segala macam senjata: senjata propaganda dengan melukiskan Muhammad menyihir orang de­ngan kata-kata yang dapat memecah belah orangtua dengan anak, saudara dengan saudara, suami dengan istri dan antarkeluarga. Lalu anNadr bin al-Haris datang menyusup menggantikan Muhammad pada setiap majelis pertemuan untuk bercerita kepada Kuraisy tentang Persia dan agamanya. Kemudian katanya: "Sungguh, cerita Muhammad tidak akan lebih baik dari cerita saya. Apa yang diceritakannya hanya do­ngeng-dongeng zaman dulu, hanya menyalin cerita seperti yang saya lakukan ini." Mereka juga menyebarkan kabar bahwa ada seorang budak Nasrani bernama Jabr yang mengajari Muhammad dengan segala yang diajarkannya itu. Muhammad ketika itu sering duduk-duduk di kedai budak itu di Marwah.
Sekarang Kuraisy makin menjadi-jadi mengganggu Muhammad dan sahabat-sahabatnya: Umm Jamil istri Abu Lahab memasang duri di jalan yang akan dilalui Rasulullah; Umayyah bin Khalaf setiap melihat­nya mengeluarkan kata-kata kotor yang ditujukan kepadanya. Cobaan yang dialami kaum duafa dengan segala macam cara kekerasan sudah merupakan soal yang biasa terjadi di Mekah setiap hari. Rasulullah dan kaum Muslimin yang tetap tinggal di Mekah dan tidak ikut hijrah ke Abisinia menghadapi semua penderitaan yang menimpa mereka itu dengan hati tabah dan sabar. Sesudah gangguan itu sampai di puncak­nya dan mereka diboikot oleh Kuraisy, mereka pergi berlindung ke celah-celah gunung di luar kota Mekah. Di sana mereka benar-benar menderita kekurangan. Makanan yang mereka peroleh hanya sedikit sekali dibawa oleh penduduk yang masih merasa iba melihat keadaan mereka. Kalau tidak karena itu mereka akan mati kelaparan. Mereka tinggal di celah gunung itu selama tiga tahun terus-menerus, tak dapat keluar selain pada bulan-bulan suci. Pada bulan-bulan itu Muhammad turun menemui orang-orang Arab untuk menyampaikan tugas Tuhan­nya. Di antara mereka yang melihat kesabaran dan ketabahannya serta ketabahan sahabat-sahabatnya menelan segala penderitaan dengan pe­nuh iman kepada kebenaran yang diwahyukan Allah kepadanya itu, ada yang lalu menjadi pengikutnya,
Tetapi dalam pada itu ada dua tokoh, Hisyam bin Amr dan Zuhair bin Abi Umayyah yang tidak senang melihat piagam yang begitu kejam berupa pemboikotan kepada Muhammad itu. Setelah mengadakan per­temuan dengan beberapa tokoh, mereka sepakat mencabut piagam itu dari dinding Ka'bah lalu merobeknya. Kuraisy tidak bereaksi atas per­buatan mereka itu. Dengan demikian Muhammad dan sahabat-sahabat­nya keluar dari celah gunung. la tetap menyampaikan dakwahnya di Mekah dan di kalangan kabilah-kabilah yang datang ke kota itu pada bulan-bulan suci. Kuraisy makin keras menyerang Muhammad setiap melihat Muhammad masih juga gigih menyampaikan dakwahnya. Kemudian pamannya Abu Talib meninggal, disusul istrinya Khadijah. Peristiwa ini makin mendorong Kuraisy melakukan penganiayaan kepadanya. Ia mencoba mencari bantuan kabilah Saqif di Ta'if, tetapi ia diusir dengan cara yang kejam. Pada musim-musim ziarah ia pun pergi menawarkan diri kepada kabilah-kabilah di tempat-tempat mereka, tetapi tak ada yang menyambutnya.
Sesudah itu terjadi peristiwa Isra, malah ada sekelompok Muslimin yang lalu meninggalkan agamanya. Kuraisy makin gigih menyakiti mereka yang masih tetap bertahan dalam Islam dengan harapan supaya mereka juga keluar. Tetapi dakwah Muhammad yang sudah berjalan bertahun-tahun dan sudah membekas, banyak di antara mereka yang berpikir-pikir tentang dakwah itu dan tentang kebenaran yang dibawa­nya. Bekas yang paling dalam pada penduduk Yasrib, melebihi pen­duduk Arab lainnya. Sekelompok orang yang dulu sudah masuk Islam, mereka itulah yang menjadi bibit Ikrar Aqabah Pertama. Dan ini pula yang menyebabkan Rasulullah pertama kali berpikir tentang hijrah ke Yasrib.
Tahun berikutnya, ada tujuh puluh lima orang Muslim datang dari Medinah — tujuh puluh tiga laki-laki dan dua perempuan. Mereka ini­lah yang membaiat Ikrar Aqabah Kedua. Rasulullah menerima baiat mereka bahwa mereka akan memberikan perlindungan kepadanya sebagaimana perlindungan yang mereka berikan kepada istri dan anak­anak mereka. Sejak itu ia menganjurkan sahabat-sahabatnya di Mekah agar menyusul kaum Ansar di Yasrib dengan j alan meninggalkan Mekah secara terpencar-pencar supaya tidak membuat gempar Kuraisy. Inilah pertama kali hijrah ke Medinah. Islam pun pindah ke sana, dan dari sana pula Islam tersebar ke kawasan-kawasan lain di Semenanjung.

Peranan Umar di Mekah dan hijrahnya ke Medinah

Saat yang terjadi antara islamnya Umar dengan perintah Mu­hammad kepada sahabat-sahabatnya agar menyusul Ansar ke Yasrib, sudah tentu merupakan saat yang paling penting yang pernah dialami oleh Rasulullah dan agama Allah ini. Adakah juga peranan Umar bin Khattab yang sejalan dengan wataknya yang suka berterus terang dan tegas, dengan rasa harga diri yang tinggi itu? Dalam buku-buku biografi dan buku-buku sejarah tidak banyak yang kita peroleh menge­nai hal ini. Tetapi ini tidak berarti bahwa di masa mudanya, masa sedang perkasa dan sedang kuat-kuatnya Umar memegang peranan yang negatif dalam hal-hal yang dialami oleh Rasulullah dan kaum Muslimin. Sudah tentu ketika itu ia termasuk Muslim yang paling tabah dan sabar dalam menanggung penderitaan, dan yang paling keras memberikan pembelaan sedapat yang dapat dilakukannya dalam meng­hadapi gangguan kepada Rasulullah dan saudara-saudaranya kaum Muslimin. Tetapi dia juga orang yang sangat meyakini ketertiban dan berusaha sedapat mungkin menaati dan menjaganya. Yang demikian ini sudah menjadi bawaannya sejak masa jahiliah, dan lebih-lebih lagi se­sudah dalam Islam.
Kebijakan Rasulullah pada periode yang sedang kita bicarakan sekarang selalu menghindari segala bentuk kekerasan. Tak lebih ia hanya memaafkan setiap perlakuan tidak baik yang ditujukan kepada­nya. Ia berdakwah dengan bijaksana, mengajak orang dengan cara-cara yang baik dan berdiskusi dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang semula sangat memusuhinya berubah menjadi seperti sahabat karib. Itulah sikapnya terhadap Kuraisy ketika itu di Mekah dan terhadap Saqif di Ta'if, juga terhadap kabilah-kabilah lain yang di­ajaknya memasuki pintu cahaya dan bimbingan Allah. Tetapi mereka bersikap sombong dan menolak ajakannya. Ini suatu kebijakan yang tak terdapat dalam ketegasan dan kekuatan Umar seperti ketika ia masuk Islam dan mati-matian melawan kaum musyrik sehingga ia dan kaum Muslimin bersama-sama dengan dia dapat salat di Ka'bah.
Setelah terjadi hijrah, Umar pun ikut hijrah ke Medinah seperti Muslimin yang lain. Dengan diam-diam ditinggalkannya Mekah tanpa setahu penduduknya, kendati ada sebuah sumber yang dihubungkan kepada Ali bin Abi Talib menyebutkan: "Setahu saya semua Muhajirin hijrah dengan sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin Khattab. Sesudah siap akan berangkat hijrah dibawanya pedangnya dan diselempangkan­nya panahnya dengan menggenggam anak panah di tangan dan se­batang tongkat komando. Ia pergi menuju Ka'bah sementara orang­orang Kuraisy di beranda Ka'bah. Umar melakukan tawaf di Ka'bah tujuh kali dengan khusyuk, menuju ke Maqam (Ibrahim) lalu salat. Se­telah itu setiap lingkaran orang banyak didatanginya satu persatu seraya berkata kepada mereka: "Wajah-wajah celaka! Allah menista orang­orang ini! Barang siapa ingin diratapi ibunya, ingin anaknya menjadi yatim atau istrinya menjadi janda, temui aku di balik lembah itu."
Baik Ibn Hisyam, Ibn Sa'd atau at-Tabari tidak mencatat peristiwa ini. Ibn Hisyam dalam as-Sirah an-Nabawiyah dan Ibn Sa'd dalam at­Tabaqat al-Kubra menyebutkan bahwa Rasulullah mengizinkan orang hijrah meninggalkan Mekah dengan terpencar-pencar sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di kalangan Kuraisy, dan Muslimin keluar secara bebas. Yang mempunyai kendaraan dapat bergantian, yang tidak supaya berjalan kaki. Umar bin Khattab berkata: "Saya dan Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan Hisyam bin al-As bin Wa'il sudah berjanji akan keluar diam-diam. Kami berkata, j ika di antara kita ada yang terlambat dari waktu yang sudah dijanjikan, berangkatlah dua orang. Saya berangkat bersama Ayyasy bin Abi Rabi'ah; Hisyam bin al-As masih tertahan. Seperti yang lain dia juga dibujuk oleh Kuraisy. Saya dan Ayyasy meneruskan perjalanan sampai di Quba'." Sesudah itu sumber tersebut menyebutkan bahwa Ayyasy kembali ke Mekah memenuhi permintaan ibunya, dan bahwa di sana ia dimasukkan ke dalam penjara, kemudian dibujuk dan dia pun terbujuk.
Adakah kedua sumber ini saling bertentangan? Atau keduanya dapat disesuaikan, bahwa ia menantang orang-orang musyrik seperti dalam sumber yang dihubungkan kepada Ali bin Abi Talib, kemudian setelah itu menurut sumber Ibn Hisyam dan Ibn Sa'd ia berangkat hijrah dengan diam-diam? Kita lebih cenderung pada pendapat bahwa Umar tidak menantang siapa pun, dan bahwa dia hijrah meninggalkan Mekah diam-diam tanpa diketahui penduduk Mekah. Dia melakukan itu bukan karena lemah atau takut, yang memang tak pernah dikenalnya selama hidupnya, tetapi dia laki-laki yang penuh disiplin. Dia meng­ikuti jemaah dan meminta yang lain juga mengikuti mereka. Kaum Muslimin semua berangkat hijrah dengan diam-diam. Jadi tidak heran jika Umar juga mengikuti jejak mereka untuk menjaga ketentuan yang berlaku, dan supaya tidak timbul perasaan pada mereka yang pergi diam-diam bahwa keimanan Umar kepada Allah dan Rasul-Nya lebih kuat dari mereka.
Umar sudah sampai di Quba'. Di Banu Amr bin Auf ia bersama keluarganya tinggal pada keluarga Rifa'ah bin Abdul-Munzir. Setelah Rasulullah yang hijrah ditemani Abu Bakr tiba, Umar termasuk yang menyambutnya dan pergi bersama-sama dengan rombongan itu ke Medinah. Seperti Rasulullah dan Muslimin yang lain Umar juga ikut bekerja membangun mesjid dan tempat tinggal Rasulullah. Setelah itu Rasulullah 'alaihis-salam pindah dari rumah Abu Ayyub al-Ansari.
Peristiwa hijrah ke Medinah ini merupakan permulaan zaman baru dan kebijaksanaan baru dalam sejarah Islam dan kaum Muslimin. Kaum Muhajirin yang hijrah dari Mekah berkumpul dengan mereka yang sudah menganut Islam di Medinah. Mereka kini merupakan suatu kekuatan yang dapat mengangkat martabat dan membina kaum Muslimin. Rasulullah menginginkan agar martabat mereka lebih tinggi, persatuan mereka lebih kuat. Dengan menjalin pertalian yang lebih erat antara kaum Muhajirin dengan kaum Ansar, maka rasa persatuan dan harga diri mereka itu akan lebih kuat lagi. Oleh karena itu diajaknya mereka saling bersaudara setiap dua orang. Dia sendin mempersaudara­kan Ali bin Abi Talib; Hamzah pamannya dipersaudarakan dengan bekas budaknya Zaid bin Harisah; Abu Bakr dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid; juga setiap orang dari kaum Muhajirin dipersaudara­kan dengan seorang dari Ansar, yang oleh Rasulullah dijadikan hukum saudara sedarah dan senasab. Dalam hal ini Umar bin Khattab dipersaudarakan dengan Utban bin Malik, saudara Banu Salim bin Auf bin Amr bin Auf al-Khazraji.[1]
Cara mempersaudarakan demikian memperkuat kedudukan Mus­limin di Medinah, sehingga kaum musyrik dan Yahudi benar-benar memperhitungkan kekuatan mereka. Karena itu kalangan Yahudi tanpa ragu lagi mengajak damai dengan Rasulullah. Mereka membuat per­janjian dengan Rasulullah yang menjamin adanya kebebasan beragama dan kebebasan menyatakan pendapat serta menghormati kota Medinah, menghormati kehidupan dan harta dan larangan melakukan kejahatan. Persetujuan ini memperlemah kedudukan Aus dan Khazraj yang masih tetap musyrik, dan sekaligus memperkuat kedudukan kaum Muslimin.
Kedudukan dan kekuatan yang dicapai Muslimin dalam kehidupan masyarakat di Medinah telah membuka cakrawala bam bagi Umar bin Khattab, yang selama di Mekah tak pernah ada. Dia laki-laki yang penuh disiplin, laki-laki bijaksana yang telah berjuang demi disiplin. Kaum Muslimin di Mekah merupakan kaum minoritas yang dilindungi oleh keimanan mereka yang kuat kepada Allah dan Rasul-Nya sehingga mereka tidak tergoda dan tidak menjadi lemah, dengan bersikap negatif dalam perlawanan terhadap mereka yang mencoba menggoda agar meninggalkan agama Allah. Perlawanan negatif demikian tidak sesuai dengan watak Umar yang selalu memberontak meluap-luap menantang siapa saja yang mau merintanginya. Untuk itu di Mekah tidak cukup tempat untuk melaksanakan segala kegiatannya sehingga menampakkan hasil. Tetapi dalam kehidupan Muslimin sekarang di Medinah dengan segala disiplinnya yang begitu jelas, bagi Umar sudah tiba saatnya un­tuk memperlihatkan kepribadiannya dan harus ada pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Bahkan ada sifat-sifat Umar yang di Mekah dulu tak terlihat sudah mulai tampak: sebagai manusia yang dapat me­lihat peristiwa sebelum terjadi, dan apa yang terjadi seolah sudah diduganya.

Umar dan permulaan azan

Sesudah Rasulullah merasa tenang di Medinah, pada waktunya tanpa dipanggil orang-orang datang berkumpul untuk salat. Rasulullah ingin menggunakan trompet seperti trompet orang Yahudi untuk me­manggil Muslimin. Tetapi ia tidak menyukai trompet, maka dimintanya menggunakan genta yang ditabuh pada waktu salat seperti dilakukan orang Nasrani. Genta dibuat dengan menugaskan Umar agar keesokan­nya membeli dua potong kayu. Sementara Umar sedang tidur di rumah­nya ia bermimpi: "Jangan gunakan genta, tetapi untuk salat serukanlah azan." Umar pergi menemui Rasulullah memberitahukan mimpinya. Tetapi wahyu sudah mendahuluinya. Ada juga disebutkan bahwa Abdullah bin Zaid (bin Sa'labah) sudah lebih dulu datang kepada Rasulullah dengan mengatakan: "Rasulullah, semalam saya seperti bermimpi: Ada laki-laki berpakaian hijau lewat di depan saya membawa genta. Saya tanyakan kepadanya: Hai hamba Allah, akan Anda jual genta itu? Orang itu men­jawab dengan bertanya: Akan Anda apakan? 'Untuk memanggil orang salat,' jawab saya. 'Boleh saya tunjukkan yang lebih baik?' tanyanya lagi. Kemudian ia menyebutkan kepadanya lafal azan. Rasulullah pun lalu menyuruh Bilal dan ia menyerukan azan dengan lafal itu. Umar di rumahnya mendengar suara azan itu, ia keluar menemui Rasulullah sambil menyeret jubahnya dan berkata: "Rasulullah, demi Yang meng­utus Anda dengan sebenarnya, saya bermimpi seperti itu."
Sejak itu suara azan bergema di udara Medinah setiap hari lima kali, dan ini merupakan bukti yang nyata bahwa Muslimin kini di atas angin, lebih unggul. Azan untuk salat merupakan seruan kepada disiplin yang menambah kekuatan orang yang berpegang pada disiplin itu. Bahwa hal ini sudah dikatakan Umar sebelum turun wahyu, suatu bukti bahwa agama telah menyerap ke dalam diri orang kuat ini, sehingga pikirannya hanya tertumpu pada disiplin yang akan membuat agama ini makin kukuh dan tersebar luas.
Tetapi orang-orang Yahudi dan kaum musyrik yang masih berpegang pada kepercayaan mereka sudah merasa jemu. Mereka mulai ber­komplot dan mengadakan oposisi. Dalam menghadapi persekongkolan itu banyak cara yang ditempuh Muslimin, termasuk cara-cara kekerasan kalau perlu. Seperti yang lain Umar bin Khattab juga ikut mengadakan perlawanan.
Dengan maksud menakut-nakuti pihak Yahudi dan kaum munafik dan untuk meyakinkan pihak Kuraisy, bahwa lebih baik mereka me­nempuh jalan damai demi kebebasan berdakwah agama, Rasulullah mengirim beberapa ekspedisi dan pimpinannya diserahkan kepada Hamzah bin Abdul-Muttalib, Ubaidah bin al-Haris, Sa'd bin Abi Waq­qas dan Abdullah bin Jahsy, seperti juga sebagian ekspedisi yang dipimpin sendiri oleh Nabi. Buku-buku biografi dan buku-buku sejarah samasekali tak ada yang menyebutkan bahwa Umar pernah terlibat dalam ekspedisi yang pertama ini. Barangkali Rasulullah lebih me­nyukai ia tinggal di Medinah mengingat kebijakannya yang baik serta keterusterangannya dalam menegakkan kebenaran. Hal ini terlihat tatkala ada delegasi Nasrani dari Najran datang ke Medinah mau berdebat dengan Rasulullah. Tetapi perdebatan mereka, juga perdebatan Yahudi, ditolak dengan firman Allah:
"Katakanlah: Wahai Ahli Kitab! Marilah men ggunakan istilah yang sama antara kami den gan kamu: bahwa kita takkan men yembah siapa pun selain Allah; bahwa kita takkan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Dia; bahwa kita tak akan saling mempertuhan satu sama lain selain Allah. Jika mereka berpaling; katakanlah: Saksi­kanlah bahwa kami orang-orang Muslim (tunduk bersujud pada kehendak Allah)." (Qur'an, 3:64).
Kemudian ia mengajak delegasi itu menerima apa yang sudah diwahyukan itu atau saling berdoa.[2] Tetapi pihak Nasrani berpendapat akan kembali kepada masyarakat mereka tanpa mengadakan mubahalah. Mereka juga melihat Nabi sangat teguh berpegang pada keadilan. Mereka ingin supaya dikirim orang bersama mereka yang dapat memberikan keputusan mengenai hal-hal yang mereka perselisihkan. Kata Rasulullah kepada mereka: Ke marilah sore nanti; akan saya utus orang yang kuat dan jujur bersama kalian. Ibn Hisyam menceritakan bahwa Umar bin Khattab ketika itu berkata: Yang paling saya sukai waktu itu ialah pimpinan, dengan harapan sayalah yang akan menjadi pemimpin itu. Saya pergi ke mesjid akan salat lohor dengan datang lebih dulu. Selesai Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan salam, ia melihat ke kanan dan ke kiri. Saya sengaja menjulurkan kepala lebih tinggi supaya ia melihat saya. Se­mentara ia sedang mencari-cari dengan pandangannya, terlihat Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Ia dipanggilnya seraya katanya: Anda pergilah bersama mereka dan selesaikan apa yang mereka perselisihkan dengan adil dan besar. Setelah itu Abu Ubaidah berangkat."
Sebenarnya Umar sangat mengharapkan dia yang akan ditunjuk oleh Rasulullah menjadi penengah, seperti yang biasa dilakukannya sejak nenek moyangnya dulu di zaman jahiliah, jika terjadi perselisihan di antara para kabilah. Tetapi pilihan Nabi jatuh kepada Abu Ubaidah, padahal Umar begitu dekat di hatinya. Hal ini membuktikan bahwa Rasulullah menginginkan Umar tetap berada di Medinah. Keterus­terangannya, keberanian serta pandangannya yang tepat sangat diperlu­kan. Tetapi mungkin juga ia khawatir mengingat watak Umar yang keras, maka yang dipilihnya Abu Ubaidah, karena selain kejujurannya, sikapnya lemah lembut dan periang.

Umar, Perang Badr dan tawanan perang

Kuraisy tidak puas dengan perdamaian yang ditawarkan Rasulullah agar memberikan kebebasan orang berdakwah demi agama Allah. Mereka bahkan tetap memperlihatkan permusuhan kepadanya dan ke­pada sahabat-sahabatnya. Tatkala Rasulullah dengan kekuatan tiga ratus orang Muslimin keluar meiiyongsong mereka di Badr, dan dia tahu bahwa di pihak Mekah yang datang dengan kekuatan lebih dari seribu orang. ia bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya: Akan tetap meng­hadapi perang dengan mereka atau akan kembali ke Medinah. Umar dan Abu Bakr menyarankan lebih baik mereka dihadapi. Setelah per­tempuran dimulai, dan perang pun berkobar, korban pertama di pihak Muslimin adalah Mihja', bekas budak Umar bin Khattab. Di tengah­tengah pertempuran itu Umar pun sempat membunuh saudara ibunya, al-As bin Hisyam. Disebutkan bahwa ketika itu Umar bertemu dengan Sa'id. anak al-As, maka katanya: "Saya lihat Anda seperti menyimpan sesuatu dalam hati Anda. Saya lihat Anda mengira saya sudah mem­bunuh ayah Anda. Kalaupun saya bunuh dia, tidak perlu saya meminta maaf kepada Anda, sebab yang saya bunuh paman saya, saudara ibu saya al-As bin Hisyam bin al-Mugirah. Tentang bapa Anda, ketika saya melewatinya ia sedang mencari-cari sesuatu seperti lembu mencari tanduknya. saya menghindar dari dia. Lalu ia mendatangi Ulayya, se­pupunya, maka dibunuhnyalah dia."
Kata-kata yang diucapkan Umar ini merupakan yang pertama kali dikutip tentang dia dalam perang ini, perang yang telah membentuk sejarah Islam dan sejarah dunia ke dalam bentuk baru. Perang ini melukiskan pengaruh yang ditanamkan Islam ke dalam diri Umar dengan sangat j elas sekali. Demi agama ini orang harus menganggap segalanya itu tak ada artinya, ia tak boleh ragu ketika terjadi jika ia harus berhadapan dengan saudara atau dengan kerabat dekat. Ia mempersembahkan hidupnya untuk Allah dan di jalan Allah. Dengan pertimbangan apa pun ia tak boleh ragu dalam membela agama Allah.
Muslimin menawan tujuh puluh orang Kuraisy, kebanyakan pe­mimpin-pemimpin dan orang-orang berpengaruh di kalangan mereka. Umar bin Khattab termasuk orang yang paling keras ingin membunuh para tawanan itu. Tetapi para tawanan itu masih ingin hidup dengan jalan penebusan. Mereka mengutus orang kepada Abu Bakr agar membicarakan dengan Rasulullah untuk bermurah hati kepada mereka dan mereka bersedia membayar tebusan. Abu Bakr berjanji akan ber­usaha. Tetapi karena mereka khawatir Umar akan mempersulit keadaan, mereka juga mengutus orang kepada Umar dengan pesan seperti kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga. Abu Bakr datang menemui Rasulullah dengan permintaan agar bermurah hati kepada para tawanan perang itu atau menerima tebusan dari mereka, yang berarti dengan demikian akan memperkuat Muslimin. Tetapi Umar tetap keras dan tegar. "Rasulullah," katanya. "Mereka musuh-musuh Allah. Dulu mereka mendustakan, memerangi dan mengusir Rasulullah. Penggal sajalah leher mereka. Mereka inilah biang orang-orang kafir, pemuka-pemuka orang sesat. Allah sudah menghina kaum musyrik itu dengan Islam."
Dalam hal ini Rasulullah bermusyawarah dengan Muslimin dan berakhir dengan menerima tebusan dan Nabi membebaskan mereka. Tetapi tak lama sesudah itu datang wahyu dengan firman Allah ini:
"Tidak sepatutnya seorang nabi akan mempunyai tawanan­tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia. Kamu men ghendaki harta benda dunia; Allah men ghendaki akhirat. Allah Mahakuasa, Mahabijaksana." (Qur'an, 8:67).
Begitulah Umar, memberikan pendapatnya sekitar peristiwa Badr, seolah sudah melihat peristiwa itu sebelum terjadi, seperti halnya dengan soal azan untuk salat. Dengan demikian Nabi dan kaum Mus­limin sangat menghargai pendapatnya, kedudukannya makin tinggi di samping Nabi dan di kalangan kaum Muslimin umumnya.
Sekarang datang Mikraz bin Hafs hendak menebus Suhail bin Amr. Suhail ini seorang orator ulung. Melihat Mikraz melakukan tebusan, cepat-cepat Umar menemui Rasulullah seraya katanya: Izinkan saya mencabut dua gigi seri Suhail bin Amr ini supaya lidahnya menjulur ke luar dan tidak lagi berpidato mencerca Anda di mana-mana. Tetapi Rasulullah menjawab:
"Saya tidak akan memperlakukannya secara kejam, supaya Allah tidak memperlakukan saya demikian, sekalipun saya seorang nabi."
Ucapan Umar itu terus terang menunjukkan kegigihannya mengenai pendapatnya untuk tidak membiarkan para tawanan yang berkemampu­an kembali mengadakan perlawanan kepada kaum Muslimin. la sangat menekankan pendapatnya itu kendati masyarakat Muslimin sudah me­mutuskan menerima tebusan.
Wahyu turun memperkuat pendapat Umar mengenai para tawanan perang. Ini juga yang membuat Umar makin dekat di hati Nabi. Ia telah menjadi pendampingnya seperti juga Abu Bakr: Hafsah putri Umar istri Khunais bin Huzafah, adalah salah seorang yang mula-mula dalam Is­lam. Tetapi Hafsah ditinggalkan wafat oleh Khunais beberapa bulan sebelum Perang Badr. Kemudian Rasulullah menikah dengan Hafsah, seperti dengan Aisyah putri Abu Bakr sebelum itu. Pertalian semenda ini makin mempererat hubungan Nabi dengan Umar, sehingga dengan demikian lebih memudahkan Umar sering datang menemui Nabi, se­perti juga Abu Bakr.

Umar dalam Perang Uhud

Tahun berikutnya cepat-cepat Kuraisy mengadakan persiapan untuk melakukan balas dendam terhadap kekalahannya di Badr. Para sahabat menyarankan kepada Rasulullah untuk keluar menyongsong musuh di Uhud, di luar kota Medinah. Rasulullah masuk ke rumahnya, disusul oleh Abu Bakr dan Umar, yang kemudian mengenakan ikat kepala dan baju besinya. Dengan menyandang pedang ia berangkat bersama sahabat-sahabatnya hendak menghadapi musuh: Sampai menjelang te­ngah hari pasukan Muslimin di pihak yang menang. Tetapi kemudian keadaan berbalik menimpa mereka tatkala pasukan pemanah melanggar perintah Rasulullah. Mereka turun dari markas mereka di atas bukit, ikut yang lain memperebutkan rampasan -perang. Kesempatan ini digunakan oleh Khalid bin Walid memutar pasukan berkuda Kuraisy ke belakang pasukan Muslimin. Kemudian ia berteriak sekeras-kerasnya yang membuat pihak Kuraisy kembali menyerang Muhammad dan sa­habat-sahabatnya, yang sedang sibuk mengumpulkan rampasan perang. Karena serangan Kuraisy itu sekarang pasukan Muslimin menjadi kacau dan barisan centang-perenang, keadaan makin panik dan mereka cerai­berai setelah seorang musyrik berteriak: Muhammad sudah terbunuh!
Mendengar teriakan itu terbayang oleh pihak Muslimin bahwa mereka dan agama yang mereka imani tidak akan lagi tetap hidup. Agama ini tetap hidup dan mereka juga tetap hidup karena Allah sudah menjanjikan kepada Rasul-Nya kemenangan. Sekarang Rasulullah su­dah terbunuh di tangan kaum musyrik, dan sahabat-sahabatnya sudah mengalami kekalahan dihajar oleh pihak musyrik! Bahkan tokoh-tokoh Muhajirin dan Ansar pun sudah pasrah dan sudah putus asa. Mereka lalu pergi menyendiri dan duduk-duduk di sisi gunung. Ketika itulah kemudian Anas bin an-Nadr datang ke tempat mereka. Dilihatnya juga ada Umar bin Khattab, Talhah bin Ubaidillah dan beberapa orang lagi kaum Muslimin yang sedang dalam keadaan kacau balau dan putus asa, tak tahu apa yang harus diperbuat. Ketika itu ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu duduk-duduk di sini?!" Mereka menjawab: "Rasulullah sudah terbunuh." "Untuk apa lagi kita hidup sesudah itu. Bangunlah! Biarlah kita juga mati untuk tujuan yang sama." Sesudah itu ia maju menghadapi musuh. Ia bertempur mati-matian, bertempur tiada taranya. Ia menemui ajalnya setelah mengalami tujuh puluh pukulan musuh, sehingga ketika itu orang sudah tidak dapat mengenalnya lagi, kalau tidak karena saudara perempuannya yang datang dan dapat mengenal­nya dari ujung jarinya.
Tetapi setelah kemudian Muslimin tahu bahwa Rasulullah masih hidup, keimanan mereka kembali menggugah mereka, bahwa Allah akan menolong Rasul-Nya. Abu Bakr, Umar, Ali bin Abi Talib, az­Zubair bin al-Awwam dan yang lain bergegas melindunginya. Menge­tahui keadaan ini Khalid bin Walid naik ke atas bukit memimpin pa­sukan berkuda dengan tujuan menghabisi Muhammad dan orang-orang di sekitarnya. Tetapi Umar bin Khattab dan beberapa orang lagi dari pihak Muslimin sudah siap menghadapi Khalid dan pasukan berkuda­nya. Mati-matian mereka mengadakan perlawanan dan melindungi Rasulullah sampai berhasil mengusir mereka mundur. Tujuan Khalid tidak tercapai.
Di atas Sudah kita sebutkan tentang Umar dan apa yang diduganya akan terjadi, seperti soal azan untuk salat, membuktikan bahwa agama telah menyerap ke dalam diri orang kuat ini, sehingga pikirannya hanya tertumpu pada disiplin yang akan membuat agama ini makin kukuh dan tersebar lebih luas. Sikap Umar terhadap tawanan Perang Badr dan wahyu yang kemudian turun memperkuat pendapatnya serta sikapnya menghadapi Khalid bin Walid sebelum menyergap Nabi dan orang­orang di sekitarnya, kedua sikapnya ini sudah menunjukkan bukti yang kuat sekali tentang menyatunya agama Allah ke dalam diri Umar begitu rupa sehingga ia begitu bersemangat dan makin kuat hendak membela­nya. Tidak heran, sejak mudanya hatinya sudah teguh pada apa yang diyakininya, dan orang demikian bersedia menyerahkan hidupnya demi keyakinannya. Kita sudah melihat beberapa posisi Umar di masa jahiliah. Semangatnya atau fanatiknya yang begitu besar terhadap Kuraisy di luar kabilah-kabilah yang lain, juga semangatnya dalam menghadapi dakwah Muhammad, sehingga dia sendiri juga ikut me­nyiksa kaum Muslimin yang mula-mula. Setelah mendapat hidayah dan Allah membimbing hatinya dengan inaan yang kuat kepada-Nya, ia berdiri tegak di samping agama Allah, membelanya dengan semangat dan cara yang sama seperti ketika memeranginya dulu. Sekarang, setelah Muslimin dapat agama dan Nabinya, dalam membela agama ini Umar mau mengorbankan segalanya, juga mau mengorbankan nyawa­nya. Rasa putus asa yang sempat menimpanya dan menimpa Muslimin yang lain tatkala pihak Kuraisy mengatakan Nabi sudah meninggal, menjadi. sebagian rasa semangatnya terhadap agama ini, sehingga rasa sedihnya itu membuatnya lepas dari ketajaman pikirannya. Tetapi se­telah diketahuinya bahwa Rasulullah masih hidup, ia tampil menyerah­kan seluruh hidupnya demi imannya itu, dan Allah memberi kemenang­an kepadanya melawan jenderal jenius yang sangat dibanggakan Kuraisy itu dan telah memberi keuntungan kepada mereka dalam Perang Uhud.
Tetapi iman dan semangat Umar terhadap imannya itu tak dapat menahan kebanggaan dirinya, tak dapat menahan kepercayaannya kepada pendapatnya di depan Rasulullah sendiri. Dalam membangga­kan pendapatnya Umar termasuk orang yang paling kuat alasannya di kalangan Muslimin, dan paling menonjol. Memang benar bahwa Mus­limin, semuanya tidak mengenal lemah, dan ada yang menyampaikan pendapatnya kepada Rasulullah dan be'rdebat untuk mempertahankan pendapatnya atau mau meyakinkan lawan bicaranya, yang memang sudah menjadi ciri khas orang-orang yang berpendirian kuat di masa­masa revolusi, karena dengan itu mereka ingin pendirian yang menjadi cita-citanya mencapai tujuan. Tetapi Umar yang paling berterus terang dan paling berani. Tanpa mengurangi cintanya kepada Rasulullah serta kuatnya iman akan risalahnya, ia mau menyampaikan pendapatnya di depan Rasulullah dan mau mempertahankannya. Sudah kita lihat sikap­nya mengenai tawanan Perang Badr, bagaimana ia meminta izin akan mencabut dua gigi seri Suhail bin Amr sesudah Muslimin menerima tebusan para tawanan itu. Dan kelak kita akan melihat sikap demikian ini dalam persahabatannya dengan Rasulullah dan pada masa peme­rintahan Abu Bakr. Kita akan melihat ijtihadnya di masa Rasulullah yang kemudian sebagian dikuatkan oleh Qur'an, di samping ketentuan­ketentuan hukum dan prinsip-prinsip hasil ijtihadnya yang kita lihat sesudah Rasulullah wafat, yang sampai sekarang tetap menjadi pe­gangan kaum Muslimin.
Setelah Rasulullah selesai menghadapi perang dengan Banu Mus­taliq, ada dua orang dari kalangan Muslimin yang bertengkar mem‑perebutkan mata air; yang seorang dari kalangan Muhajirin dan yang seorang lagi dari Ansar. Yang dari Muhajirin berteriak: Saudara-saudara Muhajirin! Dibalas oleh Ansar: Saudara-saudara Ansar! Pada waktu itulah Abdullah bin Ubai bin Salul, pemimpin kaum munafik di Me­dinah berkata kepada orang-orang di sekitarnya: "Di kota kita ini sudah banyak kaum Muhajirin. Penggabungan kita dengan mereka akan seperti kata peribahasa: 'Seperti membesarkan anak harimau.' Sungguh, kalau kita sudah kembali ke Medinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina." Kata-kata ini disampaikan kepada Rasulullah, yang ketika itu ada Umar bin Khattab. Umar naik pitam dan katanya: Rasulullah, perintahkan kepada Abbad bin Bisyir supaya membunuhnya. Tetapi Rasulullah menjawab: Umar, bagaimana kalau sampai menjadi pembicaraan orang, bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri. Lalu ia meminta diumumkan supaya kaum Muslimin segera berangkat pada waktu yang tidak biasa mereka lakukan.

Ijtihad Umar di masa Rasulullah

Abdullah bin Ubai menemui Rasulullah dan membantah bahwa ia berkata demikian. Tetapi wahyu datang mendustakannya. Ketika itu Abdullah anak Abdullah bin Ubai — yang sudah menganut Islam dengan baik — berkata: "Rasulullah, saya mendengar Anda mengingin­kan Abdullah bin Ubai dibunuh. Kalau memang begitu, berikanlah tugas itu kepada saya, akan saya bawakan kepalanya kepada Anda. Orang-orang Khazraj sudah tahu, tak ada orang yang begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya lakukan. Saya khawatir Anda akan menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, saya tak akan dapat menahan diri membiarkan orang yang membunuh ayah saya berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh dia dan berarti saya membunuh orang beriman yang membunuh orang kafir, dan saya akan masuk neraka." Rasulullah menjawab:
“Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama dia masih bersama dengan kita."
Sejak itu penduduk Medinah melihat kepada Abdullah bin Ubai dengan penuh curiga dan tidak lagi menghargainya. Tatkala pada suatu hari Nabi sedang berbicara dengan Umar mengenai masa‑lah-masalah kaum Muslimin, sampai juga menyebut-nyebut Abdullah bin Ubai dan yang juga disalahkan oleh golongannya sendiri. "Umar, bagaimana pendapatmu," kata Rasulullah. "Ya, kalau Anda bunuh dia ketika Anda katakan kepada saya supaya dibunuh saja, tentu akan jadi gempar karenanya. Kalau sekarang saya suruh bunuh tentu akan Anda bunuh." "Sungguh sudah saya ketahui bahwa perintah Rasulullah lebih besar artinya daripada perintah saya."
Sesudah Abdullah bin Ubai meninggal dan Nabi bermaksud me­nyembahyangkannya, Umar segera mengingatkan tipu daya dan ke­jahatan orang itu terhadap Islam, dengan membacakan firman Allah: "Engkau memohonkan ampunan untuk mereka atau tidak memohonkan ampunan, — sampai tujuh puluh kali sekalipun, Allah tidak akan men gampuni, sebab mereka sudah mengingkari Allah dan Rasul-Nya. Allah tidak memberi petunjuk kepada golongan orang fasik." (Qur'an, 9:80). Nabi tersenyum melihat semangat Umar demikian rupa menye­rang orang yang sudah meninggal seraya katanya: "Kalau saya tahu dengan menambah lebih dari tujuh puluh dapat diampuni akan ku­tambah." Nabi menyembahyangkan juga dan ikut mengantarkan sampai selesai penguburan. Setelah itu datang firman Allah: "Sekali-kali ja­nganlah kau men yembahyangkan siapa pun dari mereka yang mati, juga jan ganlah berdiri di atas kuburannya; mereka mengingkari Allah dan Rasul-Nya, dan mati dalam keadaanfasik." (Qur'an, 9:84).
Rasulullah mengumumkan tentang keberangkatan menunaikan iba­dah haji pada tahun keenam sesudah hijrah ke Medinah. Sesampainya ke dekat Mekah, pasukan berkuda Kuraisy menghadangnya dan me­larang memasuki Mekah. Mereka bersumpah bahwa Muhammad tak boleh masuk dengan paksa, padahal kedatangan Rasulullah untuk me­nunaikan ibadah haji; bukan untuk berperang. Oleh karena itu ia dan sahabat-sahabatnya berhenti di Hudaibiah dan bermaksud mengadakan perundingan dengan pihak Kuraisy agar dibukakan jalan untuk melaku­kan tawaf di Ka'bah dan menyelesaikan kewajiban haji. Ia memanggil Umar bin Khattab supaya memasuki Mekah dan berbicara dengan Kuraisy mengenai maksud kedatangannya. Tetapi Umar berkata: "Ra­sulullah, saya khawatir Kuraisy akan mengadakan tindakan terhadap saya, mengingat di Mekah sudah tidak ada lagi Banu Adi bin Ka'b yang akan melindungi saya. Kuraisy sudah cukup mengetahui bagai­mana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka dulu. Saya ingin menyarankan orang yang lebih baik dalam hal ini daripada saya, yaitu Usman bin Affan."
Usman pun memasuki Mekah. Lama ia mengadakan pembicaraan dengan Kuraisy dan terpisah dari Muslimin, sehingga dikira ia sudah dibunuh. Maka Rasulullah dan sahabat-sahabatnya mengadakan ikrar atau yang dikenal dengan Bai'at Ridwan akan memerangi Kuraisy ka­lau sampai Usman dibunuh. Tetapi tak lama kemudian Usman kembali dan mengatakan bahwa untuk menjaga kewibawaan Kuraisy di kalang­an orang-orang Arab mereka menolak kedatangan Muslimin ke Mekah tahun ini. Namun mereka tidak menolak perundingan untuk keluar dari suasana permusuhan, sesudah diyakinkan bahwa Muhammad datang akan menunaikan ibadah haji, bukan untuk berperang. Pembicaraan di­lanjutkan antara kedua pihak untuk mengadakan perjanjian dan mencari perdamaian. Tetapi Umar tampaknya sudah kesal benar karena Nabi menyetujui pembicaraan demikian, sehingga ia melompat dan pergi me­nemui Abu Bakr, dan katanya: Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah? Abu Bakr menjawab: Ya, memang! Bukankah kita ini Muslimin? tanya Umar lagi. Ya. memang! kata Abu Bakr. Umar melanjutkan: Bukankah mereka kaum musyrik? Ya, benar! jawab Abu Bakr. Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita? tanya Umar. Akhirnya kata Abu Bakr kepada Umar: Umar, duduklah, taatilah dia dan jangan langgar perintahnya. Saya bersaksi, bahwa dia Rasulullah. Umar pun kemudian berkata: Saya bersaksi bahwa dia Rasulullah.
Umar merasa tidak puas pembicaraannya dengan Abu Bakr. Ia pergi menemui Rasulullah dengan garis-garis kemarahan masih mem­bayang di mukanya. Maka katanya: Rasulullah, bukankah Anda Ra­sulullah? Ya, memang, jawab Nabi. Bukankah kita ini Muslimin? tanya Umar lagi. Ya, memang! Bukankah mereka kaum musyrik? Ya, benar! Tanya Umar lagi: Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita? Lalu kata Rasulullah:
"Saya hamba Allah dan Rasul-Nya. Saya tidak akan melanggar perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya."
Dengan jawaban itu Umar terdiam. Setelah itu kemudian ia pernah berkata: Saya masih mengeluarkan zakat, berpuasa, salat dan membebaskan budak di antara yang saya kerjakan waktu itu, sebab saya khawatirkan kata-kata yang saya ucapkan itu, sementara saya mengharapkan segala yang terbaik.
Kita lihat bagaimana ia begitu percaya diri dan sangat membangga­kan pendapatnya. Betapa Umar tidak akan merasa bangga dengan pendapatnya itu karena Qur'an sudah memperkuat sikapnya dalam menghadapi para tawanan Badr. la tetap dengan pendapatnya bahwa Abdullah bin Ubai harus dibunuh sampai kemudian ia dapat diyakinkan bahwa perintah Rasulullah lebih besar artinya daripada perintahnya. Begitu juga ia masih bertahan dengan pendapatnya mengenai Perjanjian Hudaibiah, sampai kemudian turun wahyu memperkuat Rasulullah dan disebutkan bahwa perjanjian itu akan merupakan kemenangan besar. Perdebatannya dengan Rasulullah seperti ia berdebat dengan orang lain sebelum dapat dibuktikan kebenarannya, baik dengan wahyu atau me­lihat bukti yang nyata atau sebaliknya.
Kita melihat bahwa dengan pikirannya Umar tidak berorientasi kepada teori-teori yang abstrak yang disusun dan diuji coba agar dapat dijadikan pegangan yang logis, tetapi langsung orientasinya kepada Is­lam, seperti sebelum itu, dengan pengalaman yang praktis dalam ke­nyataan hidup yang dihadapinya. Pengalaman praktis ini jugalah yang menggugah pikirannya mengenai para tawanan Badr, mengenai Abdullah bin Ubai dan mengenai Perjanjian Hudaibiah. Ini juga yang kemudian menggugah pikirannya, yang tidak disertai turunnya wahyu, mengenai persoalan-persoalan umat Islam umumnya, atau yang khusus mengenai Nabi.
Kegemaran penduduk Mekah memang minuman keras, dan Umar pun di masa j ahiliah termasuk orang yang sudah sangat kecanduan khamar. Ketika itu kaum Muslimin juga minum minuman keras selama mereka masih tinggal di Mekah sampai beberapa tahun kemudian setelah hijrah ke Medinah. Umar melihat betapa minuman itu dapat membakar amarah hati orang dan membuat peminumnya saling me­ngecam dan memaki. Tidak jarang orang-orang Yahudi dan kaum munafik menggunakan kesempatan minum minuman itu untuk mem­bangkitkan pertentangan lama antara Aus dengan Khazraj. Sehubungan dengan itu Umar menanyakan soal minuman keras ini kepada Rasulul­lah— ketika itu Qur'an belum menyinggungnya — maka kata Nabi: Allahumma ya Allah, jelaskanlah soal ini kepada kami.
Setelah itu ke­mudian turun ayat ini:
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, keduanya men gandung dosa hesar dan heherapa man faat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada man faatnya." (Qur'an, 2:219).
Karena dalam ayat ini minuman belum merupakan larangan kaum Muslimin tetap saja menghabiskan waktu malam dengan minum minuman khamar sebanyak-banyaknya. Kalau mereka melakukan salat, sudah tidak tahu lagi apa yang mereka baca.
Kembali Umar bertanya dan katanya: Allahumma ya Allah, jelaskanlah tentang khamar itu kepada kami. Minuman ini merusak pikiran dan harta! Kemudian turun ayat ini:
"Orang-orang beriman! Jan ganlah kamu mendekati salat dalam keadaan mabuk supaya kamu tahu apa yang kamu ucapkan."
Sejak itu muazin Rasulullah berkata: Orang yang mabuk jangan mendekati salat. Kaum Muslimin sudah mulai mengurangi minum khamar kendati belum berhenti samasekali. Pengaruh buruk yang ada pada sebagian mereka masih terasa. Ketika sedang minum­minum salah seorang dari Ansar sempat mencederai salah seorang dari Muhajirin dengan tulang unta yang mereka makan akibat perselisihan di antara mereka. Dan ada dua suku yang sedang mabuk bertengkar lalu mereka saling tikam. Umar kembali berkata setelah melihat semua itu: Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang hukum khamar ini dengan tegas, sebab ini telah merusak pikiran dan harta.
Setelah itu firman Allah turun:
"Hai orang-orang beriman! Bahwa anggur dan judi, dan (persembahan kepada) batu-batu, atau meramal nasib dengan anak panah, suatu perbuatan keji buatan setan. Jauhilah supaya kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi maksud setan hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan men galangi kamu mengingat Allah dan melaksanakan salat. Tidakkah kamu hendak berhenti juga?" (Qur'an, 5:90-91).
Di kalangan Muslimin ada orang yang merasa kurang senang dengan larangan itu, lalu berkata: Mungkinkah khamar itu kotor, keji, padahal sudah bersarang di perut si polan dan si polan yang sudah terbunuh dalam Perang Uhud, di perut si anu dan si anu yang sudah terbunuh dalam Perang Badr?
Maka firman Allah ini turun:
"Bagi mereka yang beriman dan berbuat baik tiada berdosa atas apa yang mereka makan (waktu lalu), selama mereka menjaga diri dan beriman dan berbuat segala amal kebaikan, kemudian menjaga diri dan beriman, kemudian sekali lagi menjaga diri dan berbuat baik. Allah mencintai orang yang berbuat amal kebaikan. " (Qur'an, 5:93).
Demikian salah satu peranan Umar sehubungan dengan beberapa persoalan umat Islam secara umum sebelum ada ketentuan wahyu. Me­ngenai hubungan dengan Rasulullah secara pribadi dalam pandangan Umar bukan tidak sama dengan segala urusan Muslimin yang lain. Oleh karenanya tidak segan-segan ia membicarakannya dengan Nabi. Bukhari menyebutkan dengan mengacu kepada Aisyah yang mengata­kan: Umar berkata kepada Rasulullah Sallalldhu 'alaihi wa sallam: "Pasangkan hijablah untuk istri-istrimu. Tetapi Nabi tidak melakukan‑nya. Ketika itu istri-istri Nabi malam-malam pergi ke tempat-tempat orang buang air. Suatu ketika Umar bin Khattab melihat Saudah binti Zam'ah — sosok perempuan ini tinggi — maka kata Umar: saya me­ngenal Anda, Saudah. Harapannya supaya memakai hijab, maka Allah menurunkan ayat hijab." Disebutkan bahwa Umar berkata: "Rasulullah, yang datang kepada Anda ada orang yang baik, ada yang jahat. Sebaik­nya para Ummul-mu'minin ('Ibu orang-orang beriman') suruh memakai hijab."
Ayat hijab seperti firman Allah ini:
"Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan lain mana pun; jika kamu bertakwa, jan ganlah terlalu lunak bicara, supaya orang yang ada pen yakit di dalam hatinya, tidak bangkit nafsunya; tapi bicaralah dengan kata­kata yang baik. Dan tinggallah di rumah kamu dengan tenang, dan jan ganlah memamerkan diri seperti orang jahiliah dulu; dirikanlah salat dan keluarkanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; Allah hanya hendak menghilangkan segala yang nista dari kamu, ahli bait, dan membuat kamu benar-benar suci dan bersih." (Qur'an, 33:32-33). Dan firman-Nya lagi: "Wahai Nabi! katakanlah kepada istri­istrimu, putri-putrimu dan perempuan-perempuan beriman, agar mereka men genakan jilbab (bila keluar), supaya mereka lebih mudah dikenal dan tidak diganggu. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih." (Qur'an, 33:59).

Umar dan istri-istri Nabi

Masih ada peranan Umar yang lain dengan Nabi yang menyangkut hubungan pribadi, yang mungkin tidak akan diketahuinya kalau tidak karena Hafsah sebagai salah seorang Ummul-mu'minin. Suatu ketika istri-istri Nabi mengutus Zainab binti Jahsy kepadanya — yang ketika itu sedang di rumah Aisyah — mengatakan terus terang bahwa Nabi memperlakukan mereka tidak adil, dan karena cintanya kepada Aisyah mereka merasa dirugikan. Setelah Maria melahirkan Ibrahim besar sekali cinta Rasulullah kepada bayinya ini. Hal ini dinyatakan oleh Hafsah dan Aisyah, diikuti oleh istri-istrinya yang lain, sehingga Nabi bermaksud meninggalkan mereka dan mengancam akan menceraikan mereka. Disebutkan dalam Sahih dari Ibn Abbas bahwa ia bertanya kepada Umar, siapa dari dua istri Nabi yang menunjukkan perasaan demikian itu. Hafsah dan Aisyah, jawab Umar. Kemudian katanya lagi: "Ya, sungguh di zaman jahiliah dulu, perempuan-perempuan tidak kami hargai. Baru setelah Allah memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka." Dan katanya lagi: "Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba istri saya berkata: 'Coba Anda berbuat begini atau begitu. Jawab saya, 'Ada urusan apa Anda di sini, dan perlu apa dengan urusan saya.' Dia pun membalas, 'Aneh sekali Anda ini, Umar. Anda tidak mau ditentang, padahal putri kita me­nentang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam sehingga ia gusar sepanjang hari. Kata Umar selanjutnya: "Saya ambil mantelku, saya pergi keluar menemui Hafsah. 'Anakku', kata saya kepadanya. 'Anda menentang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam sampai ia merasa gusar sepanjang hari?! Hafsah menjawab: 'Memang kami menentang­nya.' 'Anda harus tahu', kata saya. 'Kuperingatkan Anda jangan teperdaya. Orang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dan me­ngira cinta Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam hanya karenanya.' Kemudian saya pergi menemui Umm Salamah, karena kami masih berkerabat. Hal ini saya bicarakan dengan dia. Kata Umm Salamah kepada saya: 'Aneh sekali Anda ini, Umar! Anda sudah ikut campur dalam segala hal, sampai-sampai mau mencampuri urusan Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam dengan rumah tangganya!' Kata Umar lagi: 'Kata-katanya mempengaruhi saya sehingga tidak jadi saya me­lakukan apa yang sudah saya rencanakan. Saya pun pergi. Ada seorang kawan dari Ansar yang suka membawa berita kepada saya j ika saya tidak hadir, kalau dia yang tidak hadir saya yang membawakan berita buat dia. Kami sedang dalam keadaan cemas karena konon salah seorang raja Gassan akan menuju ke tempat kami. Sementara kami sedang gelisah demikian, tiba-tiba temanku orang Ansar itu datang mengetuk pintu seraya berkata: Buka, buka. Orang Gassan itu datang?! tanya saya. Bukan, katanya. Lebih penting dari itu. Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam telah meninggalkan semua istrinya. Karena tunduk kepada Hafsah dan Aisyah! Saya ambil pakaianku dan saya pergi hendak menemuinya. Saya lihat Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam di Masyrabah yang dinaikinya dengan anak tangga dari batang kurma yang berlekuk-lekuk. Pelayan Rasulullah orang hitam itu di atas anak tangga. Kata saya kepadanya: Katakair ada Umar bin Khattab. Saya pun diizinkan masuk. Kata Umar selanjutnya: Maka saya cerita­kan kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam peristiwa itu. Sesudah sampai pada cerita tentang Umm Salamah ia tersenyum."
Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa Nabi meninggalkan istri­istrinya sebulan penuh. Sesudah cukup satu bulan, ketika itu Muslimin yang sedang berada dalam Masjid sedang menekur dalam suasana ke­sedihan; mereka berkata: Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam menceraikan istri-istrinya. Ketika itulah Umar pergi hendak menemui Rasulullah Sallallahu 'alalhi wa sallam di Masyrabah. la memanggil Rabah pembantunya supaya memintakan izin, tetapi Rabah tidak menjawab. la mengulangi permintaannya. Sesudah untuk kedua kalinya Rabah tidak memberikan jawaban, dengan suara lebih keras Umar berkata: "Rabah, mintakan saya izin kepada Rasulullah — Sallallahu 'alaihi wa sallam — saya kira dia sudah menduga kedatangan saya ini ada hubungannya dengan Hafsah. Sungguh, kalau dia menyuruh saya memenggal leher Hafsah, akan saya penggal lehernya." Sekali ini Nabi memberi izin dan Umar pun masuk. Tak lama kemudian kata Umar: "Rasulullah, apa yang menyebabkan Anda tersinggung karena para istri itu. Kalau mereka Anda ceraikan, niscaya Tuhan di samping Anda, demikian juga para malaikat — Jibril dan Mikail—juga saya, Abu Bakr, dan semua orang beriman berada di pihak Anda." la terus bicara dengan Nabi sehingga bayangan kemarahan di wajahnya berangsur hilang dan ia pun tertawa.
Disebutkan bahwa Umar telah menemui istri-istri Nabi sesudah mereka ditinggalkan oleh Nabi dan berkata kepada mereka: "Kalau kamu tidak mau mengubah sikap kamu Allah akan menggantikan kamu dengan yang lebih baik dari kamu semua." Salah seorang dari mereka menjawab: "Umar, Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam tak pernah menceramahi istri-istrinya, mengapa Anda yang berceramah! Dalam hal ini firman Allah turun:
"Allah telah mewajibkan kepada kamu (hai manusia), melepaskan sumpah kamu (dalam beberapa hal); dan Allah Pelindung kamu, dan Dia Mahatahu, Mahabijaksana. Tatkala Nabi secara rahasia menyam­paikan suatu berita kepada salah seorang istrinya, maka kemudian ia (istrinya) membocorkannya (kepada yang lain), dan Allah memberi­tahukan hal itu kepadanya (Nabi), ia memberitahukan sebagian dan men yembunyikan yang sebagian. Maka setelah ia memberitahukan hal demikian kepadanya (istrinya) ia berkata, "Siapa yang men gatakan ini kepadamu?" (Nabi) berkata, "Yang memberitahukan Yang Mahatahu, Maha Men genal (segalanya)." Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, hatimu memang sudah cenderung; tetapi jika kamu saling membantu menentangnya, sun gguh Allah Pelindungnya, juga Jibril dan orang yang saleh di antara orang-orang beriman — dan sesudah itu, para malaikat akan melindungi(nya). Kir any a Tuhannya, jika ia men ceraikan kamu (semua), memberinya ganti istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh men yerahkan kehendak, yang beriman, yang patuh, yang bertobat, yang beribadah, yang men gembara (karena iman) dan yang berpuasa, yang pernah bersuami, yang pera wan." (Qur'an, 66:2-5). Sesudah ayat-ayat turun Rasulullah kembali kepada istri-istrinya yang sudah bertobat.[3]
Semua sejarawan mencatat peristiwa ini, yakni bahwa wahyu itu memperkuat pendapat Umar. Menurut Sahih Umar berkata: "Tuhan menyetujui pendapat saya dalam tiga hal. Kata saya: Rasulullah, kita
jadikan Maqam Ibrahim tempat salat          Kata saya:
Rasulullah, sebaiknya istri-istri Anda itu mengenakan hijab, sebab yang berbicara kepada mereka ada orang yang baik, ada yang jahat." Maka turun ayat hijab. Tatkala istri-istri Nabi Sallallahu 'alaihi wa sallam berkumpul karena perasaan cemburu, saya berkata kepada mereka: Kalau kamu diceraikan mudah-mudahan Tuhan memberi ganti dengan istri-istri yang lebih baik, maka turun ayat ini." Barangkali turunnya wahyu sesuai dengan pendapat Umar dalam peristiwa-peristiwa itu, itu pula sampai Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Allah telah menempatkan kebenaran di lidah dan di hati Umar," atau ia katanya: "Allah telah menentukan kebenaran di lidah Umar apa yang dikatakannya."
Dari sekian banyak peristiwa yang dialami Umar, dari para tawan­an Badr, Abdullah bin Ubai, Perjanjian Hudaibiah, ketentuan minuman keras sampai kepada masalah istri-istri Nabi merupakan bukti yang cukup menonjol dan mengungkapkan sebagian kepribadian Umar, yang makin lama terasa makin jelas. Dengan segala keberaniannya, keterus­terangannya dan kepribadiannya yang begitu menonjol dan segala yang sudah kita sebutkan di atas, bukanlah semua itu yang menjadi tujuan kita, juga bukan dengan pendapatnya yang tepat dan pengetahuannya yang luas yang kita inginkan, tetapi yang menjadi tujuan kita dengan semua peristiwa itu hanya untuk menunjukkan betapa besar perhatian­nya terhadap segala kepentingan umum yang dihadapinya serta politik bangsanya yang banyak mendapat perhatian itu. Ia mengurus semua persoalan dan pekerjaan itu dengan disiplin yang tinggi. Segi ini pada­nya memang lebih menonjol dari yang lain. Itu sebabnya Nabi me­nyebut dia sebagai wazirnya. Dan bilamana bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya ia menempatkan pendapat Umar sama dengan pendapat yang dikemukakan Abu Bakr, orang pilihan dan sahabat Rasulullah.
Penghargaan kepada Umar di mata semua Muslimin sudah begitu tinggi, padahal dalam banyak peristiwa Nabi sering menentang pen­dapatnya karena sikap Umar yang begitu bersikukuh sudah melampaui sikap keteguhan hati. Karenanya tidak bertemu dengan sifat-sifat Rasulullah yang mempunyai keteguhan hati dan bijaksana, mempunyai kemampuan dan sifat pemaaf.
Sesudah Muslimin berangkat akan membebaskan Mekah, Abbas bin Abdul-Muttalib keluar. Maka dilihatnya pasukan dan kekuatan ke­menakannya itu, dan Kuraisy tak akan lagi mampu menandinginya. Juga Abu Sufyan bin Harb keluar dalam satu regu hendak mencari-cari berita. Sementara Abu Sufyan berbicara dengan kawan-kawannya Abbas sudah mengenal suaranya. Maka katanya:
"Hai Abu Sufyan, Rasulullah berada di tengah-tengah rombongan itu. Apa jadinya Kuraisy jika ia memasuki Mekah dengan kekerasan!" Abu Sufyan menukas: "Apa yang harus kita perbuat! Kupertaruhkan ibu-bapaku." Ketika itu Abbas di atas seekor bagal putih kepunyaan Nabi. Dinaikkannya ia di belakangnya, sedang teman-temannya di­suruhnya kembali ke Mekah dan Abu Sufyan diajaknya ke tempat Nabi. Melihat bagal itu dan mengetahui ada Abu Sufyan, sadar dia bahwa Abbas mau melindunginya. Maka cepat-cepat Umar menuju ke kemah Nabi dan ia meminta izin akan memenggal leher Abu Sufyan. Tetapi Abbas berkata: "Rasulullah, saya sudah melindunginya." Seka­rang terjadi perdebatan sengit antara Umar dengan Abbas mengenai Abu Sufyan. Rasulullah menangguhkan perkara itu sampai besok.
Keesokan harinya Abu Sufyan sudah menerima Islam setelah terjadi dialog dengan Rasulullah. Nabi memberikan kehormatan kepada Abu Sufyan dengan mengatakan: "Barang siapa datang ke rumah Abu Sufyan, ia akan selamat, barang siapa menutup pintu rumahnya ia akan selamat dan barang siapa masuk ke dalam Masjid ia juga akan selamat." Umar pergi dengan hati kesal karena Abu Sufyan selamat. Sesudah kemudian Mekah membuka pintu, baru dia tahu pentingnya perintah Rasulullah, seperti soal Abdullah bin Ubai dulu, bahwa perintah Rasulullah lebih besar artinya daripada perintahnya. Tetapi kegigihan dan keterusterangannya serta sikapnya sering menentang pendapat Nabi seperti yang sudah saya sebutkan, tak pernah mengurangi kedudukan Umar yang tetap terhormat. Soalnya karena apa yang dilihatnya dan di­sampaikannya itu benar-benar keluar dari hati yang ikhlas. Bagi orang yang ikhlas memang patut sekali kita hormati, kendati pendapatnya tidak kita terima. Bagaimana pendapat kita kalau apa yang dikata­kannya itu dalam banyak hal memang benar. Lalu bagaimana pendapat kita kalau kita berbeda pendapat kemudian kita lihat pendapatnya itu yang benar dan kita menerima pendapatnya. Ketika Nabi mengutus Abu Hurairah agar memberitahukan bahwa barang siapa mengucapkan kalimat syahadat — tiada tuhan selain Allah — dengan sungguh-sung­guh dari hati, ia akan masuk surga. Setelah hal itu didengar oleh Umar, dengan keras ia mau mengoreksi Rasulullah, dan langsung ia meng­ikutinya akan menanyakan kembali kepada Rasulullah, benarkah ia telah mengutus Abu Hurairah dengan pengumuman berita itu. Sesudah oleh Rasulullah dibenarkan, Umar berkata: Jangan lakukan itu! Saya khawatir orang hanya akan berpegang pada itu; biarlah orang me­wujudkannya dengan amal perbuatan. Pendapatnya oleh Rasulullah diterima.
Saat sakit Rasulullah yang terakhir terasa sudah makin berat, ia memberi isyarat kepada beberapa pemuka Muslimin yang ada di sekelilingnya dalam rumah ketika itu dengan mengatakan: "Bawakan dawat dan lembaran, akan saya minta tuliskan surat buat kamu se­kalian, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan sesat." Ada sebagian mereka yang menentang, dipelopori oleh Umar dengan mengatakan: "Rasulullah sudah dalam keadaan sakit. Pada kita sudah ada Qur'an, sudah cukup Kitabullah buat kita." Melihat perselisihan pendapat itu Nabi berkata: "Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di hadapan Nabi." Penulisan tidak j adi. Barangkali ia lebih banyak ter­kesan oleh pendapat Umar daripada pendapat yang lain, karena diketahuinya benar kejujuran dan keikhlasannya serta keterusterangan­nya dalam menyampaikan pendapat.

Yang ikhlas dan zuhud

Yang lebih pantas kita hormati dan kita hargai justru orang yang tidak begitu mengutariiakan kepentingannya sendiri, dan dengan ikhlas memberikan pendapatnya demi kepentingan umum. Dalam hal ini Umar merupakan teladan yang baik. Di atas sudah kita lihat pendapat-pen­dapatnya itu memang bersih dari segala yang mencurigakan. Bahkan juga sudah kita lihat bagaimana cita-citanya sekiranya Allah meng­haramkan khamar yang ketika itu belum diharamkan, padahal di zaman jahiliah dia sendiri seorang peminum minuman keras yang sudah me­lebihi semestinya. Harapannya agar minuman itu diharamkan hanya karena cintanya demi segala kebaikan masyarakat disertai disiplinnya yang begitu kuat. Di samping itu ia termasuk seorang zahid yang paling keras menjauhi harta. Kalau Rasulullah memberikan kepadanya harta hasil rampasan perang yang diperoleh Muslimin, ia berkata: "Berikan kepada yang lebih miskin dari saya." Suatu hari ia berkata demikian kepada Rasulullah, maka kata Nabi: "Terimalah dan simpan kemudian sedekahkan."
Bahkan begitu kuat zuhudnya, ketika ia mendapat bagian tanah di Khaibar, dan ia menemui Nabi Sallallahu 'alaihi wa sallam maka katanya: "Saya mendapat bagian tanah di Khaibar, yang sebenarnya belum pernah saya mendapat harta begitu berharga, tetapi apa yang harus saya perbuat dengan itu." "Kalau Anda mau pokoknya wakafkan dan sedekahkan dengan itu." Maka dengan itu oleh Umar disedekahkan kepada fakir miskin, kaum kerabat, membebaskan hamba sahaya, fi sabilillah dan kepada tamu. Boleh juga orang yang mengurusnya ikut menikmati dengan sepantasnya atau memberikan kepada teman yang tidak ikut memilikinya. Dan dia berkata: Yang tak boleh dijual, di­hibahkan atau diwariskan pokoknya. Inilah yang pertama kali sedekah dilakukan dalam Islam, dan inilah pokok yang pertama yang menjadi sistem wakaf di kalangan Muslimin di mana pun mereka berada.
Tidak heran jika orang yang sudah demikian rupa keadaannya dan zuhudnya akan sangat dihargai dan dihormati oleh semua umat Islam lepas dari wataknya yang begitu keras dan tegar. Ia juga sangat dicintai dan dihargai oleh Rasulullah sehingga ia memanggilnya dengan Saudaraku. Pernah Umar meminta izin kepadanya akan melaksanakan umrah. Nabi mengizinkan dengan mengatakan: "Saudaraku, jangan lupakan kami dalam doa Anda." Setiap Umar ingat akan kata-kata ini ia berkata: "Sejak terbit matahari kata "Saudaraku," inilah yang saya senangi."

Allah menempatkan kebenaran di lidah dan di hati Umar

Keikhlasan dan kebersihan hati dari segala hawa nafsu serta cintanya pada keadilan, itulah yang membuat gelar "al-Faruq" melekat padanya. Belum terdapat kata sepakat siapa yang menamakan Umar al­Faruq. Ketika ditanya mengenai hal ini menurut sumber dari Aisyah ketika ditanya ia berkata: "Nabi 'alaihis-salam." Disebutkan bahwa Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Allah menempatkan kebenaran di lidah dan di hati Umar. Dialah al-Faruq" ("Pemisah"), yang memisahkan antara yang hak dengan yang batil." Dalam at-Taba­qat Ibn Sa'd mengutip sebuah ungkapan berikut rujukannya sebagai berikut: "Saya mendapat kabar bahwa yang pertama kali mengatakan Umar al-Faruq Ahli Kitab. Kaum Muslimin menggunakan sebutan itu dari kata-kata mereka. Belum ada suatu berita yang kami terima bahwa Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengatakan itu." Mana pun yang benar dari sumber-sumber tersebut, yang tak dapat diragukan lagi Umar adalah seorang Faruq — yang memisahkan antara yang hak dengan yang batil. Dan inilah yang mengabadikan nama al-Faruq sepanjang sejarah, yang melekat pada Umar sampai sekarang, dan akan tetap demikian selamanya.
Mengenai sikapnya yang begitu keras dan tegar, itu pulalah maka Nabi lebih mengutamakan Abu Bakr, dan selain Abu Bakr tak ada orang yang lebih diutamakan, karena keikhlasannya, keterusterangan­nya, keteguhan hati serta kebijakannya. Umar, yang begitu terkenal karena sikapnya yang keras dan tegar sehingga tak dapat ditawar-tawar, dalam beberapa peristiwa tampak ia lemah lembut dengan perasaan yang halus seperti sebagian sudah kita kemukakan peristiwanya ketika ia masuk Islam. Disebutkan bahwa ketika Umar meminta izin akan menemui Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam, ada beberapa pe­rempuan Kuraisy yang sedang berbicara kepada Nabi dengan suara tinggi. Setelah diizinkan, perempuan-perempuan itu cepat-cepat me­ngenakan hijab.[4] Begitu Umar masuk, Rasulullah tertawa seraya berkata: "Heran saya melihat perempuan-perempuan yang sejak tadi sudah di tempat saya, tetapi begitu mendengar suara Anda cepat-cepat mereka mengenakan hijab." Umar menjawab: "Lebih berhak Rasulullah yang harus mereka segani." Kemudian sambungnya: "Mereka me­musuhi diri mereka sendiri. Kalian segan kepada saya dan tidak segan kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam? Mereka menjawab: "Ya, karena Anda kasar dan keras."

Akhlak Umar dan kesedihannya ketika Nabi wafat

Mungkin karena kerasnya Umar, ketika dalam sakitnya Rasulullah meminta Abu Bakr mengimami salat. Suatu waktu Abu Bakr tak ada di tempat, dan yang menjadi imam salat Umar dengan suaranya yang nyaring terdengar menggelegar, maka Rasulullah bertanya: "Mana Abu Bakr? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian."
Melihat wataknya yang keras dan tegar adakalanya kita heran ketika ada berita Rasulullah telah wafat melihat Umar kebingungan menghadapi kenyataan. Ia menolak setiap usaha orang yang hendak meyakinkannya mengenai kenyataan pahit itu. Ia berdiri di depan orang banyak sambil berkata: "Ada orang dari kaum munafik yang mengira bahwa Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat. Tetapi, demi Allah sebenarnya dia tidak meninggal, melainkan ia pergi kepada Tuhan, seperti Musa bin Imran. Ia telah menghilang dari tengah-tengah masyarakatnya selama empat puluh hari, kemudian kembali lagi ke tengah mereka setelah dikatakan dia sudah mati. Sungguh, Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga. Orang yang menduga bahwa dia telah meninggal, tangan dan kakinya harus dipotong!" Setelah Abu Bakr datang dan sesudah melihat Rasulullah ia pun yakin bahwa Ra­sulullah memang sudah tiada. Abu Bakr mendatangi orang-orang yang sedang berkerumun itu lalu katanya: "Barang siapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barang siapa me­nyembah Allah, Allah hidup selamanya tak pernah mati."
Kemudian ia membacakan firman Allah:
"Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya pun telah berlalu rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh kamu akan berbalik belakang? Barang siapa berbalik belakang samasekali takkan merugikan Allah tetapi Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang bersyukur." (Qur'an, 3:144).
Setelah Abu Bakr membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah ia yakin bahwa Rasulullah memang sudah wafat, seolah ia tak pernah men­dengar ayat itu sebelumnya. Saat itu mana wataknya yang keras dan tegar itu! Bahkan mana pula ketidaksabarannya dan yang selalu gelisah dibandingkan dengan ketabahan Abu Bakr yang begitu lembut hati, cepat keluar air mata, teman dekat dan pilihan RasuluUah itu, mana pula tempat Umar dibandingkan dengan ketabahan Abu Bakr!
Tetapi tak lama setelah kembali sadar, Umar kembali pula sebagai manusia politik. Kembali ia memikirkan masa depan kaum Muslimin sesudah peristiwa yang sungguh memilukan hati itu. Besar sekali dampak pemikiran dan tindakannya dalam menghadapi situasi kritis semacam ini, sehingga ia dapat menangkis setiap permusuhan terhadap Islam, dan sekaligus membuka jalan untuk penyebarannya di barat dan di timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar