Jumat, 21 Maret 2014

UMAR MEMULAI TUGASNYA



Abu Bakr wafat Senin petang setelah matahari terbenam 21 Jumadilakhir tahun ke-13 sesudah hijrah (22 Agustus 832 M.). Setelah malam tiba jenazahnya dimandikan dan dibawa ke Masjid di tempat pembaringan yang dulu dipakai Rasulullah, disalatkan dan dibawa ke makam Rasulullah. Ia dimakamkan dalam lahad di samping Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam, kepalanya di arah bahu Rasulullah dan lahad dengan lahad itu berdampingan. Pemakaman dilakukan oleh Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Talhah bin Ubaidilah dan Abdur-Rahman bin Abu Bakr.

Pelantikan Umar dan mobilisasi ke Irak

Umar sudah menyelesaikan tugasnya yang terakhir terhadap Kha­lifah pertama. la keluar dari liang lahad di rumah Aisyah itu dan setelah memberi salam kepada sahabat-sahabatnya ia kembali pulang ke rumahnya lewat tengah malam.[1] Ia masuk ke tempat tidur dengan pikir­an apa yang hendak dilakukannya besok. Pagi-pagi besok umat akan membaiatnya untuk tugas mengurus mereka. la akan menghadapi me­reka yang menyetujui pencalonannya karena terpaksa, lalu menghadapi situasi perang yang amat pelik di Irak dan Syam. Lalu apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi kedua masalah itu, padahal kedua tempat tersebut merupakan kawasan yang paling berbahaya dalam sejarah kedaulatan yang baru tumbuh itu.
Posisi Muslimin di Irak dan Syam ketika itu memang sangat sulit. Kekuatan pasukan Muslimin di Syam sudah tak berdaya berhadapan dengan pasukan Rumawi. Abu Bakr ingin menyelamatkannya dengan mengirimkan Khalid bin Walid bersama sejumlah personel dari pasukan Irak. Sungguhpun sudah dengan mengerahkan pasukan di bawah pimpinan Khalid, namun belum ada juga berita kepada pihak Muslimin di Medinah yang memberi harapan kemenangan, setidak-tidaknya berita tentang keadaan mereka. Dengan keberangkatan Khalid dan pasukannya sebagian ke Syam pasukan Muslimin di Irak jadi lemah. Al-Musanna bin Harisah asy-Syaibani dengan segala kemahiran dan kemampuannya, tak dapat mempertahankan apa yang sudah diperoleh Muslimin dari daerah Sawad[2] Irak. Malah ia kembali ke Hirah dan bertahan di sana. Memang ia dan pasukannya sudah dapat mengalahkan pasukan Persia yang dikirimkan Syahriran anak Ardasyir dan dipimpin oleh Ormizd Jadhuweh di reruntuhan Babel sehingga mereka terusir kalah. Tetapi sesudah kemenangannya ini Musanna hanya bertahan di posisinya se­mula, karena khawatir akan disergap musuh, dengan keyakinan bahwa kendati ia dapat mengadakan perlawanan tetapi tak akan dapat maju. Bahkan perlawanannya itu pun sudah sangat sulit j ika keadaan di istana Persia sudah kembali tenang dan tidak lagi bergejolak. Ia menulis surat kepada Abu Bakr meminta izin akan meminta bantuan kaum pem­bangkang (kaum Riddah) yang sudah jelas-jelas bertobat. Tetapi dulu Abu Bakr sudah melarang meminta bantuan mereka dalam perang. Sesudah lama menunggu jawaban Khalifah, ia menunjuk Basyir bin al­Khasasiah menggantikannya di Irak. Dia sendiri berangkat ke Medinah akan melaporkan keadaannya secara lebih terinci, dan akan memper­tahankan pendapatnya tentang kepergiannya dari sana.
Ya, bagaimana Umar harus menghadapi semua ini? Soal inilah dan segala yang berhubungan dengan ini yang menggoda pikirannya malam itu, dengan permohonan kepada Allah agar diberi jalan keluar dan me­nunjukinya ke jalan yang benar. Apabila pagi besok tiba ia akan melihat Musanna berada di barisan depan. Musanna akan meminta izin kepada­nya seperti permintaannya dulu kepada Abu Bakr — agar mendapat bantuan orang-orang yang dulu pernah membangkang dan kini sudah memperlihatkan tobatnya, dan akan diulanginya bahwa yang diharapkan kaum murtad yang sudah bertobat itu hanya harta rampasan perang. Dalam berperang sebenarnya tak ada yang dapat menandingi semangat mereka. Mengenai Irak Abu Bakr sudah berwasiat kepada Umar dan harus dilaksanakan tatkala ia memanggilnya dan berkata: "Umar, per­hatikan apa yang saya katakan ini dan laksanakanlah. Saya kira saya akan mati hari ini juga. Kalau saya mati, sebelum petang ini mobilisasi harus sudah Anda laksanakan dan berangkatkan bersama Musanna. Jika tertunda sampai malam, begitu tiba waktu pagi mobilisasi harus sudah terlaksana dan berangkatkan bersama Musanna. Jika Allah memberi kemenangan di Syam tarik kembali pasukan Khalid ke Irak. Mereka penduduk sana dan yang menguasainya. Mereka orang-orang yang suka ketagihan dan pemberani."
Akan dilaksanakankah mobilisasi bersama Musanna atau biar saja ia meminta bantuan kaum murtad yang sudah jelas bertobat? Ia kha­watir orang akan menjadi tak acuh j ika dikerahkan sesudah melihat teman-teman yang di Syam tak dapat maju dan melihat Musanna di Medinah dalam ketakutan melihat Persia dan kekejamannya. Tetapi Muslimin tak akan bertahan di Irak jika pasukan mereka tidak diper­kuat dengan perlengkapan yang benar-benar tangguh. Samasekali tak pernah terpikir oleh Musanna akan menarik pasukannya dari daerah­daerah itu. Dia yang dulu mendorong Abu Bakr supaya menyerangnya, dia pula yang mendahului Khalid dan yang lain ke sana. Tidak mudah buat dia akan menarik diri dari suatu negeri yang dia sendiri meme­lopori penyerangannya, dan akan keluar dari sana padahal ia yakin benar akan kemampuannya dapat membebaskan daerah tersebut. Kalau Umar memasoknya dengan kaum murtad yang sudah bertobat, niscaya kemenangan akan membawanya sampai ke takhta Persia.
Juga tak pernahkah terpikir oleh Umar akan menarik diri dari Irak? Abu Bakr mencalonkannya menjadi khalifah karena kepercayaannya bahwa dari kalangan Muslimin dialah yang paling mampu meneruskan kebijakan politiknya, dan untuk meneruskan politik ini tak ada jalan lain harus dijalankan dengan tegas, wasiat Abu Bakr harus dilaksana­kan dengan mengadakan mobilisasi pemberangkatan bersama Musanna, dan pasukan Muslimin di Syam harus diperkuat. Adakah pemuka-pemuka Muslimin dan sahabat-sahabat Rasulullah yang tidak setuju dengan pencalonannya sebagai khalifah mau membantunya dengan tulus hati? Kalau mereka masih maju mundur hendak membantunya apa yang harus diperbuatnya? Dan apa pula pengaruh keraguan mereka terhadap orang-orang Arab serta kesetiaan mereka kepada Medinah? Ya, hanya dengan politik yang tegas itu sajalah yang akan memberikan jalan keluar dari situasi ini. Dan ketegasan itu tidak akan mengurangi sifat Umar. Ambillah keputusan yang pasti, dan bertawakal kepada Allah.
Malam itu Umar cukup lelah memikirkan semua ini. Paginya ia menemui orang-orang di Masjid. Mereka menyambutnya sudah siap akan membaiatnya, kesiapan yang membuat gejolak hatinya terasa lebih tenteram. Apabila waktu lohor sudah tiba dan orang sudah berdatangan akan melaksanakan salat, Umar menaiki mimbar, tangga demi tangga yang biasa dipakai oleh Abu Bakr. Sesudah mengucapkan hamdalah dan salawat kepada Nabi, dan setelah menyebut tentang Abu Bakr serta jasanya, ia berkata:
"Saudara-saudara!1 Saya hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah saya pun akan enggan memikul tanggung jawab ini." Dia mengucapkan kata-kata itu dengan rasa haru, dengan rendah hati dan sangat berhati-hati — yang dinilai orang sebagai pertanda tepatnya firasat Abu Bakr — dengan pandangan yang jauh dalam mencalonkan penggantinya. Mereka me­muji sikap Umar itu, lebih-lebih setelah mereka melihatnya menenga­dah ke atas sambil berkata: "Allahumma ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku! Allahumma ya Allah, saya sa­ngat lemah, maka berilah saya kekuatan! Allahumma ya Allah, aku ini kikir, j adikanlah aku orang dermawan bermurah hati!" Umar berhenti sejenak, menunggu orang lebih tenang lagi. Kemudian sambungnya: "Allah telah menguji kalian dengan saya, dan menguji saya dengan kalian. Sepeninggal sahabatku, sekarang saya yang berada di tengah­tengah kalian. Tak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya, dan tak ada yang tak hadir di sini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan saya timpakan kepada mereka."
Selesai berpidato Umar turun dari mimbar lalu mengimami salat. Selesai salat ia menoleh kepada mereka dan mengumumkan mobilisasi ke Irak dengan Musanna. Disebutkan juga wasiat Abu Bakr mengenai hal ini. Mendengar seruan Khalifah, mereka berpandang-pandangan satu sama lain tetapi tak ada yang menyambut seruan itu, seolah mereka teringat apa yang telah menimpa saudara-saudara mereka di Syam. Mereka tak ingin yang demikian akan terulang menimpa mereka lagi. Bukankah Abu Bakr sudah mengajak mereka untuk menyerbu Syam, tetapi mereka masih maju mundur, lalu ketika itu Umar berteriak kepada mereka: "Kaum Muslimin sekalian, mengapa kalian tidak men­jawab seruan Khalifah yang mengajak kalian untuk hal-hal yang akan menghidupkan iman kalian?" Kemudian baru mereka mau memenuhi seruan itu, dan mereka pun berangkat untuk menghadapi Heraklius dan pasukannya. Termasuk di antara mereka Abu Ubaidah bin Jarrah, Amr bin As, Yazid bin Abi Sufyan dan beberapa orang sahabat, diikuti oleh para amir dan para pahlwan dari segenap penjuru Semenanjung. Dalam berhadapan dengan pihak Rumawi mereka tak dapat mengalahkan. Juga Khalid bin Walid setelah membuat pihak Persia porak poranda dengan serangkaian kemenangannya di Irak, telah diperbantukan kepada me­reka. Akan lebih baikkah nasib mereka j ika seruan Umar itu mereka penuhi dan mereka berangkat bersama Musanna ke Irak? Ataukah posisi mereka di sana dalam menghadapi Persia akan sama saja dengan sahabat-sahabat mereka menghadapi pasukan Heraklius di Syam? Tak ada dari mereka yang mengharapkan Umar mengembalikan Khalid ke Irak karena mereka tahu citra Umar terhadap jenderal itu. Mereka ma­sih ingat sikapnya terhadap peristiwa Malik bin Nuwairah.
Musanna bin Harisah memang seorang jenderal besar yang tak disangsikan lagi, tetapi dia bukan dari Kuraisy dan tidak pula termasuk sahabat Rasulullah. Dia dari kabilah Banu Bakr bin Wa'il. Di samping itu, tatkala Khalid meninggalkan Irak ke Syam, Musanna menarik pa­sukannya dari pinggiran Irak ke Hirah, kemudian datang ke Medinah meminta bala bantuan dari Khalifah. Ini menunjukkan bahwa posisinya terhadap Persia tak dapat disalahkan, sebab nama Persia bagi orang Arab ketika itu sangat mengerikan. Ada sebagian yang menduga bahwa Khalid dapat mengalahkan Persia karena pada mulanya mereka meng­anggap Khalid enteng, sehingga tidak menghadapinya dengan kekuatan yang akan dapat memukulnya mundur. Kalau memang sudah demikian kenyataannya, untuk apa mereka berperang yang mungkin hanya akan membawa bencana kepada mereka?

Tawanan perang dipulangkan kepada keluarga masing-masing

Tak ada pemuka-pemuka dan orang-orang bijak yang segera metne­nuhi seruan Umar itu. Kalau mereka saja sudah enggan lebih-lebih lagi masyarakat umum tentunya. Sejenak Umar mengangguk-angguk, kemu­dian kembali ke tempatnya semula di Masjid. Orang banyak pun masih berturut-turut meneruskan acara baiat tadi. Lepas isya baru mereka bubar. Tinggal Umar malam itu yang masih terus berpikir. Pagi-pagi keesokannya ia kembali ke tempatnya di Masjid. Orang pun masih me­neruskan acara pembaiatannya. Sementara itu terdengar suara azan untuk salat lohor. Tak lama kemudian setelah Umar keluar dari tempat itu ia berseru kepada orang banyak dengan suaranya yang menggelegar, memerintahkan mereka untuk membebaskan semua tawanan Perang Riddah (kaum murtad) dan mengembalikan kepada keluarga-keluarga mereka, dengan mengemukakan alasan: "Saya tidak ingin melihat ada­nya tawanan perang menjadi kebiasaan di kalangan Arab."
Mendengar perintah itu mata mereka terbelalak melihat kepada Umar. Satu sama lain mereka saling bertanya: Apa maksudnya!? Kaum Muslimin memang sudah menawan orang-orang Arab tawanan Perang Riddah sesuai dengan perintah Abu Bakr tatkala ia mengumumkan ke seluruh Semenanjung Arab dengan perintah kepada setiap panglima agar menyerukan orang murtad kembali kepada Islam. Yang menolak supaya diperangi, dan jangan membiarkan orang yang masih kuat; me­reka supaya dibakar dengan api dan dibunuh habis, semua perempuan dan anak cucu mereka supaya ditawan. Dengan perintah itu adakah maksud Umar hendak menentang Abu Bakr dan akan berjalan sendiri tanpa menghiraukan tuntunannya? Ataukah karena dia melihat orang masih malas-malas ketika diminta berangkat bersama Musanna lalu ia mau membujuk orang-orang Arab dari berbagai kabilah untuk mem­bantu Musanna? Apa pun masalahnya, perintah yang baru dalam politik negara boleh kita pikirkan dalam-dalam dan perlu dipertanyakan.
Sebenarnya sedikit sekali Umar tidur dalam dua malam setelah ke­matian Abu Bakr itu. Orang masih berdatangan meneruskan baiat untuk menghormati Abu Bakr dan wasiatnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka masih tidak puas dengan sikap Umar yang begitu keras, dan di antara mereka memang ada yang mempunyai ambisi kekuasaan. Suatu pe­merintahan tidak akan stabil jika dalam menjalankan politiknya para pemikirnya tidak dilibatkan. Keadaan memang sangat pelik untuk mem­biarkan segalanya kepada waktu, dan Umar cukup dengan hanya berdoa kepada Allah supaya orang mencintainya dan dia mencintai mereka. Kalau dia tak dapat menanganinya dengan tegas, pemerintahan akan menjadi kacau. Bahwa dia sudah mengeluarkan perintah agar tawanan perang dikembalikan kepada keluarga masing-masing dan untuk meng­ambil hati kabilah-kabilah Arab yang dulu menjauhinya karena sikap­nya yang keras itu, jangan diragukan lagi biarlah politik ini diteruskan.

Pidato pertama

Hari ketiga ia datang ke Masjid, dan selesai baiat ia berkata: "Orang Arab ini seperti unta yang jinak, mengikuti yang menuntunnya ke mana saja dibawa. Tetapi saya, demi Allah, akan membawa mereka ke jalan yang benar."
Orang makin banyak memperhatikan Umar. Terbayang oleh semua hadirin yang ada di Masjid, bahwa orang ini akan membawa mala­petaka kepada mereka, karena sikapnya yang begitu tegar dan keras. Umar dapat menangkap perasaan itu dari wajah mereka. Ketika orang sudah banyak berkumpul akan melaksanakan salat lohor, Umar naik ke tangga mimbar setapak demi setapak dan berkata:
"Saya mendapat kesan, orang merasa takut karena sikap saya yang keras. Kata mereka Umar bersikap demikian keras kepada kami, se­mentara Rasulullah masih berada di tengah-tengah kita, juga bersikap keras demikian sewaktu Abu Bakr menggantikannya. Apalagi sekarang, kalau kekuasaan sudah di tangannya. Benarlah orang yang berkata begitu.
"... Ketika itu saya bersama Rasulullah, ketika itu saya budak dan pelayannya. Tak ada orang yang mampu bersikap seperti Rasulullah, begitu ramah, seperti difirmankan Allah: Sekarang sudah datang kepadamu seorang rasul dari golon ganmu sendiri: terasa pedih hati­nya bahwa kamu dalam penderitaan, sangat prihatin ia terhadap kamu, penuh kasih sayang kepada orang-orang beriman. (Qur'an, 9:128) Di hadapannya ketika itu saya adalah pedang terhunus, sebelum disarung­kan atau kalau dibiarkan saya akan terus maju. Saya masih bersama Rasulullah sampai ia berpulang ke rahmatullah dengan hati lega terha­dap saya. Alhamdulillah, saya pun merasa bahagia dengan Rasulullah.
"Setelah itu datang Abu Bakr memimpin Muslimin. Juga sudah tidak asing lagi bagi Saudara-saudara, sikapnya yang tenang, dermawan dan lemah lembut. Ketika itu juga saya pelayan dan pembantunya. Saya gabungkan sikap keras saya dengan kelembutannya. Juga saya adalah pedang terhunus, sebelum disarungkan atau kalau dibiarkan saya akan terus maju. Saya masih bersama dia sampai ia berpulang ke rahmatullah de­ngan hati lega terhadap saya. Alhamdulillah, saya pun merasa bahagia dengan Abu Bakr.
"Kemudian sayalah, saya yang akan mengurus kalian. Ketahuilah Saudara-saudara, bahwa sikap keras itu sekarang sudah mencair.. Sikap itu hanya terhadap orang yang berlaku zalim dan memusuhi kaum Muslimin. Tetapi buat orang yang jujur, orang yang berpegang teguh pada agama dan berlaku adil saya lebih lembut dari mereka semua. Saya tidak akan membiarkan orang berbuat zalim kepada orang lain atau melanggar hak orang lain. Pipi orang itu akan saya letakkan di tanah dan pipinya yang sebelah lagi akan saya injak dengan kakiku sampai ia mau kembali kepada kebenaran. Sebaliknya, sikap saya yang keras, bagi orang yang bersih dan mau hidup sederhana, pipi saya ini akan saya letakkan di tanah.
"Dalam beberapa hal, Saudara-saudara berhak menegur saya. Bawalah saya ke sana; yang perlu Saudara-saudara perhatikan, ialah:
"Saudara-saudara berhak menegur saya agar tidak memungut pajak atas kalian atau apa pun yang diberikan Allah kepada Saudara-saudara, kecuali demi Allah; Saudara-saudara berhak menegur saya, jika ada sesuatu yang di tangan saya agar tidak keluar yang tak pada tempatnya; Saudara-saudara berhak menuntut saya agar saya menambah penerima­an atau penghasilan Saudara-saudara, insya Allah, dan menutup segala kekurangan; Saudara-saudara berhak menuntut saya agar Saudara­saudara tidak terjebak ke dalam bencana, dan pasukan kita tidak ter‑perangkap ke tangan musuh; kalau Saudara-saudara berada jauh dalam suatu ekspedisi, sayalah yang akan menanggung keluarga yang menjadi tanggungan Saudara-saudara.
"Bertakwalah kepada Allah, bantulah saya mengenai tugas Saudara­saudara, dan bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar ma 'ruf nahi munkar, dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat Saudara­saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan Saudara-saudara sekalian. Demikianlah apa yang sudah saya sampaikan, semoga Allah mengampuni kita semua."
Sesudah menyampaikan pidatonya itu Umar turun dari mimbar dan langsung memimpin sembahyang. Selesai salat ia pergi meninggalkan mereka. Hadirin masih merenungkan apa yang mereka dengar tadi. Mereka memang sudah mengenai Umar sebagai yang suka berterus terang, lahirnya sama dengan batinnya, yang dikatakannya dan yang tidak dikatakannya sama. Mereka sudah mengenalnya sebagai orang yang adil dengan segala kekerasan watak dan kekasarannya. Ternyata kini dia sendiri yang mengatakan bahwa sikap kerasnya itu hanya ditujukan kepada orang-orang zalim. Dia tidak menipu mereka ketika mengatakan bahwa bagi orang yang jujur dan adil ia akan lebih lembut dari mereka semua. Yang harus mereka akui dan tak boleh dilupakan, dalam beberapa hal mereka juga sudah mengenalnya ia bersikap ramah. Di samping itu ia sudah berjanji akan menambah penerimaan dan peng­hasilan mereka dan akan menjadi pelindung keluarga mereka selama mereka berada jauh di medan perang. Bukankah sudah seharusnya mereka mencurahkan segala kepercayaan kepadanya dan memenuhi seruannya itu kalau mereka dipanggil?
Demikianlah perasaan sebagian besar mereka yang hadir. Tetapi pemuka-pemuka mereka masih tetap berhati-hati. Sebagian mereka merasa tidak puas terhadap Umar, dan yang sebagian besar mereka ikut prihatin melihat keadaan di Irak dan Syam.

Muslimin ragu menghadapi kehebatan Persia

Sekarang Umar datang kembali hendak melakukan salat asar, ke­mudian mengadakan mobilisasi untuk diberangkatkan bersama Musanna. Tetapi mereka tampaknya masih tampak enggan. Ketika itu Musanna hadir, dan ia mendesak sekali kepada Umar agar kaum murtad yang sudah jelas-jelas bertobat diperbantukan kepadanya; mereka lebih mampu dalam memerangi Persia. Ia makin keras mendesak tatkala Umar memerintahkan para tawanan perang keluarga kaum murtad dikembalikan kepada keluarga-keluarga mereka. Yakin dia bahwa pe­rintah ini akan membuat mereka lebih siap berangkat bersama dia. Melihat Umar tidak segera menjawab permintaannya itu dan melihat orang makin banyak yang menyetujui Umar dan pemerintahannya, harapannya mereka akan segera maju sesuai dengan seruan Khalifah untuk bergabung kepadanya. Tetapi melihat keengganan mereka dan di wajah mereka terlihat bahwa muka-muka orang Persia memang sangat mereka benci karena bengisnya mereka berkuasa, tindakan mereka yang sewenang-wenang dan keserakahannya menguasai bangsa-bangsa lain, Musanna tampil berpidato di hadapan mereka:
"Saudara-saudara! Saudara-saudara jangan takut menghadapi wajah mereka. Kami sudah menjelajahi desa Persia dan kami dapat mengalah­kan mereka di kanan kiri Sawad, kami hadapi dan kami hancurkan mereka. Jadi yang sebelum kita sudah mempunyai keberanian meng­hadapi mereka, maka yang sesudahnya juga insya Allah demikian."
Umar menyimak kata-kata Musanna itu dan melihat dampaknya yang baik pada pendengarnya. Setelah berdiri dan berpidato di hadapan mereka, di antaranya ia mengatakan: "Di Hijaz sudah tak ada lagi rumah buat kita kecuali di tempat mencari rumput, dan kekuatan penduduknya hanya dengan itu. Manalah orang-orang asing kaum Muhajirin itu dari yang sudah dijanjikan Allah. Mengembaralah di muka bumi, bumi yang akan diwariskan kepada kamu sekalian, seperti dijanjikan Allah dalam Kitab-Nya. Ia berfirman untuk memenangkannya di atas semua agama. Allah akan memenangkan agama-Nya, akan memuliakan pembelanya dan mewariskan bangsa-bangsa kepada yang berhak. Manakah hamba­hamba Allah yang saleh itu!"
Sesudah menyimak kata-kata Musanna dan Umar, orang banyak itu merasa sangat tercela dengan sikap mereka yang masih malas-malas itu. Mereka sudah membela Rasulullah dan memuliakan agama Allah, te­tapi mengapa dengan seruan Umar mereka tak mau beranjak? Mereka maju mundur: maukah mereka menyambut seruan itu ataukah masih akan tetap enggan? Sementara mereka dalam keadaan demikian tiba­tiba Abu Ubaid bin Mas'ud bin Amr as-Saqafi tampil, siap akan berangkat ke Irak. Dialah orang pertama yang menyambut tugas ini. Menyusul kemudian orang kedua, Salit bin Qais. Ketika itulah orang baru datang mengerumuni mereka dan mereka sepakat akan berangkat bersama-sama. Jumlah mereka mencapai seribu orang dari Medinah. Umar senang sekali melihat mereka sudah. berkumpul demikian. Jantungnya tergetar karena rasa bersyukur kepada Allah, bahwa kaum Muslimin sekarang sudah tergugah dari kebekuannya selama ini, yang tadinya hampir saja merusak suasana.

Abu Ubaid memimpin pasukan ke Irak

Siapakah dari kalangan Muhajirin dan Ansar yang akan memegang pimpinan ekpedisi itu? Keadaan ini menjadi pemikiran mereka yang tadinya masih ragu memenuhi seruan itu. Mereka khawatir j ika Umar menyerahkan pimpinan pasukan kepada satu orang yang bukan dari Medinah sementara kebanyakan anggota pasukannya terdiri dari orang­orang Medinah. Cepat-cepat mereka berkata kepada Khalifah: "Pimpin­an mereka hendaknya seorang sahabat yang mula-mula, dari Muhajirin dan Ansar." Tetapi sikap ragu-ragu mereka selama tiga hari pertama pemerintahan Umar telah melukai hati dan masih terasa bekasnya. Oleh karena itu Umar langsung menjawab mereka: "Tidak! Allah telah mengangkat Saudara-saudara karena kesigapan dan kecepatan Saudara­saudara menghadapi musuh. Kalau kalian takut dan enggan menghadapi musuh, lebih baik pimpinan diserahkan kepada orang yang mau mem­pertahankan dan menyambut seruan itu. Pimpinan akan saya serahkan hanya kepada orang yang pertama menyambut tugas ini. Kemudian ia memanggil Abu Ubaid, dan pimpinan pasukan diserahkan kepadanya. Setelah itu ia memanggil Sa'd bin Ubaid dan Salit bin Qais dan katanya kepada mereka: "Kalian berdua kalau dapat menyusulnya akan saya serahi pimpinan dan kalian akan dapat melakukan itu dengan keberanian kalian."
Musanna bin Harisah merasa lega setelah melihat pasukan itu sudah siap berangkat ke Irak. Menurut pendapat Umar Musanna tidak perlu tinggal di Medinah, dan diperintahkannya ia kembali ke Irak dengan angkatan bersenjatanya. Kata Umar kepadanya: "Cepat-cepatlah supaya kawan-kawanmu segera menemuimu!" Pasukan baru itu seka­rang sudah dalam persiapan. Bilamana waktu keberangkatan sudah dekat, Umar berpesan kepada Abu Ubaid:
"Dengarkanlah dari sahabat-sahabat Nabi Sallallahu 'alaihi wa sallam dan ajaklah mereka bersama-sama dalam hal ini. Janganlah cepat-cepat berijtihad sebelum Anda teliti benar-benar. Ini adalah pe­rang, dan yang cocok untuk perang hanya orang yang tenang, yang pandai melihat kesempatan dan pandai pula mengelak."
Inilah masalah yang sungguh pelik. Dengan ilham yang diberikan Allah kepadanya, dalam empat hari pemerintahannya ia telah dapat mengatasinya, sehingga kesibukannya dalam soal ini tidak sampai mengganggu pikirannya dalam menghadapi soal-soal latin yang sekarang sedang bertimbun di depannya. Pikirannya tertuju pada soal Syam, orang­orang Kristiani Najran dan sekian lagi masalah, yang menurut pen­dapatnya berbeda dengan pendapat Abu Bakr. la sedang memikirkan suatu strategi yang harus diambil untuk mewujudkan konsepnya itu dan mendapat persetujuan Muslimin yang ada di sekitarnya. Tatkala me­laksanakan konsepnya dalam menghadapi problem seperti ini, seperti biasa ia berterus terang, dan sangat tegas, tak kenal ragu atau basa-basi, dan tidak mengelak untuk memikul semua tanggung jawab sepenuhnya, sebab ia percaya bahwa ia benar, dan untuk itu pasti Allah men­dukungnya.

Khalid bin Walid dipecat dari pimpinan militer

Semua orang sudah tahu pandangannya yang begitu jelek terhadap Khalid bin Walid dan keprihatinannya sehubungan dengan peristiwa Malik bin Nuwairah. Ia meminta kepada Abu Bakr supaya Khalid di­jatuhi sanksi. Sejak peristiwa itu pandangan Umar terhadap Khalid tidak berubah. Jenderal itu telah dipindahkan dari Irak ke Syam atas perintah Abu Bakr dan menyerahkan pimpinan kepada pasukan Mus­limin. Di samping itu sudah lebih dari sebulan ia tak dapat mengalah­kan pasukan Rumawi, bahkan tidak menghadapinya. Mana ada ke­sempatan lebih baik dari ini untuk memecat Khalid dari pimpinan militer dan menyerahkannya kepada Abu Ubaidah! Dan inilah yang dilakukan Umar. Keesokan harinya sesudah Abu Bakr wafat ia menulis surat kepada Abu Ubaidah memberitahukan tentang meninggalnya Khalifah, kemudian surat tentang pemecatan Khalid dan pengangkatan Abu Ubaidah menggantikannya sebagai panglima dan Khalid sebagai komandan batalion yang tadinya dipegang Abu Ubaidah. Untuk me­nyampaikan berita wafatnya Abu Bakr Umar mengutus Yarfa' pem­bantunya, sedang mengenai pemecatan Khalid dan pengangkatan Abu Ubaidah yang diutusnya Mahmiyat bin Zanim dan Syaddad bin Aus. Dalam surat pengangkatannya ia berpesan kepada Abu Ubaidah dengan mengatakan: "Jangan menjerumuskan pasukan Muslimin karena meng­harapkan rampasan perang. Janganlah menempatkan mereka di suatu tempat sebelum Anda merahasiakan kekuatannya dari mereka dan mengetahui bagaimana kedatangannya. Janganlah mengirim satuan kecuali dalam rombongan besar. Janganlah menjerumuskan pasukan Muslimin ke dalam malapetaka! Allah telah menguji Anda dengan saya dan mengujiku dengan Anda. Tutuplah matamu dari kesenangan dunia dan lupakan. Janganlah Anda sampai binasa seperti yang terjadi dengan yang sebelummu, dan Anda sudah melihat sendiri kehancuran mereka!"
Bagaimana Umar berani mempertaruhkan diri dengan memecat Khalid padahal pimpinan angkatan bersenjata Muslimin di Syam di tangan Khalid dan angkatan ini dalam situasi yang sangat genting! Mereka di sana tidak menghadapi pihak Rumawi secara berhadap-hadapan, dan untuk itu memang tidak mampu. Demikian juga halnya pasukan Ru­mawi terhadap pasukan Muslimin. Begitulah keadaan mereka sebelum keberangkatan Khalid bin Walid dari Irak ke Syam. Setelah Khalid berada di tengah-tengah mereka keadaan pun tetap demikian. Kedua pihak menunggu kesempatan keluar dari situasi- yang begitu mencekam untuk menyerbu musuh. Tidakkah Khalifah merasa khawatir dengan pemecatan Khalid itu keadaan pasukan Muslimin akan berantakan dan situasinya akan makin gawat? Tidakkah lebih baik ia menunggu sampai Khalid lepas dari situasi kritis sekarang ini. Sesudah itu baru ia ber­tindak dengan cara yang bagaimanapun?!
Melihat perkembangan perang yang sedang berlangsung itu, sudah tentu segala pertimbangan ini besar sekali artinya. Nanti akan kita lihat bahwa Abu Ubaidah sangat menghargainya tanpa merasa khawatir Khalifah akan marah kepadanya. Tetapi Umar melihatnya dari segi lain. Jika pemecatan Khalid ditunda sampai perang selesai keadaan akan membahayakan politiknya dan akan merusak strateginya. Tak terlihat jalan lain dalam perang itu: berkesudahan dengan kekalahan pasukan Muslimin, atau dengan kemenangan. Kalau Muslimin kalah, pemecatan Khalid tak ada arti apa-apa atas kekalahan itu. Kebalikannya, kalau menang dan Khalid sebagai panglimanya, Umar tidak akan memecat seorang panglima yang sedang dalam puncak kejayaannya. Kalau ini juga yang dilakukannya, berarti ia mengambil suatu tindakan yang sangat mengerikan. Umar cenderung tidak akan membiarkan Khalid sebagai panglima tertinggi di Syam atau di tempat lain. Oleh karenanya ia cepat-cepat mengeluarkan perintah pemecatannya. Apa boleh buat, Khalid tak dapat mewujudkan apa yang dipercayakan Abu Bakr ke­padanya. Kalau sesudah itu pasukan Muslimin menang, Umar tidak salah. Ia hanya melakukan apa yang diyakininya bahwa dia benar. Dalam hal ini Khalid dalam posisi yang tidak dirugikan oleh orang yang memerintahkan pemecatannya.
Sampai pada masa kita sekarang ini orang masih bertanya-tanya gerangan apa rahasia di balik pemecatan Khalid oleh Umar itu, dan Khalid Saifullah seperti diucapkan oleh Rasulullah. Dialah yang ber‑hasil menumpas kaum murtad, kaum pembangkang dan yang telah membebaskan Irak. Dia pahlawan yang tak ada bandingannya dan dia jenius perang yang sudah tak dapat dibantah. Benarkah terbunuhnya Malik bin Nuwairah dan dikawininya istrinya oleh Khalid itu juga yang masih membekas di hati Umar sehingga ia bertindak seperti itu? Ataukah Umar khawatir orang akan terpengaruh oleh Khalid karena kemenangannya yang terus-menerus di medan perang, yang bukan tidak mungkin akibatnya akan menjerumuskan negara ke dalam bencana? Ada beberapa orang yang berpendapat seperti kemungkinan terakhir ini. Mereka mengatakan bahwa ketika Khalid kembali ke Medinah me­nanyakan kepada Umar alasan pemecatannya Umar menjawab: "Saya memecatmu bukan karena meragukan Anda, tetapi banyak orang sudah tergila-gila kepadamu, maka saya khawatir Anda pun akan terpengaruh oleh mereka." Sumber ini tak ada dasarnya. Yang jelas sesudah pe­mecatannya itu Khalid tidak pergi ke Medinah. Ia tetap di Syam meneruskan tugasnya dalam perang di bawah pimpinan Abu Ubaidah, sampai pada tahun tujuh belas sesudah hijrah Umar baru memecatnya dari segala jabatannya dalam tentara. Saya juga tidak berpendapat bahwa terbunuhnya Malik bin Nuwairah menjadi sebab pemecatannya. Peristiwa itu sudah berlalu dua tahun silam setelah Umar mejijabat Khalifah, dan selama dalam dua tahun ini kehebatan Khalid dalam pim­pinan militer mencapai puncaknya. Peranannya dalam perang Yamamah dan perang Irak sudah menjadi buah bibir semua orang di seluruh Semenanjung, di Persia dan di Rumawi. Menurut hemat saya, Umar memecat Khalid karena krisis kepercayaan antara kedua orang ini. Sejak sebelum Umar menjadi Khalifah sampai selama ia dalam jabatan itu kepercayaan ini memang sudah tidak ada.
Yang saya maksudkan bukan kepercayaan Umar kepada kejeniusan Khalid, atau kepercayaan Khalid akan keadilan Umar. Tetapi yang saya maksudkan kepercayaan orang yang berpandangan bijaksana terhadap temannya. Karena itu ia menutup mata atas segala kekurangannya, sehingga segala perbuatannya yang baik dapat dua kali lipat menghapus kejahatannya. Umar melihat Khalid begitu sombong sehingga ia serba tergesa-gesa, kendati ketergesaan ini bukan alasan lalu boleh melanggar perintah atasan. Karena kesombongan dan main tergesa-gesa itu juga maka ketika dalam pembebasan Mekah dulu ia melakukan pembunuh­an, padahal Nabi sudah melarang pembunuhan. Begitu juga ketika ia pergi ke tempat Banu Tamim, ia membunuh Malik bin Nuwairah tanpa izin dari Abu Bakr. Khalid menuduh Umar yang mendorong Khalifah pertama itu menimpakan segala kesalahan kepadanya, sehingga tatkala Abu Bakr memerintahkan ia meninggalkan Irak pergi ke Syam ia berkata: "Ini perbuatan si kidal anak Um Sakhlah1, dia dengki kepada saya karena saya yang membebaskan Irak." Jika kepercayaan antara kedua orang itu sudah hilang sedemikian rupa, kerja sama pun sudah tidak akan mungkin, terutama j ika yang seorang kepala negara dan yang seorang lagi pemimpin militer dan panglimanya. Jadi tidak heran Umar memecat Khalid. Maksudnya supaya antara keduanya jangan ada hubungan lang sung. Malah ia meminta Abu Ubaidah untuk menjadi atasan Khalid dan mengeluarkan segala instruksi kepadanya. Per­sahabatan antara Khalid dengan Abu Ubaidah sangat akrab dan baik sekali.
Kadang ada yang berkeberatan dengan pendapat kita ini, karena Khalifah tidak mengurus masalah negara untuk kepentingan dirinya, melainkan untuk kepentingan umat. Oleh karena itu Umar harus me­lupakan segala persoalan dengan Khalid, dan membiarkan Saifullah berjalan tanpa diamati, dengan mengambil contoh dari Abu Bakr, dan apa yang dikerjakannya menjadi contoh pula bagi kaum Muslimin dalam menilai pekerjaan orang, dan penilaian ini berada di atas segala pertimbangan dan kecenderungan pribadi. Sudah tentu menurut teori logika keberatan ini ada nilainya juga, tetapi dalam kenyataan hidup nilai ini menjadi hilang samasekali. Kita umat manusia tak dapat bertindak sendiri menghadapi masalah-masalah kehidupan ini menurut pertimbangan akal kita saja; perasaan kita juga sering sekali mem­pengaruhi kita. Baik yang kita isyaratkan itu khusus mengenai persoal­an kita sendiri atau mengenai persoalan orang lain yang diwakilkan kepada kita. Seperti dengan pikiran kita, kita terpengaruh ketika tin­dakan itu kita lakukan dengan perasaan kita. Dalam kecenderungan kita, adakalanya pengaruh perasaan itu lebih besar daripada pengaruh pikiran kita. Suatu hal yang mustahil kita dapat membuat tabir pemisah antara kekuatan perasaan dengan kekuatan akal pikiran. Memang benar, ada orang yang lebih banyak terpengaruh oleh perasaan, ada pula yang lebih banyak terpengaruh oleh pikirannya. Tetapi perbedaan jumlah tidak akan mengubah perpaduan perasaan dengan akal pikiran itu dalam menjalankan keputusan-keputusan kita. Sudah tentu, Umar juga ter­pengaruh oleh perasaannya sendiri terhadap Khalid. Barangkali juga ia menduga bahwa Khalid mendengkinya dalam soal kekhalifahan, seperti halnya dengan Khalid dulu yang mengira Umar mendengkinya dalam soal pembebasan Irak. Kedua orang ini luar biasa kuatnya dalam bidangnya masing-masing. Jika dua perasaan ini saling bertemu dalam keadaan demikian, dikhawatirkan akan terjadi perbenturan, dan per­benturan ini akan membawa akibat yang buruk sekali terhadap negara dan masa depannya. Oleh karena itu Umar segera mengambil langkah tegas yang tak kenal ampun. Yang dilihatnya bukan segi keadilan, tetapi segi ketertiban umum dan keselamatan negara.
Tetapi dari pihaknya tindakan Umar memecat Khalid tidak aneh, sekalipun ini yang pertama dalam bentuknya. Bahkan inilah politiknya yang dijalankan terhadap para wakil dan gubernurnya selama peme­rintahannya itu. Kelak akan kita lihat bahwa tindakannya terhadap para pejabatnya dengan disiplin yang keras sudah biasa dalam garis ke­bijaksanaannya, dan memang ini pula yang diajarkan kepada mereka dan j ika ada pengaduan dalam soal ini mereka akan diadili, dan siapa saja yang tidak memuaskan dalam memegang amanat dan menjalankan tugasnya akan dipecat. Itulah, karena ia cenderung memusatkan semua kekuasaan di tangannya. Pada pertama kali memegang jabatannya itu ia berkata: "Demi Allah, jika terjadi sesuatu mengenai persoalan kalian ini, lalu yang lain datang berkuasa jauh sesudahku, maka mereka kembali akan meninggalkan pesan dan amanat itu. Kalau mereka ber­buat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan saya timpakan kepada mereka." Kalau pandangan demikian bertemu dalam suatu politik negara seperti yang dikenal tentang Umar dan pandangannya terhadap Khalid serta hilangnya kepercayaan dan persahabatan antara kedua orang ini, rahasia pemecatan Khalid ini akan terungkap, dan akan terungkap pula letal rahasia ini dari hati Umar.
Umar sudah memecat Khalid dari pimpinan militer di Syam dan pimpinan itu diserahkannya kepada Abu Ubaidah. Tetapi ini tidak mengubah posisi pasukan Muslimin terhadap Rumawi dan tidak pula akan memperkuat mereka dalam perang. Bahkan sebaliknya, akan menimbulkan malapetaka besar.
Kalau Umar memerintahkan agar tawanan perang dari kaum murtad dikembalikan kepada keluarganya, dan dengan begitu dapat mengambil hati mereka, maka dari segenap penjuru kini mereka cepat­cepat datang memenuhi seruannya dengan tujuan ingin ikut mengambil bagian dalam perang, ingin membersihkan diri dari kemurtadan mereka yang lalu, mereka dan yang sesama mereka akan mendapat pula ram‑pasan perang seperti yang diperoleh Muslimin yang lain. Dengan demi­kian Umar merasa puas dengan karunia Allah dalam mengatasi situasi yang begitu genting dihadapi pasukan Muslimin di luar Semenanjung Arab. Sekarang pikirannya tertuju ke arah lain yang pada dasarnya tidak menyimpang dari kebijaksanaan Rasulullah dan kebijaksanaan Abu Bakr, kendati dalam beberapa hal secara detail berbeda.
Rasulullah mengajak semua orang kepada agama Allah, tidak mem­beda-bedakan antara Ahli Kitab dengan yang lain. Tetapi orang-orang Yahudi Medinah melihat dakwah ini membahayakan mereka. Maka mereka pun mengadakan pendekatan dengan Muhammad dan meng­adakan perjanjian tentang kebebasan beragama. Hanya saja tak lama setelah mereka melihat keadaan Nabi sudah stabil, mereka berkomplot memusuhinya. Maka mereka pun dihadapinya dan dikeluarkan dari Medinah dan dari beberapa perkampungan mereka di Jazirah Arab. Mereka yang masih tinggal hanya sebagian kecil, yang sesudah perang Khaibar mereka meminta damai untuk tetap tinggal dan bekerja di daerah mereka dengan ketentuan separuh dari hasil pertanian untuk Muslimin. Adapun kaum Nasrani Najran mereka mengirim delegasi untuk berdebat dengan Nabi. Setelah Nabi mengajak mereka agar hanya menyembah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan siapa pun dan mereka tidak akan saling mempertuhan selain Allah, mereka me­nolak dan kembali ke negeri mereka. Setelah itu mereka mengirim sebuah delegasi lagi meminta damai dengan membayar jizyah dengan imbalan mereka mendapat perlindungan dan kebebasan atas keyakinan agama mereka. Pihak Nasrani Najran juga memberikan pengakuan pada pemerintahan Abu Bakr dan mengadakan perjanjian yang sama dengan perjanjian yang diadakan dengan Nabi. Juga perlakuan terhadap Yahudi Khaibar sama dengan perlakuan Rasulullah terhadap mereka.

Pen gosongan Nasrani Najran

Tatkala menerima pergantian itu Umar memperhatikan masalahnya. Dalam hal ini ia menempuh suatu langkah baru. la memerintahkan kepada Ya'la bin Umayyah agar Nasrani Najran itu mengosongkan perkampungan mereka, dengan mengatakan: "Selesaikanlah urusan me­reka dan janganlah mereka diganggu dari agama mereka. Keluarkanlah barang siapa yang masih berpegang pada agamanya. Tempatkanlah Muslim, dan berkelilinglah di tempat yang sudah dikosongkan. Kemudian biarlah memilih sendiri tempat lain. Katakan kepada mereka bahwa kita mengeluarkan mereka atas perintah Allah dan Rasul-Nya untuk tidak membiarkan ada dua agama di jazirah Arab. Orang yang masih ber­pegang pada agamanya hendaklah keluar, kemudian kita beri mereka tanah seperti tanah mereka sebagai pengakuan mereka kepada hak kita, dan memenuhi janji kita memberi perlindungan kepada mereka sebagai­mana diperintahkan Allah, menggantikan hubungan mereka dengan tetangga-tetangga penduduk Yaman dan yang lain, yang sudah menjadi tetangga-tetangga mereka di pedesaan."
Sebagian orang mengira bahwa kebijakan Umar ini melanggar apa yang sudah ditempuh oleh Rasulullah dan diteruskan oleh Abu Bakr. Kalangan orientalis berpegang pada alasan ini untuk menyerang Umar. Tetapi kalangan, sejarawan Muslim mengemukakan beberapa alasan. Rasulullah mengadakan perjanjian dengan umat Kristiani Najran untuk tidak diganggu dari agama mereka "sepanjang mereka memelihara perjanjian itu, beritikad baik dan tidak menjalankan riba." Tetapi ter­nyata mereka menjalankan riba dengan melipatgandakan; jadi mereka sudah melanggar janji. Maka Umar berhak mengusir mereka dari Semenanjung. Sumber lain menyebutkan bahwa mereka saling ber­selisih di antara sesama mereka dan setelah perselisihan makin me­muncak, mereka meminta kepada Umar agar mereka dikeluarkan dari perkampungan itu. Dan yang lain lagi mengatakan, bahwa setelah kedudukan mereka makin kuat Umar khawatir, maka mereka pun dikeluarkan. Baik sebagian Sumber ini autentik atau semua tidak, menurut hemat saya penyebabnya tidak terletak pada rencana kerja Umax, untuk mengeluarkan mereka dari Semenanjung, tetapi pada ketentuan umum politik negara yang oleh Umar sudah diyakininya, lalu dengan tegas dan adil ia laksanakan.
Untuk melihat ketentuan ini baik kita singkirkan dulu .tuduhan bahwa Umar fanatik, seperti yang dilontarkan kalangan orientalis! Mereka mengatakan itu berdasarkan keyakinan orang masa kita sekarang tentang kebebasan beragama sebagai suatu argumen untuk menyalahkan tindakan Umar. Sudah tentu ini salah sekali, dengan menutup mata pada kenyataan. Kenyataannya pada masa Umar agama merupakan dasar yang paling utama dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka yang berbeda dengan agama masyarakat umumnya, atau yang melawannya, bagi mereka termasuk hukum melawan agama, dan pihak penguasa sah memerangi mereka bahkan wajib. Untuk itu Muhammad diperangi ke­tika mengajak orang menyembah Allah dan agama Allah, dan karena agama pulalah maka terjadi perang dahsyat antara Rumawi dengan Per­sia. Keadaan tetap berjalan demikian di Eropa dan di luar Eropa sam‑pai pada waktu belum berselang lama ini dari zaman kita. Demi agama pula pecah Perang Salib antara Islam dengan Kristen. Untuk itu pula terjadi beberapa tragedi pembantaian antara Katolik dengan Protestan. Rasulullah sudah mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran karena kesatuan politik di Semenanjung ketika itu belum ada. Letak Najran berdekatan dengan Yaman, yang sejak waktu lama sebelum Muhammad dan sebelum Nasrani mereka memang hidup dalam pa­ganisme.
Sesudah Rasulullah wafat dan digantikan oleh Abu Bakr, Yaman termasuk pelopor yang murtad dan memberontak kepada kekuasaan Medinah. Jadi wajar saja Abu Bakr mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran seperti yang dilakukan oleh Rasulullah. Perang Riddah sudah dapat menumpas kaum murtad dan pemberontakannya sekaligus, yang menyebabkan mereka habis kemudian diteruskan de­ngan perang Irak dan Syam sehingga tergalang persatuan dan kesatuan politik dan kesatuan agama di segenap penjuru Semenanjung, dan semua itu melahirkan sebuah kedaulatan dengan Medinah sebagai ibu kotanya dan kepala pemerintahannya Khalifah Rasulullah. Tatkala Umar memegang kekuasaan, semua faktor penyebab lahirnya perjanjian Najran di masa Nabi dan masa Abu Bakr sudah tak ada lagi. Sekarang tiba saatnya Umar harus memikirkan suatu rencana baru dalam politik negara yang akan dapat menyatukan semua bagian dari utara sampai ke selatan Semenanjung dan Medinah menjadi ibu kotanya yang tak tersaingi.
Bahwa sekarang seluruh kawasan Arab sudah menjadi sebuah negara kesatuan dengan satu agama, dipimpin oleh orang yang sudah disepakati pengangkatannya, maka layak sekali apabila pemimpin ini berusaha membuang semua unsur yang akan mendatangkan kelemahan, di antaranya banyaknya suku bangsa atau agama yang berbagai macam yang mempunyai kekuasaan mutlak pada penduduk. Inilah kenyataan yang berlaku dan tetap berlaku. Kita melihat misalnya macam-macam perjanjian yang diadakan sampai waktu akhir-akhir ini mengenai per­pindahan kelompok-kelompok dari jenis ras yang sama ke dalam satu lingkungan yang sama. Atas dasar itu juga suatu bangsa beradab tidak dibenarkan menganut lebih dari satu ketentuan hukum. Hal-hal yang menjadi pegangan Islam tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang ada pada agama Kristen. Islam mengharamkan riba, Kristen memboleh­kan; Islam mengharamkan minuman keras, Kristen tidak mengharam­kan; dasar Islam tauhid, dasar Kristen trinitas.' Waktu itu ketentuan‑ketentuan ini dan yang semacamnya berlaku ketat, orang tak dapat menenggangnya seperti sekarang, atas nama kebebasan beragama atau berkeyakinan. Tidak heran apabila Umar bersikeras tidak mau membiar­kan ada dua agama di jazirah Arab. Orang-orang Arab di Semenanjung itu semua menerima dan rela hanya dengan satu agama sejak masa Rasulullah, dan sesudah pernah sebagian murtad pada masa Abu Bakr kemudian kembali lagi. Kesatuan agama itulah yang menjamin ke­tenteraman dan kuatnya persatuan mereka, dan jangan ada di antara mereka yang tidak seagama yang memberontak, yang akan mengganggu ketenteraman dan merusak persatuan mereka. Itulah yang dilakukannya, dan itu pula sebabnya ia memanggil Ya'la bin Umayyah untuk me­ngeluarkan orang-orang Nasrani dari Najran.
Tindakan Umar dalam hal ini patut dipuji, bukan diserang dan disalahkan. Acuan mereka pada apa yang pernah dilakukan oleh kaum mayoritas dari kalangan Katolik atau Protestan ketika mereka menekan lawan sektenya sampai mereka dibunuh dan disiksa dengan berbagai macam cara.
Bahkan pesan pertama yang diberikan Umar kepada Ya'la, jangan sampai. ada orang memperdaya dan menggoda umat Nasrani Najran dari agama mereka; biarkan mereka bebas sepenuhnya, ingin tetap dengan agama mereka atau akan berpindah kepada Islam; mereka agar diberi-tanah yang sama di luar Semenanjung Arab, seperti tanah mereka itu. Dengan demikian mereka tidak dirugikan, dan apa yang dilakukan Umar itu sama seperti yang dilakukan negara-negara beradab dewasa ini, ketika ada suatu golongan atau ras menghadapi pembagian dipindahkan ke tempat golongannya yang mayoritas. Bahaya per­selisihan di kalangan mereka dengan tetangga-tetangga tidak akan lebih berbahaya daripada dengan golongan mayoritas yang berada di sekitar mereka.
Sesudah orang tahu Umar mengeluarkan kaum Nasrani Najran, mereka pun yakin bahwa ia akan juga mengeluarkan orang-orang Yahudi dan bukan Muslim lainnya dari Semenanjung Arab. Politik macam ini baru adanya. Tetapi buat mereka bukan sesuatu yang aneh dan tidak heran. Justru yang barangkali lebih aneh buat mereka peng­angkatan Abu Ubaid as-Saqafi menjadi komandan pasukan di Irak termasuk adanya orang-orang Medinah dari kaum Muhajirin dan Ansarnya di dalamnya. Dan yang lebih lagi mengherankan mereka pemecatan Khalid bin Walid dari pimpinan militer di Syam. Mereka juga melihat tindakan yang diambil Umar itu tegas dan adil. Mereka ingat posisi Umar dengan Rasulullah dan dengan Abu Bakr, juga mereka ingat posisi Muslimin dan gentingnya keadaan di Irak dan Syam. Mereka melihat ketika ia berpidato di hadapan mereka. la tidak mementingkan diri sendiri, tetapi semata-mata demi Allah dan demi kepentingan umat. Maka lebih baik mereka menyerahkan persoalan dan tanggung jawab itu ke tangannya. Mereka hanya akan bermohon ke­pada Allah dengan doa semoga ia berhasil seperti keberhasilan Abu Bakr sebelumnya.
Apa yang dipidatokan Umar itu pengaruhnya tidak kurang dari pandangan-pandangannya yang lain dalam hati mereka. Ketulusan hati­nya terpantul dalam kata-katanya. Sikapnya tidak mementingkan diri sendiri tetapi semata-mata demi Allah dan untuk kepentingan umum tampak dari setiap kata yang diucapkannya. Katanya kepada mereka: "Saya mengharapkan masih akan bersama-sama dengan Saudara­saudara. Sedikit banyak saya akan bekerja atas dasar kebenaran insya Allah. Jangan sampai ada seorang Muslim — walaupun sedang dalam dinas militernya — yang tidak mendapat haknya dan bagiannya dari harta Allah." Ia juga berkata: "Saya seorang manusia Muslim, seorang hamba yang lemah, kecuali j ika dapat pertolongan Allah Yang Maha­kuasa. Yang telah memberi kepercayaan kepada saya dalam kekha­lifahan ini samasekali tidak akan mengubah perangai saya, insya Allah. Keagungan hanya pada Allah 'Azza wa J alia. Tak ada seorang hamba pun yang mempunyai keagungan, jangan ada di antara kalian yang akan mengatakan, bahwa sejak pengangkatannya Umar sudah berubah. Saya menyadari hak saya, akan saya kemukakan dan akan saya jelaskan keadaan saya ini kepada Saudara-saudara. Siapa pun orang yang memerlukan atau merasa dirugikan atau ada keluhan tentang saya sehubungan dengan perangai saya, temuilah saya. Saya adalah salah seorang dari kalian. . .Yang menjadi dambaanku hanya kebaikan bagi kalian." Segala kritik kalian sangat berharga bagi saya, dan saya bertanggung j awab atas amanat yang dipercayakan kepada saya. Insya Allah saya akan mengawasi dan datang sendiri, tidak akan saya wakilkan kepada orang lain. Hanya di tempat-tempat yang jauh akan saya serahkan orang yang dapat memegang amanat dan orang-orang yang ikhlas memberikan pendapat di antara kalian untuk kepentingan umum. Insya Allah saya tidak akan memberikan kepercayaan ini selain kepada mereka."
Dengan kata-kata itu dan yang senada dengan itu Umar berpidato kepada mereka serta mendekatkan hati mereka. Hati orang Arab di seluruh Semenanjung sudah merasa dekat kepadanya sejak ia me­merintahkan pengembalian para tawanan perang kaum murtad kepada keluarga mereka. Sesudah ia mengangkat Abu Ubaidah dan memecat Khalid dan memerintahkan pengosongan kaum Nasrani Najran, tidak ada lagi orang yang merasa kesal kepadanya, kendati mereka melihat hal-hal baru yang diadakan Umar menurut pendapatnya sendiri selama masanya itu, yang dalam hal ini ia tidak mencontoh pendahulunya. Buat apa mereka harus merasa kesal, sedang segala tanggung j awab ada di tangannya. Mereka pun sudah mengenalnya, sudah biasa ia memikul tanggung j awab besar tanpa harus merasa lelah, dan tidak jarang Allah memberi ilham kepadanya sehingga ia dapat mengatasinya sampai mencapai hasil gemilang.

Gelar Umar den gan Amirulmukminin

Suatu hari Umar sedang duduk di Masjid selesai memberikan pedoman kepada Muslimin mengenai kebijaksanaannya, dan bahwa sudah tiba saatnya harus mereka laksanakan. Abu Ubaidah datang kepadanya untuk mengucapkan selamat tinggal sehubungan dengan keberangkatannya ke Irak memimpin pasukan yang sudah berkumpul di sekitar bendera, diikuti oleh orang-orang yang tidak sedikit jumlahnya. Semua mereka menyambut Khalifah Khalifah Rasulullah itu. Dengan kata-kata yang diulang, gelar ini terasa berat diucapkan dan berat pula di telinga. Apa yang bergejolak dalam hati ini menjadi bahan pem­bicaraan mereka pula. Sementara dalam keadaan demikian tiba-tiba salah seorang dari mereka tampil menyambut Umar dengan kata-kata: "Salamullah 'alaika ya amirul mu'minin — Salam sejahtera bagi Anda, wahai Amirulmukminin !"[3] Mendengar gelar baru ini orang me­nyambutnya dengan gembira disertai senyum tanda setuju. Sejak itu tak ada lagi orang memanggil Umar dengan Khalifah Khalifah Rasulullah, melainkan semua orang sudah menyebutnya "Amirulmukminin." Gelar ini tetap melekat pada Umar dan pada para khalifah dan raja-raja Muslimin sesudahnya.
Sekarang Musanna sudah mendahului kita ke Irak. Kita harus cepat-cepat menyusulnya untuk meneruskan ceritanya tatkala Abu Ubaid dan pasukannya menyusul kita dan yang akan menjadi panglima­nya. Kemudian bagaimana ia bertempur mati-matian dengan perjuangan penuh bahaya dan akhirnya gugur sebagai syahid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar