Jumat, 21 Maret 2014

''UMAR'' PEMBEBASAN MADAIN

 

 

Pasukan Persia dari Kadisiah ke puing-puing Babilon

Sesudah Pertempuran Kadisiah itu pasukan Persia melarikan diri, tanpa melihat lagi ke belakang. Sebagian besar mereka sudah sampai ke bekas reruntuhan Babilon,[1] dan yang lain terpencar di sana sini di Persia. Pasukan Muslimin tinggal di Kadisiah selama dua bulan sambil beristirahat dan sementara itu Sa'd pun sudah sembuh dari sakitnya. Umar menulis kepada Sa'd agar tidak meninggalkan tempat­tempat itu sampai nanti ada perintah lebih lanjut.
Setelah kemudian berita-berita tentang pasukan dan bala bantuan yang dikirimkan cukup memuaskan, ia memerintahkan Sa'd berangkat ke Mada'in. Perempuan dan anak-anak supaya ditinggalkan di Atiq dengan sekelompok pasukan yang akan menjaga mereka. Pasukan ini juga harus mendapat bagian rampasan perang seperti pasukan yang lain sebagai balas jasa bagi mereka yang mengawal keluarga pasukan Muslimin.
Sa'd menugaskan Zuhrah bin al-Hawiah berangkat lebih dulu ke Hirah. Sesudah Abdullah bin al-Mu'tam dan Syurahbil bin as-Samt sampai ke tempat itu, ia memulai lagi perjalanannya ke Mada'in. Da-lam perjalanan ini ia bertemu dengan sekelompok pasukan Persia di Burs.[2] Mereka dapat dipukul mundur dan lari bergabung dengan mereka yang sudah lebih dulu ke Babilon. Berita mengenai sisa-sisa pasukan Kadisiah yang berkumpul di Babilon sudah diketahui oleh Zuhrah. Mengenai hal ini, ketika di Hirah bersama Hasyim bin Utbah ia sudah melaporkan kepada Sa'd. Dalam perjalanan menuju Babilon Sa'd bertemu dengan pasukan Fairuzan, yang dalam sekejap kemudian dapat dipukul mundur. Fairuzan lari ke Nahawand, Hormuzan ke Ahwaz dan Mehran ke Mada'in. Pasukan Muslimin terus maju. Di Kusi mereka dihadang oleh Syahriar yang kemudian berhasil dibunuh dan pasukan­nya dipukul mundur. Sa'd memberi tambahan dengan barang rampasan Syahriar kepada yang membunuhnya. Zuhrah maju terus sampai ke Sabat. Di tempat ini ia mengadakan perdamaian dengan penduduk atas dasar j izyah, yaitu ketika mereka mengetahui bahwa ia sudah me­naklukkan pasukan yang menghadangnya di sekitar Sura dengan Dair dan komandan-komandannya tewas. Tatkala pasukan Muslimin pergi ke Sawad di seluruh kawasan itu mereka tidak menemui perlawanan yang berarti. Penduduk sipilnya dari segenap penjuru cepat-cepat menemui pemimpin-pemimpin pasukan ini dan menyatakan kesetiaannya. Mereka sebagian masuk Islam, dan yang sebagian lagi dengan senang hati mau membayar jizyah. Semua mereka sekarang setuju dengan undang­undang orang yang datang ke tempat mereka itu dan keadilan pun dapat ditegakkan. Setelah itu mereka diusir ketika Khalid bin Walid bertolak ke Syam. Mereka itulah yang kini kembali lagi dengan kekuatan yang akan membuat segala harapan pihak yang hendak mengusir mereka sekali lagi menjadi porak poranda. Siapa lagi yang hendak mengusir mereka sekarang setelah Rustum mati, sedang semangat dan moral pasukan Persia semua sudah begitu lemah! Mereka tunduk kepada takdir. Inilah ketentuan Allah yang sudah tak dapat dielakkan, dan tak seorang pun mampu mengatasinya.
Sekarang Sa'd tinggal di Babilon, dan ia menugaskan Zuhrah bin Hawiah berangkat lebih dulu memimpin angkatan bersenjata ke Mada'in. Coba kita lihat, apakah puing-puing peninggalan Babilon itu dalam hati Sa'd dan mereka yang datang ke sana membangkitkan kenangan pada kota lama yang telah menjadi saksi berdirinya kebudayaan umat ma­nusia pertama, yang silih berganti dengan Thebes, Memphis dan dunia Firaun dahulu kala?! Apakah mereka lalu teringat pada zaman Asiria dengan peradabannya yang tinggi dan agung seperti Babilon, dengan segala temboknya yang kukuh, rumah-rumah ibadah yang besar-besar, dengan benteng-benteng perkasa dan taman-taman bergantung yang ter­kenal, istana-istana besar, yang telah menjadi pelopor segala kemegah­an dan keindahan?! Sudah tentu mereka teringat pada Menara Babilon. Mereka teringat pada bangsa-bangsa yang datang silih berganti ke sana, sehingga j adi sangat terkenal karena banyaknya bahasa yang dipakai orang yang datang ke sana, sebagai tawanan atau sebagai penakluk.
Tetapi apa yang mereka ingat tentang menara dan tentang kota itu sendiri barangkali tidak lebih dari sekadar obrolan saat duduk-duduk di waktu malam. Mereka masih terlalu sibuk dengan yang akan mereka hadapi untuk membebaskan Mada'in. Mada'in kota yang makmur, sedang Babilon hanya tinggal puing-puing. Mada'in ibu kota Persia, sedang Babilon bukan lagi ibu kota, juga bukan lagi kota. Mada'in adalah lambang kehidupan, sedang Babilon hanya bekas masa silam yang sudah terhapus. Orang lebih tertarik pada masa kini, jarang orang mau mengambil pelajaran dari masa lampau. Kebanyakan mereka mau mengambil pelajaran dari wajah kehidupan yang dapat tersenyum. Tetapi wajah itu juga muram. Lalu mereka teringat pada masa-masa silam, kalau-kalau masih akan ada yang dapat mengobati luka-luka masa sekarang. Hanya saja, selama itu wajah sejarah tetap tersenyum kepada Muslimin. Apa hubungannya dengan Babion dan Asiria yang kini hanya tinggal bahan cerita, padahal di sekitar mereka kehidupan melimpah dengan harta terpendam yang sangat berharga, bahkan ada bangsa, yang begitu mendengar namanya saja sudah bergegas datang menyatakan kesetiaannya, sambil memohonkan maaf dan pengampunan.
Bahkan dengan melihat Babilon itu, di antara mereka ada yang lalu teringat pada peranan pasukan Muslimin di sana tatkala Musanna bin Harisah bermarkas di ketinggian puing-puingnya, dan tinggal di antara jaringan anak-anak Sungai Tigris, menunggu kedatangan Ormizd Jadhuweh yang akan menyerangnya. Mereka teringat pada situasi yang sangat kritis itu, yang datang tiba-tiba menyerang mereka setelah keberangkatan Khalid ke Syam dan Syahriran putra Ardasyir naik takhta Kisra serta tekadnya hendak mengusir pasukan Arab dari negerinya. Teringat mereka bagaimana Musanna membunuh gajah Ormizd serta bagaimana pasukan Persia dipukul mundur dan pengejaran terhadap mereka sam­pai ke dekat Mada'in. Mereka bercerita kepada rekan-rekan yang datang bersama Sa'd dari Medinah dan yang bergabung kepadanya dari berbagai pelosok Semenanjung —tentang yang mereka saksikan dari semua itu. Diceritakan juga kepada mereka bahwa Sawad yang sedang mereka lalui di sekitar danau-danau yang airnya melimpah, ladang­ladang yang luas dan kebun-kebun dengan buah-buahan yang sudah masak, sudah tunduk semua kepada kekuasaan mereka. Mereka makan dari hasil bumi itu, dan buah-buahan yang masih dapat mereka kirim, mereka kirimkan ke Medinah.
Babilon dan tempat-tempat lain yang dilalui pasukan Muslimin adalah sebagian yang sudah mereka bebaskan dan di bawah perintah mereka. Kadisiah di tangan mereka dan Hirah menjadi pusat peme­rintahan mereka. Burs, Kusi, kota-kota dan desa-desa lainnya^ sudah tunduk kepada mereka. Yang menjadi sasaran mereka selanjutnya adalah Mada'in. Sekarang mereka melalui tempat-tempat, yang bagi kebanyakan mereka merupakan kenangan yang sangat menyenangkan dan mengesankan. Tetapi perbedaan antara dulu dengan sekarang; dulu mereka menetap dan sebagai yang berkuasa, dan sekarang merupakan medan pembebasan baru. Mereka berpindah-pindah dari yang satu ke­pada yang lain, ke kiri di sebelah timur Kadisiah ke arah Hirah, ke Burs dan ke Babilon, dengan tuju'an Sabat dan Mada'in. Yang mereka hadapi sekarang lebih ringan daripada yang sebelumnya, sesudah ke­kuatan mereka berangsur menjadi lemah. Mereka yakin bahwa sudah tak ada lagi tempat pelarian kecuali ke sana juga.
Zuhrah bin al-Hawiah dan Hasyim bin Utbah berangkat menuju Mada'in. Setelah berada di dekat Bahrasir, di Sabat mereka dihadang oleh kompi Boran putri Kisra. Setiap hari stafnya bersumpah, bahwa selama mereka masih hidup Persia tidak akan hilang. Seekor singa yang sudah dijinakkan oleh Kisra ikut bersama kompi itu. Tetapi bertahan­nya kompi ini menghadapi pasukan Muslimin tidak lebih hanya seperti bertahannya pasukan Persia di Burs dan Babilon. Bagaimana akan ber­tahan, mereka sekarang melihat nasib singa itu sama seperti nasib pa­sukan gajah dulu di Kadisiah! Hasyim bin Utbah melangkah maju dan menghantamnya dengan pedangnya demikian rupa sehingga singa itu tersungkur mati. Kompi itu langsung lari dan berlindung di Bahrasir.
Sa'd menyusul anak buahnya dan sudah mengetahui peranan me­reka. la mencium kepala Hasyim — kemenakannya — sebagai tanda kagum atas usahanya membunuh singa itu, dan Hasyim pun mencium kaki pamannya sebagai penghargaan atas simpatinya. Kemudian Sa'd mengangkat kepalanya ke atas sebagai tanda syukur kepada Allah dan setelah itu ia mengarahkan pandangnya ke arah Mada'in seraya mem­baca firman Allah:
"Bukankah sebelumnya kamu sudah bersumpah bahwa kamu tidak akan tergelincir binasa?" (Qur'an, 14: 44).
Malam itu Sa'd sedang memikirkan posisinya dalam menghadapi Mada'in. Akan diserangnyakah bersama pasukannya yang sekarang masih riang gembira dimabuk kemenangan, dan mereka memang ingin sekali menyerbunya? Atau akan membiarkan mereka beristirahat selama beberapa hari kemudian berangkat bersama ke sana? Kota itu sudah dekat. Kalau dia berhenti hanya sampai di situ, tindakannya ini akan menggoda pihak Mada'in untuk mempertahankannya. Jadi lebih baik diserbu dengan mendadak. Oleh karena itu ia memerintahkan pasukan­nya — bila malam sudah sunyi — supaya berangkat dan bermarkas di Bahrasir.
Bahrasir adalah daerah pinggiran kota Mada'in, di tepi Sungai Tigris ke sebelah kanan, sedang Mada'in berhadapan di tepi sebelah kirinya. Jadi termasuk bagiannya, hanya dipisahkan oleh sungai. Letak Mada'in sekitar dua puluh mil di selatan Bagdad, yang ketika itu merupakan sebuah desa yang tidak berbeda dengan desa-desa lain di bagian Sungai Tigris.
Sejak lama di masa silam Mada'in sudah merupakan ibu kota Iran menggantikan Babilon, bahkan kemudian melebihinya dari segi keindahan, kemegahan dan keagungannya. Kendati sudah berulang kali menjadi sasaran serbuan Rumawi dan sudah sering pula jatuh ke tangannya — di samping istananya yang selalu kacau dan terjadi beberapa kali per­golakan — namun kemegahan dan keindahannya tidak berubah. Oleh karena itu mata dunia banyak tertuju ke sana. Namanya pun sudah begitu merangsang imajinasi semua orang, membangkitkan segala rasa kagum dan pesona, yang tidak demikian dengan nama Roma atau Konstantinopel. Di sinilah bertemunya segala arti kemegahan dan kemewahan Timur dalam bentuknya yang paling indah dan paling banyak diilhami oleh dewa-dewa kesenian dan kepenyairan. Kalau begitu, tidak heran pasu­kan Muslimin yang bertolak ke sana semua membawa kerinduan ingin menyaksikannya, menyaksikan hal-hal yang tak pernah terlihat oleh mata, tak pernah terdengar oleh telinga. Memang tidak heran kalau gambaran ini menambah semangat dan keberanian mereka untuk men­jadikan apa yang tadinya dikira khayal itu kini menjelma di depannya sebagai suatu kenyataan.

Kota Bahrasir dikepung

Sa'd membawa pasukannya menuju Bahrasir dengan semangat yang masih membara pada pasukan itu. Setiap kuda mereka melangkah maju mereka berhenti kemudian bertakbir berulang kali. Tetapi melihat pihak kota yang bertahan demikian ketat dengan memperkuat diri dan tembok-tembok kota ditutup rapat, maka tak mungkin mereka dapat menyerang. Maka satu-satunya jalan hanyalah dengan mengepungnya.
Sa'd segera mengepung kota itu tanpa ada rasa takut ada yang akan menyergapnya dari belakang. la menyebarkan pasukan berkudanya dan menyerang beberapa bagian di Furat dan Tigris. Mereka dapat menyekap seribu petani dan membawa mereka sebagai tawanan. Mereka menggali parit di sekitar mereka. Tetapi petani-petani itu bukan tentara yang biasa berperang, jadi tak ada faedahnya menawan mereka, juga tidak berbahaya kalau dibebaskan. Atas saran Syirzad — seorang pe­nguasa Persia atau dihkan Sabat — kepada Sa'd mereka dikembalikan ke desa untuk kembali mengolah tanah dan memperbanyak hasil buminya.
Sa'd melaporkan segala tindakannya itu kepada Umar, dan Khali-fah pun menyetujui saran Syirzad. Dengan demikian penduduk Sawad di sekitar tepi Sungai Tigris sampai ke daratan Arab merasa aman. Di sana mereka mengolah tanah. Para penguasa Persia itu membayar pajak (kharaj) dan jizyah sementara para petani itu sudah merasa makin aman. Sa'd meneruskan pengepungan atas kota Bahrasir tanpa merasa khawatir akan disergap dari belakang, juga bahan makanan pasukannya sudah tak perlu dikhawatirkan.
Pasukan Muslimin kemudian menghujani bagian dalam tembok kota Bahrasir dengan manjanik (manjaniq)[3] Tetapi pihak Persia tidak akan menjadi lemah karena gencarnya serangan itu. Mereka yakin, walaupun musuh tidak diusir dari kota mereka, namun sudah tampak betapa kuatnya ibu kota itu. Mempertahankan Bahrasir memang tidak sulit. Tembok-tembok yang kuat dengan benteng-benteng yang begitu kukuh dan jembatan Tigris yang menghubungkan Mada'in, bala bantu­an dan bahan makanan yang tak terbilang banyaknya, dapat didatang­kan dari segenap penjuru Persia yang terbentang luas. Oleh karena itu mereka bertahan terhadap pengepungan itu selama berbulan-bulan. Dalam hal ini para sejarawan berbeda pendapat, antara sembilan atau delapan belas bulan. Selama pengepungan itu berlangsung angkatan bersenjata mereka adakalanya sampai keluar dari batas tembok, menye­rang pasukan Muslimin dengan harapan kalau-kalau mereka mengalami kekalahan dan dapat dipukul mundur. Tetapi yang terjadi kebalikannya, dalam menghadapi angkatan bersenjata itu pasukan Muslimin di pihak yang menang dan mereka dapat dipukul mundur kembali ke kota dan berlindung lagi di balik tembok-tembok, dengan membawa malu yang sudah tercoreng di dahi.
Sesudah pengepungan berlangsung cukup lama dan segala yang menimpa pihak pasukan mereka terasa makin berat, satu pasukan dari angkatan bersenjatanya yang paling dapat dipercaya dikirim ke luar. Tetapi pasukan ini pun dipukul mundur dan kembali ke kota. Kekalah­an ini mematahkan semangat pasukan Persia dan timbul rasa takut dalam hati mereka bahwa pasukan Muslimin memang tak dapat di­kalahkan.
Berita-berita pengepungan dan pertempuran itu setiap hari — bah­kan setiap saat — sampai juga kepada Yazdigird. Ia diliputi rasa kesal, bahkan hampir putus asa. Di samping pengepungan yang sudah terlalu lama, mereka j uga melihat pihak Muslimin selama berbulan-bulan bu­kan makin lemah, malah yang terlihat kekayaan Irak berupa timbunan makanan yang setinggi gunung sudah ada di belakang mereka. Kemu­dian di pihak pasukan Persia sendiri sudah tampak makin rapuh dan semangat mereka makin menurun. Diyakininya bahwa tak mustahil Bahrasir akan jatuh ke tangan musuh. Ketika itulah ia mengutus orang kepada Sa'd menawarkan langkah perdamaian bahwa Tigris akan dijadikan batas pemisah dengan pihak pasukan Muslimin, "Dari batas Tigris ke arah kami milik kami dan dari batas Tigris ke arah kalian milik kalian." Tetapi Sa'd menolak ajakan perdamaian Yazdigird itu dan utusannya disuruh kembali pulang. Bagaimana akan mengadakan perdamaian sedang perintah Umar sudah jelas sekali untuk membebas‑kan Mada'in. Bagaimana akan mengajaknya damai sesudah pasukannya dapat mengalahkan Bahrasir dan menawan sebagian pasukannya, dan sekarang mereka sudah siap menyerbu tembok-tembok itu!
Belum lagi utusan itu tiba untuk melapor kepada Yazdigird tentang penolakan itu, Sa'd bin Abi Waqqas sudah memerintahkan pasukannya mengadakan pengepungan yang lebih ketat dan pelemparan dengan manjanik dilipatgandakan. Semua lemparan itu tidak mendapat perla­wanan dari pihak Bahrasir. Sa'd yakin bahwa garnisun sudah dikosong­kan. Sa'd memanggil dan memerintahkan pasukannya menyerbu. Anak buahnya segera memanjati tembok-tembok dan membukai pintu-pintu gerbang, tetapi tak ada perlawanan, juga tak ada orang yang tampak keluar kecuali seorang laki-laki menyerukan keamanan dan dari orang ini kemudian diketahui bahwa garnisun Bahrasir memang sudah di­pindahkan ke Mada'in atas perintah Yazdigird, dan bahwa jembatannya sudah dibakar dan mengumpulkan semua kapal yang berlayar di Sungai Tigris, dengan tujuan agar arus sungai yang bergolak itu tetap menjadi garis pertahanan untuk mengusir para penyerang dari ibu kota yang makmur itu.

Perjalanan ke Mada'in

Tengah malam pasukan Muslimin sudah memasuki kota Bahrasir. Tak ada yang merintangi mereka untuk cepat-cepat pergi ke arah Tigris untuk menyeberang dan menyerbu Mada'in serta daerah-daerah sekitar­nya. Tetapi jembatan untuk penyeberangan sudah tak ada lagi, juga tak ada kapal yang dapat membawa mereka. Mereka berhenti di tepi sungai. Pemandangan yang mereka lihat di depannya sungguh me­mukau. Mereka hanya berdiri tercengang, melihat semua itu dengan mata terbelalak, dengan hati bergolak, hampir tidak percaya apa yang sedang mereka saksikan di depan mereka itu: Sebuah bangunan besar yang sungguh indah, megah dan mewah, berdiri di depan mereka di seberang pantai dengan ketinggian yang tak biasa buat mata mereka, tampak ciri warna putih, kendati dalam malam gelap pekat. Malam terasa lembut, langit bersih dan angin bertiup semilir sedap menambah kelembutan malam dan pemandangan yang begitu indah dan agung. Pasukan itu menahan napas, mata terbelalak, mulut ternganga, karena perasaan yang sudah dikuasai rasa kagum. Berturut-turut kelompok­kelompok pasukan itu datang ke pantai sungai. Mereka berdiri masih dipengaruhi kekaguman, seolah mereka sudah terpaku di tempat masing­masing.
Sesudah kemudian datang Dirar bin Khattab dan rombongannya dan melihat seperti yang mereka lihat, ia bertakbir dengan sekuat­kuatnya: Allahu Akbar! Inilah warna putih istana Kisra! Inikah yang dijanjikan Allah kepada Rasul-Nya? Ketika itulah suara takbir itu ber­genia dari segenap penjuru. Mereka semua yakin sekarang, bahwa mereka sudah di depan Ruang Sidang Istana Kisra, yang selama ini sering mereka dengar disebutkan dalam sajak-sajak para penyair dan menjadi buah bibir orang, sehingga mereka hanya menyerah kepada kerinduan untuk menyeberang ke Iwan Kisra, Ruang Sidang Istana itu, lalu mengelilinginya untuk memuaskan mata, kemudian memasukinya. Mereka ingin melihat Takhta Kisra di depan balairungnya yang agung itu, ingin panglima tinggi mereka duduk di atas takhta itu mengucapkan kalimat tauhid, lalu disambut dengan gema suara di segenap penjuru istana, bahwa Allah telah menepati janji-Nya: Dijadikan-Nya seruan orang kafir menyuruk jatuh sampai ke dasar dan firman Allah men­julang tinggi sampai ke puncak. Allah Mahamulia, Mahabijaksana.
Tidak heran jika pasukan Muslimin dibuat begitu tercengang me­lihat istana Kisra. Istana ini termasuk salah satu keajaiban dunia saat itu. Bukan tuanya yang menimbulkan kekaguman, ketika itu usianya belum begitu lama, pembangunannya belum sampai seratus tahun. Tetapi keindahan dan keagungannya itulah yang telah menimbulkan kekaguman. Dibangun oleh Kisra Anusyirwan tahun 550 M., sebuah bentuk bangunan yang telah mengalahkan bangunan Rumawi dan Yu­nani yang paling megah sekalipun. Bagian depannya lebih dari seratus lima puluh meter dan tingginya melebihi empat puluh meter, dengan kubah-kubah yang bertengger di atas balairungnya yang lima buah men­jadi mahkota yang menambah keindahan dan keagungannya. Orang­orang Arab yang kini matanya sedang terpaku itu ingin tahu kekayaan apa yang ada di balik keindahan itu. Sudah tentu semua itu di luar yang dapat dibayangkan. Serambi yang berada di tengahnya, kubahnya yang lebih tinggi daripada semua kubah, dan sudah tentu Ruang Sidang Is­tana inilah yang belum pernah didengar orang ada bandingannya di seluruh dunia. Bukankah cerita-cerita sudah banyak beredar tentang Takhta Kisra serta permata berlian yang menghiasinya sehingga tak ubahnya seperti sebuah dongeng!? Semua itu sekarang, Takhta, Ruang Sidang Istana dan Istananya berdiri utuh di depan pasukan itu, yang hanya dipisahkan oleh sungai, dan ini pula yang setiap saat keindah­annya makin memukau. Kapan gerangan mereka akan menyeberanginya dan melihat dengan mata kepala sendiri semua isinya?!

Rencana Yazdigird melarikan diri

Sementara semua ini berkecamuk dalam hati pasukan Muslimin dijalin pula oleh khayal yang subur, ditambah lagi dengan peman­dangan ibu kota Mada'in yang begitu cemerlang, Yazdigird sendiri di tengah balairung Istana itu pikirannya sedang kacau, wajahnya kusam, rasa waswas datang menderanya dari segenap penjuru. Sungai Tigris merupakan sebuah benteng alam dengan aliran airnya yang luas, dengan arusnya yang deras melonjak-lonjak. Dengan demikian jarak pemisahnya bertambah luas dan cairan-cairan salju di puncak-puncak gunung akan menambah gejolaknya arus itu, yang bersumber dari Azer­baijan dan Mosul. Tak mungkin lagi pasukan Muslimin akan dapat me­langkahinya sesudah kapal-kapal dikumpulkan semua di tepi sebelah timur Sungai. Tak dapatkah angkatan bersenjata Persia melindungi pantai itu, dan menangkis semua bahaya dari ibu kota? Ini merupakan pemi­kiran biasa dalam hal seperti ini, dan sudah seharusnya pula Yazdigird berpikir ke arah itu dan memanggil angkatan bersenj atanya untuk bertukar pendapat. Dari jiwanya yang masih muda dapat ia salurkan ke dalam jiwa mereka dan jiwa semua orang penduduk ibu kota — semangat untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan mereka. Sekiranya mau ia melakukan itu, paling kurang itulah kewajibannya terhadap dirinya, terhadap masyarakat yang telah menyerahkan pimpin­an ke tangannya, niscaya mereka akan berkumpul di sekelilingnya untuk mempertahankan keberadaannya.
Tetapi kebingungannya telah membuatnya tersesat dan pikirannya jadi kacau. Akibatnya ia melihat pasukan Muslimin itu tak Iain adalah jin yang tak mungkin ada kekuatan apa pun yang mampu merintangi langkahnya, dan tak akan mampu berbuat apa pun selain melarikan diri! Ya, siapa pula yang lebih berhak lari terlebih dulu daripada dia sendiri, menyelamatkan diri dan keluarganya! Oleh karena itu ia meme­rintahkan stafnya untuk membawa segala harta kekayaannya berikut barang-barang simpanannya. Perempuan-perempuan dan sanak keluarganya segera diangkut menuju Hulwan. Orang-orang melihat apa yang telah dilakukan Raja mereka itu. Semangat mereka pun remuk. Kini mereka hanya berpikir untuk juga menyelamatkan diri dan keluarga mereka. Bukankah Raja menjadi panutan rakyatnya? Mengapa keluarga kerajaan dan dayang-dayangnya lebih diutamakan daripada istri seorang prajurit atau perwira dan keluarganya?! Dengan demikian semangat hendak mengadakan perlawanan dalam hati prajurit Persia hilang sudah. Tak ada harapan lagi bagi mereka selain nasib baik yang memberi ke‑bahagiaan kepada mereka dan sungai itu juga yang akan menjadi alat penangkis serangan lawan, atau akan tersandung sekali sehingga me­reka tak lagi berkuasa, dan untuk mengadakan perlawanan sudah tidak mungkin lagi.

Mukjizat di Sungai Tigris

Demikianlah, di Sungai Tigris itu kini mengalir dua macam pa­sukan: satu pasukan yang sudah remuk segala kekuatannya, tak lagi punya semangat, tak lagi punya kemauan. la sudah menyerahkan diri kepada nasib. Dan satu pasukan lagi semangat idealismenya begitu tinggi dan sudah mencapai kekuatan iman dan percaya diri akan me­nang, sehingga terbayang olehnya bahwa ia dapat memukul Sungai itu dengan tongkatnya yang akan membukakan jalan menyeberang ke Ruang Sidang Istana Kisra. Itulah mukjizat yang diberikan Allah ke­pada Nabi Musa sehingga ia dan rombongannya dapat melarikan diri dari Mesir. Hal yang sama ini sekarang akan diberikan kepada pasukan Muslimin. Mereka akan menyeberangi sungai itu, akan menyerbu Ma­da'in dan menurunkan kedaulatan Kisra-kisra itu, kemudian menaikkan panji kebenaran di atas Ruang Sidang Istana yang agung itu.
Ya! Itulah mukjizat pasukan Muslimin yang menyeberangi Sungai Tigris. Mereka berdiri di tepi Sungai itu melihat air yang sedang bergolak. Sa'd sedang memikirkan cara untuk menyeberanginya. Pikirannya belum mernberikan jalan keluar. Ia memerintahkan stafnya membawa orang-orang dusun Persia untuk dimintai keterangan. Mereka menyarankan untuk terjun ke Sungai sampai ke dasar wadi. Tetapi dia khawatir arus yang deras akan membahayakan pasukannya. Ia lebih cenderung setiap orang tetap di tem­patnya. Karena masih ragu, saran orang itu tidak dilaksanakan.
Keesokan harinya Sa'd menerima berita bahwa Yazdigird telah memerintahkan agar segala harta simpanannya diangkut ke Hulwan. Sa'd mengumpulkan anggota pasukannya dan berpidato di hadapan mereka. Sesudah mengucapkan hamdalah dan bersyukur kepada Allah ia berkata: "Musuh kita sekarang berlindung pada Sungai ini. Janganlah biarkan dia lolos dari sana. Mereka dapat lolos kalau mau dan akan menyerang kita dari kapal-kapal mereka itu. Kita tidak khawatir mereka akan datang dari belakang kita. Pengalaman kita dulu sudah cukup. Mereka menyia-nyiakan pelabuhan mereka ini dan merusak pertahanan mereka sendiri. Saya berpendapat sebaiknya kita dahului menyerang musuh sebelum kita terkepung. Ya, sudah saya putuskan akan menye­berangi Sungai ini ke tempat mereka."
Sikap Sa'd itu dirasakan oleh anak buahnya tiba-tiba sekali. Bukan­kah kemarin ia masih ragu? Tidakkah ia khawatir pasukannya juga ragu sehingga tidak mampu menghadapi bahaya serupa itu? Tetapi ternyata mereka pun tidak ragu. Mereka sudah terpesona sekali oleh peman­dangan kota Mada'in itu, di samping memang sudah tertarik oleh Istana Kisra. Mereka berani menghadapi hal yang mustahil untuk memasuki ibu kota dan mengepung Istananya. Oleh karena itu, belum selesai Sa'd mengucapkan pidato semua mereka sudah berkata: "Allah sudah me­nguatkan hati kami dan hati Anda, maka marilah kita laksanakan!"
Tetapi bagaimana akan menyeberang? Kalaupun mereka menyebe­rang dengan menggunakan kuda, pasukan Persia di seberang pantai sudah menghadang mereka tanpa harus keluar dari tempat itu. Me­nyadari hal ini Sa'd menyuruh mereka dengan mengatakan: Siapa yang akan memulai dan melindungi selat ini buat kita supaya pasukan kita dapat menyusul tanpa terhalang untuk keluar. Lalu ia memanggil Asim bin Amr, dan sesudah itu memanggil enam ratus orang yang sudah berpengalaman dalam perang, dengan pimpinan oleh Sa'd diserahkan kepada Asim. Setelah mereka berangkat dan sampai di pantai Tigris Asim berkata kepada kawan-kawannya: Siapa yang akan bergabung dengan saya supaya dapat lebih dulu memasuki Sungai ini. Kita akan melindungi selat ini dari seberang sana? Ada enam puluh kesatria yang bergabung kepadanya dan dia yang di depan memimpin mereka ke tepi Sungai sambil berkata kepada mereka yang masih maju mundur: Rupanya kalian takut menghadapi air ini?! Lalu ia membacakan firman Allah:
"Segala yang bernyawa tak akan mati kecuali dengan izin Allah; waktunya sudah ditentukan..." (Qur'an, 3: 145).
Kemudian ia memicu kudanya menerobos Sungai dan diikuti pula oleh sahabat-sahabatnya. Melihat regu pertama ini Qa'qa' bin Amr terus maju berenang, dan ketika ia melemparkan pandangnya ke se­berang Sungai dilihatnya pihak Persia seolah sudah bersiap-siap hendak menerjang mereka, maka segera ia mengeluarkan perintah kepada saha­bat-sahabatnya yang enam ratus orang untuk terjun dengan kudanya ke Sungai. Mereka mengarunginya seperti Asim dan teman-temannya. Sekarang pihak Persia yang malah tercengang melihat apa yang dilaku­kan musuh mereka itu. Mereka berkata satu sama lain: Gila! Gila! Dan yang lain berkata: Kalian bukan berperang dengan manusia, tetapi de­ngan jin!
Pasukan Persia hanya melihat kepada orang-orang yang begitu berani bertualang itu. Setelah mereka melihat Asim dan sahabat-sahabatnya sudah di tengah Sungai, mereka mengerahkan pasukan berkudanya un­tuk merintangi mereka jangan sampai keluar dari air dan akan mereka perangi di tengah Sungai. Mereka sudah berada di dekat Asim saat ia sudah mendekati selat. Asim memerintahkan anak buahnya: Panah, panah! Mereka segera membidik dengan sasaran mata kuda lawan. Begitu bidikan itu mengenai matanya, kuda Persia itu berbalik lari ke belakang. Para kesatria pasukan berkuda Persia itu tak berdaya meng­hadapi mereka yang sudah terjun menantang maut di tengah-tengah gejolak Sungai tanpa peduli lagi apa yang akan menimpa diri mereka. Tetapi tak seorang pun dari regu yang mengerikan itu yang cedera. Bahkan Asim sendiri yang pertama mendarat ke seberang pantai. Pasukan Persia berlarian di depannya. Qa'qa' segera menyusulnya dengan regunya dan tak seorang pun lagi sekarang yang masih tinggal di pantai.
Melihat pasukan yang sudah begitu kuat di selat Mada'in, Sa'd bin Abi Waqqas memerintahkan semua anggota pasukan berkudanya yang ribuan jumlahnya itu serentak menyerbu masuk ke sungai yang sedang bergejolak itu, seperti yang dilakukan Asim tadi. Sungai yang saat itu sudah penuh kuda tak tampak lagi airnya. Para nelayan perahu dan awak kapal orang-orang Persia diperintahkan oleh Asim untuk bertolak ke seberang Bahrasir untuk mengangkut pasukan Muslimin yang tidak menyeberang dengan kuda. Ketika Sa'd dengan angkatan bersenjatanya menyeberang penghuni Mada'in sudah lari semua. Yang masih tinggal hanya mereka yang bertahan di Istana Putih. Tetapi mereka tidak meng­adakan perlawanan. Bahkan setuju mereka membayar jizyah. Pintu Istana pun dibuka untuk pasukan Muslimin.
Inilah salah satu mukjizat perang, yang hampir tak masuk akal. Dalam al-Bidayah wan-Nihayah Ibn Kasir selesai melukiskan secara terinci menyebutkan: "Itulah peristiwa besar dan hal yang amat penting, yang amat mulia dan yang luar biasa, suatu mukjizat Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam yang diciptakan Allah untuk sahabat-sahabatnya, suatu hal yang tak pernah terjadi di negeri itu atau di mana pun di dunia ini. Ungkapan sejarawan Islam ini melukiskan perasaannya dan perasaan kita ketika di depan kita tergambar segala tindakan yang sungguh cemerlang serta keberanian yang tak ada taranya. Untuk me‑lukiskan semua perbuatan itu, adakah kata yang lebih tepat daripada mukjizat? Mukjizat yang bagaimana lagi ketika regu di bawah pimpin­an Asim itu terjun ke Sungai, dan regu yang sebuah lagi di bawah pimpinan Qa'qa' juga terjun ke Sungai, dan keduanya tidak takut akan ditelan ombak atau akan diserang dengan panah oleh pasukan Persia dari seberang pantai?! Tetapi kepercayaan kepada kemenangan itulah yang telah mengangkat j iwanya ke mana pun akan dibawa, dan maut di depan matanya tak lebih dari kata-kata yang artinya sama: demi tujuan yang ingin dicapai. Pasukan Muslimin sudah tidak sabar lagi melihat Mada'in. Mereka ingin menerobosnya dan membebaskannya berapa pun harga yang harus dibayar, dengan darah dan dengan nyawa mereka sekalipun.
Itu sebabnya, tatkala melihat mereka, pasukan Persia itu berkata: Kita tidak berperang dengan manusia tetapi dengan jin. Setelah itu mereka tak tahu lagi bagaimana cara menghadapi j in, yang datang kepada mereka muncul dari sela-sela ombak, dan seolah suatu kekuatan gaib telah mengguncang bumi dan gunung. Bukankah gunung-gunung berapi dan halilintar merupakan suatu kekuatan gaib juga. Demikian halnya dengan kedua regu itu, juga demikian dengan Sa'd dan angkatan bersenjata yang lain tatkala mereka terjun ke sungai, kelompok demi kelompok, kuda dan para kesatria itu menyeruak ke tengah-tengah ombak yang sedang melonjak-lonjak. Bagaimana suatu kekuatan akan mampu bertahan menghadapi kekuatan semacam ini! Pihak Persia yang kekuatannya sudah berantakan dan sudah kehilangan semangat dalam menghadapi j in yang sekarang mendatangi mereka, dan mereka dalam ketakutan, apa pula yang dapat dilakukannya selain melarikan diri!
"Inilah mukjizat yang tak pernah terjadi di negeri itu atau di mana pun di dunia ini." Itulah kata-kata Ibn Kasir. Kalau tidak karena Timur Leng yang juga membawa-mukjizat serupa tatkala angkatan bersenjata­nya berenang menyeberangi sungai ketika mereka menyerang Bagdad pada akhir dasawarsa abad ke-14 Masehi, tentu sebagian orang masih akan ragu untuk mempereayainya. Bahkan Balazuri menyebutnya de­ngan agak berhati-hati, dan menambahnya dengan sumber-sumber yang lebih sukar untuk dapat dipercaya, di antaranya sumber dari Aban bin Saleh yang mengatakan: "Pasukan Muslimin berakhir sampai di Tigris yang airnya sedang meluap, hal yang tak pernah terjadi. Kapal-kapal dan semua sarana penyeberangan ke bagian timur oleh pihak Persia sudah diangkat dan jembatannya dibakar. Sa'd dan pasukannya merasa kesal sekali karena jalan untuk menyeberang sudah tak ada. Salah se‑orang dari pasukan itu memberanikan diri mencebur dan berenang de­ngan kudanya ke seberang, maka pasukan yang lain pun mengikutinya berenang. Kemudian mereka memerintahkan para awak kapal itu untuk mengangkut barang-barang. Pasukan Persia itu berkata: Tidak lain yang kita perangi ini adalah jin. Maka mereka pun binasa." Ada lagi sumber Abu Amr bin Ala' yang mengatakan: "Sa'd sudah tidak mempunyai sarana penyeberangan lagi. Ada yang menunjukkan ke tempat penye­berangan di desa nelayan maka mereka menceburkan kudanya ke sana. Pasukan Persia menghujani mereka dengan serangan, tetapi ketika itu tak ada yang terkena selain seorang dari Banu Tayyi' yang cedera."
Tentu sudah kita lihat bahwa sumber-sumber yang disajikan dengan berhati-hati itu terasa bahwa mereka masih ragu menerima sumber­sumber yang kami kemukakan itu. Tetapi Tabari, Ibn Asir, Ibn Khaldun, Ibn Kasir dan yang lain sepakat menerimanya. Sungguhpun begitu, kehati-hatian mereka tidak dapat menafikan sumber-sumber tersebut dan tak dapat memastikin apa yang mereka sanggah. Kehati-hatian demikian hanya ada pada orang yang melihatnya sebagai suatu keajaib­an yang memang dapat menimbulkan keraguan. Kalau mereka yang ragu hidup dalam akhir abad keempat belas Masehi dan mengetahui bahwa Timur Leng menyeberangi Sungai Tigris dengan pasukannya, seperti yang dilakukan Sa'd, niscaya sumber yang sudah disepakati bersama itu tidak akan mengherankan mereka lagi dan segala keraguan dalam pikiran mereka mengenai sumber yang sudah disepakati itu akan hilang, dan tidak lagi peristiwa yang mengherankan itu suatu keajaiban, tetapi, niscaya mereka akan yakin bahwa Sa'd: "Terjun dengan kudanya ke Sungai Tigris dan pasukannya ikut pula, sehingga tak seorang pun yang masih tinggal." Perjalanan mereka di tempat itu seperti sedang berjalan di permukaan tanah sehingga memenuhi kedua tepi Sungai itu, artileri dan infanteri tidak lagi melihat permukaan air. Mereka berbicara di permukaan air seperti berbicara di permukaan tanah. Soalnya karena mereka sudah tenteram, sudah merasa aman. Mereka hanya percaya kepada segala yang telah dijanjikan oleh Allah: pertolongan dan dukungan­Nya... Hari itu Sa'd berdoa untuk keselamatan dan kemenangan pasukan­nya. la telah menceburkan mereka ke dalam Sungai, tetapi Allah mem­bimbing dan menyelamatkan mereka, sehingga tak seorang pun ada korban di pihak Muslimin, dan tidak pula ada dari barang-barang mereka yang hilang selain sebuah gayung dari kayu milik seseorang, karena tali gan­tungannya sudah rapuh lalu terbawa ombak ke seberang yang ditujunya. Gayung itu dipungut orang kemudian dikembalikan kepada pemiliknya...
Yang mendampingi Sa'd bin Abi Waqqas di Sungai ketika itu Salman al-Farisi. Dalam hal ini Sa'd berucap: Cukup Allah bagi kami sebagai Pelindung terbaik. Niscaya Allah akan menolong pengikut-Nya, Allah akan memenangkan agama-Nya, Allah akan membinasakan musuh­Nya, selama dalam angkatan bersenjata ini tak ada orang yang melaku­kan perbuatan durhaka atau dosa yang melebihi kebaikan. Lalu kata Salman kepada Sa'd: Di Sungai musuh itu begitu hina, tak bedanya dengan di darat. Sungguh, demi yang memegang hidup Salman, mereka akan berbondong-bondong keluar, seperti waktu masuk. Memang benar, mereka keluar dari sana, seperti dikatakan Salman, tanpa kehilangan apa pun."
Sekarang pasukan Muslimin keluar dari Sungai itu, dan kudanya mengibas-ngibaskan bulu tengkuknya sambil meringkik-ringkik. Mereka memasuki kota Mada'in tetapi sudah tak ada orang, — selain mereka yang masih mau bertahan dalam Istana — sebab Yazdigird sudah mem­bawa keluarganya, harta dan barang-barang yang dapat diangkutnya kemudian mereka lari ke Hulwan. Sa'd menyerukan mereka yang masih bertahan dalam Istana itu supaya turun. Sesudah mereka turun, ia masuk bersama pasukannya sambil melemparkan pandangnya ke sana sini, melihat-lihat isi Istana yang agung itu, segalanya terdiri dari barang-barang berharga. Ketika itulah ia membaca firman Allah:
"Berapa banyak taman dan mala air yang mereka tinggalkan; tanaman-tanaman dan lempat-tempat kediaman yang indah; dan kenikmatan lempat mereka bersenang-senang. Demikianlah mereka berukhir, dan Kami wariskan kepada golongan lain. Langit dan bumi tidak menangisi mereka, juga mereka lidak diberi penangguhan waktu." (Qur'an, 44: 25-29).

Besarnya rampasan perang di Mada'in

Alangkah agung dan mulianya kemenangan itu! Inilah kota Kisra. dan inilah pula Ruang Sidang Istananya. Mereka yang datang adalah orang-orang Semenanjung Arab yang tandus dan gersang, mereka ber‑jalan penuh kagum di sela-sela taman-taman Istana, di antara taman bunga yang merekah dan pohon-pohon yang tinggi-tinggi, berbagai macam buah-buahan — kurma dan anggur. Belum pernah mata mereka melihat yang semacam ini. Dari kebun-kebun itu mereka berpindah ke serambi, yang membuat mereka bertambah kagum melihat isi di dalam­nya — ukiran-ukiran yang begitu indah dan cermat di luar yang dapat mereka lukiskan. Perabot-perabot rumah, yang di Damsyik pun tak ada yang dapat dibandingkan. Pelbagai permadani dari sutera Persia di­anyam dengan emas dan perak, dan segala kemewahan dan kenikmatan hidup terkumpul semua dalam Ruang Sidang Istana itu — karya-karya seni yang begitu indah dari segenap penjuru di Timur. Gerangan apa ini!! Dapatkah semua itu dibalas dengan rasa syukur kepada Allah? Tetapi bagi Sa'd dan sahabat-sahabat tak dapat berbuat lain daripada rasa syukur itu kepada Allah yang telah memberikan kemenangan kepada mereka. Dengan demikian Sa'd mengadakan salat syukur ke­pada Allah, salat kemenangan, delapan rakaat dengan satu kali salam. Setelah itu ia memerintahkan anak buahnya agar membawa keluarga pasukan Muslimin dari Hirah dan kota-kota serta desa-desa lain di Irak ke Mada'in.
Sa'd tinggal di Istana Kisra itu, dan Ruang Sidang Istana dijadi­kannya musala. Patung-patung yang ada di dalamnya dibiarkannya ti­dak terusik di tempatnya. Buat apa pula diusik yang hanya merupakan hiasan yang memperindah Istana dan tempat-tempat lain di dalam serarribi, kendati Ruang Sidang Istana itu diutamakan lebih indah dan lebih cemerlang. Dinding Istana dihiasi dengan ukiran-ukiran dari dasar di bawah sampai ke kolong-kolong kubah. Dinding yang tampak dari luar putih metah dibiarkan polos.
Dalam lemari-lemari Kisra itu Sa'd bin Abi Waqqas menemukan penuh dengan harta, pakaian yang mahal-mahal, bermacam-macam alat rumah tangga dan bejana, barang-barang lain yang nilainya tak mung­kin dapat dilukiskan dengan kata-kata dan angka. Dalam pada itu Sa'd sudah mengirim pasukannya untuk mengejar Yazdigird dan mereka yang lari bersamanya ke Hulwan. Mereka berhasil menyusul dan mem­bawa kembali sebagian mereka berikut barang-barang bawaannya, yang ternyata nilainya melebihi harta yang ada di dalam Istana. Dan di da­lam gedung-gedung sekitar Istana di Mada'in itu pasukan Muslimin juga menemukan barang-barang berharga dengan nilai yang dapat membingungkan daya khayal mereka, dan segalanya menunjukkan kemewahan penghuninya, dan yang hanya dikenal oleh Persia.
Kita sekarang j uga merasa kagum mengenai nilai barang-barang rampasan perang itu, baik nilai ataupun jumlahnya. Tidak heran jika para panglima yang melihat dengan mata kepala sendiri barang-barang rampasan perang itu begitu terperangah dan kagum melebihi kita, dan kalangan sejarawan Arab menyebut rampasan perang itu dengan terinci sekali yang dapat membenarkan kekaguman kita dan para panglima itu.
Disebutkan pula bahwa di tempat-tempat penyimpanan Kisra itu Sa'd menemukan tiga triliun dinar, dan barang-barang berharga di Istana yang sudah tak terhitung nilainya. Dan mereka yang berangkat mengejar Kisra membawa kembali sebuah mahkota bertatahkan mutu manikam, mutiara dan permata, dan pakaian dari sutera bersulam emas dan bertatahkan permata. Yang bukan sutera, yang juga bersulam, di samping mutiara Kisra, adalah pedang dan baju besinya yang juga dihiasi permata. Ketika Qa'qa' bin Amr mengejar seorang Persia dan berhasil membunuhnya, ia menemukan dari orang itu dua kopor besar berisi beberapa pedang, baju-baju besi milik Kisra, Heraklius, raja Turki dan raja-raja lain yang pernah diperangi dan memerangi Persia. Sesudah itu datang pula Ismah bin Khalid ad-Dibbi membawa dua buah keranjang, salah satunya berisi kuda dari emas dengan pelana dari perak, mulut dan lehernya dihiasi batu yakut dan zamrud yang ditatah dengan perak, begitu juga kekangnya, dan penunggang kuda terbuat dari perak bermahkotakan permata. Dalam keranjang yang sebuah lagi berisi unta terbuat dari perak dengan kain wol penutup punggung dan perut dari emas berikut tali kendalinya yang juga dari emas. Semua itu ditatah dengan batu yakut dengan patung seorang laki-laki di atasnya terbuat dari emas bermahkotakan permata. Di gedung-gedung besar di Mada'in pasukan Muslimin menemukan juga keranjang-keranjang yang disegel dengan timah, yang dikira berisi makanan, tetapi ternyata ada­lah bejana-bejana dari emas dan perak yang seragam. Di tempat-tempat itu juga mereka menemukan tidak sedikit kapur barus, yang karena banyaknya mereka mengiranya garam. Setelah dibuat adonan baru di­ketahui karena rasanya yang pahit.
Adakah semua harta karun itu menggoda orang-orang Arab itu, lalu ada yang tergoda dari mereka ingin mengambilnya barang sedikit untuk dirinya dan bukan dikembalikan kepada kolektor yang sudah ditunjuk oleh Sa'd untuk kemudian dibagikan? Tidak! Bahkan masing-masing yang memperoleh barang rampasan itu menyerahkannya kepada ko­lektor itu sampai nanti Sa'd sendiri memberikan pendapatnya.
Sesudah itu Qa'qa' bin Amr yang datang membawa pedang-pedang Kisra dan raja-raja yang lain dan menyerahkannya kepada Sa'd, oleh Sa'd ia disuruh memilih. la memilih pedang Heraklius, yang lain di­tinggalkan. Ketika ada laki-laki datang kepada kolektor itu membawa sebuah botol yang sangat berharga, kolektor itu dan beberapa orang yang berada di tempat itu menanyakan: Dari semua yang ada pada kita, kita tidak melihat yang semacam ini atau yang mirip dengan ini. Mereka menanyakan lagi laki-laki itu: Adakah yang sudah Anda ambil? Tidak, katanya. Kalau tidak karena Allah, tidak akan saya serahkan ini kepada kalian. Mereka menanyakan lagi tentang siapa dia? "Tidak akan saya beritahukan kepada kalian, agar kalian tidak memuji saya, tetapi yang saya puji hanya Allah dan saya sudah akan senang dengan karunia-Nya." Tetapi Sa'd segera tahu siapa orang itu dan yang se­macamnya. Kemudian ia berkata: Angkatan bersenjata itu sangat ber­pegang teguh pada amanat. Kalau tidak karena veteran Badr sudah berlalu, tentu saya katakan bahwa pada mereka itulah ciri-ciri khas ve­teran Badr. Jabir bin Abdullah berkata: "Demi Allah, Yang tiada tuhan selain Dia, saya tidak melihat siapa pun dari penduduk Kadisiah yang menghendaki dunia bersama akhirat. Kita pernah menyangsikan tiga orang, Tulaihah, Amr bin Ma'di Karib dan Qais bin Maksyuh padahal kita tidak melihat orang yang begitu jujur dan zuhud seperti mereka. Kesaksian Jabir atas ketiga orang itu punya alasan sendiri. Mereka dulu memimpin kaum murtad yang ditumpas oleh Abu Bakr dan yang me­merangi Abu Bakr karena rakusnya pada dunia dan kekuasaan. Seka­rang mereka menjadi Muslim yang baik dan berada di garis depan dalam berjuang di jalan Allah, menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan segala amal kebaikan dan mati­matian mempertaruhkan diri dalam perang.

Sa 'd membagi hasil rampasan perang

Sa'd memisahkan seperlima rampasan perang itu untuk dikirim ke Medinah, dan yang diutamakan sekali apa yang menjadi kesenangan Muslimin di sana. Ia bermaksud mengirim permadani beledru milik Kisra seperlima, tetapi dilihatnya pembagiannya tidak akan seimbang. Maka, katanya kepada sahabat-sahabatnya: Adakah kalian puas dengan empat perlimanya, dan kita mengirimkannya kepada Umar supaya dapat diatur sesuai dengan yang dikehendakinya? Kita berpendapat di tempat kita ini tidak akan terbagi, karena hanya sedikit, tetapi bagi pihak Medinah akan sangat berarti. Permadani ini enam puluh hasta dalam segi empat, yang disediakan bagi para kisra j ika datang musim dingin yang keras dan tidak ada tumbuhan yang harum tumbuh. Permadani ini berlukiskan jalan-jalan kerajaan, dihamparkan di atas tanah yang ke­emasan, disela-sela air sungai yang mengalir bertatahkan mutiara, bagi­an bawahnya seperti tanah yang ditanami tanam-tanaman musim semi dengan batang dari emas, daun dari sutera dan buahnya dari permata. Setelah pendapat Sa'd mereka setujui permadani bersama seperlima (rampasan perang) dikirim ke Medinah.
Sa'd membagikan rampasan perang itu kepada anggota-anggota pasukannya, dan sudah selesai untuk 60.000 orang dari pasukan ber­kuda, setiap orang mendapat dua belas ribu. Untuk penduduk negeri diberi sesuai dengan perjuangan mereka. Sa'd juga mengatur pembagi­an rumah-rumah kepada anggota-anggota pasukannya. Yang berkeluarga banyak ditempatkan di gedung-gedung dan mereka tinggal di sana sam­pai tiba saatnya, ada di antara mereka yang harus meninggalkan tempat tersebut sesudah gerakan pembebasan itu makin meluas sampai ke desa-desa di Persia. Kita bebas membayangkan sendiri betapa gembira­nya para prajurit itu dengan rampasan perang tersebut, serta semangat mereka menghadapi pembebasan baru dengan rampasan perangnya yang baru pula.

Umar, Sa 'd dan Yazdigird

Basyir bin al-Khasasiah berangkat ke Medinah membawa seper­lima rampasan perang itu, dan diserahkannya ke tangan Amirul­mukminin. Umar sudah lebih dulu mendapat berita tentang pembebasan Mada'in, karena Sa'd memang sudah mengirim laporan kepadanya tentang apa yang dikerjakannya sehingga seolah Umar sendiri hadir. Sungguhpun begitu ia terkejut sekali melihat begitu banyak rampasan perang itu dan nilainya serta usaha pasukan Muslimin memperolehnya secara utuh. Ia menoleh kepada orang-orang di sekitarnya sambil ber­kata: "Mereka orang-orang yang dapat dipercaya yang telah me­laksanakan semua ini!" Ali bin Abi Talib menjawab: "Anda hidup sangat sederhana dengan menahan diri dari segala yang Anda rasa tidak baik, sehingga rakyat Anda juga begitu. Kalau saja Anda mau menye­nangkan diri tentu mereka juga akan demikian." Umar memperhatikan segala pakaian Kisra, beberapa pedang dan baju besinya. Lalu di­pakaikannya pada sebatang kayu dan diletakkannya di depannya supaya dilihat oleh orang banyak betapa mengagumkan perhiasan itu. Dikata­kan konon ia memanggil Suraqah bin Ju'syum, orang yang paling besar badannya dan paling gemuk. la mengenakan baju Kisra itu kepadanya berikut celana, jubah, pedang, sabuk, gelang, mahkota dan kasutnya. Disuruhnya ia mundar mandir di depannya. Kemudian katanya: "Bah, bah. Arab pedalaman dari Banu Mujlij memakai jubah Kisra berikut celana, pedang, mahkota dan kasutnya!! Hai Suraqah, sekiranya suatu hari barang-barang Kisra dan keluarga Kisra ini menjadi milik Anda tentu merupakan suatu kehormatan bagi Anda dan masyarakat Anda!..." Dikatakan begitu karena Kisra mempunyai beberapa macam pakaian, pada setiap acara dengan pakaian tersendiri.
Setelah Umar mendatangkan orang yang paling besar tubuhnya di Medinah, setiap macam pakaian demi pakaian itu dipakaikan kepadanya. Ia melihat orang-orang menyaksikan semua pakaian itu sebagai pe­ristiwa keajaiban dunia yang luar biasa. Sesudah selesai orang badui tersebut mengenakan pakaian itu semua, Umar menengadah ke atas seraya berkata: "Allahumma ya Allah, Engkau telah menghindarkan semua ini dari Rasul-Mu dan Nabi-Mu, padahal dia lebih Kaucintai daripada aku, lebih Kaumuliakan daripadaku, juga Engkau telah meng­hindarkannya dari Abu Bakr, yang lebih Kaucintai daripadaku, lebih Kaumuliakan daripadaku. Maka jika semua ini akan Kauberikan ke­padaku, aku berlindung kepada-Mu ya Allah, juga jangan sampai Kau­berikan kepadaku untuk memuliakan aku!"
Itulah salah satu ciri khas Umar yang kelak akan dikenang orang dan pengaruhnya yang sangat jelas terhadap umat pun akan dikenang. Ia sudah merasakan kemewahan ini akan menimbulkan daya tarik dalam hati orang dan akan dijadikan pola hidup untuk dicontoh, dan dengan segala daya upaya orang akan membayar berapa pun harganya demi tujuan itu. Akibatnya, orang akan menjauhkan diri dari segala arti kemanusiaan yang lebih terhormat, yang akan mengantarkan hati dan pikiran kita ke puncak tertinggi untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang dengan karunia-Nya pula kita akan melihat wajah Kebenaran. Karena ciri khas Umar itu, karena kekhawatirannya bahwa Allah memberikan harta kekayaan Kisra kepadanya itu untuk mengujinya,[4] ia menangis sehingga orang-orang merasa iba hati melihatnya. Kemudian sambil menunjuk kepada harta itu ia berkata kepada Abdur-Rahman bin Auf: "Saya meminta Anda dengan sungguh-sungguh, hendaklah se­belum sore ini sudah Anda jualkan harta ini kemudian bagi-bagikan!" Selanjutnya Umar membagi-bagikan yang seperlima itu kepada orang banyak sesuai dengan kadar mereka dan memberikan tambahan kepada mereka yang hadir dan yang tidak hadir dari keluarga orang-orang yang sudah berjuang. Melihat permadani yang tak dapat dibagi ia berkata kepada mereka yang ada di sekitarnya: "Bagaimana pendapat kalian mengenai permadani ini." Mereka berkata: "Semua pasukan sudah memberikan itu untuk Anda, dan pendapat kami mengenai ini kami menyerahkan kepada Anda. Ada lagi yang berkata: Itu hanya untuk Amirulmukminin sendiri. Tetapi Umar tak mau memilikinya atau mem­berikan pendapat. Saat itulah Ali bin Abi Talib berkata: "Allah tidak akan menjadikan ilmu yang ada pada Anda untuk membuat Anda bodoh, dan keyakinan Anda menjadi keraguan. Anda tak mempunyai apa-apa di dunia ini selain yang sudah diberikan kepada Anda, maka itu pun sudah berlalu, atau yang Anda pakai, itu pun sudah usang, atau yang Anda makan, dan itu juga sudah habis. Kalau ini Anda simpan sekarang Anda tidak akan menghilangkan hak orang yang tidak punya." Umar berkata: "Anda memang bersungguh-sungguh menasihati saya." Kemudian permadani itu dipotongnya dan dibagikan kepada khalayak. Ali juga mendapat sepotong tetapi bukan dari yang terbaik. Sungguh­pun begitu sudah pula dij ualnya dengan, harga dua puluh ribu.
Sementara Umar membagi-bagikan rampasan perang kepada pen­duduk Medinah, orang melihat apa yang sudah mereka terima itu suatu karunia dari Allah yang belum pernah mereka rasakan. Dalam pada itu Sa'd bin Abi Waqqas pun sudah merasa tenteram di Mada'in. Ia tinggal di Istana itu dan Ruang Sidangnya dijadikan musala untuk kaum Mus­limin. Suara azan diperdengarkan di dalamnya, dan salat pun dilaksana­kan. Setiap hari Jumat orang berkumpul di tempat ini dan Sa'd yang bertindak sebagai khatib dan imam.
Sementara itu Yazdigird sudah pula tiba di Hulwan, dengan pe­rasaan sedih, terkulai dalam keadaan kalah. Jantungnya terasa remuk dirundung kesedihan, hatinya terasa pecah terbawa rasa putus asa. Teringat ia akan keagungan Persia, kemegahannya yang menjulang begitu tinggi. Bertambah sedih hati mengenangnya. Terbayang di depan matanya sosok Rustum dan segala yang disebutnya dulu tentang ramalan-ramalan nujum. Di mana sejarah silam itu sekarang, tatkala nenek moyangnya bergerak dari Iran ke Irak, lalu menyusur sepanjang pantai Tigris, dan ketika mereka berada di Cteciphon (Mada'in) yang berhadapan dengan Seleusia (Saluqiah),[5] dan ketika Cteciphon diper­luas dan kota-kota sekitarnya digabungkan ke dalamnya, lalu kota ini dan Seleusia disatukan, yaitu Mada'in, kemudian Seleusia diberi nama Bahrasir supaya masa jayanya dulu dilupakan orang! Kalau ada kota Yunani bertahan dengan kebebasannya sendiri, maka itulah Sparta.
Tetapi mana sekarang sejarah masa kisra-kisra nenek moyangnya dari dinasti Sasani yang dulu telah menaklukkan dunia itu? Dari masa kakeknya Ardasyir, yang telah membangun Istana Kisra dan Ruang Sidangnya yang paling megah dan mewah?! Sekarang dia menjadi se­orang raja yang sudah tidak lagi berkuasa, terusir dari ibu kota keraja­annya, lalu lari seperti pengecut. Tabahkah dia menghadapi kekalahan itu, menghadapi bencana yang menimpanya? Adakah nasib masih akan mendukung pasukan Muslimin untuk terus mengejarnya sampai sejauh mana pun? Darah mudanya yang dulu mendidih dan keteguhan hatinya yang terus memberikan harapan, masih adakah harapan itu baginya, ataukah kekalahannya sudah membuat keteguhan hatinya mencair dan darah mudanya sudah tidak lagi mendidih, sehingga segala cita-cita dan harapannya hilang terbawa angin?
Tatkala pertama kali tinggal di Hulwan tak ada yang dipikirkan oleh anak muda yang sudah kalah itu. la sudah menawarkan per­damaian kepada pasukan Muslimin atas dasar Sungai Tigris sebagai pembatas antara dia dengan mereka. Ya, sesudah mereka membebaskan Mada'in, cukupkah dengan itu dan hanya sampai di situ? Kalau mereka lakukan ini berarti mereka ikut mewujudkan cita-citanya, dan hari depan cukup untuk menjamin kekuasaannya. Tetapi mereka pihak yang menang, dan pihak yang menang tak mengenal gencatan senjata. Ang­katan bersenjatanya yang dulu banyak berlimpah, sudah beterbangan kian ke mari mencari selamat. Serahkanlah semua itu kepada masa yang akan datang! Dan hari esok bagi yang mengawasinya itu dekat!
Apa yang akan terjadi besok? Itulah yang akan kita bicarakan dalam bab berikut ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar