UMAR MEMULAI TUGASNYA
Abu
Bakr wafat Senin petang setelah matahari terbenam 21 Jumadilakhir
tahun ke-13 sesudah hijrah (22 Agustus 832 M.). Setelah malam tiba jenazahnya
dimandikan dan dibawa ke Masjid di tempat
pembaringan yang dulu dipakai Rasulullah, disalatkan dan dibawa ke
makam Rasulullah. Ia dimakamkan dalam lahad di samping Rasulullah
Sallallahu
'alaihi wa sallam, kepalanya
di arah bahu Rasulullah dan lahad
dengan lahad itu berdampingan. Pemakaman dilakukan oleh Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, Talhah bin Ubaidilah dan Abdur-Rahman bin
Abu Bakr.
Pelantikan Umar dan mobilisasi ke Irak
Umar
sudah menyelesaikan tugasnya yang terakhir terhadap Khalifah
pertama. la keluar dari liang lahad di rumah Aisyah itu dan setelah
memberi salam kepada sahabat-sahabatnya ia kembali pulang ke rumahnya
lewat tengah malam.[1] Ia masuk ke tempat
tidur dengan pikiran
apa yang hendak dilakukannya besok. Pagi-pagi besok umat akan membaiatnya untuk tugas mengurus mereka. la akan
menghadapi mereka yang menyetujui pencalonannya karena terpaksa, lalu
menghadapi situasi perang yang amat pelik di Irak dan Syam. Lalu apa yang harus
dilakukannya untuk mengatasi kedua masalah itu, padahal kedua tempat tersebut merupakan kawasan yang paling berbahaya
dalam sejarah kedaulatan yang baru tumbuh itu.
Posisi
Muslimin di Irak dan Syam ketika itu memang sangat sulit. Kekuatan pasukan
Muslimin di Syam sudah tak berdaya berhadapan dengan pasukan Rumawi. Abu Bakr
ingin menyelamatkannya dengan mengirimkan Khalid bin Walid bersama sejumlah
personel dari pasukan Irak. Sungguhpun sudah
dengan mengerahkan pasukan di bawah pimpinan Khalid, namun belum ada juga berita
kepada pihak Muslimin di Medinah yang memberi harapan kemenangan,
setidak-tidaknya berita tentang keadaan mereka. Dengan keberangkatan Khalid dan
pasukannya sebagian ke Syam pasukan Muslimin
di Irak jadi lemah. Al-Musanna bin Harisah asy-Syaibani dengan segala
kemahiran dan kemampuannya, tak dapat
mempertahankan apa yang sudah diperoleh Muslimin dari daerah Sawad[2] Irak. Malah ia
kembali ke Hirah dan bertahan di sana. Memang ia dan pasukannya sudah
dapat mengalahkan pasukan Persia yang
dikirimkan Syahriran anak Ardasyir dan dipimpin oleh Ormizd Jadhuweh di reruntuhan Babel sehingga mereka
terusir kalah. Tetapi sesudah kemenangannya ini Musanna hanya bertahan di
posisinya semula, karena khawatir akan disergap musuh, dengan keyakinan bahwa
kendati ia dapat mengadakan perlawanan tetapi tak akan dapat maju. Bahkan
perlawanannya itu pun sudah sangat sulit j ika keadaan di istana Persia sudah
kembali tenang dan tidak lagi bergejolak. Ia menulis surat kepada Abu Bakr
meminta izin akan meminta bantuan kaum pembangkang (kaum Riddah) yang sudah jelas-jelas
bertobat. Tetapi dulu Abu Bakr sudah melarang meminta bantuan mereka dalam
perang. Sesudah lama menunggu jawaban Khalifah, ia menunjuk Basyir bin
alKhasasiah menggantikannya di Irak. Dia sendiri berangkat ke Medinah akan melaporkan keadaannya secara lebih terinci,
dan akan mempertahankan pendapatnya tentang kepergiannya dari
sana.
Ya,
bagaimana Umar harus menghadapi semua ini? Soal inilah dan segala
yang berhubungan dengan ini yang menggoda pikirannya malam itu, dengan
permohonan kepada Allah agar diberi jalan keluar dan menunjukinya ke jalan yang benar. Apabila pagi
besok tiba ia akan melihat Musanna berada di barisan depan. Musanna akan
meminta izin kepadanya seperti
permintaannya dulu kepada Abu Bakr — agar mendapat bantuan orang-orang
yang dulu pernah membangkang dan kini sudah memperlihatkan tobatnya, dan akan
diulanginya bahwa yang diharapkan kaum
murtad yang sudah bertobat itu hanya harta rampasan perang. Dalam
berperang sebenarnya tak ada yang dapat menandingi semangat mereka. Mengenai Irak Abu Bakr sudah berwasiat
kepada Umar dan harus dilaksanakan tatkala ia memanggilnya dan berkata:
"Umar, perhatikan apa yang saya katakan
ini dan laksanakanlah. Saya kira saya akan mati hari ini juga. Kalau saya
mati, sebelum petang ini mobilisasi harus sudah Anda laksanakan dan berangkatkan
bersama Musanna. Jika tertunda sampai malam, begitu tiba waktu pagi mobilisasi
harus sudah terlaksana dan berangkatkan
bersama Musanna. Jika Allah memberi kemenangan di Syam tarik kembali
pasukan Khalid ke Irak. Mereka penduduk
sana dan yang menguasainya. Mereka orang-orang yang suka ketagihan dan
pemberani."
Akan
dilaksanakankah mobilisasi bersama Musanna atau biar saja ia
meminta bantuan kaum murtad yang sudah jelas bertobat? Ia khawatir
orang akan menjadi tak acuh j ika dikerahkan sesudah melihat teman-teman
yang di Syam tak dapat maju dan melihat Musanna di Medinah dalam ketakutan
melihat Persia dan kekejamannya. Tetapi Muslimin tak akan bertahan di Irak jika pasukan
mereka tidak diperkuat dengan perlengkapan yang benar-benar tangguh. Samasekali
tak pernah terpikir oleh Musanna akan menarik pasukannya dari daerahdaerah itu.
Dia yang dulu mendorong Abu Bakr supaya menyerangnya, dia pula yang mendahului Khalid dan yang lain ke
sana. Tidak mudah buat dia akan
menarik diri dari suatu negeri yang dia sendiri memelopori penyerangannya, dan akan keluar dari sana
padahal ia yakin benar akan kemampuannya dapat membebaskan daerah
tersebut. Kalau Umar memasoknya dengan kaum
murtad yang sudah bertobat, niscaya kemenangan akan membawanya sampai ke
takhta Persia.
Juga
tak pernahkah terpikir oleh Umar akan menarik diri dari Irak? Abu
Bakr mencalonkannya menjadi khalifah karena kepercayaannya bahwa
dari kalangan Muslimin dialah yang paling mampu meneruskan kebijakan politiknya, dan untuk meneruskan
politik ini tak ada jalan lain harus
dijalankan dengan tegas, wasiat Abu Bakr harus dilaksanakan dengan
mengadakan mobilisasi pemberangkatan bersama Musanna, dan pasukan Muslimin di Syam harus diperkuat.
Adakah pemuka-pemuka Muslimin dan sahabat-sahabat Rasulullah yang tidak
setuju dengan pencalonannya sebagai khalifah mau membantunya dengan tulus hati?
Kalau mereka masih maju mundur hendak
membantunya apa yang harus diperbuatnya? Dan apa pula pengaruh keraguan
mereka terhadap orang-orang Arab serta kesetiaan mereka kepada Medinah? Ya,
hanya dengan politik yang tegas itu sajalah
yang akan memberikan jalan keluar
dari situasi ini. Dan ketegasan itu tidak akan mengurangi sifat Umar.
Ambillah keputusan yang pasti, dan bertawakal kepada
Allah.
Malam
itu Umar cukup lelah memikirkan semua ini. Paginya ia menemui orang-orang di Masjid. Mereka menyambutnya
sudah siap akan membaiatnya, kesiapan yang membuat gejolak hatinya terasa
lebih tenteram. Apabila waktu lohor sudah tiba dan orang sudah berdatangan akan melaksanakan salat, Umar menaiki mimbar,
tangga demi tangga yang biasa dipakai
oleh Abu Bakr. Sesudah mengucapkan hamdalah dan salawat kepada
Nabi, dan setelah menyebut tentang Abu Bakr serta jasanya, ia
berkata:
"Saudara-saudara!1
Saya hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak
karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah saya pun akan enggan memikul
tanggung jawab ini." Dia mengucapkan kata-kata itu dengan rasa haru, dengan
rendah hati dan sangat berhati-hati — yang dinilai orang sebagai pertanda
tepatnya firasat Abu Bakr — dengan pandangan
yang jauh dalam mencalonkan penggantinya. Mereka memuji sikap Umar itu, lebih-lebih setelah mereka
melihatnya menengadah ke atas
sambil berkata: "Allahumma ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka
lunakkanlah hatiku! Allahumma ya Allah, saya sangat lemah, maka berilah
saya kekuatan! Allahumma ya Allah, aku ini kikir, j adikanlah aku orang dermawan bermurah
hati!" Umar berhenti sejenak,
menunggu orang lebih tenang lagi. Kemudian sambungnya: "Allah telah menguji kalian dengan saya, dan
menguji saya dengan kalian. Sepeninggal sahabatku, sekarang saya yang
berada di tengahtengah kalian. Tak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi
lalu diwakilkan kepada orang lain selain
saya, dan tak ada yang tak hadir di sini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan
amanat. Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi
kalau melakukan kejahatan terimalah bencana
yang akan saya timpakan kepada mereka."
Selesai
berpidato Umar turun dari mimbar lalu mengimami salat. Selesai
salat ia menoleh kepada mereka dan mengumumkan mobilisasi ke
Irak dengan Musanna. Disebutkan juga wasiat Abu Bakr mengenai hal
ini. Mendengar seruan Khalifah, mereka berpandang-pandangan satu
sama lain tetapi tak ada yang menyambut seruan itu, seolah mereka
teringat apa yang telah menimpa saudara-saudara mereka di Syam.
Mereka tak ingin yang demikian akan terulang menimpa mereka lagi.
Bukankah Abu Bakr sudah mengajak mereka untuk menyerbu Syam,
tetapi mereka masih maju mundur, lalu ketika itu Umar berteriak kepada mereka:
"Kaum Muslimin sekalian, mengapa kalian tidak menjawab seruan Khalifah yang mengajak kalian untuk
hal-hal yang akan menghidupkan iman
kalian?" Kemudian baru mereka mau memenuhi seruan itu, dan mereka pun berangkat untuk
menghadapi Heraklius dan pasukannya.
Termasuk di antara mereka Abu Ubaidah bin Jarrah, Amr bin As, Yazid bin Abi
Sufyan dan beberapa orang sahabat, diikuti oleh para amir dan para
pahlwan dari segenap penjuru Semenanjung. Dalam berhadapan dengan pihak Rumawi
mereka tak dapat mengalahkan. Juga Khalid bin Walid setelah membuat pihak Persia
porak poranda dengan serangkaian
kemenangannya di Irak, telah diperbantukan kepada mereka. Akan lebih baikkah
nasib mereka j ika seruan Umar itu mereka penuhi dan mereka berangkat bersama Musanna ke
Irak? Ataukah posisi mereka di sana dalam menghadapi Persia akan sama
saja dengan sahabat-sahabat mereka
menghadapi pasukan Heraklius di Syam? Tak ada dari mereka yang
mengharapkan Umar mengembalikan Khalid ke Irak karena mereka tahu citra Umar terhadap
jenderal itu. Mereka masih ingat sikapnya terhadap peristiwa Malik bin
Nuwairah.
Musanna
bin Harisah memang seorang jenderal besar yang tak disangsikan
lagi, tetapi dia bukan dari Kuraisy dan tidak pula termasuk sahabat Rasulullah. Dia dari kabilah Banu Bakr
bin Wa'il. Di samping itu, tatkala Khalid meninggalkan Irak ke Syam,
Musanna menarik pasukannya dari pinggiran Irak ke Hirah, kemudian datang ke
Medinah meminta bala bantuan dari Khalifah. Ini menunjukkan bahwa posisinya
terhadap Persia tak dapat disalahkan, sebab
nama Persia bagi orang Arab ketika itu sangat mengerikan. Ada sebagian
yang menduga bahwa Khalid dapat mengalahkan Persia karena pada mulanya mereka
menganggap Khalid enteng, sehingga tidak menghadapinya dengan kekuatan yang akan dapat memukulnya mundur. Kalau memang
sudah demikian kenyataannya, untuk apa mereka berperang yang mungkin
hanya akan membawa bencana kepada mereka?
Tawanan perang dipulangkan kepada keluarga masing-masing
Tak
ada pemuka-pemuka dan orang-orang bijak yang segera metnenuhi seruan Umar itu.
Kalau mereka saja sudah enggan lebih-lebih lagi masyarakat umum tentunya.
Sejenak Umar mengangguk-angguk, kemudian kembali ke tempatnya semula di Masjid.
Orang banyak pun masih berturut-turut
meneruskan acara baiat tadi. Lepas isya baru mereka bubar. Tinggal Umar
malam itu yang masih terus berpikir. Pagi-pagi keesokannya ia kembali ke
tempatnya di Masjid. Orang pun masih meneruskan acara pembaiatannya. Sementara itu
terdengar suara azan untuk salat
lohor. Tak lama kemudian setelah Umar keluar dari tempat itu ia berseru kepada orang banyak dengan
suaranya yang menggelegar, memerintahkan mereka untuk membebaskan semua
tawanan Perang Riddah (kaum murtad)
dan mengembalikan kepada keluarga-keluarga mereka, dengan mengemukakan alasan: "Saya tidak
ingin melihat adanya tawanan perang menjadi kebiasaan di kalangan
Arab."
Mendengar
perintah itu mata mereka terbelalak melihat kepada Umar.
Satu sama lain mereka saling bertanya: Apa maksudnya!? Kaum Muslimin memang sudah menawan orang-orang Arab
tawanan Perang Riddah sesuai dengan perintah Abu Bakr tatkala ia
mengumumkan ke seluruh Semenanjung Arab
dengan perintah kepada setiap panglima agar menyerukan orang murtad kembali kepada
Islam. Yang menolak supaya
diperangi, dan jangan membiarkan orang yang masih kuat; mereka supaya
dibakar dengan api dan dibunuh habis, semua perempuan dan anak cucu mereka supaya ditawan. Dengan
perintah itu adakah maksud Umar hendak menentang Abu Bakr dan akan berjalan
sendiri tanpa menghiraukan
tuntunannya? Ataukah karena dia melihat orang masih malas-malas ketika diminta berangkat bersama
Musanna lalu ia mau membujuk
orang-orang Arab dari berbagai kabilah untuk membantu Musanna? Apa pun
masalahnya, perintah yang baru dalam politik negara boleh kita pikirkan
dalam-dalam dan perlu dipertanyakan.
Sebenarnya
sedikit sekali Umar tidur dalam dua malam setelah kematian Abu Bakr itu. Orang masih berdatangan
meneruskan baiat untuk menghormati Abu Bakr dan wasiatnya. Tetapi
pemuka-pemuka mereka masih tidak puas dengan sikap Umar yang begitu keras, dan
di antara mereka memang ada yang mempunyai ambisi kekuasaan. Suatu pemerintahan tidak akan stabil jika dalam
menjalankan politiknya para pemikirnya tidak dilibatkan. Keadaan memang
sangat pelik untuk membiarkan segalanya kepada waktu, dan Umar cukup dengan
hanya berdoa kepada Allah supaya orang
mencintainya dan dia mencintai mereka. Kalau dia tak dapat menanganinya dengan tegas,
pemerintahan akan menjadi kacau. Bahwa dia sudah mengeluarkan perintah
agar tawanan perang dikembalikan kepada keluarga masing-masing dan untuk
mengambil hati kabilah-kabilah Arab yang
dulu menjauhinya karena sikapnya
yang keras itu, jangan diragukan lagi biarlah politik ini
diteruskan.
Pidato pertama
Hari
ketiga ia datang ke Masjid, dan selesai baiat ia berkata: "Orang Arab
ini seperti unta yang jinak, mengikuti yang menuntunnya ke mana saja dibawa. Tetapi saya, demi Allah, akan membawa
mereka ke jalan yang benar."
Orang
makin banyak memperhatikan Umar. Terbayang oleh semua hadirin yang ada di Masjid, bahwa orang ini akan
membawa malapetaka kepada mereka,
karena sikapnya yang begitu tegar dan keras. Umar dapat menangkap perasaan itu
dari wajah mereka. Ketika orang sudah banyak berkumpul akan melaksanakan
salat lohor, Umar naik ke tangga mimbar setapak demi setapak dan
berkata:
"Saya
mendapat kesan, orang merasa takut karena sikap saya yang keras. Kata mereka
Umar bersikap demikian keras kepada kami, sementara Rasulullah masih berada di tengah-tengah
kita, juga bersikap keras demikian sewaktu Abu Bakr menggantikannya.
Apalagi sekarang, kalau kekuasaan sudah di
tangannya. Benarlah orang yang berkata begitu.
"...
Ketika itu saya bersama Rasulullah, ketika itu saya budak dan pelayannya. Tak ada orang yang mampu bersikap
seperti Rasulullah, begitu ramah,
seperti difirmankan Allah: Sekarang sudah datang kepadamu seorang rasul dari golon ganmu sendiri:
terasa pedih hatinya bahwa kamu
dalam penderitaan, sangat prihatin ia terhadap kamu, penuh kasih sayang kepada orang-orang beriman.
(Qur'an, 9:128) Di hadapannya ketika itu saya adalah pedang
terhunus, sebelum disarungkan atau kalau dibiarkan saya akan terus maju.
Saya masih bersama Rasulullah sampai ia
berpulang ke rahmatullah dengan hati lega terhadap saya. Alhamdulillah,
saya pun merasa bahagia dengan Rasulullah.
"Setelah
itu datang Abu Bakr memimpin Muslimin. Juga sudah tidak
asing lagi bagi Saudara-saudara, sikapnya yang tenang, dermawan dan lemah lembut. Ketika itu juga saya pelayan
dan pembantunya. Saya gabungkan sikap keras saya dengan kelembutannya.
Juga saya adalah pedang terhunus, sebelum
disarungkan atau kalau dibiarkan saya akan terus maju. Saya masih bersama dia sampai ia berpulang
ke rahmatullah dengan hati lega terhadap saya. Alhamdulillah, saya pun
merasa bahagia dengan Abu Bakr.
"Kemudian
sayalah, saya yang akan mengurus kalian. Ketahuilah Saudara-saudara, bahwa sikap keras itu sekarang
sudah mencair.. Sikap itu hanya terhadap orang yang berlaku zalim dan
memusuhi kaum Muslimin. Tetapi buat orang
yang jujur, orang yang berpegang teguh pada agama dan berlaku adil saya lebih lembut
dari mereka semua. Saya tidak akan membiarkan orang berbuat zalim kepada orang
lain atau melanggar hak orang lain.
Pipi orang itu akan saya letakkan di tanah dan pipinya yang sebelah lagi akan saya
injak dengan kakiku sampai ia mau
kembali kepada kebenaran. Sebaliknya, sikap saya yang keras, bagi orang yang bersih dan mau hidup
sederhana, pipi saya ini akan saya letakkan di
tanah.
"Dalam
beberapa hal, Saudara-saudara berhak menegur saya. Bawalah
saya ke sana; yang perlu Saudara-saudara perhatikan,
ialah:
"Saudara-saudara
berhak menegur saya agar tidak memungut pajak atas kalian atau apa pun yang
diberikan Allah kepada Saudara-saudara, kecuali demi Allah; Saudara-saudara berhak menegur
saya, jika ada sesuatu yang di tangan saya agar tidak keluar yang tak
pada tempatnya; Saudara-saudara berhak
menuntut saya agar saya menambah penerimaan atau penghasilan Saudara-saudara, insya Allah,
dan menutup segala kekurangan;
Saudara-saudara berhak menuntut saya agar Saudarasaudara tidak terjebak
ke dalam bencana, dan pasukan kita tidak ter‑perangkap ke tangan musuh; kalau Saudara-saudara
berada jauh dalam suatu ekspedisi,
sayalah yang akan menanggung keluarga yang menjadi tanggungan
Saudara-saudara.
"Bertakwalah
kepada Allah, bantulah saya mengenai tugas Saudarasaudara, dan bantulah saya dalam tugas saya
menjalankan amar ma 'ruf nahi munkar, dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat
Saudarasaudara sehubungan dengan
tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan Saudara-saudara sekalian.
Demikianlah apa yang sudah saya sampaikan, semoga Allah mengampuni kita
semua."
Sesudah
menyampaikan pidatonya itu Umar turun dari mimbar dan langsung memimpin
sembahyang. Selesai salat ia pergi meninggalkan mereka. Hadirin masih merenungkan apa yang mereka
dengar tadi. Mereka memang sudah mengenai Umar sebagai yang suka berterus
terang, lahirnya sama dengan
batinnya, yang dikatakannya dan yang tidak dikatakannya sama. Mereka sudah mengenalnya
sebagai orang yang adil dengan
segala kekerasan watak dan kekasarannya. Ternyata kini dia sendiri yang mengatakan bahwa sikap
kerasnya itu hanya ditujukan kepada
orang-orang zalim. Dia tidak menipu mereka ketika mengatakan bahwa bagi orang yang jujur dan adil ia
akan lebih lembut dari mereka semua.
Yang harus mereka akui dan tak boleh dilupakan, dalam beberapa hal mereka juga sudah mengenalnya
ia bersikap ramah. Di samping itu ia
sudah berjanji akan menambah penerimaan dan penghasilan mereka dan akan menjadi pelindung keluarga
mereka selama mereka berada jauh di
medan perang. Bukankah sudah seharusnya mereka mencurahkan segala kepercayaan kepadanya dan
memenuhi seruannya itu kalau mereka dipanggil?
Demikianlah
perasaan sebagian besar mereka yang hadir. Tetapi pemuka-pemuka
mereka masih tetap berhati-hati. Sebagian mereka merasa
tidak puas terhadap Umar, dan yang sebagian besar mereka ikut prihatin melihat
keadaan di Irak dan Syam.
Muslimin ragu menghadapi kehebatan Persia
Sekarang
Umar datang kembali hendak melakukan salat asar, kemudian mengadakan mobilisasi
untuk diberangkatkan bersama Musanna. Tetapi
mereka tampaknya masih tampak enggan. Ketika itu Musanna hadir, dan ia mendesak
sekali kepada Umar agar kaum murtad yang sudah jelas-jelas bertobat diperbantukan
kepadanya; mereka lebih mampu dalam
memerangi Persia. Ia makin keras mendesak tatkala Umar memerintahkan para
tawanan perang keluarga kaum murtad dikembalikan kepada keluarga-keluarga
mereka. Yakin dia bahwa perintah ini akan
membuat mereka lebih siap berangkat bersama dia. Melihat Umar tidak segera menjawab permintaannya
itu dan melihat orang makin banyak yang menyetujui Umar dan
pemerintahannya, harapannya mereka akan
segera maju sesuai dengan seruan Khalifah untuk bergabung kepadanya.
Tetapi melihat keengganan mereka dan di wajah mereka terlihat bahwa muka-muka
orang Persia memang sangat mereka benci
karena bengisnya mereka berkuasa, tindakan mereka yang sewenang-wenang dan keserakahannya menguasai
bangsa-bangsa lain, Musanna tampil berpidato di hadapan
mereka:
"Saudara-saudara!
Saudara-saudara jangan takut menghadapi wajah mereka. Kami sudah menjelajahi
desa Persia dan kami dapat mengalahkan
mereka di kanan kiri Sawad, kami hadapi dan kami hancurkan mereka. Jadi yang
sebelum kita sudah mempunyai keberanian menghadapi mereka, maka yang
sesudahnya juga insya Allah demikian."
Umar
menyimak kata-kata Musanna itu dan melihat dampaknya yang
baik pada pendengarnya. Setelah berdiri dan berpidato di hadapan mereka, di antaranya ia mengatakan: "Di Hijaz
sudah tak ada lagi rumah buat kita kecuali di tempat mencari rumput, dan
kekuatan penduduknya hanya dengan itu. Manalah orang-orang asing kaum Muhajirin
itu dari yang sudah dijanjikan Allah.
Mengembaralah di muka bumi, bumi yang akan diwariskan kepada kamu sekalian, seperti
dijanjikan Allah dalam Kitab-Nya. Ia
berfirman untuk memenangkannya di atas semua agama. Allah akan memenangkan agama-Nya, akan memuliakan
pembelanya dan mewariskan bangsa-bangsa kepada yang berhak. Manakah
hambahamba Allah yang saleh itu!"
Sesudah
menyimak kata-kata Musanna dan Umar, orang banyak itu merasa sangat tercela
dengan sikap mereka yang masih malas-malas itu. Mereka sudah membela Rasulullah dan memuliakan
agama Allah, tetapi mengapa dengan seruan Umar mereka tak mau beranjak? Mereka
maju mundur: maukah mereka menyambut seruan itu ataukah masih akan tetap enggan?
Sementara mereka dalam keadaan demikian tibatiba Abu Ubaid bin Mas'ud bin Amr as-Saqafi
tampil, siap akan berangkat ke Irak.
Dialah orang pertama yang menyambut tugas ini. Menyusul kemudian orang kedua, Salit bin Qais.
Ketika itulah orang baru datang mengerumuni mereka dan mereka sepakat
akan berangkat bersama-sama. Jumlah mereka
mencapai seribu orang dari Medinah. Umar senang sekali melihat mereka sudah.
berkumpul demikian. Jantungnya tergetar karena rasa bersyukur kepada
Allah, bahwa kaum Muslimin sekarang sudah
tergugah dari kebekuannya selama ini, yang tadinya hampir saja merusak
suasana.
Abu Ubaid memimpin pasukan ke Irak
Siapakah
dari kalangan Muhajirin dan Ansar yang akan memegang pimpinan ekpedisi itu? Keadaan ini menjadi
pemikiran mereka yang tadinya masih
ragu memenuhi seruan itu. Mereka khawatir j ika Umar menyerahkan pimpinan pasukan kepada satu orang
yang bukan dari Medinah sementara kebanyakan anggota pasukannya terdiri
dari orangorang Medinah. Cepat-cepat mereka
berkata kepada Khalifah: "Pimpinan
mereka hendaknya seorang sahabat yang mula-mula, dari Muhajirin dan
Ansar." Tetapi sikap ragu-ragu mereka selama tiga hari pertama pemerintahan Umar
telah melukai hati dan masih terasa bekasnya. Oleh karena itu Umar langsung
menjawab mereka: "Tidak! Allah telah mengangkat Saudara-saudara karena kesigapan
dan kecepatan Saudarasaudara menghadapi musuh. Kalau kalian takut dan enggan
menghadapi musuh, lebih baik pimpinan diserahkan kepada orang yang mau
mempertahankan dan menyambut seruan itu. Pimpinan akan saya serahkan hanya
kepada orang yang pertama menyambut tugas ini. Kemudian ia memanggil Abu Ubaid,
dan pimpinan pasukan diserahkan kepadanya. Setelah itu ia memanggil Sa'd bin Ubaid dan Salit
bin Qais dan katanya kepada mereka: "Kalian berdua kalau dapat
menyusulnya akan saya serahi pimpinan dan kalian akan dapat melakukan itu dengan
keberanian kalian."
Musanna
bin Harisah merasa lega setelah melihat pasukan itu sudah
siap berangkat ke Irak. Menurut pendapat Umar Musanna tidak perlu
tinggal di Medinah, dan diperintahkannya ia kembali ke Irak dengan
angkatan bersenjatanya. Kata Umar kepadanya: "Cepat-cepatlah supaya kawan-kawanmu segera menemuimu!" Pasukan
baru itu sekarang sudah dalam
persiapan. Bilamana waktu keberangkatan sudah dekat, Umar berpesan kepada
Abu Ubaid:
"Dengarkanlah
dari sahabat-sahabat Nabi Sallallahu 'alaihi wa sallam dan ajaklah mereka
bersama-sama dalam hal ini. Janganlah cepat-cepat
berijtihad sebelum Anda teliti benar-benar. Ini adalah perang,
dan yang cocok untuk perang hanya orang yang tenang, yang pandai
melihat kesempatan dan pandai pula mengelak."
Inilah
masalah yang sungguh pelik. Dengan ilham yang diberikan Allah kepadanya, dalam
empat hari pemerintahannya ia telah dapat mengatasinya, sehingga kesibukannya
dalam soal ini tidak sampai mengganggu pikirannya dalam menghadapi soal-soal
latin yang sekarang sedang bertimbun di
depannya. Pikirannya tertuju pada soal Syam, orangorang Kristiani Najran
dan sekian lagi masalah, yang menurut pendapatnya berbeda dengan pendapat Abu Bakr. la
sedang memikirkan suatu strategi yang harus diambil untuk mewujudkan
konsepnya itu dan mendapat persetujuan
Muslimin yang ada di sekitarnya. Tatkala melaksanakan konsepnya dalam menghadapi problem
seperti ini, seperti biasa ia
berterus terang, dan sangat tegas, tak kenal ragu atau basa-basi, dan
tidak mengelak untuk memikul semua tanggung jawab sepenuhnya, sebab ia percaya bahwa ia benar, dan untuk itu
pasti Allah mendukungnya.
Khalid bin Walid dipecat dari pimpinan militer
Semua
orang sudah tahu pandangannya yang begitu jelek terhadap Khalid
bin Walid dan keprihatinannya sehubungan dengan peristiwa Malik
bin Nuwairah. Ia meminta kepada Abu Bakr supaya Khalid dijatuhi
sanksi. Sejak peristiwa itu pandangan Umar terhadap Khalid tidak
berubah. Jenderal itu telah dipindahkan dari Irak ke Syam atas perintah
Abu Bakr dan menyerahkan pimpinan kepada pasukan Muslimin.
Di samping itu sudah lebih dari sebulan ia tak dapat mengalahkan
pasukan Rumawi, bahkan tidak menghadapinya. Mana ada kesempatan lebih baik dari ini untuk memecat Khalid
dari pimpinan militer dan menyerahkannya kepada Abu Ubaidah! Dan inilah
yang dilakukan Umar. Keesokan harinya sesudah Abu Bakr wafat ia menulis surat kepada Abu Ubaidah memberitahukan tentang
meninggalnya Khalifah, kemudian
surat tentang pemecatan Khalid dan pengangkatan Abu Ubaidah menggantikannya sebagai panglima dan
Khalid sebagai komandan batalion yang tadinya dipegang Abu Ubaidah. Untuk
menyampaikan berita wafatnya Abu Bakr Umar mengutus Yarfa' pembantunya,
sedang mengenai pemecatan Khalid dan pengangkatan Abu Ubaidah yang diutusnya Mahmiyat bin Zanim dan
Syaddad bin Aus. Dalam surat
pengangkatannya ia berpesan kepada Abu Ubaidah dengan mengatakan: "Jangan
menjerumuskan pasukan Muslimin karena mengharapkan rampasan perang. Janganlah
menempatkan mereka di suatu tempat sebelum Anda merahasiakan kekuatannya dari
mereka dan mengetahui bagaimana
kedatangannya. Janganlah mengirim satuan kecuali dalam rombongan besar. Janganlah
menjerumuskan pasukan Muslimin ke
dalam malapetaka! Allah telah menguji Anda dengan saya dan mengujiku
dengan Anda. Tutuplah matamu dari kesenangan dunia dan lupakan. Janganlah Anda
sampai binasa seperti yang terjadi dengan yang sebelummu, dan Anda sudah melihat sendiri
kehancuran mereka!"
Bagaimana
Umar berani mempertaruhkan diri dengan memecat Khalid
padahal pimpinan angkatan bersenjata Muslimin di Syam di tangan Khalid
dan angkatan ini dalam situasi yang sangat genting! Mereka di sana tidak
menghadapi pihak Rumawi secara berhadap-hadapan, dan untuk
itu memang tidak mampu. Demikian juga halnya pasukan Rumawi
terhadap pasukan Muslimin. Begitulah keadaan mereka sebelum keberangkatan
Khalid bin Walid dari Irak ke Syam. Setelah Khalid berada
di tengah-tengah mereka keadaan pun tetap demikian. Kedua pihak
menunggu kesempatan keluar dari situasi- yang begitu mencekam untuk menyerbu musuh. Tidakkah Khalifah merasa
khawatir dengan pemecatan Khalid itu keadaan pasukan Muslimin akan
berantakan dan situasinya akan makin gawat? Tidakkah lebih baik ia menunggu
sampai Khalid lepas dari situasi kritis
sekarang ini. Sesudah itu baru ia bertindak dengan cara yang
bagaimanapun?!
Melihat
perkembangan perang yang sedang berlangsung itu, sudah tentu segala pertimbangan
ini besar sekali artinya. Nanti akan kita lihat bahwa Abu Ubaidah sangat menghargainya tanpa
merasa khawatir Khalifah akan marah
kepadanya. Tetapi Umar melihatnya dari segi lain. Jika pemecatan Khalid
ditunda sampai perang selesai keadaan akan membahayakan politiknya dan akan merusak
strateginya. Tak terlihat jalan lain
dalam perang itu: berkesudahan dengan kekalahan pasukan Muslimin, atau
dengan kemenangan. Kalau Muslimin kalah, pemecatan Khalid tak ada arti apa-apa atas kekalahan itu.
Kebalikannya, kalau menang dan
Khalid sebagai panglimanya, Umar tidak akan memecat seorang panglima yang sedang dalam puncak
kejayaannya. Kalau ini juga yang
dilakukannya, berarti ia mengambil suatu tindakan yang sangat mengerikan. Umar cenderung tidak akan
membiarkan Khalid sebagai panglima
tertinggi di Syam atau di tempat lain. Oleh karenanya ia cepat-cepat mengeluarkan perintah pemecatannya.
Apa boleh buat, Khalid tak dapat mewujudkan apa yang dipercayakan Abu
Bakr kepadanya. Kalau sesudah itu pasukan
Muslimin menang, Umar tidak salah. Ia hanya melakukan apa yang diyakininya bahwa
dia benar. Dalam hal ini Khalid dalam
posisi yang tidak dirugikan oleh orang yang memerintahkan
pemecatannya.
Sampai
pada masa kita sekarang ini orang masih bertanya-tanya gerangan
apa rahasia di balik pemecatan Khalid oleh Umar itu, dan Khalid
Saifullah seperti diucapkan oleh Rasulullah. Dialah yang ber‑hasil
menumpas kaum murtad, kaum pembangkang dan yang telah membebaskan Irak. Dia pahlawan yang tak ada
bandingannya dan dia jenius perang
yang sudah tak dapat dibantah. Benarkah terbunuhnya Malik bin Nuwairah
dan dikawininya istrinya oleh Khalid itu juga yang masih membekas di hati Umar sehingga ia bertindak
seperti itu? Ataukah Umar khawatir orang akan terpengaruh oleh Khalid
karena kemenangannya yang terus-menerus di medan perang, yang bukan tidak mungkin akibatnya akan menjerumuskan negara ke
dalam bencana? Ada beberapa orang yang berpendapat seperti kemungkinan
terakhir ini. Mereka mengatakan bahwa ketika Khalid kembali ke Medinah menanyakan kepada Umar alasan pemecatannya Umar
menjawab: "Saya memecatmu bukan karena meragukan Anda, tetapi banyak
orang sudah tergila-gila kepadamu, maka
saya khawatir Anda pun akan terpengaruh oleh mereka." Sumber ini tak ada
dasarnya. Yang jelas sesudah pemecatannya itu Khalid tidak pergi ke Medinah. Ia
tetap di Syam meneruskan tugasnya dalam perang di bawah pimpinan Abu Ubaidah,
sampai pada tahun tujuh belas sesudah hijrah
Umar baru memecatnya dari segala
jabatannya dalam tentara. Saya juga tidak berpendapat bahwa terbunuhnya
Malik bin Nuwairah menjadi sebab pemecatannya. Peristiwa itu sudah berlalu dua
tahun silam setelah Umar mejijabat Khalifah, dan selama dalam dua tahun ini
kehebatan Khalid dalam pimpinan militer mencapai puncaknya. Peranannya
dalam perang Yamamah dan perang Irak sudah menjadi buah bibir semua orang di
seluruh Semenanjung, di Persia dan di Rumawi. Menurut hemat saya, Umar memecat Khalid karena krisis kepercayaan antara
kedua orang ini. Sejak sebelum Umar
menjadi Khalifah sampai selama ia dalam jabatan itu kepercayaan ini
memang sudah tidak ada.
Yang
saya maksudkan bukan kepercayaan Umar kepada kejeniusan Khalid, atau kepercayaan Khalid akan keadilan
Umar. Tetapi yang saya maksudkan
kepercayaan orang yang berpandangan bijaksana terhadap temannya. Karena itu ia menutup mata atas segala
kekurangannya, sehingga segala
perbuatannya yang baik dapat dua kali lipat menghapus kejahatannya. Umar
melihat Khalid begitu sombong sehingga ia serba tergesa-gesa, kendati
ketergesaan ini bukan alasan lalu boleh melanggar perintah atasan. Karena kesombongan dan main
tergesa-gesa itu juga maka ketika
dalam pembebasan Mekah dulu ia melakukan pembunuhan, padahal Nabi sudah
melarang pembunuhan. Begitu juga ketika ia pergi ke tempat Banu Tamim, ia membunuh Malik bin
Nuwairah tanpa izin dari Abu Bakr. Khalid menuduh Umar yang mendorong
Khalifah pertama itu menimpakan segala
kesalahan kepadanya, sehingga tatkala Abu Bakr memerintahkan ia meninggalkan Irak pergi
ke Syam ia berkata: "Ini perbuatan
si kidal anak Um Sakhlah1, dia dengki kepada saya karena saya yang membebaskan Irak." Jika
kepercayaan antara kedua orang itu sudah hilang sedemikian rupa, kerja sama pun
sudah tidak akan mungkin, terutama j
ika yang seorang kepala negara dan yang seorang lagi pemimpin militer dan
panglimanya. Jadi tidak heran Umar memecat Khalid. Maksudnya supaya antara
keduanya jangan ada hubungan lang sung.
Malah ia meminta Abu Ubaidah untuk menjadi atasan Khalid dan mengeluarkan segala instruksi
kepadanya. Persahabatan antara
Khalid dengan Abu Ubaidah sangat akrab dan baik
sekali.
Kadang
ada yang berkeberatan dengan pendapat kita ini, karena Khalifah tidak mengurus masalah negara untuk
kepentingan dirinya, melainkan
untuk kepentingan umat. Oleh karena itu Umar harus melupakan segala persoalan dengan Khalid, dan
membiarkan Saifullah berjalan tanpa diamati, dengan mengambil contoh dari
Abu Bakr, dan apa yang dikerjakannya
menjadi contoh pula bagi kaum Muslimin dalam menilai pekerjaan orang, dan
penilaian ini berada di atas segala pertimbangan dan kecenderungan pribadi. Sudah
tentu menurut teori logika keberatan
ini ada nilainya juga, tetapi dalam kenyataan hidup nilai ini menjadi hilang samasekali. Kita umat
manusia tak dapat bertindak sendiri
menghadapi masalah-masalah kehidupan ini menurut pertimbangan akal kita
saja; perasaan kita juga sering sekali mempengaruhi kita. Baik yang kita isyaratkan itu
khusus mengenai persoalan kita
sendiri atau mengenai persoalan orang lain yang diwakilkan kepada kita. Seperti
dengan pikiran kita, kita terpengaruh ketika tindakan itu kita lakukan dengan
perasaan kita. Dalam kecenderungan kita, adakalanya pengaruh perasaan itu
lebih besar daripada pengaruh pikiran kita. Suatu hal yang mustahil kita dapat
membuat tabir pemisah antara kekuatan
perasaan dengan kekuatan akal pikiran. Memang benar, ada orang yang lebih banyak terpengaruh oleh
perasaan, ada pula yang lebih banyak
terpengaruh oleh pikirannya. Tetapi perbedaan jumlah tidak akan mengubah perpaduan perasaan dengan
akal pikiran itu dalam menjalankan
keputusan-keputusan kita. Sudah tentu, Umar juga terpengaruh oleh
perasaannya sendiri terhadap Khalid. Barangkali juga ia menduga bahwa Khalid mendengkinya dalam soal
kekhalifahan, seperti halnya dengan
Khalid dulu yang mengira Umar mendengkinya dalam soal pembebasan Irak. Kedua orang ini luar biasa
kuatnya dalam bidangnya masing-masing. Jika dua perasaan ini saling
bertemu dalam keadaan demikian,
dikhawatirkan akan terjadi perbenturan, dan perbenturan ini akan membawa akibat yang buruk sekali
terhadap negara dan masa depannya.
Oleh karena itu Umar segera mengambil langkah tegas yang tak kenal ampun. Yang dilihatnya bukan
segi keadilan, tetapi segi ketertiban umum dan keselamatan
negara.
Tetapi
dari pihaknya tindakan Umar memecat Khalid tidak aneh, sekalipun ini yang pertama dalam bentuknya.
Bahkan inilah politiknya yang
dijalankan terhadap para wakil dan gubernurnya selama pemerintahannya
itu. Kelak akan kita lihat bahwa tindakannya terhadap para pejabatnya dengan
disiplin yang keras sudah biasa dalam garis kebijaksanaannya, dan memang ini pula yang diajarkan
kepada mereka dan j ika ada
pengaduan dalam soal ini mereka akan diadili, dan siapa saja yang tidak
memuaskan dalam memegang amanat dan menjalankan tugasnya akan dipecat. Itulah,
karena ia cenderung memusatkan semua kekuasaan di tangannya. Pada pertama kali
memegang jabatannya itu ia berkata: "Demi
Allah, jika terjadi sesuatu mengenai persoalan kalian ini, lalu yang lain datang berkuasa jauh
sesudahku, maka mereka kembali akan
meninggalkan pesan dan amanat itu. Kalau mereka berbuat baik akan saya
balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang
akan saya timpakan kepada mereka." Kalau
pandangan demikian bertemu dalam suatu politik negara seperti yang dikenal tentang Umar dan pandangannya
terhadap Khalid serta hilangnya
kepercayaan dan persahabatan antara kedua orang ini, rahasia pemecatan Khalid ini akan terungkap, dan akan
terungkap pula letal rahasia ini dari hati Umar.
Umar
sudah memecat Khalid dari pimpinan militer di Syam dan pimpinan itu
diserahkannya kepada Abu Ubaidah. Tetapi ini tidak mengubah posisi pasukan Muslimin terhadap Rumawi
dan tidak pula akan memperkuat mereka dalam perang. Bahkan sebaliknya,
akan menimbulkan malapetaka besar.
Kalau
Umar memerintahkan agar tawanan perang dari kaum murtad
dikembalikan kepada keluarganya, dan dengan begitu dapat mengambil hati mereka, maka dari segenap penjuru
kini mereka cepatcepat datang memenuhi seruannya dengan tujuan ingin
ikut mengambil bagian dalam perang, ingin membersihkan diri dari kemurtadan
mereka yang lalu, mereka dan yang sesama mereka akan mendapat pula ram‑pasan
perang seperti yang diperoleh Muslimin yang lain. Dengan demikian Umar merasa
puas dengan karunia Allah dalam mengatasi situasi yang begitu genting dihadapi pasukan Muslimin di
luar Semenanjung Arab. Sekarang
pikirannya tertuju ke arah lain yang pada dasarnya tidak menyimpang dari kebijaksanaan Rasulullah
dan kebijaksanaan Abu Bakr, kendati dalam beberapa hal secara detail
berbeda.
Rasulullah
mengajak semua orang kepada agama Allah, tidak membeda-bedakan
antara Ahli Kitab dengan yang lain. Tetapi orang-orang Yahudi Medinah melihat
dakwah ini membahayakan mereka. Maka mereka pun mengadakan pendekatan dengan Muhammad
dan mengadakan perjanjian tentang
kebebasan beragama. Hanya saja tak lama setelah mereka melihat keadaan Nabi sudah stabil,
mereka berkomplot memusuhinya. Maka mereka pun dihadapinya dan
dikeluarkan dari Medinah dan dari beberapa
perkampungan mereka di Jazirah Arab. Mereka yang masih tinggal hanya
sebagian kecil, yang sesudah perang Khaibar
mereka meminta damai untuk tetap tinggal dan bekerja di daerah mereka dengan ketentuan separuh dari hasil
pertanian untuk Muslimin. Adapun kaum
Nasrani Najran mereka mengirim delegasi untuk berdebat dengan Nabi. Setelah Nabi mengajak
mereka agar hanya menyembah Allah dan
jangan mempersekutukan-Nya dengan siapa pun dan mereka tidak akan saling mempertuhan selain
Allah, mereka menolak dan kembali
ke negeri mereka. Setelah itu mereka mengirim sebuah delegasi lagi
meminta damai dengan membayar jizyah dengan imbalan mereka mendapat perlindungan
dan kebebasan atas keyakinan agama mereka.
Pihak Nasrani Najran juga memberikan pengakuan pada pemerintahan Abu Bakr
dan mengadakan perjanjian yang sama dengan perjanjian yang diadakan dengan Nabi.
Juga perlakuan terhadap Yahudi Khaibar sama dengan perlakuan Rasulullah terhadap
mereka.
Pen gosongan Nasrani Najran
Tatkala
menerima pergantian itu Umar memperhatikan masalahnya. Dalam hal ini ia menempuh suatu langkah baru. la
memerintahkan kepada Ya'la bin Umayyah agar Nasrani Najran itu
mengosongkan perkampungan mereka, dengan
mengatakan: "Selesaikanlah urusan mereka dan janganlah mereka diganggu
dari agama mereka. Keluarkanlah barang siapa yang masih berpegang pada agamanya.
Tempatkanlah Muslim, dan berkelilinglah di
tempat yang sudah dikosongkan. Kemudian biarlah memilih sendiri tempat lain.
Katakan kepada mereka bahwa kita mengeluarkan mereka atas perintah Allah
dan Rasul-Nya untuk tidak membiarkan ada dua
agama di jazirah Arab. Orang yang masih berpegang pada agamanya hendaklah keluar, kemudian
kita beri mereka tanah seperti tanah
mereka sebagai pengakuan mereka kepada hak kita, dan memenuhi janji kita
memberi perlindungan kepada mereka sebagaimana diperintahkan Allah, menggantikan hubungan
mereka dengan tetangga-tetangga penduduk Yaman dan yang lain, yang sudah
menjadi tetangga-tetangga mereka di pedesaan."
Sebagian
orang mengira bahwa kebijakan Umar ini melanggar apa yang sudah ditempuh oleh
Rasulullah dan diteruskan oleh Abu Bakr. Kalangan orientalis berpegang pada
alasan ini untuk menyerang Umar. Tetapi
kalangan, sejarawan Muslim mengemukakan beberapa alasan. Rasulullah
mengadakan perjanjian dengan umat Kristiani Najran untuk tidak diganggu dari agama mereka "sepanjang mereka
memelihara perjanjian itu, beritikad
baik dan tidak menjalankan riba." Tetapi ternyata mereka menjalankan
riba dengan melipatgandakan; jadi mereka sudah melanggar janji. Maka Umar berhak mengusir
mereka dari Semenanjung. Sumber lain menyebutkan bahwa mereka saling
berselisih di antara sesama mereka dan setelah perselisihan makin
memuncak, mereka meminta kepada Umar agar
mereka dikeluarkan dari perkampungan itu. Dan yang lain lagi mengatakan,
bahwa setelah kedudukan mereka makin kuat Umar khawatir, maka mereka pun dikeluarkan. Baik sebagian Sumber ini autentik
atau semua tidak, menurut hemat saya
penyebabnya tidak terletak pada rencana kerja Umax, untuk mengeluarkan
mereka dari Semenanjung, tetapi pada ketentuan umum politik negara yang oleh
Umar sudah diyakininya, lalu dengan tegas dan adil ia
laksanakan.
Untuk
melihat ketentuan ini baik kita singkirkan dulu .tuduhan bahwa
Umar fanatik, seperti yang dilontarkan kalangan orientalis! Mereka mengatakan
itu berdasarkan keyakinan orang masa kita sekarang tentang
kebebasan beragama sebagai suatu argumen untuk menyalahkan tindakan
Umar. Sudah tentu ini salah sekali, dengan menutup mata pada kenyataan.
Kenyataannya pada masa Umar agama merupakan dasar
yang paling utama dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka yang berbeda dengan agama masyarakat umumnya, atau yang
melawannya, bagi mereka termasuk
hukum melawan agama, dan pihak penguasa sah memerangi mereka bahkan wajib. Untuk itu Muhammad
diperangi ketika mengajak orang menyembah Allah dan agama Allah, dan karena
agama pulalah maka terjadi perang dahsyat antara Rumawi dengan Persia.
Keadaan tetap berjalan demikian di Eropa dan di luar Eropa sam‑pai pada waktu
belum berselang lama ini dari zaman kita. Demi agama pula pecah Perang Salib antara Islam dengan
Kristen. Untuk itu pula terjadi beberapa tragedi pembantaian antara
Katolik dengan Protestan. Rasulullah sudah mengadakan perjanjian dengan kaum
Nasrani Najran karena kesatuan politik di
Semenanjung ketika itu belum ada. Letak Najran berdekatan dengan Yaman,
yang sejak waktu lama sebelum Muhammad dan sebelum Nasrani mereka memang hidup
dalam paganisme.
Sesudah
Rasulullah wafat dan digantikan oleh Abu Bakr, Yaman termasuk pelopor yang murtad dan memberontak
kepada kekuasaan Medinah. Jadi wajar
saja Abu Bakr mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah. Perang Riddah sudah
dapat menumpas kaum murtad dan pemberontakannya sekaligus, yang menyebabkan mereka habis kemudian
diteruskan dengan perang Irak dan Syam sehingga tergalang persatuan dan
kesatuan politik dan kesatuan agama di
segenap penjuru Semenanjung, dan semua itu melahirkan sebuah kedaulatan
dengan Medinah sebagai ibu kotanya dan
kepala pemerintahannya Khalifah Rasulullah. Tatkala Umar memegang
kekuasaan, semua faktor penyebab lahirnya perjanjian Najran di masa Nabi dan masa Abu Bakr sudah tak
ada lagi. Sekarang tiba saatnya Umar harus memikirkan suatu rencana baru
dalam politik negara yang akan dapat menyatukan semua bagian dari utara sampai
ke selatan Semenanjung dan Medinah menjadi
ibu kotanya yang tak tersaingi.
Bahwa
sekarang seluruh kawasan Arab sudah menjadi sebuah negara
kesatuan dengan satu agama, dipimpin oleh orang yang sudah disepakati pengangkatannya, maka layak sekali
apabila pemimpin ini berusaha
membuang semua unsur yang akan mendatangkan kelemahan, di antaranya banyaknya suku bangsa atau agama yang
berbagai macam yang mempunyai
kekuasaan mutlak pada penduduk. Inilah kenyataan yang berlaku dan tetap
berlaku. Kita melihat misalnya macam-macam perjanjian yang diadakan sampai waktu
akhir-akhir ini mengenai perpindahan kelompok-kelompok dari jenis ras yang sama
ke dalam satu lingkungan yang sama. Atas dasar itu juga suatu bangsa beradab
tidak dibenarkan menganut lebih dari satu ketentuan hukum. Hal-hal yang menjadi
pegangan Islam tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang ada pada agama
Kristen. Islam mengharamkan riba, Kristen membolehkan; Islam mengharamkan minuman keras, Kristen
tidak mengharamkan; dasar Islam tauhid, dasar Kristen trinitas.' Waktu
itu ketentuan‑ketentuan ini dan yang semacamnya berlaku ketat, orang tak dapat
menenggangnya seperti sekarang, atas nama
kebebasan beragama atau berkeyakinan. Tidak heran apabila Umar bersikeras
tidak mau membiarkan ada dua agama di
jazirah Arab. Orang-orang Arab di Semenanjung itu semua menerima dan rela
hanya dengan satu agama sejak masa Rasulullah, dan sesudah pernah sebagian
murtad pada masa Abu Bakr kemudian kembali lagi. Kesatuan agama itulah yang
menjamin ketenteraman dan kuatnya persatuan
mereka, dan jangan ada di antara mereka yang tidak seagama yang memberontak, yang
akan mengganggu ketenteraman dan merusak persatuan mereka. Itulah yang
dilakukannya, dan itu pula sebabnya ia memanggil Ya'la bin Umayyah untuk
mengeluarkan orang-orang Nasrani dari Najran.
Tindakan
Umar dalam hal ini patut dipuji, bukan diserang dan disalahkan. Acuan mereka
pada apa yang pernah dilakukan oleh kaum mayoritas dari kalangan Katolik atau
Protestan ketika mereka menekan lawan
sektenya sampai mereka dibunuh dan disiksa dengan berbagai macam
cara.
Bahkan
pesan pertama yang diberikan Umar kepada Ya'la, jangan sampai.
ada orang memperdaya dan menggoda umat Nasrani Najran dari
agama mereka; biarkan mereka bebas sepenuhnya, ingin tetap dengan
agama mereka atau akan berpindah kepada Islam; mereka agar diberi-tanah yang sama di luar Semenanjung Arab,
seperti tanah mereka itu. Dengan demikian mereka tidak dirugikan, dan apa
yang dilakukan Umar itu sama seperti yang dilakukan negara-negara beradab dewasa ini, ketika ada suatu golongan atau ras
menghadapi pembagian dipindahkan ke
tempat golongannya yang mayoritas. Bahaya perselisihan di kalangan mereka dengan
tetangga-tetangga tidak akan lebih berbahaya daripada dengan golongan
mayoritas yang berada di sekitar mereka.
Sesudah
orang tahu Umar mengeluarkan kaum Nasrani Najran, mereka pun yakin bahwa ia akan
juga mengeluarkan orang-orang Yahudi dan bukan Muslim lainnya dari Semenanjung
Arab. Politik macam
ini baru adanya. Tetapi buat mereka bukan sesuatu yang aneh dan
tidak heran. Justru yang barangkali lebih aneh buat mereka pengangkatan Abu
Ubaid as-Saqafi menjadi komandan pasukan di Irak termasuk adanya orang-orang Medinah dari kaum
Muhajirin dan Ansarnya di dalamnya. Dan yang lebih lagi mengherankan
mereka pemecatan Khalid bin Walid dari
pimpinan militer di Syam. Mereka juga melihat tindakan yang diambil Umar
itu tegas dan adil. Mereka ingat posisi Umar
dengan Rasulullah dan dengan Abu Bakr, juga mereka ingat posisi Muslimin dan gentingnya
keadaan di Irak dan Syam. Mereka
melihat ketika ia berpidato di hadapan mereka. la tidak mementingkan diri sendiri, tetapi semata-mata
demi Allah dan demi kepentingan umat. Maka lebih baik mereka menyerahkan
persoalan dan tanggung jawab itu ke
tangannya. Mereka hanya akan bermohon kepada Allah dengan doa semoga ia berhasil seperti
keberhasilan Abu Bakr sebelumnya.
Apa
yang dipidatokan Umar itu pengaruhnya tidak kurang dari pandangan-pandangannya
yang lain dalam hati mereka. Ketulusan hatinya terpantul dalam kata-katanya.
Sikapnya tidak mementingkan diri sendiri tetapi semata-mata demi Allah dan untuk
kepentingan umum tampak dari setiap kata
yang diucapkannya. Katanya kepada mereka: "Saya mengharapkan masih akan bersama-sama dengan
Saudarasaudara. Sedikit banyak saya
akan bekerja atas dasar kebenaran insya Allah. Jangan sampai ada seorang Muslim
— walaupun sedang dalam dinas
militernya — yang tidak mendapat haknya dan bagiannya dari harta Allah."
Ia juga berkata: "Saya seorang manusia Muslim, seorang hamba yang lemah, kecuali j ika dapat pertolongan
Allah Yang Mahakuasa. Yang telah
memberi kepercayaan kepada saya dalam kekhalifahan ini samasekali tidak akan mengubah
perangai saya, insya Allah. Keagungan
hanya pada Allah 'Azza wa J alia. Tak ada seorang hamba pun yang mempunyai keagungan, jangan ada di
antara kalian yang akan mengatakan, bahwa sejak pengangkatannya Umar
sudah berubah. Saya menyadari hak saya, akan
saya kemukakan dan akan saya jelaskan keadaan saya ini kepada
Saudara-saudara. Siapa pun orang yang memerlukan atau merasa dirugikan atau ada
keluhan tentang saya sehubungan dengan
perangai saya, temuilah saya. Saya adalah salah seorang dari kalian. .
.Yang menjadi dambaanku hanya kebaikan bagi kalian." Segala kritik kalian sangat
berharga bagi saya, dan saya bertanggung j awab atas amanat yang dipercayakan
kepada saya. Insya Allah saya akan mengawasi
dan datang sendiri, tidak akan saya wakilkan kepada orang lain. Hanya di
tempat-tempat yang jauh akan saya
serahkan orang yang dapat memegang amanat dan orang-orang yang ikhlas memberikan pendapat di antara kalian
untuk kepentingan umum. Insya Allah saya tidak akan memberikan
kepercayaan ini selain kepada mereka."
Dengan
kata-kata itu dan yang senada dengan itu Umar berpidato kepada mereka serta
mendekatkan hati mereka. Hati orang Arab di seluruh Semenanjung sudah merasa
dekat kepadanya sejak ia memerintahkan
pengembalian para tawanan perang kaum murtad kepada keluarga mereka. Sesudah ia mengangkat Abu Ubaidah
dan memecat Khalid dan memerintahkan
pengosongan kaum Nasrani Najran, tidak ada lagi orang yang merasa kesal kepadanya,
kendati mereka melihat hal-hal baru yang diadakan Umar menurut
pendapatnya sendiri selama masanya itu,
yang dalam hal ini ia tidak mencontoh pendahulunya. Buat apa mereka harus merasa kesal, sedang segala
tanggung j awab ada di tangannya. Mereka pun sudah mengenalnya, sudah
biasa ia memikul tanggung j awab besar
tanpa harus merasa lelah, dan tidak jarang Allah memberi ilham kepadanya sehingga ia dapat
mengatasinya sampai mencapai hasil gemilang.
Gelar Umar den gan Amirulmukminin
Suatu
hari Umar sedang duduk di Masjid selesai memberikan pedoman kepada Muslimin
mengenai kebijaksanaannya, dan bahwa sudah
tiba saatnya harus mereka laksanakan. Abu Ubaidah datang kepadanya untuk
mengucapkan selamat tinggal sehubungan dengan keberangkatannya ke Irak memimpin
pasukan yang sudah berkumpul di sekitar bendera, diikuti oleh orang-orang yang
tidak sedikit jumlahnya. Semua mereka
menyambut Khalifah Khalifah Rasulullah itu. Dengan kata-kata yang diulang, gelar
ini terasa berat diucapkan dan berat pula di telinga. Apa yang bergejolak dalam hati ini
menjadi bahan pembicaraan mereka
pula. Sementara dalam keadaan demikian tiba-tiba salah seorang dari
mereka tampil menyambut Umar dengan kata-kata: "Salamullah 'alaika ya amirul mu'minin
— Salam sejahtera bagi Anda,
wahai Amirulmukminin !"[3] Mendengar gelar
baru ini orang menyambutnya dengan
gembira disertai senyum tanda setuju. Sejak itu tak ada lagi orang
memanggil Umar dengan Khalifah Khalifah Rasulullah, melainkan semua orang sudah menyebutnya
"Amirulmukminin." Gelar ini tetap
melekat pada Umar dan pada para khalifah dan raja-raja Muslimin
sesudahnya.
Sekarang
Musanna sudah mendahului kita ke Irak. Kita harus cepat-cepat menyusulnya untuk
meneruskan ceritanya tatkala Abu Ubaid
dan pasukannya menyusul kita dan yang akan menjadi panglimanya.
Kemudian bagaimana ia bertempur mati-matian dengan perjuangan penuh bahaya dan
akhirnya gugur sebagai syahid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar