Rabu, 26 Maret 2014

Hukum Tahlilan

Assalamu'alaikum wr wb,

Saat ini di milis Media Dakwah ramai diperdebatkan
masalah tahlil. Mudah-mudahan tulisan ini adalah
tulisan yang terakhir.

Tahlil, mengucapkan La ilaaha illallahu memang
dianjurkan. Meski demikian, acara tahlilan di mana
ketika ada orang meninggal, maka pada hari pertama, ke
7, 40, 100, dan 1000 keluarga yang mati harus
menyelenggarakan hal itu, saya tidak menemukannya pada
kitab Hadits Bukhari dan Muslim. Pada ajaran Imam
Madzhab pun tidak ada aturan hari ke 1, 7, 40, 100,
1000, dsb. Bahkan beberapa ulama mensinyalir itu
berasal dari tradisi Hindu/Budha di Indonesia
(sinkretisme).

Menurut saya pribadi, dengan mengadakan 5 acara
makan-makan tersebut ke banyak orang, jika tiap hari
acara menghabiskan Rp 2 juta, maka untuk 5 hari acara
akan menghabiskan Rp 10 juta. Bagi keluarga yang kaya
mungkin tidak masalah (meski boros/mubazir). Tapi bagi
keluarga miskin sangat berat. Apalagi jika yang
meninggal adalah tulang punggung keluarga
(bapak/suami).

Bayangkan, orang sudah ditimpa musibah kematian,
masyarakat menuntut keluarga tsb untuk mengadakan
acara tahlilan yang memakan biaya hingga jutaan
rupiah. Islamikah itu?

Bagi yang pro tahlil, mudah-mudahan bisa memberikan
hadits yang shahih dan jelas tentang itu.

Wassalam

Tahlilan
I. PENDAHULUAN

Dakwah mengajak manusia kepada Allah SWT membutuhkan
sikap lemah lembut dan tegas, karena yang dihadapi
seorang da’I adalah berbagai lapisan masyarakat. Jika
dakwah dilakukan terlalu kasar, maka mereka tidak akan
menerima dan bahkan lari darinya. Dalam masyarakat
terjadi beberapa kesalahan dan kemunkaran, namun
dianggap suatu ajaran agama, antara lain: Upacara
perkawinan, acara tujuh bulanan, upacara kematian, dan
lain sebagainya.

Dalam kesempatan ini Pusat Konsultasi Syariah ingin
memberikan penjelasan hal-hal yang berkaitan dengan
upacara kematian, tegasnya masalah hukum tahlilan dan
hal-hal yang terkait dengannya seperti[1]:

· Waktu pelaksanaan tahlilan upacara kematian.

· Hidangan untuk para tamu.

· Menghadiahkan pahala untuk orang yang telah
meninggal.

· Solusi dan sikap seorang da’I yang mesti dilakukan.


II. WAKTU PELAKSANAAN TAHLILAN

Tahlilan atau upacara selamatan untuk orang yang telah
meninggal, biasanya dilakukan pada hari pertama
kematian sampai dengan hari ke-tujuh, selanjutnya
dilakukan pada hari ke-40, ke-100, ke-satu tahun
pertama, kedua, ketiga dst. Dan ada juga yang
melakukan pada hari ke-1000. Dalam upacara dihari-hari
tersebut, keluarga si mayyit mengundang orang untuk
membaca beberapa ayat dan surat Alquran, tahlil,
tasbih, tahmid, shalawat dan do’a. Pahala bacaan
Alqur’an dan dzikir tersebut dihadiahkan kepada si
mayyit.


Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebut
diadopsi oleh para da’I terdahulu dari upacara
kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut
kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila
seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang
kerumah pada malam hari mengunjungi keluarganya. Jika
dalam rumah tadi tidak ada orang ramai yang
berkumpul-kumpul dan mengadakan upacara-upacara
sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap
yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang mati
tadi akan marah dan masuk(sumerup) ke dalam jasad
orang yang masih hidup dari keluarga si mati. Maka
untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau
masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atau
sekedar kumpul-kumpul. Hal semacam itu dilakukan pada
malam pertama kemtian, selanjutnya malam ketiga,
ketujuh, ke-100, satu tahun, dua tahun dan malam
ke-1000.


Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan
tersebut masuk Islam, mereka tetap melakukan
upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah awal, para
da’I terdahulu tidak memberantasnya, tetapi
mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Budha
itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam. Sesaji
diganti dengan nasi dan lauk-pauk untuk shodaqoh.
Mantera-mantera digantika dengan dzikir, do’a dan
bacaan-bacaan Alqur’an. Upacara semacam ini kemudian
dianamakan Tahlilan yang sekarang telah membudaya pada
sebagian besar masyarakat.


III. MENYEDIAKAN MAKANAN

Dalam acara Tahlilan , keluarga mayyit biasanya
menyediakan makanan untuk orang-orang yang datang pada
upacara tersebut sebagai sedekah. Padahal Nabi
Muhammad SAW memerintahkan supaya para tetangga
memberi atau menyediakan makanan kepada keluarga
mayyit. Para tetangga, sanak famili, dan handai tolan
supaya datang ikut bela sungkawa dengan membawa
sesuatu untuk penyelenggaraan jenazah atau membawa
makanan untuk keluarga yang dilanda musibah.
Rasulullah SAW bersabda:

Berkata Abdullah bin Ja’far tatkala datang
khabar bahwa Ja’far telah terbunuh, Rasulullah SAW
bersabda:” Bikinkanlah makanan untuk keluarga Ja’far
karena telah datang kepada mereka hal yang menyibukkan
mereka”(HR Asy-Syafi’I dan Ahmad).


Jadi yang menyediakan makanan adalah tetangga untuk
keluarga yang kena musibah kematian, bukan yang
terkena musibah menyediakan makanan buat orang yang
datang. Dan hadits lain menerangkan bahwa
menghidangkan makanan dalam upacara kematian adalah
termasuk meratap yang dilarang oleh agama sebagaimana
hadits yang diriwayatkan imam Ahmad dari Jabir bin
Abdullah Al Bajali dengan sanad yang shohih:

” Adalah kami (para sahabat) menganggap bahwa
berkumpul di rumah ahli mayyit dan mereka menyediakan
makanan sesudah mayyit dimakamkan adalah termasuk
perbuatan meratap”.


Riwayat lain menerangkan: Bahwa Jarir datang kepada
Umar ra, lalu Umar bertanya:” Adakah mayyit kalian
diratapi ? Dia menjawab: Tidak, lalu bertanya juga:
Adakah orang-orang berkumpul di keluarga mayyit dan
membuat makanan ? Dia menjawab:ya, maka Umar berkata:”
Yang demikian adalah ratapan”. (Al Mugni Ibnu Qudamah
zuz 2 hal 43).


Diterangkan dalam kitab ‘Ianatu Thalibin jilid 2 hal
145-146 , bahwa fatwa-fatwa dari mufti-mufti Mekah
dari 4 Madzhab menerangkan bahwa perbuatan perbuatan
itu adalah munkar:

1. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan mufti Madzhab Syafi’i:


” Ya, perbuatan yang dilakukan oleh beberapa
orang berkumpul dirumah orang yang kena musibah
kematian dan menyediakan makanan adalah perbuatan
bid’ah munkarah dan penguasa yang mencegahnya akan
mendapatkan pahala”.


2. Fatwa dari Mufti Madzhab Hanafi:

” Ya, penguasa akan diberi pahala karena
melarang manusia dari perbuatan bid’ah”.


3 dan 4 Fatwa Madzhab Maliki dan Hambali:


” Telah menjawab seperti kedua jawaban di atas
mufti Madzhab Maliki dan Mufti Madzhab Hambali”.


Dengan demikian jelaslah bahwa berkumpul di rumah ahli
mayyit dan makan-minum yang disediakan oleh keluarga
mayyit adalah perbuatan munkar yang harus dihindari.


IV. BERDO’A MENGHADIAHKAN PAHALA KEPADA ORANG YANG
TELAH MENINGGAL.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdo’a dan
mengahadiahkan pahala ibadah kepada orang yang telah
meninggal dunia.


A. PENDAPAT PERTAMA


Hal tersebut tidak diperintahkan agama berdasarkan
dalil:

1. Firman Allah surat An-Najm:38-39:

” Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya”


2. Surat Yaasiin:54

” Maka pada hari itu seseorang tidak akan
dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali
dengan apa yang telah kamu kerjakan”


3. Surat Al Baqaraah 286

” Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang
diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya”.


Ayat-ayat diatas adalah sebagai jawaban dari
keterangan yang mempunyai maksud yang sama, bahwa
orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan
pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits:

” Apabila seorang manusia meninggal maka
putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah,
anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang
bermanfaat sesudahnya”(HR Muslim, Abu Dawud,
At-Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad).



B. PENDAPAT KEDUA


Membedakan antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah.
Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji
sampai kepada mayyit, sedangkan ibadah badaniyah
seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak sampai.
Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari
Madzhab Syafi’I dan pendapat Madzhab Malik. Mereka
berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk
kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain,
sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh
menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang
lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW:

” Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk
menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh
melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi
ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu
mud gandum”(HR An-Nasa’I).


C. PENDAPAT KETIGA


Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa
bermanfaat untuk mayyit berdasarkan dalil berikut ini:



1. Dalil Alqur’an:

” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a :” Ya Tuhan
kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang
telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS Al Hasyr:
10)


Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang
beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar)
untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini
menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat
manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.


2. Dalil Hadits

a. dalam hadits banyak disebutkan do’a tentang shalat
jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah
kubur. Tentang do’a shalat jenazah antara lain,
Rasulullah SAW bersabda:

” Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah
mendengar Rasulullah SAW - setelah selesai shalat
jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya,
sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia,
muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya,
mandikanlah dia dengan air es dan air embun,
bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain
putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat
tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya,
keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan
yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia
dari siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).


Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW
bersabda:

 Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah
Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau
beridiri lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk
saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena
sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)


Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain
diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada
Nabi SAW:

” bakaimana pendapatmu kalau saya memohonkan
ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW menjawab, “Ucapkan:

(salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur
baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan
rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi
mendatang dan sesungguhnya -insya Allah- kami pasti
menyusul) (HR Muslim).


b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah
kepada mayyit

Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin
Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada
ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk
bertanya:” Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku
telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat,
apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat
baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:”
saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku
sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).


c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum

 Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan
mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya
berpuasa untuknya”(HR Bukhari dan Muslim)


d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji

Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari
Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya:”
Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum
terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah
haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana
pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu
membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang
Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)


3. Dalil Ijma’


a. Para ulama sepakat bahwa do’a dalam shalat jenazah
bermanfaat bagi mayyit.

b. Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang
lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits
Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar
hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia
telah membayarnya nabi SAW bersabda:

” Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya”
(HR Ahmad)


4. Dalil Qiyas


Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia
menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal
itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang
menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya
dan membebaskan utang setelah wafatnya.


Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala
ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya
diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah
menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan
itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian
bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang
berupa perbuatan dan niat.


Jawaban Terhadap Pendapat Pertama


Firman Allah, surat An-Najm:38-39:

” Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orng lain dan bahwasannya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya”.


Dapat dijawab dengan dua jawaban:


1. Bahwa seseorang dengan usaha dan hubungan baiknya
mendapatkan banyak kawan dan mempunyai keturunan dan
kasih sayang terhadap orang lain. Hal itu mengundang
simpatisan orang untuk berdo’a dan menghadiahkan
pahala. Itu adalah hasil usahanya sendiri. Bahkan
hubungan melalui agama merupakan sebab yang paling
besar bagi sampainya manfaat orang Islam kepada
saudaranya dikala hidup dan sesudah wafatnya. Bahkan
do’a orang Islam dapat bermanfaat untuk orang Islam
lain.

2. Alqur’an tidak menafikan seseorang mengambil
manfaat dari usaha orang lain, yang dinafikan adalah
memiliki suatu manfaat yang bukan usahanya. Oleh
karena itu Allah menerangkan bahwa manusia tidak
memiliki kecuali hasil usahanya sendiri. Adapun usaha
orang lain adalah miliknya jika ia mau, ia bisa
memberikannya kepada orang lain dan jika tidak mau
hasil usahanya itu dia miliki sendiri.


Firman Allah: {ÃáÇ ÊÒÑ æÇÒÑÉ æÒÑ ÃÎÑì æÃä áíÓ ááÅäÓÇä
ÅáÇ ãÇ ÓÚì} Adalah dua ayat muhkamat yang menunjukkan
keadilan Allah SWT. Ayat pertama menjelaskan bahwa
Allah SWT tidak menyiksa seseorang karena kesalahan
orang lain. Sedangkan ayat kedua menerangkan bahwa
seseorang tidak mendapatkan kebahagaiaan kecuali
dengan usahanya sendiri. Hal ini akan menghapuskan
angan-angannya bahwa dia akan selamat karena amal
orang-tua dan nenek moyangnya yang terdahulu. Allah
SWT tidak menyatakan bahwa dia tidak dapat mengambil
manfaat kecuali dari usahanya sendiri.


Sedangkan firman Allah surat Al Baqarah 286:
firman Allah surat Yasiin 54: Menerangkan bahwa
seseorang tidak akan disiksa lantaran perbuatan orang
lain.


Adapun argumentasi mereka dengan hadits:

Adalah argumentasi yang tidak dapat
dipertanggung-jawabkan, karena Rasulullah SAW tidak
berkata :ÇäÞØÚ ÇäÊÝÇÚå (putuslah pengambilan
manfaatnya), namun Rasul saw. mengatakan: ÇäÞØÚ Úãáå
(putuslah amalnya). Adapun amal orang lain adalah
miliknya jika orang lain tersebut menghadiahkan
amalnya untuk dia, maka pahalanya akan sampai
kepadanya bukan pahala amalnya, sebagaimana dalam
pembebasan utang.


Jawaban Terhadap Jawaban Kedua


Rasulullah SAW menganjurkan puasa untuk menggantikan
puasa orang yang telah meninggal padahal ibadah puasa
seseorang tidak boleh digantikan orang lain. Begitu
juga hadits Jabir ra yang diriwayatkan Ahmad, Abu
Dawud dan Turmudzi yang menerangkan bahwa ia pernah
shalat ‘‘Iedul Adha bersama Rasulullah SAW, setelah
selesai shalat beliau diberikan seekor domba lalu
beliau menyembelihnya seraya mengucapkan:

Artinya:” Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, ya
Allah, kurban ini untukku dan untuk umatku yang belum
melakukan qurban”.


Dalam hadits ini Rasulullah SAW menghadiahkan pahala
qurban untuk umatnya yang tidak mampu berqurban,
padahal qurban adalah melalui menumpahkan darah.


Demikian juga ibadah haji merupakan ibadah badaniyah.
Harta bukan merupakan rukun dalam haji tetapi sarana.
Hal itu karena seorang penduduk Mekah wajib melakukan
ibadah haji apabila ia mampu berjalan ke Arafah tanpa
disyaratkan harus memiliki harta. Jadi ibadah haji
bukan ibadah yang terdiri dari harta dan badan, namun
ibadah badan saja.


Kemudian perhatikan juga fardhu kifayah, dimana
sebagian orang mewakili sebagian yang lain.


Kemudian persoalan ini, persoalan menghadiahkan
pahala, bukan menggantikan pahala, sebagaimana seorang
buruh tidak boleh digantikan orang lain, tapi upahnya
boleh diberikan kepada orang lain jika ia mau.


V. KESIMPULAN

HUKUM TAHLILAN


· Ditinjau dari segi bacaan: ayat-ayat suci Alqur’an,
tahlil, tahmid, takbir, tasbih, shalawat,do’a dll
semua itu sangat dianjurkan oleh Islam untuk
membacanya.

· Ditinjau dari sisi hidangan yang disediakan oleh
keluarga mayyit , hal ini bertentangan dengan hadits:

a. Ja’far bin Abi Thalib.

b. Maqasid Syari’ah: Bahwa Islam selalu menganjurkan
untuk peduli dan membantu orang yang sedang susah.
Namun realitanya sebaliknya arang yang kena musibah
yang memberi bantuan kepada orang yang tidak kena
musibah.

c. Banyak orang miskin memaksakan diri untuk
menyediakan hidangan sekalipun dengan hutang.

· Ditinjau dari sisi waktu : Bahwa tahlilan hari
pertama, ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100, haul (ulang
tahun kematian), dan ke-1000. Ini adalah sisa-sisa
agama Animisme, Hindu dan Budha yang dibawa oleh
pemeluk agama Islam dari kalangan mereka


SIKAP DA’I TERHADAP TAHLILAN YANG DILESTARIKAN
MAYORITAS MASYARAKAT


Jika mengikutinya dengan maksud untuk membawa misi
perbaikan dan amar ma’ruf nahi munkar dengan bijak,
merubah sisa-sisa jahiliyah menjadi Islam, maka hal
itu tugas mulia bagi setiap muslim terutama para da’I,
namun jika tidak, berarti menyetujui bahkan
melegitimasi perbuatan itu, hal ini sangat tercela
menurut Islam.


SOLUSI


q Merubah hari-hari yang ditentukan oleh Animisme,
Hindu dan Budha,1,3,7,40,100, 1 tahun 1000 menjadi
hari lainnya, hari libur jum’at atau lainnya. Yang
penting tidak terfokus hari tertentu seakan-akan
ketentuan agama.

q Hidangan dapat dikordinir oleh majelis ta’lim, atau
yayasan atau, RT untuk membantu setiap keluarga yang
kena musibah.

q Di laksanakan di masjid setelah sholat Jum’at tanpa
hidangan, keluarga mayyit dapat bersedekah semampunya
untuk mayyit.
http://www.syariahonline.com/artikel/?act=view&id=22

Hukum Mengadakan Tahlil

Tahlilan atau upacara selamatan untuk orang yang telah
meninggal, biasanya dilakukan pada hari pertama
kematian sampai dengan hari ke-tujuh, selanjutnya
dilakukan pada hari ke-40, ke-100, ke-satu tahun
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Dan ada juga
yang melakukan pada hari ke-1.000. Dalam upacara di
hari-hari tersebut, keluarga si mayyit mengundang
orang untuk membaca beberapa ayat dan surat Al-Qur'an,
tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan do'a.

Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebut
diadopsi oleh para da'I terdahulu dari upacara
kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut
kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila
seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang
kerumah pada malam hari mengunjungi keluarganya. Jika
dalam rumah tadi tidak ada orang ramai yang
berkumpul-kumpul dan mengadakan upacara-upacara
sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap
yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang mati
tadi akan marah dan masuk (sumerup) ke dalam jasad
orang yang masih hidup dari keluarga si mati. Maka
untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau
masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atau
sekedar kumpul-kumpul. Hal semacam itu dilakukan pada
malam pertama kemtian, selanjutnya malam ketiga,
ketujuh, ke-100, satu tahun, dua tahun dan malam
ke-1000.

Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan
tersebut masuk Islam, mereka tetap melakukan
upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah awal, para
da'i terdahulu tidak memberantasnya, tetapi
mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Budha
itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam. Sesaji
diganti dengan nasi dan lauk-pauk untuk shodaqoh.
Mantera-mantera digantika dengan dzikir, do'a dan
bacaan-bacaan Al-Qur'an. Upacara semacam ini kemudian
dinamakan Tahlilan yang sekarang telah membudaya pada
sebagian besar masyarakat.

Sebagian ulama mengharamkan praktek seperti ini, meski
ada juga yang berpendapat sebaliknya.

Yang Mengharamkan

Mereka yang mengharamkan tindakan seperti ini
mendasarkan pendapatnya pada hadits-hadits berikut.
Salah satunya yang diriwayatkan imam Ahmad dari Jabir
bin Abdullah Al Bajali dengan sanad yang shohih:

"Adalah kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul
di rumah ahli mayyit dan mereka menyediakan makanan
sesudah mayyit dimakamkan adalah termasuk perbuatan
meratap."

Riwayat lain menerangkan:

Bahwa Jarir datang kepada Umar ra, lalu Umar bertanya,
"Adakah mayyit kalian diratapi?" Dia menjawab,
"Tidak," lalu bertanya juga, "Adakah orang-orang
berkumpul di keluarga mayyit dan membuat makanan?" Dia
menjawab, "Ya," maka Umar berkata, "Yang demikian
adalah ratapan." (Al Mugni Ibnu Qudamah juz 2 hal 43).


Diterangkan dalam kitab I'anatu Thalibin jilid 2 hal
145-146, bahwa fatwa-fatwa dari mufti-mufti Mekah dari
4 Madzhab menerangkan bahwa perbuatan perbuatan itu
adalah munkar:

1. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan mufti Madzhab Syafi'i:

"Ya, perbuatan yang dilakukan oleh beberapa orang
berkumpul di rumah orang yang kena musibah kematian
dan menyediakan makanan adalah perbuatan bid'ah
munkarah dan penguasa yang mencegahnya akan
mendapatkan pahala."

2. Fatwa dari Mufti Madzhab Hanafi:

"Ya, penguasa akan diberi pahala karena melarang
manusia dari perbuatan bid'ah."

Yang Tidak Mengharamkan

Mereka yang tidak mengharamkan mendasarkan pendapat
mereka bahwa bahwa jumhur ulama mengatakan bahwa
mengirim pahala kepada orang yang meninggal itu bisa
disampaikan.

Misalnya adanya syariat shalat jenazah, sampainya
pahala shaum, badal haji, membayarkan hutang mayit,
ziarah kubur dan doa untuk mereka dan lainnya, semua
menunjukkan bahwa kemungkinan perbuatan orang yang
masih hidup bisa berpengaruh kepada orang yang sudah
meninggal. Dan bahwa bacaan zikir dan tilawah Al-Quran
itu bisa dikirimkan pahalanya kepada orang yang sudah
meninggal.

Sedangkan pendapat yang masyhur dari mazhab
As-Syafi'iyah dan Al-Malikiyah mengatakan bahwa hanya
amalan yang terkait dengan ibadah maliyah (harta) saja
yang bisa dikirimkan pahalanya.

Sedangkan masalah makan-makan yang disuguhkan kepada
para hadirin yang ikut tahlilan tidak bisa begitu saja
dianggap warisan dari nenek moyang. Sebab makanan itu
bukan tujuan utama dari acara tahlilan, melainkan
sekedar suguhan kepada para tamu yang datang. Dan
menyuguhkan tamu merupakan ibadah dan anjuran dalam
Islam.

Namun terkait dengan momentum 7 hari, 100 hari dan
1000 hari, memang tidak ada riwayat yang menyebutkan
hal itu. Sehingga bisa dikatakan bahwa penetapan
hari-hari itu bukan dari syariat Islam.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar