''UMAR'' PEMBEBASAN MADAIN
Pasukan Persia dari Kadisiah ke puing-puing Babilon
Sesudah
Pertempuran Kadisiah itu pasukan Persia melarikan diri, tanpa
melihat lagi ke belakang. Sebagian besar mereka sudah sampai ke bekas reruntuhan
Babilon,[1] dan yang lain
terpencar di sana sini
di Persia. Pasukan Muslimin tinggal di Kadisiah selama dua bulan sambil beristirahat dan sementara itu Sa'd pun
sudah sembuh dari sakitnya. Umar menulis kepada Sa'd agar tidak
meninggalkan tempattempat itu sampai nanti ada perintah lebih
lanjut.
Setelah
kemudian berita-berita tentang pasukan dan bala bantuan yang dikirimkan cukup
memuaskan, ia memerintahkan Sa'd berangkat ke
Mada'in. Perempuan dan anak-anak supaya ditinggalkan di Atiq dengan sekelompok
pasukan yang akan menjaga mereka. Pasukan ini juga harus mendapat
bagian rampasan perang seperti pasukan yang lain sebagai balas
jasa bagi mereka yang mengawal keluarga pasukan Muslimin.
Sa'd
menugaskan Zuhrah bin al-Hawiah berangkat lebih dulu ke Hirah. Sesudah Abdullah
bin al-Mu'tam dan Syurahbil bin as-Samt sampai
ke tempat itu, ia memulai lagi perjalanannya ke Mada'in. Da-lam
perjalanan ini ia bertemu dengan sekelompok pasukan Persia di Burs.[2] Mereka dapat
dipukul mundur dan lari bergabung dengan mereka
yang sudah lebih dulu ke Babilon. Berita mengenai sisa-sisa pasukan Kadisiah yang berkumpul di Babilon sudah
diketahui oleh Zuhrah. Mengenai hal
ini, ketika di Hirah bersama Hasyim bin Utbah ia sudah melaporkan kepada Sa'd. Dalam perjalanan
menuju Babilon Sa'd bertemu dengan
pasukan Fairuzan, yang dalam sekejap kemudian dapat dipukul mundur.
Fairuzan lari ke Nahawand, Hormuzan ke Ahwaz dan Mehran ke Mada'in. Pasukan
Muslimin terus maju. Di Kusi mereka dihadang
oleh Syahriar yang kemudian berhasil dibunuh dan pasukannya dipukul
mundur. Sa'd memberi tambahan dengan barang rampasan Syahriar kepada yang membunuhnya. Zuhrah maju
terus sampai ke Sabat. Di tempat ini
ia mengadakan perdamaian dengan penduduk atas dasar j izyah, yaitu ketika
mereka mengetahui bahwa ia sudah menaklukkan pasukan yang menghadangnya di sekitar
Sura dengan Dair dan komandan-komandannya tewas. Tatkala pasukan Muslimin
pergi ke Sawad di seluruh kawasan itu mereka tidak menemui perlawanan yang berarti. Penduduk sipilnya dari segenap penjuru
cepat-cepat menemui pemimpin-pemimpin pasukan ini dan menyatakan
kesetiaannya. Mereka sebagian masuk Islam, dan yang sebagian lagi dengan senang
hati mau membayar jizyah. Semua mereka
sekarang setuju dengan undangundang
orang yang datang ke tempat mereka itu dan keadilan pun dapat ditegakkan. Setelah itu mereka diusir ketika
Khalid bin Walid bertolak ke Syam.
Mereka itulah yang kini kembali lagi dengan kekuatan yang akan membuat segala harapan pihak yang hendak
mengusir mereka sekali lagi menjadi
porak poranda. Siapa lagi yang hendak mengusir mereka sekarang setelah Rustum mati, sedang
semangat dan moral pasukan Persia
semua sudah begitu lemah! Mereka tunduk kepada takdir. Inilah ketentuan
Allah yang sudah tak dapat dielakkan, dan tak seorang pun mampu
mengatasinya.
Sekarang
Sa'd tinggal di Babilon, dan ia menugaskan Zuhrah bin Hawiah
berangkat lebih dulu memimpin angkatan bersenjata ke Mada'in. Coba kita lihat, apakah puing-puing peninggalan
Babilon itu dalam hati Sa'd dan mereka yang datang ke sana membangkitkan
kenangan pada kota lama yang telah
menjadi saksi berdirinya kebudayaan umat manusia pertama, yang silih
berganti dengan Thebes, Memphis dan dunia Firaun dahulu kala?! Apakah mereka
lalu teringat pada zaman Asiria dengan
peradabannya yang tinggi dan agung seperti Babilon, dengan segala
temboknya yang kukuh, rumah-rumah ibadah yang besar-besar, dengan
benteng-benteng perkasa dan taman-taman bergantung yang terkenal, istana-istana besar, yang telah menjadi
pelopor segala kemegahan dan keindahan?! Sudah tentu mereka teringat
pada Menara Babilon. Mereka teringat pada bangsa-bangsa yang datang silih
berganti ke sana, sehingga j adi sangat
terkenal karena banyaknya bahasa yang dipakai orang yang datang ke sana,
sebagai tawanan atau sebagai penakluk.
Tetapi
apa yang mereka ingat tentang menara dan tentang kota itu sendiri barangkali
tidak lebih dari sekadar obrolan saat duduk-duduk di waktu malam. Mereka masih terlalu sibuk dengan
yang akan mereka hadapi untuk
membebaskan Mada'in. Mada'in kota yang makmur, sedang Babilon hanya tinggal puing-puing. Mada'in
ibu kota Persia, sedang Babilon bukan
lagi ibu kota, juga bukan lagi kota. Mada'in adalah lambang kehidupan, sedang Babilon hanya
bekas masa silam yang sudah
terhapus. Orang lebih tertarik pada masa kini, jarang orang mau mengambil
pelajaran dari masa lampau. Kebanyakan mereka mau mengambil pelajaran dari wajah kehidupan yang
dapat tersenyum. Tetapi wajah itu
juga muram. Lalu mereka teringat pada masa-masa silam, kalau-kalau masih akan ada yang dapat mengobati
luka-luka masa sekarang. Hanya saja, selama itu wajah sejarah tetap
tersenyum kepada Muslimin. Apa hubungannya dengan Babion dan Asiria yang kini
hanya tinggal bahan cerita, padahal di
sekitar mereka kehidupan melimpah dengan harta terpendam yang sangat
berharga, bahkan ada bangsa, yang begitu
mendengar namanya saja sudah bergegas datang menyatakan kesetiaannya,
sambil memohonkan maaf dan pengampunan.
Bahkan
dengan melihat Babilon itu, di antara mereka ada yang lalu teringat pada peranan
pasukan Muslimin di sana tatkala Musanna bin Harisah bermarkas di ketinggian
puing-puingnya, dan tinggal di antara jaringan anak-anak Sungai Tigris, menunggu
kedatangan Ormizd Jadhuweh yang akan
menyerangnya. Mereka teringat pada situasi yang sangat kritis itu, yang
datang tiba-tiba menyerang mereka setelah keberangkatan Khalid ke Syam dan Syahriran putra Ardasyir
naik takhta Kisra serta tekadnya hendak mengusir pasukan Arab dari
negerinya. Teringat mereka bagaimana Musanna membunuh gajah Ormizd serta
bagaimana pasukan Persia dipukul mundur dan
pengejaran terhadap mereka sampai ke
dekat Mada'in. Mereka bercerita kepada rekan-rekan yang datang bersama
Sa'd dari Medinah dan yang bergabung kepadanya dari berbagai pelosok Semenanjung —tentang yang mereka
saksikan dari semua itu. Diceritakan juga kepada mereka bahwa Sawad yang
sedang mereka lalui di sekitar danau-danau
yang airnya melimpah, ladangladang
yang luas dan kebun-kebun dengan buah-buahan yang sudah masak, sudah tunduk semua kepada kekuasaan
mereka. Mereka makan dari hasil bumi
itu, dan buah-buahan yang masih dapat mereka kirim, mereka kirimkan ke
Medinah.
Babilon
dan tempat-tempat lain yang dilalui pasukan Muslimin adalah
sebagian yang sudah mereka bebaskan dan di bawah perintah mereka.
Kadisiah di tangan mereka dan Hirah menjadi pusat pemerintahan mereka. Burs,
Kusi, kota-kota dan desa-desa lainnya^ sudah tunduk kepada mereka. Yang menjadi sasaran mereka
selanjutnya adalah Mada'in. Sekarang
mereka melalui tempat-tempat, yang bagi kebanyakan mereka merupakan kenangan yang sangat
menyenangkan dan mengesankan. Tetapi perbedaan antara dulu dengan
sekarang; dulu mereka menetap dan sebagai yang berkuasa, dan sekarang merupakan
medan pembebasan baru. Mereka
berpindah-pindah dari yang satu kepada yang lain, ke kiri di sebelah timur Kadisiah
ke arah Hirah, ke Burs dan ke Babilon, dengan tuju'an Sabat dan Mada'in.
Yang mereka hadapi sekarang lebih ringan
daripada yang sebelumnya, sesudah kekuatan mereka berangsur menjadi lemah.
Mereka yakin bahwa sudah tak ada lagi tempat pelarian kecuali ke sana
juga.
Zuhrah
bin al-Hawiah dan Hasyim bin Utbah berangkat menuju Mada'in. Setelah berada di dekat Bahrasir, di
Sabat mereka dihadang oleh kompi
Boran putri Kisra. Setiap hari stafnya bersumpah, bahwa selama mereka
masih hidup Persia tidak akan hilang. Seekor singa yang sudah dijinakkan oleh Kisra ikut bersama kompi
itu. Tetapi bertahannya kompi ini
menghadapi pasukan Muslimin tidak lebih hanya seperti bertahannya pasukan Persia di Burs dan Babilon.
Bagaimana akan bertahan, mereka sekarang melihat nasib singa itu sama
seperti nasib pasukan gajah dulu di Kadisiah! Hasyim bin Utbah melangkah maju
dan menghantamnya dengan pedangnya demikian
rupa sehingga singa itu tersungkur mati. Kompi itu langsung lari dan
berlindung di Bahrasir.
Sa'd
menyusul anak buahnya dan sudah mengetahui peranan mereka.
la mencium kepala Hasyim — kemenakannya — sebagai tanda kagum
atas usahanya membunuh singa itu, dan Hasyim pun mencium kaki
pamannya sebagai penghargaan atas simpatinya. Kemudian Sa'd mengangkat kepalanya ke atas sebagai tanda syukur
kepada Allah dan setelah itu ia
mengarahkan pandangnya ke arah Mada'in seraya membaca firman
Allah:
"Bukankah
sebelumnya kamu sudah bersumpah bahwa kamu tidak akan
tergelincir binasa?" (Qur'an,
14: 44).
Malam
itu Sa'd sedang memikirkan posisinya dalam menghadapi Mada'in. Akan diserangnyakah bersama pasukannya
yang sekarang masih riang gembira dimabuk kemenangan, dan mereka memang
ingin sekali menyerbunya? Atau akan
membiarkan mereka beristirahat selama beberapa hari kemudian berangkat bersama ke sana?
Kota itu sudah dekat. Kalau dia berhenti hanya sampai di situ,
tindakannya ini akan menggoda pihak Mada'in
untuk mempertahankannya. Jadi lebih baik diserbu dengan mendadak. Oleh karena itu ia
memerintahkan pasukannya — bila malam sudah sunyi — supaya berangkat dan
bermarkas di Bahrasir.
Bahrasir
adalah daerah pinggiran kota Mada'in, di tepi Sungai Tigris
ke sebelah kanan, sedang Mada'in berhadapan di tepi sebelah kirinya.
Jadi termasuk bagiannya, hanya dipisahkan oleh sungai. Letak Mada'in sekitar dua
puluh mil di selatan Bagdad, yang ketika itu merupakan sebuah desa yang tidak berbeda dengan
desa-desa lain di bagian Sungai Tigris.
Sejak
lama di masa silam Mada'in sudah merupakan ibu kota Iran menggantikan
Babilon, bahkan kemudian melebihinya dari segi keindahan, kemegahan
dan keagungannya. Kendati sudah berulang kali menjadi sasaran
serbuan Rumawi dan sudah sering pula jatuh ke tangannya — di
samping istananya yang selalu kacau dan terjadi beberapa kali pergolakan — namun kemegahan dan keindahannya tidak
berubah. Oleh karena itu mata dunia
banyak tertuju ke sana. Namanya pun sudah begitu merangsang imajinasi semua
orang, membangkitkan segala rasa kagum dan pesona, yang tidak demikian dengan nama Roma atau
Konstantinopel. Di sinilah bertemunya
segala arti kemegahan dan kemewahan Timur dalam bentuknya yang paling
indah dan paling banyak diilhami oleh dewa-dewa kesenian dan kepenyairan. Kalau begitu,
tidak heran pasukan Muslimin yang bertolak ke sana semua membawa
kerinduan ingin menyaksikannya, menyaksikan
hal-hal yang tak pernah terlihat oleh mata, tak pernah terdengar oleh
telinga. Memang tidak heran kalau gambaran
ini menambah semangat dan keberanian mereka untuk menjadikan apa yang tadinya dikira khayal itu kini
menjelma di depannya sebagai suatu kenyataan.
Kota Bahrasir dikepung
Sa'd
membawa pasukannya menuju Bahrasir dengan semangat yang
masih membara pada pasukan itu. Setiap kuda mereka melangkah maju mereka berhenti kemudian bertakbir berulang
kali. Tetapi melihat pihak kota yang bertahan demikian ketat dengan
memperkuat diri dan tembok-tembok kota ditutup rapat, maka tak mungkin mereka
dapat menyerang. Maka satu-satunya jalan hanyalah dengan
mengepungnya.
Sa'd
segera mengepung kota itu tanpa ada rasa takut ada yang akan
menyergapnya dari belakang. la menyebarkan pasukan berkudanya dan menyerang
beberapa bagian di Furat dan Tigris. Mereka dapat menyekap seribu petani dan membawa mereka sebagai
tawanan. Mereka menggali parit di sekitar mereka. Tetapi petani-petani
itu bukan tentara yang biasa berperang, jadi
tak ada faedahnya menawan mereka, juga tidak berbahaya kalau dibebaskan. Atas saran
Syirzad — seorang penguasa Persia atau dihkan Sabat — kepada Sa'd mereka
dikembalikan ke desa untuk kembali
mengolah tanah dan memperbanyak hasil buminya.
Sa'd
melaporkan segala tindakannya itu kepada Umar, dan Khali-fah
pun menyetujui saran Syirzad. Dengan demikian penduduk Sawad di
sekitar tepi Sungai Tigris sampai ke daratan Arab merasa aman. Di sana
mereka mengolah tanah. Para penguasa Persia itu membayar pajak (kharaj) dan jizyah sementara para petani itu sudah merasa
makin aman. Sa'd meneruskan pengepungan atas kota Bahrasir tanpa merasa
khawatir akan disergap dari belakang, juga
bahan makanan pasukannya sudah tak perlu
dikhawatirkan.
Pasukan
Muslimin kemudian menghujani bagian dalam tembok kota
Bahrasir dengan manjanik (manjaniq)[3] Tetapi pihak
Persia tidak akan menjadi lemah karena gencarnya serangan itu. Mereka yakin,
walaupun musuh tidak diusir dari kota
mereka, namun sudah tampak betapa
kuatnya ibu kota itu. Mempertahankan Bahrasir memang tidak sulit.
Tembok-tembok yang kuat dengan benteng-benteng yang begitu kukuh dan jembatan Tigris yang menghubungkan
Mada'in, bala bantuan dan bahan
makanan yang tak terbilang banyaknya, dapat didatangkan dari segenap
penjuru Persia yang terbentang luas. Oleh karena itu mereka bertahan terhadap pengepungan itu selama
berbulan-bulan. Dalam hal ini para sejarawan berbeda pendapat, antara
sembilan atau delapan belas bulan. Selama
pengepungan itu berlangsung angkatan bersenjata mereka adakalanya sampai
keluar dari batas tembok, menyerang
pasukan Muslimin dengan harapan kalau-kalau mereka mengalami kekalahan
dan dapat dipukul mundur. Tetapi yang terjadi kebalikannya, dalam menghadapi angkatan bersenjata itu pasukan
Muslimin di pihak yang menang dan mereka dapat dipukul mundur kembali ke
kota dan berlindung lagi di balik tembok-tembok, dengan membawa malu yang sudah
tercoreng di dahi.
Sesudah
pengepungan berlangsung cukup lama dan segala yang menimpa pihak pasukan mereka
terasa makin berat, satu pasukan dari angkatan bersenjatanya yang paling dapat dipercaya
dikirim ke luar. Tetapi pasukan ini
pun dipukul mundur dan kembali ke kota. Kekalahan ini mematahkan semangat pasukan Persia dan
timbul rasa takut dalam hati mereka bahwa pasukan Muslimin memang tak
dapat dikalahkan.
Berita-berita
pengepungan dan pertempuran itu setiap hari — bahkan
setiap saat — sampai juga kepada Yazdigird. Ia diliputi rasa kesal, bahkan hampir putus asa. Di samping pengepungan
yang sudah terlalu lama, mereka j
uga melihat pihak Muslimin selama berbulan-bulan bukan makin lemah,
malah yang terlihat kekayaan Irak berupa timbunan makanan yang setinggi gunung sudah ada di belakang
mereka. Kemudian di pihak pasukan Persia sendiri sudah tampak makin
rapuh dan semangat mereka makin menurun. Diyakininya bahwa tak mustahil Bahrasir
akan jatuh ke tangan musuh. Ketika itulah ia mengutus orang kepada Sa'd menawarkan langkah perdamaian bahwa
Tigris akan dijadikan batas pemisah
dengan pihak pasukan Muslimin, "Dari batas Tigris ke arah kami milik kami dan dari batas
Tigris ke arah kalian milik kalian."
Tetapi Sa'd menolak ajakan perdamaian Yazdigird itu dan utusannya disuruh
kembali pulang. Bagaimana akan mengadakan perdamaian sedang perintah Umar sudah
jelas sekali untuk membebas‑kan Mada'in. Bagaimana akan mengajaknya damai
sesudah pasukannya dapat mengalahkan
Bahrasir dan menawan sebagian pasukannya, dan sekarang mereka sudah siap
menyerbu tembok-tembok itu!
Belum
lagi utusan itu tiba untuk melapor kepada Yazdigird tentang penolakan itu, Sa'd bin Abi Waqqas sudah
memerintahkan pasukannya mengadakan pengepungan yang lebih ketat dan
pelemparan dengan manjanik dilipatgandakan. Semua lemparan itu tidak mendapat
perlawanan dari pihak Bahrasir. Sa'd yakin bahwa garnisun sudah dikosongkan.
Sa'd memanggil dan memerintahkan pasukannya menyerbu. Anak buahnya segera memanjati tembok-tembok dan
membukai pintu-pintu gerbang, tetapi
tak ada perlawanan, juga tak ada orang yang tampak keluar kecuali seorang laki-laki menyerukan
keamanan dan dari orang ini kemudian
diketahui bahwa garnisun Bahrasir memang sudah dipindahkan ke Mada'in
atas perintah Yazdigird, dan bahwa jembatannya sudah dibakar dan mengumpulkan
semua kapal yang berlayar di Sungai Tigris, dengan tujuan agar arus sungai yang
bergolak itu tetap menjadi garis
pertahanan untuk mengusir para penyerang dari ibu kota yang makmur
itu.
Perjalanan ke Mada'in
Tengah
malam pasukan Muslimin sudah memasuki kota Bahrasir. Tak
ada yang merintangi mereka untuk cepat-cepat pergi ke arah Tigris untuk
menyeberang dan menyerbu Mada'in serta daerah-daerah sekitarnya. Tetapi jembatan untuk penyeberangan sudah
tak ada lagi, juga tak ada kapal yang
dapat membawa mereka. Mereka berhenti di tepi sungai. Pemandangan yang mereka lihat di depannya
sungguh memukau. Mereka hanya
berdiri tercengang, melihat semua itu dengan mata terbelalak, dengan hati
bergolak, hampir tidak percaya apa yang sedang mereka saksikan di depan mereka itu: Sebuah
bangunan besar yang sungguh indah, megah dan mewah, berdiri di depan
mereka di seberang pantai dengan
ketinggian yang tak biasa buat mata mereka, tampak ciri warna putih, kendati dalam malam gelap
pekat. Malam terasa lembut, langit bersih dan angin bertiup semilir sedap
menambah kelembutan malam dan pemandangan yang begitu indah dan agung. Pasukan
itu menahan napas, mata terbelalak, mulut ternganga, karena perasaan yang sudah dikuasai rasa kagum.
Berturut-turut kelompokkelompok pasukan itu datang ke pantai sungai.
Mereka berdiri masih dipengaruhi kekaguman,
seolah mereka sudah terpaku di tempat
masingmasing.
Sesudah
kemudian datang Dirar bin Khattab dan rombongannya dan
melihat seperti yang mereka lihat, ia bertakbir dengan sekuatkuatnya:
Allahu Akbar! Inilah warna putih istana Kisra! Inikah yang dijanjikan Allah kepada Rasul-Nya? Ketika itulah
suara takbir itu bergenia dari
segenap penjuru. Mereka semua yakin sekarang, bahwa mereka sudah di depan Ruang Sidang Istana Kisra,
yang selama ini sering mereka
dengar disebutkan dalam sajak-sajak para penyair dan menjadi buah bibir orang, sehingga mereka hanya
menyerah kepada kerinduan untuk
menyeberang ke Iwan Kisra, Ruang Sidang Istana itu, lalu mengelilinginya
untuk memuaskan mata, kemudian memasukinya. Mereka ingin melihat Takhta Kisra di depan
balairungnya yang agung itu, ingin panglima tinggi mereka duduk di atas
takhta itu mengucapkan kalimat tauhid, lalu
disambut dengan gema suara di segenap penjuru istana, bahwa Allah telah menepati janji-Nya:
Dijadikan-Nya seruan orang kafir
menyuruk jatuh sampai ke dasar dan firman Allah menjulang tinggi sampai
ke puncak. Allah Mahamulia, Mahabijaksana.
Tidak
heran jika pasukan Muslimin dibuat begitu tercengang melihat
istana Kisra. Istana ini termasuk salah satu keajaiban dunia saat itu.
Bukan tuanya yang menimbulkan kekaguman, ketika itu usianya belum
begitu lama, pembangunannya belum sampai seratus tahun. Tetapi
keindahan dan keagungannya itulah yang telah menimbulkan kekaguman.
Dibangun oleh Kisra Anusyirwan tahun 550 M., sebuah bentuk bangunan yang telah mengalahkan bangunan
Rumawi dan Yunani yang paling megah
sekalipun. Bagian depannya lebih dari seratus lima puluh meter dan tingginya melebihi empat
puluh meter, dengan kubah-kubah yang bertengger di atas balairungnya yang
lima buah menjadi mahkota yang menambah
keindahan dan keagungannya. Orangorang Arab yang kini matanya sedang terpaku itu
ingin tahu kekayaan apa yang ada di
balik keindahan itu. Sudah tentu semua itu di luar yang dapat
dibayangkan. Serambi yang berada di tengahnya, kubahnya yang lebih tinggi daripada semua kubah, dan sudah
tentu Ruang Sidang Istana inilah
yang belum pernah didengar orang ada bandingannya di seluruh dunia. Bukankah cerita-cerita sudah
banyak beredar tentang Takhta Kisra serta permata berlian yang
menghiasinya sehingga tak ubahnya seperti
sebuah dongeng!? Semua itu sekarang, Takhta, Ruang Sidang Istana dan Istananya berdiri utuh di depan
pasukan itu, yang hanya dipisahkan
oleh sungai, dan ini pula yang setiap saat keindahannya makin memukau.
Kapan gerangan mereka akan menyeberanginya dan melihat dengan mata kepala
sendiri semua isinya?!
Rencana Yazdigird melarikan diri
Sementara
semua ini berkecamuk dalam hati pasukan Muslimin dijalin
pula oleh khayal yang subur, ditambah lagi dengan pemandangan
ibu kota Mada'in yang begitu cemerlang, Yazdigird sendiri di tengah balairung Istana itu pikirannya sedang
kacau, wajahnya kusam, rasa waswas datang menderanya dari segenap
penjuru. Sungai Tigris merupakan sebuah
benteng alam dengan aliran airnya yang luas, dengan arusnya yang deras melonjak-lonjak. Dengan
demikian jarak pemisahnya bertambah luas dan cairan-cairan salju di
puncak-puncak gunung akan menambah gejolaknya arus itu, yang bersumber
dari Azerbaijan dan Mosul. Tak mungkin
lagi pasukan Muslimin akan dapat melangkahinya sesudah kapal-kapal dikumpulkan semua
di tepi sebelah timur Sungai. Tak
dapatkah angkatan bersenjata Persia melindungi pantai itu, dan menangkis semua bahaya dari ibu kota? Ini
merupakan pemikiran biasa dalam hal seperti ini, dan sudah seharusnya
pula Yazdigird berpikir ke arah itu dan
memanggil angkatan bersenj atanya untuk bertukar pendapat. Dari jiwanya
yang masih muda dapat ia salurkan ke dalam
jiwa mereka dan jiwa semua orang penduduk ibu kota — semangat untuk mempertahankan harga diri dan
kehormatan mereka. Sekiranya mau ia
melakukan itu, paling kurang itulah kewajibannya terhadap dirinya, terhadap masyarakat yang telah
menyerahkan pimpinan ke tangannya,
niscaya mereka akan berkumpul di sekelilingnya untuk mempertahankan
keberadaannya.
Tetapi
kebingungannya telah membuatnya tersesat dan pikirannya jadi
kacau. Akibatnya ia melihat pasukan Muslimin itu tak Iain adalah jin
yang tak mungkin ada kekuatan apa pun yang mampu merintangi langkahnya, dan tak akan mampu berbuat apa pun
selain melarikan diri! Ya, siapa pula
yang lebih berhak lari terlebih dulu daripada dia sendiri, menyelamatkan diri dan keluarganya! Oleh
karena itu ia memerintahkan stafnya
untuk membawa segala harta kekayaannya berikut barang-barang simpanannya. Perempuan-perempuan
dan sanak keluarganya segera diangkut menuju Hulwan. Orang-orang melihat
apa yang telah dilakukan Raja mereka itu. Semangat mereka pun remuk. Kini mereka
hanya berpikir untuk juga menyelamatkan
diri dan keluarga mereka. Bukankah
Raja menjadi panutan rakyatnya? Mengapa keluarga kerajaan dan dayang-dayangnya lebih diutamakan daripada
istri seorang prajurit atau perwira
dan keluarganya?! Dengan demikian semangat hendak mengadakan perlawanan dalam hati prajurit Persia
hilang sudah. Tak ada harapan lagi bagi mereka selain nasib baik yang
memberi ke‑bahagiaan kepada mereka dan sungai itu juga yang akan menjadi alat
penangkis serangan lawan, atau akan
tersandung sekali sehingga mereka tak lagi berkuasa, dan untuk
mengadakan perlawanan sudah tidak mungkin lagi.
Mukjizat di Sungai Tigris
Demikianlah,
di Sungai Tigris itu kini mengalir dua macam pasukan:
satu pasukan yang sudah remuk segala kekuatannya, tak lagi punya
semangat, tak lagi punya kemauan. la sudah menyerahkan diri kepada
nasib. Dan satu pasukan lagi semangat idealismenya begitu tinggi
dan sudah mencapai kekuatan iman dan percaya diri akan menang,
sehingga terbayang olehnya bahwa ia dapat memukul Sungai itu dengan tongkatnya yang akan membukakan jalan
menyeberang ke Ruang Sidang Istana Kisra. Itulah mukjizat yang diberikan Allah
kepada Nabi Musa sehingga ia dan rombongannya dapat melarikan diri dari
Mesir. Hal yang sama ini sekarang akan diberikan kepada pasukan Muslimin. Mereka akan menyeberangi sungai itu,
akan menyerbu Mada'in dan
menurunkan kedaulatan Kisra-kisra itu, kemudian menaikkan panji kebenaran
di atas Ruang Sidang Istana yang agung itu.
Ya!
Itulah mukjizat pasukan Muslimin yang menyeberangi Sungai Tigris. Mereka berdiri di tepi Sungai itu
melihat air yang sedang bergolak. Sa'd sedang memikirkan cara untuk
menyeberanginya. Pikirannya belum mernberikan jalan keluar. Ia memerintahkan
stafnya membawa orang-orang dusun
Persia untuk dimintai keterangan. Mereka menyarankan untuk terjun ke Sungai sampai ke dasar wadi. Tetapi dia
khawatir arus yang deras akan membahayakan pasukannya. Ia lebih cenderung
setiap orang tetap di tempatnya. Karena masih ragu, saran orang itu
tidak dilaksanakan.
Keesokan
harinya Sa'd menerima berita bahwa Yazdigird telah memerintahkan agar segala harta simpanannya
diangkut ke Hulwan. Sa'd mengumpulkan
anggota pasukannya dan berpidato di hadapan mereka. Sesudah mengucapkan hamdalah dan
bersyukur kepada Allah ia berkata: "Musuh kita sekarang berlindung pada
Sungai ini. Janganlah biarkan dia lolos dari sana. Mereka dapat lolos kalau mau
dan akan menyerang kita dari kapal-kapal
mereka itu. Kita tidak khawatir mereka akan datang dari belakang kita. Pengalaman kita
dulu sudah cukup. Mereka menyia-nyiakan pelabuhan mereka ini dan merusak
pertahanan mereka sendiri. Saya berpendapat
sebaiknya kita dahului menyerang musuh sebelum kita terkepung. Ya, sudah saya
putuskan akan menyeberangi Sungai ini ke tempat
mereka."
Sikap
Sa'd itu dirasakan oleh anak buahnya tiba-tiba sekali. Bukankah kemarin ia
masih ragu? Tidakkah ia khawatir pasukannya juga ragu sehingga tidak mampu
menghadapi bahaya serupa itu? Tetapi ternyata mereka pun tidak ragu. Mereka sudah terpesona
sekali oleh pemandangan kota Mada'in itu, di samping memang sudah
tertarik oleh Istana Kisra. Mereka berani
menghadapi hal yang mustahil untuk memasuki ibu kota dan mengepung Istananya. Oleh karena
itu, belum selesai Sa'd mengucapkan pidato semua mereka sudah berkata:
"Allah sudah menguatkan hati kami dan hati Anda, maka marilah kita
laksanakan!"
Tetapi
bagaimana akan menyeberang? Kalaupun mereka menyeberang
dengan menggunakan kuda, pasukan Persia di seberang pantai sudah menghadang
mereka tanpa harus keluar dari tempat itu. Menyadari
hal ini Sa'd menyuruh mereka dengan mengatakan: Siapa yang akan
memulai dan melindungi selat ini buat kita supaya pasukan kita dapat
menyusul tanpa terhalang untuk keluar. Lalu ia memanggil Asim bin
Amr, dan sesudah itu memanggil enam ratus orang yang sudah berpengalaman dalam perang, dengan pimpinan oleh
Sa'd diserahkan kepada Asim. Setelah
mereka berangkat dan sampai di pantai Tigris Asim berkata kepada
kawan-kawannya: Siapa yang akan bergabung dengan saya supaya dapat lebih dulu
memasuki Sungai ini. Kita akan melindungi selat ini dari seberang sana? Ada enam
puluh kesatria yang bergabung kepadanya dan dia yang di depan memimpin mereka ke
tepi Sungai sambil berkata kepada mereka
yang masih maju mundur: Rupanya kalian takut menghadapi air ini?! Lalu ia
membacakan firman Allah:
"Segala
yang bernyawa tak akan mati kecuali dengan izin Allah; waktunya sudah
ditentukan..." (Qur'an,
3: 145).
Kemudian
ia memicu kudanya menerobos Sungai dan diikuti pula oleh
sahabat-sahabatnya. Melihat regu pertama ini Qa'qa' bin Amr terus
maju berenang, dan ketika ia melemparkan pandangnya ke seberang
Sungai dilihatnya pihak Persia seolah sudah bersiap-siap hendak menerjang
mereka, maka segera ia mengeluarkan perintah kepada sahabat-sahabatnya yang
enam ratus orang untuk terjun dengan kudanya ke Sungai. Mereka mengarunginya
seperti Asim dan teman-temannya. Sekarang pihak Persia yang malah tercengang
melihat apa yang dilakukan musuh mereka itu. Mereka berkata satu sama lain:
Gila! Gila! Dan yang lain berkata: Kalian
bukan berperang dengan manusia, tetapi dengan jin!
Pasukan
Persia hanya melihat kepada orang-orang yang begitu berani bertualang
itu. Setelah mereka melihat Asim dan sahabat-sahabatnya sudah
di tengah Sungai, mereka mengerahkan pasukan berkudanya untuk
merintangi mereka jangan sampai keluar dari air dan akan mereka perangi di tengah Sungai. Mereka sudah berada di
dekat Asim saat ia sudah mendekati selat. Asim memerintahkan anak buahnya:
Panah, panah! Mereka segera membidik dengan sasaran mata kuda lawan.
Begitu bidikan itu mengenai matanya, kuda Persia itu berbalik lari ke
belakang. Para kesatria pasukan berkuda
Persia itu tak berdaya menghadapi
mereka yang sudah terjun menantang maut di tengah-tengah gejolak Sungai tanpa
peduli lagi apa yang akan menimpa diri mereka. Tetapi tak seorang pun dari regu
yang mengerikan itu yang cedera. Bahkan Asim sendiri yang pertama mendarat ke
seberang pantai. Pasukan Persia
berlarian di depannya. Qa'qa' segera menyusulnya dengan regunya dan tak seorang
pun lagi sekarang yang masih tinggal di pantai.
Melihat
pasukan yang sudah begitu kuat di selat Mada'in, Sa'd bin Abi
Waqqas memerintahkan semua anggota pasukan berkudanya yang ribuan jumlahnya itu
serentak menyerbu masuk ke sungai yang sedang bergejolak itu, seperti yang dilakukan Asim tadi.
Sungai yang saat itu sudah penuh kuda
tak tampak lagi airnya. Para nelayan perahu dan awak kapal orang-orang Persia diperintahkan oleh
Asim untuk bertolak ke seberang Bahrasir untuk mengangkut pasukan
Muslimin yang tidak menyeberang dengan
kuda. Ketika Sa'd dengan angkatan bersenjatanya menyeberang penghuni Mada'in sudah lari semua.
Yang masih tinggal hanya mereka yang bertahan di Istana Putih. Tetapi
mereka tidak mengadakan perlawanan. Bahkan
setuju mereka membayar jizyah. Pintu Istana pun dibuka untuk pasukan
Muslimin.
Inilah
salah satu mukjizat perang, yang hampir tak masuk akal. Dalam
al-Bidayah wan-Nihayah Ibn Kasir selesai melukiskan secara terinci
menyebutkan: "Itulah peristiwa besar dan hal yang amat penting, yang
amat mulia dan yang luar biasa, suatu mukjizat Rasulullah Sallallahu
'alaihi
wa sallam yang
diciptakan Allah untuk sahabat-sahabatnya, suatu hal yang tak pernah terjadi di
negeri itu atau di mana pun di dunia
ini. Ungkapan sejarawan Islam ini melukiskan perasaannya dan perasaan kita ketika di depan kita tergambar
segala tindakan yang sungguh cemerlang serta keberanian yang tak ada
taranya. Untuk me‑lukiskan semua perbuatan
itu, adakah kata yang lebih tepat daripada mukjizat? Mukjizat yang bagaimana lagi ketika regu
di bawah pimpinan Asim itu terjun ke Sungai, dan regu yang sebuah lagi di bawah
pimpinan Qa'qa' juga terjun ke
Sungai, dan keduanya tidak takut akan ditelan ombak atau akan diserang dengan panah oleh
pasukan Persia dari seberang pantai?! Tetapi kepercayaan kepada kemenangan
itulah yang telah mengangkat j iwanya ke mana pun akan dibawa, dan maut
di depan matanya tak lebih dari kata-kata
yang artinya sama: demi tujuan yang ingin dicapai. Pasukan Muslimin sudah
tidak sabar lagi melihat Mada'in. Mereka
ingin menerobosnya dan membebaskannya berapa pun harga yang harus
dibayar, dengan darah dan dengan nyawa mereka sekalipun.
Itu
sebabnya, tatkala melihat mereka, pasukan Persia itu berkata: Kita tidak
berperang dengan manusia tetapi dengan jin. Setelah itu mereka tak tahu lagi
bagaimana cara menghadapi j in, yang datang kepada
mereka muncul dari sela-sela ombak, dan seolah suatu kekuatan gaib
telah mengguncang bumi dan gunung. Bukankah gunung-gunung berapi
dan halilintar merupakan suatu kekuatan gaib juga. Demikian halnya
dengan kedua regu itu, juga demikian dengan Sa'd dan angkatan bersenjata yang lain tatkala mereka terjun ke
sungai, kelompok demi kelompok, kuda
dan para kesatria itu menyeruak ke tengah-tengah ombak yang sedang
melonjak-lonjak. Bagaimana suatu kekuatan akan mampu bertahan menghadapi kekuatan semacam ini!
Pihak Persia yang kekuatannya sudah berantakan dan sudah kehilangan
semangat dalam menghadapi j in yang sekarang mendatangi mereka, dan mereka dalam
ketakutan, apa pula yang dapat dilakukannya selain melarikan
diri!
"Inilah
mukjizat yang tak pernah terjadi di negeri itu atau di mana pun
di dunia ini." Itulah kata-kata Ibn Kasir. Kalau tidak karena Timur Leng yang juga membawa-mukjizat serupa tatkala
angkatan bersenjatanya berenang
menyeberangi sungai ketika mereka menyerang Bagdad pada akhir dasawarsa abad ke-14 Masehi, tentu
sebagian orang masih akan ragu untuk
mempereayainya. Bahkan Balazuri menyebutnya dengan agak berhati-hati,
dan menambahnya dengan sumber-sumber yang lebih sukar untuk dapat dipercaya, di antaranya
sumber dari Aban bin Saleh yang mengatakan: "Pasukan Muslimin berakhir
sampai di Tigris yang airnya sedang meluap,
hal yang tak pernah terjadi. Kapal-kapal dan semua sarana penyeberangan ke
bagian timur oleh pihak Persia sudah diangkat dan jembatannya dibakar.
Sa'd dan pasukannya merasa kesal sekali karena jalan untuk menyeberang sudah tak
ada. Salah se‑orang dari pasukan itu
memberanikan diri mencebur dan berenang dengan kudanya ke seberang, maka
pasukan yang lain pun mengikutinya berenang. Kemudian mereka memerintahkan para awak
kapal itu untuk mengangkut
barang-barang. Pasukan Persia itu berkata: Tidak lain yang kita perangi ini adalah jin. Maka mereka pun
binasa." Ada lagi sumber Abu Amr bin
Ala' yang mengatakan: "Sa'd sudah tidak mempunyai sarana penyeberangan lagi. Ada yang menunjukkan
ke tempat penyeberangan di desa nelayan maka mereka menceburkan kudanya
ke sana. Pasukan Persia menghujani mereka
dengan serangan, tetapi ketika itu tak ada yang terkena selain seorang
dari Banu Tayyi' yang cedera."
Tentu
sudah kita lihat bahwa sumber-sumber yang disajikan dengan berhati-hati
itu terasa bahwa mereka masih ragu menerima sumbersumber
yang kami kemukakan itu. Tetapi Tabari, Ibn Asir, Ibn Khaldun, Ibn
Kasir dan yang lain sepakat menerimanya. Sungguhpun begitu, kehati-hatian
mereka tidak dapat menafikan sumber-sumber tersebut dan
tak dapat memastikin apa yang mereka sanggah. Kehati-hatian demikian hanya ada pada orang yang melihatnya
sebagai suatu keajaiban yang memang
dapat menimbulkan keraguan. Kalau mereka yang ragu hidup dalam akhir abad keempat belas Masehi
dan mengetahui bahwa Timur Leng
menyeberangi Sungai Tigris dengan pasukannya, seperti yang dilakukan Sa'd, niscaya sumber yang
sudah disepakati bersama itu tidak
akan mengherankan mereka lagi dan segala keraguan dalam pikiran mereka
mengenai sumber yang sudah disepakati itu akan hilang, dan tidak lagi peristiwa
yang mengherankan itu suatu keajaiban, tetapi, niscaya mereka akan yakin bahwa Sa'd:
"Terjun dengan kudanya ke Sungai
Tigris dan pasukannya ikut pula, sehingga tak seorang pun yang masih
tinggal." Perjalanan mereka di tempat itu seperti sedang berjalan di permukaan
tanah sehingga memenuhi kedua tepi Sungai itu, artileri dan infanteri tidak lagi melihat
permukaan air. Mereka berbicara di permukaan air seperti berbicara di
permukaan tanah. Soalnya karena mereka sudah
tenteram, sudah merasa aman. Mereka hanya percaya kepada segala yang telah dijanjikan oleh Allah:
pertolongan dan dukunganNya... Hari itu Sa'd berdoa untuk keselamatan
dan kemenangan pasukannya. la telah menceburkan mereka ke dalam Sungai, tetapi
Allah membimbing dan menyelamatkan mereka,
sehingga tak seorang pun ada korban di pihak Muslimin, dan tidak pula ada
dari barang-barang mereka yang hilang selain sebuah gayung dari kayu milik
seseorang, karena tali gantungannya sudah
rapuh lalu terbawa ombak ke seberang yang ditujunya. Gayung itu dipungut orang kemudian dikembalikan
kepada pemiliknya...
Yang
mendampingi Sa'd bin Abi Waqqas di Sungai ketika itu Salman
al-Farisi. Dalam hal ini Sa'd berucap: Cukup Allah bagi kami sebagai
Pelindung terbaik. Niscaya Allah akan menolong pengikut-Nya, Allah akan memenangkan agama-Nya, Allah akan
membinasakan musuhNya, selama dalam
angkatan bersenjata ini tak ada orang yang melakukan perbuatan durhaka atau dosa yang melebihi
kebaikan. Lalu kata Salman kepada Sa'd: Di Sungai musuh itu begitu hina, tak
bedanya dengan di darat. Sungguh, demi yang memegang hidup Salman, mereka
akan berbondong-bondong keluar, seperti waktu masuk. Memang benar, mereka keluar dari sana, seperti dikatakan
Salman, tanpa kehilangan apa pun."
Sekarang
pasukan Muslimin keluar dari Sungai itu, dan kudanya mengibas-ngibaskan bulu tengkuknya sambil
meringkik-ringkik. Mereka memasuki
kota Mada'in tetapi sudah tak ada orang, — selain mereka yang masih mau bertahan dalam Istana — sebab
Yazdigird sudah membawa keluarganya, harta dan barang-barang yang dapat
diangkutnya kemudian mereka lari ke Hulwan. Sa'd menyerukan mereka yang
masih bertahan dalam Istana itu supaya
turun. Sesudah mereka turun, ia masuk bersama pasukannya sambil melemparkan
pandangnya ke sana sini,
melihat-lihat isi Istana yang agung itu, segalanya terdiri dari
barang-barang berharga. Ketika itulah ia membaca firman
Allah:
"Berapa
banyak taman dan mala air yang mereka tinggalkan; tanaman-tanaman dan
lempat-tempat kediaman yang indah; dan kenikmatan lempat mereka
bersenang-senang. Demikianlah mereka berukhir, dan Kami wariskan kepada golongan lain.
Langit dan bumi tidak menangisi
mereka, juga mereka lidak diberi penangguhan waktu." (Qur'an,
44: 25-29).
Besarnya rampasan perang di Mada'in
Alangkah
agung dan mulianya kemenangan itu! Inilah kota Kisra. dan inilah pula Ruang
Sidang Istananya. Mereka yang datang adalah orang-orang
Semenanjung Arab yang tandus dan gersang, mereka ber‑jalan penuh kagum di sela-sela taman-taman Istana,
di antara taman bunga yang merekah dan pohon-pohon yang tinggi-tinggi, berbagai
macam buah-buahan — kurma dan anggur. Belum pernah mata mereka melihat
yang semacam ini. Dari kebun-kebun itu mereka berpindah ke serambi, yang membuat mereka bertambah kagum
melihat isi di dalamnya — ukiran-ukiran yang begitu indah dan cermat di
luar yang dapat mereka lukiskan. Perabot-perabot rumah, yang di Damsyik pun tak
ada yang dapat dibandingkan. Pelbagai
permadani dari sutera Persia dianyam dengan emas dan perak, dan segala
kemewahan dan kenikmatan hidup
terkumpul semua dalam Ruang Sidang Istana itu — karya-karya seni yang begitu indah dari segenap penjuru di
Timur. Gerangan apa ini!! Dapatkah
semua itu dibalas dengan rasa syukur kepada Allah? Tetapi bagi Sa'd dan sahabat-sahabat tak dapat
berbuat lain daripada rasa syukur itu
kepada Allah yang telah memberikan kemenangan kepada mereka. Dengan demikian Sa'd mengadakan
salat syukur kepada Allah, salat
kemenangan, delapan rakaat dengan satu kali salam. Setelah itu ia
memerintahkan anak buahnya agar membawa keluarga pasukan Muslimin dari Hirah dan kota-kota serta
desa-desa lain di Irak ke Mada'in.
Sa'd
tinggal di Istana Kisra itu, dan Ruang Sidang Istana dijadikannya
musala. Patung-patung yang ada di dalamnya dibiarkannya tidak
terusik di tempatnya. Buat apa pula diusik yang hanya merupakan hiasan yang memperindah Istana dan tempat-tempat
lain di dalam serarribi, kendati
Ruang Sidang Istana itu diutamakan lebih indah dan lebih cemerlang. Dinding Istana dihiasi dengan
ukiran-ukiran dari dasar di bawah sampai ke kolong-kolong kubah. Dinding yang
tampak dari luar putih metah dibiarkan polos.
Dalam
lemari-lemari Kisra itu Sa'd bin Abi Waqqas menemukan penuh
dengan harta, pakaian yang mahal-mahal, bermacam-macam alat rumah tangga dan bejana, barang-barang lain yang
nilainya tak mungkin dapat dilukiskan dengan kata-kata dan angka. Dalam
pada itu Sa'd sudah mengirim pasukannya
untuk mengejar Yazdigird dan mereka yang lari bersamanya ke Hulwan.
Mereka berhasil menyusul dan membawa kembali sebagian mereka berikut
barang-barang bawaannya, yang ternyata
nilainya melebihi harta yang ada di dalam Istana. Dan di dalam gedung-gedung sekitar Istana di Mada'in itu
pasukan Muslimin juga menemukan barang-barang berharga dengan nilai yang
dapat membingungkan daya khayal mereka, dan segalanya menunjukkan kemewahan
penghuninya, dan yang hanya dikenal oleh Persia.
Kita
sekarang j uga merasa kagum mengenai nilai barang-barang rampasan
perang itu, baik nilai ataupun jumlahnya. Tidak heran jika para
panglima yang melihat dengan mata kepala sendiri barang-barang rampasan perang
itu begitu terperangah dan kagum melebihi kita, dan kalangan sejarawan Arab
menyebut rampasan perang itu dengan terinci sekali yang dapat membenarkan kekaguman kita dan
para panglima itu.
Disebutkan
pula bahwa di tempat-tempat penyimpanan Kisra itu Sa'd
menemukan tiga triliun dinar, dan barang-barang berharga di Istana
yang sudah tak terhitung nilainya. Dan mereka yang berangkat mengejar Kisra
membawa kembali sebuah mahkota bertatahkan mutu manikam, mutiara dan permata, dan pakaian dari
sutera bersulam emas dan bertatahkan
permata. Yang bukan sutera, yang juga bersulam, di samping mutiara Kisra, adalah pedang dan baju
besinya yang juga dihiasi permata. Ketika Qa'qa' bin Amr mengejar seorang
Persia dan berhasil membunuhnya, ia
menemukan dari orang itu dua kopor besar berisi beberapa pedang, baju-baju besi milik
Kisra, Heraklius, raja Turki dan raja-raja lain yang pernah diperangi dan
memerangi Persia. Sesudah itu datang pula
Ismah bin Khalid ad-Dibbi membawa dua buah keranjang, salah satunya berisi kuda dari emas
dengan pelana dari perak, mulut dan lehernya dihiasi batu yakut dan
zamrud yang ditatah dengan perak, begitu
juga kekangnya, dan penunggang kuda terbuat dari perak bermahkotakan
permata. Dalam keranjang yang sebuah lagi berisi unta terbuat dari perak dengan kain wol
penutup punggung dan perut dari emas berikut tali kendalinya yang juga
dari emas. Semua itu ditatah dengan batu
yakut dengan patung seorang laki-laki di atasnya terbuat dari emas
bermahkotakan permata. Di gedung-gedung besar di Mada'in pasukan Muslimin
menemukan juga keranjang-keranjang yang disegel dengan timah, yang dikira berisi makanan,
tetapi ternyata adalah
bejana-bejana dari emas dan perak yang seragam. Di tempat-tempat itu juga
mereka menemukan tidak sedikit kapur barus, yang karena banyaknya mereka
mengiranya garam. Setelah dibuat adonan baru diketahui karena rasanya yang
pahit.
Adakah
semua harta karun itu menggoda orang-orang Arab itu, lalu ada yang tergoda dari
mereka ingin mengambilnya barang sedikit untuk dirinya dan bukan dikembalikan kepada kolektor
yang sudah ditunjuk oleh Sa'd untuk
kemudian dibagikan? Tidak! Bahkan masing-masing yang memperoleh barang rampasan itu menyerahkannya
kepada kolektor itu sampai nanti Sa'd sendiri memberikan
pendapatnya.
Sesudah
itu Qa'qa' bin Amr yang datang membawa pedang-pedang Kisra dan raja-raja yang
lain dan menyerahkannya kepada Sa'd, oleh Sa'd
ia disuruh memilih. la memilih pedang Heraklius, yang lain ditinggalkan. Ketika
ada laki-laki datang kepada kolektor itu membawa sebuah botol yang sangat berharga, kolektor itu
dan beberapa orang yang berada di
tempat itu menanyakan: Dari semua yang ada pada kita, kita tidak melihat yang semacam ini atau yang
mirip dengan ini. Mereka menanyakan lagi laki-laki itu: Adakah yang sudah
Anda ambil? Tidak, katanya. Kalau tidak
karena Allah, tidak akan saya serahkan ini kepada kalian. Mereka menanyakan lagi
tentang siapa dia? "Tidak akan saya
beritahukan kepada kalian, agar kalian tidak memuji saya, tetapi yang saya puji hanya Allah dan saya sudah akan
senang dengan karunia-Nya." Tetapi Sa'd segera tahu siapa orang itu dan
yang semacamnya. Kemudian ia berkata: Angkatan bersenjata itu sangat berpegang teguh pada amanat. Kalau tidak karena
veteran Badr sudah berlalu, tentu saya katakan bahwa pada mereka itulah
ciri-ciri khas veteran Badr. Jabir bin Abdullah berkata: "Demi Allah, Yang
tiada tuhan selain Dia, saya tidak melihat siapa pun dari penduduk Kadisiah yang
menghendaki dunia bersama akhirat. Kita
pernah menyangsikan tiga orang,
Tulaihah, Amr bin Ma'di Karib dan Qais bin Maksyuh padahal kita tidak
melihat orang yang begitu jujur dan zuhud seperti mereka. Kesaksian Jabir atas ketiga orang itu punya
alasan sendiri. Mereka dulu memimpin kaum murtad yang ditumpas oleh Abu
Bakr dan yang memerangi Abu Bakr karena
rakusnya pada dunia dan kekuasaan. Sekarang mereka menjadi Muslim yang baik dan berada
di garis depan dalam berjuang di jalan Allah, menjauhi dunia dan
mendekatkan diri kepada Allah dengan
mengerjakan segala amal kebaikan dan matimatian mempertaruhkan diri
dalam perang.
Sa 'd membagi hasil rampasan perang
Sa'd
memisahkan seperlima rampasan perang itu untuk dikirim ke Medinah, dan yang
diutamakan sekali apa yang menjadi kesenangan Muslimin di sana. Ia bermaksud mengirim permadani
beledru milik Kisra seperlima,
tetapi dilihatnya pembagiannya tidak akan seimbang. Maka, katanya kepada
sahabat-sahabatnya: Adakah kalian puas dengan empat perlimanya, dan kita
mengirimkannya kepada Umar supaya dapat diatur sesuai dengan yang dikehendakinya? Kita
berpendapat di tempat kita ini tidak
akan terbagi, karena hanya sedikit, tetapi bagi pihak Medinah akan sangat
berarti. Permadani ini enam puluh hasta dalam segi empat, yang disediakan bagi para kisra j ika
datang musim dingin yang keras dan
tidak ada tumbuhan yang harum tumbuh. Permadani ini berlukiskan jalan-jalan kerajaan, dihamparkan di
atas tanah yang keemasan,
disela-sela air sungai yang mengalir bertatahkan mutiara, bagian
bawahnya seperti tanah yang ditanami tanam-tanaman musim semi dengan batang dari emas, daun dari sutera dan
buahnya dari permata. Setelah
pendapat Sa'd mereka setujui permadani bersama seperlima (rampasan
perang) dikirim ke Medinah.
Sa'd
membagikan rampasan perang itu kepada anggota-anggota pasukannya,
dan sudah selesai untuk 60.000 orang dari pasukan berkuda,
setiap orang mendapat dua belas ribu. Untuk penduduk negeri diberi
sesuai dengan perjuangan mereka. Sa'd juga mengatur pembagian
rumah-rumah kepada anggota-anggota pasukannya. Yang berkeluarga banyak
ditempatkan di gedung-gedung dan mereka tinggal di sana sampai
tiba saatnya, ada di antara mereka yang harus meninggalkan tempat tersebut sesudah gerakan pembebasan itu makin
meluas sampai ke desa-desa di Persia. Kita bebas membayangkan sendiri
betapa gembiranya para prajurit itu dengan rampasan perang tersebut, serta
semangat mereka menghadapi pembebasan baru
dengan rampasan perangnya yang baru pula.
Umar, Sa 'd dan Yazdigird
Basyir
bin al-Khasasiah berangkat ke Medinah membawa seperlima
rampasan perang itu, dan diserahkannya ke tangan Amirulmukminin.
Umar sudah lebih dulu mendapat berita tentang pembebasan Mada'in, karena Sa'd memang sudah mengirim laporan
kepadanya tentang apa yang dikerjakannya sehingga seolah Umar sendiri
hadir. Sungguhpun begitu ia terkejut sekali melihat begitu banyak rampasan
perang itu dan nilainya serta usaha pasukan Muslimin memperolehnya secara utuh. Ia menoleh kepada orang-orang di
sekitarnya sambil berkata: "Mereka
orang-orang yang dapat dipercaya yang telah melaksanakan semua ini!" Ali bin Abi Talib
menjawab: "Anda hidup sangat sederhana dengan menahan diri dari segala
yang Anda rasa tidak baik, sehingga rakyat Anda juga begitu. Kalau saja Anda mau
menyenangkan diri tentu mereka juga akan demikian." Umar memperhatikan segala
pakaian Kisra, beberapa pedang dan baju besinya. Lalu dipakaikannya pada
sebatang kayu dan diletakkannya di depannya supaya dilihat oleh orang banyak betapa mengagumkan
perhiasan itu. Dikatakan konon ia
memanggil Suraqah bin Ju'syum, orang yang paling besar badannya dan
paling gemuk. la mengenakan baju Kisra itu kepadanya berikut celana, jubah, pedang, sabuk, gelang,
mahkota dan kasutnya. Disuruhnya ia
mundar mandir di depannya. Kemudian katanya: "Bah, bah. Arab pedalaman dari Banu
Mujlij memakai jubah Kisra berikut celana, pedang, mahkota dan kasutnya!! Hai
Suraqah, sekiranya suatu hari barang-barang Kisra dan keluarga Kisra ini menjadi
milik Anda tentu merupakan suatu
kehormatan bagi Anda dan masyarakat Anda!..." Dikatakan begitu karena Kisra mempunyai beberapa
macam pakaian, pada setiap acara dengan pakaian
tersendiri.
Setelah
Umar mendatangkan orang yang paling besar tubuhnya di Medinah, setiap macam pakaian demi pakaian itu
dipakaikan kepadanya. Ia melihat
orang-orang menyaksikan semua pakaian itu sebagai peristiwa keajaiban dunia
yang luar biasa. Sesudah selesai orang badui tersebut mengenakan pakaian itu semua, Umar
menengadah ke atas seraya berkata:
"Allahumma ya Allah, Engkau telah menghindarkan semua ini dari Rasul-Mu
dan Nabi-Mu, padahal dia lebih Kaucintai daripada aku, lebih Kaumuliakan daripadaku, juga
Engkau telah menghindarkannya dari Abu Bakr, yang lebih Kaucintai
daripadaku, lebih Kaumuliakan daripadaku. Maka jika semua ini akan Kauberikan
kepadaku, aku berlindung kepada-Mu ya Allah, juga jangan sampai Kauberikan
kepadaku untuk memuliakan aku!"
Itulah
salah satu ciri khas Umar yang kelak akan dikenang orang dan
pengaruhnya yang sangat jelas terhadap umat pun akan dikenang. Ia
sudah merasakan kemewahan ini akan menimbulkan daya tarik dalam
hati orang dan akan dijadikan pola hidup untuk dicontoh, dan dengan
segala daya upaya orang akan membayar berapa pun harganya demi
tujuan itu. Akibatnya, orang akan menjauhkan diri dari segala arti kemanusiaan
yang lebih terhormat, yang akan mengantarkan hati dan pikiran kita ke puncak
tertinggi untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang
dengan karunia-Nya pula kita akan melihat wajah Kebenaran. Karena
ciri khas Umar itu, karena kekhawatirannya bahwa Allah memberikan harta kekayaan
Kisra kepadanya itu untuk mengujinya,[4] ia menangis sehingga orang-orang merasa iba hati
melihatnya. Kemudian sambil menunjuk kepada harta itu ia berkata kepada
Abdur-Rahman bin Auf: "Saya meminta Anda
dengan sungguh-sungguh, hendaklah sebelum sore ini sudah Anda jualkan
harta ini kemudian bagi-bagikan!" Selanjutnya Umar membagi-bagikan yang
seperlima itu kepada orang banyak sesuai dengan kadar mereka dan memberikan
tambahan kepada mereka yang hadir dan yang tidak hadir dari keluarga orang-orang
yang sudah berjuang. Melihat permadani yang
tak dapat dibagi ia berkata kepada mereka yang ada di sekitarnya:
"Bagaimana pendapat kalian mengenai permadani ini." Mereka berkata: "Semua
pasukan sudah memberikan itu untuk Anda, dan pendapat kami mengenai ini kami
menyerahkan kepada Anda. Ada lagi yang berkata: Itu hanya untuk Amirulmukminin
sendiri. Tetapi Umar tak mau memilikinya atau memberikan pendapat. Saat itulah Ali bin Abi Talib
berkata: "Allah tidak akan menjadikan
ilmu yang ada pada Anda untuk membuat Anda bodoh, dan keyakinan Anda menjadi keraguan. Anda
tak mempunyai apa-apa di dunia ini
selain yang sudah diberikan kepada Anda, maka itu pun sudah berlalu, atau yang Anda pakai, itu
pun sudah usang, atau yang Anda
makan, dan itu juga sudah habis. Kalau ini Anda simpan sekarang Anda
tidak akan menghilangkan hak orang yang tidak punya." Umar berkata: "Anda memang
bersungguh-sungguh menasihati saya." Kemudian permadani itu dipotongnya dan dibagikan
kepada khalayak. Ali juga mendapat sepotong tetapi bukan dari yang terbaik.
Sungguhpun begitu sudah pula dij ualnya dengan, harga dua puluh
ribu.
Sementara
Umar membagi-bagikan rampasan perang kepada penduduk
Medinah, orang melihat apa yang sudah mereka terima itu suatu karunia dari Allah yang belum pernah mereka
rasakan. Dalam pada itu Sa'd bin Abi Waqqas pun sudah merasa tenteram di
Mada'in. Ia tinggal di Istana itu dan Ruang Sidangnya dijadikan musala
untuk kaum Muslimin. Suara azan diperdengarkan di dalamnya, dan salat pun
dilaksanakan. Setiap hari Jumat orang
berkumpul di tempat ini dan Sa'd yang bertindak sebagai khatib dan
imam.
Sementara
itu Yazdigird sudah pula tiba di Hulwan, dengan perasaan
sedih, terkulai dalam keadaan kalah. Jantungnya terasa remuk dirundung kesedihan, hatinya terasa pecah terbawa
rasa putus asa. Teringat ia akan keagungan Persia, kemegahannya yang menjulang
begitu tinggi. Bertambah sedih hati mengenangnya. Terbayang di depan
matanya sosok Rustum dan segala yang
disebutnya dulu tentang ramalan-ramalan nujum. Di mana sejarah silam itu
sekarang, tatkala nenek moyangnya bergerak dari Iran ke Irak, lalu
menyusur sepanjang pantai Tigris, dan
ketika mereka berada di Cteciphon (Mada'in) yang berhadapan dengan Seleusia (Saluqiah),[5] dan ketika
Cteciphon diperluas dan kota-kota
sekitarnya digabungkan ke dalamnya, lalu kota ini dan Seleusia disatukan,
yaitu Mada'in, kemudian Seleusia diberi nama Bahrasir supaya masa jayanya dulu
dilupakan orang! Kalau ada kota Yunani bertahan dengan kebebasannya sendiri,
maka itulah Sparta.
Tetapi
mana sekarang sejarah masa kisra-kisra nenek moyangnya dari
dinasti Sasani yang dulu telah menaklukkan dunia itu? Dari masa kakeknya
Ardasyir, yang telah membangun Istana Kisra dan Ruang Sidangnya yang paling megah dan mewah?! Sekarang
dia menjadi seorang raja yang sudah tidak lagi berkuasa, terusir dari
ibu kota kerajaannya, lalu lari seperti
pengecut. Tabahkah dia menghadapi kekalahan itu, menghadapi bencana yang menimpanya? Adakah
nasib masih akan mendukung pasukan
Muslimin untuk terus mengejarnya sampai sejauh mana pun? Darah mudanya yang dulu
mendidih dan keteguhan hatinya yang
terus memberikan harapan, masih adakah harapan itu baginya, ataukah
kekalahannya sudah membuat keteguhan hatinya mencair dan darah mudanya sudah tidak lagi mendidih, sehingga
segala cita-cita dan harapannya hilang terbawa
angin?
Tatkala
pertama kali tinggal di Hulwan tak ada yang dipikirkan oleh
anak muda yang sudah kalah itu. la sudah menawarkan perdamaian
kepada pasukan Muslimin atas dasar Sungai Tigris sebagai pembatas antara dia
dengan mereka. Ya, sesudah mereka membebaskan Mada'in, cukupkah dengan itu dan
hanya sampai di situ? Kalau mereka lakukan
ini berarti mereka ikut mewujudkan cita-citanya, dan hari depan cukup
untuk menjamin kekuasaannya. Tetapi mereka pihak yang menang, dan pihak yang
menang tak mengenal gencatan senjata. Angkatan bersenjatanya yang dulu banyak berlimpah,
sudah beterbangan kian ke mari
mencari selamat. Serahkanlah semua itu kepada masa yang akan datang! Dan
hari esok bagi yang mengawasinya itu dekat!
Apa
yang akan terjadi besok? Itulah yang akan kita bicarakan dalam
bab berikut ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar