HAIDH DALAM AL-QURAN
Assalamu'alaykum Wr. Wb.
Bolehkah wanita yang sedang Haidh sholat
?
Pertanyaan ini tiba-tiba kembali menyadarkan saya untuk mau menggali kitab suci al-Qur’an lebih dalam, sebab pada kenyataannya ayat yang melarang wanita haid untuk berpuasa atau bersholat tidak ditemukan dalam tafsir-tafsir al-Qur’an yang beredar dimasyarakat, sekalipun itu tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia.
Pertanyaan ini tiba-tiba kembali menyadarkan saya untuk mau menggali kitab suci al-Qur’an lebih dalam, sebab pada kenyataannya ayat yang melarang wanita haid untuk berpuasa atau bersholat tidak ditemukan dalam tafsir-tafsir al-Qur’an yang beredar dimasyarakat, sekalipun itu tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia.
Selama ini setiapkali pertanyaan ini diajukan,
orang akan beramai-ramai menunjukkan dalilnya dari hadis-hadis Nabi tetapi tidak
ada satupun dari dalil itu yang diperkuat oleh ayat al-Qur’an, sungguh aneh, padahal Allah sendiri
menyatakan bahwa al-Qur’an
itu lengkap, tidak ada yang tertinggal.
Qs. 6 al-An’aam : 38
Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam
Kitab itu
Qs. 6 al-An’aam : 114
Maka patutkah aku mencari hakim selain
daripada Allah ? padahal Dialah yang telah menurunkan kitab kepadamu dengan
terperinci ...
Qs. 6 al-An’aam : 115
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur'an),
sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah
kalimat-kalimat-Nya...
Qs. 7 al-a’raaf : 52
Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan
sebuah Kitab (al-Qu'ran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar
pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman.
Qs. 12 Yusuf : 111
al-Qur'an itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (wahyu) sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu.
Lalu bagaimana mungkin masalah haid ini justru
tidak bisa ditemukan didalamnya ?
Kita semua tahu bahwa al-Qur’an diturunkan dalam dua format ayat,
yaitu format muhkamat dan format mutasyabihat[2]. Yang dimaksud dengan ayat-ayat
muhkamat adalah ayat-ayat yang bercerita secara jelas dan gamblang mengenai
sesuatu hal, termasuk didalamnya masalah hukum-hukum kemasyarakatan maupun
keagamaan. Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang memiliki penafsiran
multidimensi, yang masih memerlukan penganalisaan secara mendalam.
Dia yang telah menurunkan Kitab kepadamu,
sebagian isinya berupa ayat-ayat yang muhkamat yaitu inti sari dari Kitab; dan
sebagian lainnya berupa ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang didalam hatinya ada kesesatan,
mencari-cari apa yang bersifat mutasyabihat untuk membuat fitnah dan memberi
penafsiran terhadapnya. Padahal tidaklah mengetahui pemahamannya kecuali Allah
dan orang-orang yang berilmu.; Katakanlah : ‘Kami beriman kepada-Nya, semua ayat-ayat
itu berasal dari Tuhan kami, dan tidaklah memahaminya kecuali orang-orang yang
memiliki pemikiran.’
– Qs. 3 Ali Imron :
7
Tetapi satu hal yang pasti, baik ayat muhkamat
ataupun mutasyabihat diturunkan Allah untuk manusia, artinya kedua format ayat
tersebut harus dipelajari dan diamalkan guna kesejahteraan hidup simanusia itu
sendiri dan menjadi pedoman selama dia hidup. Semua ayat al-Qur’an akan menjadi tidak berfungsi bagi
manusia apabila kematian sudah mendatanginya (istilah al-Qur’an maut sudah berada
dikerongkongan).
Lalu, jika masalah hukum orang yang sedang
haidh boleh tidaknya ia berpuasa dan sholat hanya diatur didalam hadis,
bagaimana dengan status kelengkapan al-Qur’an yang sering digembar-gemborkan ?
Selanjutnya, apakah Nabi lebih pintar dari
Allah sehingga beliau bisa dan memiliki hak untuk menentukan halal-haram suatu
urusan ? tidakkah ini bertentangan juga dengan pernyataan al-Qur’an yang lain bahwa semua yang diucapkan
oleh Nabi itu adalah wahyu dari Allah[3].
Logikanya, tidak mungkin Nabi bisa menentukan
status hukum sendiri tanpa adanya petunjuk dari Allah, dan selama hukum itu
bersifat kontinyu atau suatu permasalahan itu pasti terjadi secara berulang
tidak hanya pada masa kehidupan Nabi saja tetapi juga pada masa-masa seterusnya
hingga akhir jaman tentu Allah akan mengaturnya didalam al-Qur’an sebagai kitab yang dipelihara-Nya.
Yang tidak akan datang kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya[4] (berbeda
dengan hadist yang sama sekali tidak mendapat jaminan serupa al-Qur’an[5]).
Jika demikian adanya, pastilah keputusan Nabi
seperti yang tercantum dalam hadis-hadis tersebut memiliki dasar yang kuat dari
al-Qur’an dan ini berarti
pula ada sesuatu yang salah dari diri kita didalam menafsirkan sejumlah
ayat-ayat al-Qur’an tersebut
sehingga ayat yang dimaksudkan justru tidak terterjemahkan secara benar. Mari
kita lihat :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan pada orang-orang sebelum kamu agar kamu
terpelihara.
Yaitu beberapa hari yang tertentu, namun siapa
diantara kamu sakit atau dalam perjalanan maka wajib ia mengganti puasanya
beberapa hari itu dihari-hari yang lain, dan
orang-orang yang bisa puasa tetapi dengan susah payah jika tidak berpuasa wajib
membayar fidyah dengan memberi makan fakir
miskin.
Qs. 2 al-Baqarah 183 s/d 184 Tafsir al-Furqon
Terjemahan A. Hassan, 1956
... dan Allah hendak membuat keringanan bagi
kamu dan tidak menginginkan keberatan atasmu ...
Qs. 2 al-Baqarah 185 Tafsir al-Furqon
Terjemahan A. Hassan, 1956
Disini maksudnya orang yang bisa puasa tetapi
menemui kesusahan atau menjadi beban tersendiri baginya saat melakukan bisa
menggantinya dengan membayar fidyah.
Orang-orang tersebut tentunya harus memiliki
dasar yang bisa dipertanggung jawabkan, misalnya orang itu sedang menjalani
siklus menstruasinya, atau juga sedang dalam keadaan hamil dan dianggap puasanya
itu dapat membahayakan kandungannya, maka mereka-mereka ini bisa dimasukkan
golongan yang mendapat ruksah atau keringanan dari Allah. Begitupula halnya
dengan orang-orang tua yang sudah lemah dan pikun, sementara bagi yang sakit
sudah dinyatakan secara jelas dalam ayat tersebut.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
sholat dalam keadaan lupa ingatan (mabuk) sampai kamu sadar (mengerti) apa yang
kamu katakan dan jangan pula kamu memasuki tempat sholat itu sementara kamu
dalam keadaan Junub kecuali
sekedar melaluinya saja (lewat didekatnya) sampai kamu mandi, dan jika kamu
sakit atau habis buang air atau kamu bersetubuh sedang kamu tidak mendapat air
maka hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu muka kamu
dan tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan dan Maha
mengampuni.
Qs. 4 an-Nisaa’ 43
Hai orang-orang yang beriman, bila kamu berdiri
untuk sholat hendaklah kamu menyuci muka kamu dan tangan kamu sampai
kesiku-sikunya dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dua mata kaki; dan jika
kamu berjunub hendaklah kamu
mandi; dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau selesai dari buang air
atau kamu selesai bersetubuh tetapi kamu tidak mendapati air maka hendaklah kamu
bertayamum ... Qs. 5 al-Maaidah 6
Dari ayat-ayat ini hal pertama yang dilarang
melakukan sholat adalah apabila kondisi kita saat itu sedang dalam keadaan lupa
ingatan (sebagian mufassirin menterjemahkannya dalam keadaan mabuk, tetapi sama
saja dalam makna). Bila pikiran kacau balau bagaikan orang yang sedang mabuk,
maka sholat justru dilarang baginya sebab akan menjadi percuma saja, dia tidak
akan mengetahui dan mengerti apa yang dia baca itu, bisa saja justru dia memaki
dirinya sendiri atau malah juga memaki Tuhan dalam sholat tersebut.
Istilah Laamastumun
Nisaa’ dalam surah
an-Nisaa’ ayat 43 dan surah
al-Maaidah ayat 6 tidak bisa diartikan secara harfiah batalnya wudhu hanya
karena menyentuh atau bersenggolan dengan perempuan sebab kelanjutan ayat itu
adalah adanya perintah mandi, ini menandakan bahwa menyentuh perempuan disini
maksudnya bersetubuh. Dengan demikian, tidak batal wudhu hanya dengan
bersentuhan biasa saja dengan perempuan.
Telah berkata ‘Aisyah : Nabi Saw pernah mencium salah
seorang istrinya lalu beliau sholat, padahal beliau tidak mengulangi wudhunya
lagi - Riwayat Nasai
Lebih jauh secara logika, ayat ini tidak membedakan status perempuan
yang dengan bersenggolan saja bisa membatalkan wudhu, artinya bila kita
bersentuhan dengan ibu kandung, adik kandung maupun istri maka akan batallah
wudhu tadi. Sungguh ini akan menjadi sesuatu yang bertentangan dengan ayat-ayat
al-qur’an yang menyatakan
bahwa ibu kandung, adik perempuan maupun istri adalah mahram dari laki-laki.
Ditambah lagi keterangan dari ‘Aisyah tersebut diatas, dimana Nabi
sendiri justru pernah mencium istrinya dan tidak mengulangi wudhunya karena hal
itu. Logika lain bisa diambil pada waktu melaksanakan ibadah haji lebih-lebih
waktu tawaf, disana bercampur baur antara laki-laki dan wanita baik yang
mahramnya ataupun bukan dan selama prosesi haji ini tidak bisa dihindari
ketersentuhan antara pria dan wanita (terlepas apakah memiliki nafsu atau tidak)
dan tetap saja ini tidak membatalkan wudhu masing-masing. Coba jika dengan
bersentuhan saja wudhu menjadi batal, alangkah repotnya ribuan bahkan jutaan
jemaah haji ini untuk antri mengambil air wudhu.
Sangat menarik sekali bila kita melihat
pendapat yang dikemukakan oleh Nazwar Syamsu dalam salah satu buku seri Tauhid
& Logikanya yang berjudul “al-Qur’an tentang
Shalat Puasa dan Waktu” bahwa
telah terjadi kekeliruan dalam menafsirkan kata-kaata SAFAR, ‘ALAA
SAFARIN dan JUNUB.
Menurut beliau, kata JUNUB bukanlah berarti
keadaan kotor sesudah bercampur suami istri (bersetubuh) karena
al-Qur’an sudah mempergunakan
istilah LAAMASTUMUN NISAA’
(bersentuhan).
Istilah Junub pada surah an-Nisaa’ 4:43 dan al-Maidah 5:6 memiliki arti
DALAM PERJALANAN..
Disini Nazwar Syamsu mengambil persamaan dengan
surah an-Nisaa’ 4:36 dan
surah al-Qashash 28:11 :
Baiknya kita coba bahas dulu surah
an-Nisaa’ 4 ayat 36 dan saya
mengambil 3 terjemahan yaitu Nazwar Syamsu, A. Hassan (tafsir al-Furqonnya
sangat letterlyk sekali sehingga menjadi salah satu standar terjemahan yang
sering saya pergunakan) dan terakhir adalah terjemahan Departemen Agama
RI.
“Sembahlah Allah dan
jangan sekutukan Dia dengan apapun, dan berbuat baiklah pada ibu bapak serta
kerabat dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan TEMAN SEPERJALANAN
(JUNUB) dan teman sendiri dan para pejuang ...” – Qs. 4/36 terjemahan Nazwar Syamsu
“Dan hendaklah kamu
berbakti kepada Allah dan jangan kamu sekutukan Dia dengan apapun, dan hendaklah
kamu berbuat baik dengan sebenarnya pada ibu bapak dan keluarga terdekat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan tetangga terdekat dan tetangga yang
jauh, dan SAHABAT SEJALAN dan ANAK-ANAK JALAN ...”
– Qs. 4/36
terjemahan A. Hassan dalam Tafsir al-Furqon
“Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada
dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, dan TEMAN SEJAWAT, IBNU SABIL ...
“ – Qs. 4/36 terjemahan Depag RI
Dalam catatan kakinya, Depag RI menulis :
Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan
yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak
diketahui ibu bapaknya.
Rangkaian kata dalam terjemahan ketiganya
memang cukup berbeda namun disini ada satu benang merah yang bisa kita dapatkan
bahwa istilah JUNUB diterjemahkan masing-masing sebagai status orang DALAM
PERJALANAN dan BUKAN HABIS BERSETUBUH.
Hanya sekarang istilahnya jika
terjemahan Nazwar
Syamsu dipakai kata
“Teman
Seperjalanan”, A.Hassan
menggunakan istilah “Sahabat
Sejalan” dan “Anak-Anak Jalanan” sementara Depag RI memakai istilah “Teman Sejawat dan Ibnu Sabil” tetapi pada dasarnya memiliki arti yang
sama.
Sekarang kita lihat al-Qashash 28:11
:
Dan dia berkata pada kakaknya : “Ikutilah dia”, lalu dia melihat-lihatnya dari
Perjalanan (JUNUB) dan mereka tidak menyadari”
– Qs 28/11
terjemahan Nazwar Syamsu
Dan dia berkata kepada kakaknya : “Ikutilah dia,”, maka ia melihatnya dari jauh sedang
mereka tidak sadar”
– Qs. 28/11 terjemahan A.
Hassan
Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa
yang perempuan: "Ikutilah dia" Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang
mereka tidak mengetahuinya –
Qs. 28/11 terjemahan Depag RI
Terjemahan ketiganya sekali lagi memang berbeda
tetapi ada hal yang bisa ditarik persamaan, yaitu istilah Junub digunakan
sebagai suatu keadaan yang menunjukkan Perjalanan, sebab konteks ayat ini
bercerita tentang pesan Ibu Nabi Musa yang meminta kepada saudaranya untuk
Berjalan mengikuti keranjang berisi bayi (yaitu Musa kecil) dari
kejauhan.
Dengan demikian saya lebih bisa menerima logika
yang ditawarkan oleh Nazwar Syamsu bahwa kata JUNUB pada surah 4/43 dan 5/6 pun
harus diartikan yang sama, yaitu orang yang melakukan perjalanan atau
musafir.
Dalam konteksnya, orang yang melakukan
perjalanan (jauh) apalagi waktu ayat ini turun perjalanan dari satu tempat
ketempat lain masih ditempuh dengan berjalan kaki, naik onta maupun kuda maka
tentunya mengeluarkan keringat yang banyak maka sudah sewajarnya apabila dia
diwajibkan mandi dahulu sebelum sholat agar menjadi segar dan konsentrasi dalam
beribadah, namun bila tidak didapatinya air maka ia mendapat ruksah atau
kemudahan dengan bertayamum saja.
Kenapa harus mandi setelah berjalan jauh,
apakah keringat itu merusak sholat ?
Seperti yang kita tahu, sholat itu ditekankan
untuk dilakukan secara berjemaah, dan Nabi menganjurkan agar sebisanya sebelum
sholat kita memakai pakaian yang bagus, bersih dan kalau perlu memakai pula
wangi-wangian, saat ada seorang sahabat ikut sholat berjemaah selepas makan
bawang, Nabi malah menyuruhnya keluar dari jemaah karena baunya mengganggu
rekan-rekan yang lain.
Tentunya pula tidak ada keringat yang wangi,
bukan ?
Karena itu kita perlu mengkaji kembali secara
kritis istilah JUNUB dalam terjemahan-terjemahan al-Qur’an yang ada, dan terjemahan yang baik
adalah yang juga memparalelkan dengan ayat-ayat lain yang juga menggunakan
istilah yang sama.
Lalu kenapa saya menggunakan terjemahan
al-Qur’an oleh A. Hassan ?
Tidak lain karena terjemahan beliau sekali lagi
sangat letterlyik dan cenderung tidak menambahi atau merubah arti, saya ambil
contoh ketika menterjemahkan surah an-Nisaa’ ayat 157 :
Dan perkataan mereka:"Bahwa kami telah membunuh
Isa AlMasih putera Maryam, utusan Allah", padahal tidaklah mereka membunuhnya
dan tiada menyalibnya, TETAPI DISAMARKAN UNTUK
MEREKA.
Bandingkan dengan terjemahan Depag RI (lihat
yang saya besarkan hurufnya) :
Dan karena ucapan mereka : "Sesungguhnya kami
telah membunuh Al Masih, 'Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak
membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, TETAPI (YANG
MEREKA BUNUH IALAH) ORANG YANG DISERUPAKAN DENGAN 'ISA BAGI MEREKA.”
Disini Depag RI telah melakukan interpolasi
ayat, bahwa penterjemahan sudah dicampurkan dengan pemahaman, padahal ini
membuat arti ayat tersebut berbeda.
Padahal arti kata Syubiha lahum adalah samar, penyamaran atau disamarkan kepada
mereka (maksud mereka disini merujuk pada orang-orang yang melakukan penyaliban
itu yaitu tentara Romawi dan para Rabi Yahudi).
Bagaimana bisa sampai Departemen Agama RI
menterjemahkan istilah penyamaran menjadi orang yang diserupakan dengan
'isa ?
Adalah syah dan lumrah saja bila para
penterjemah itu berkeyakinan Nabi Isa tidak disalib dan masih hidup dilangit
antah berantah sampai sekarang dan kelak akan turun lagi kebumi ini. Namun
secara obyektif pemandangan ini tidak bisa dijadikan terjemahan dari kata
Syubiha lahum karena dia
hanya berbentuk penafsiran dan bukan arti kata, disini jelas Departemen Agama
telah salah karena berani menambahi arti ayat (itulah makanya sebaiknya tidak
menggunakan Terjemahan Depag RI).
Baiklah, kita lanjutkan lagi pada pembahasan
seputar Haidh dalam al-Qur’an.
Berikutnya, Nazwar Syamsu berpendapat bahwa
kata SAFAR, SAFARU, MUSFIRAH, ASFARA tidak tepat diartikan sebagai PERJALANAN.[6] Istilah-istilah ini masih menurut
beliau memiliki pengertian atau arti BEBAN atau menanggung sesuatu.
Sebagai salah satu contoh Nazwar mengambil
surah al-Jumu’ah 62 ayat 5
yang akan saya bandingkan juga disini dengan terjemahan Departemen Agama RI dan
A. Hassan :
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang
membawa beban-beban (ASFAR). – Qs. 62/5 –
terjemahan Nazwar Syamsu
Bandingan orang-orang yang dibebankan Taurat,
kemudian mereka tidak memikulnya seperti keledai yang memikul kitab.
– Qs. 62/5 terjemahan A.
Hassan
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal. – Qs. 62/5 –
terjemahan Depag RI
Dari ketiga terjemahan diatas, maka arti kata
Asfar memang bisa dimaknai sebagai suatu beban atau pembebanan, bahwa A. Hassan
menterjemahkan kata HUMMILU sebagai DIBEBANKAN adalah sesuatu hal yang bisa
diterima untuk menjelaskan maksud dari kata ASFAR diakhirnya. Demikian pula
halnya dengan Depag yang menterjemahkan dengan istilah MEMIKUL yang berarti
MENANGGUNG BEBAN.
Surah 62/5 sendiri tidak berbicara mengenai
keledai yang memikul atau membawa kitab-kitab tebal, apabila kemudian A. Hassan
dan Depag RI sampai menambahkan kata Kitab-kitab
tebal maka mungkin ini diambil maknanya dari kata
sebelumnya yaitu MASALULLAZI NA HUMMILUTTAWROT atau perumpamaan orang-orang yang
diberikan kitab Taurat.
Dengan begitu maka surah an-Nisaa’ 4 ayat 43 dan al-Maaidah 5 ayat 6 yang
berbicara tentang syarat sholat juga mencakup orang-orang yang memiliki beban
atau tanggungan yang berat termasuk didalamnya wanita yang mengalami siklus
menstruasi.
Sehingga ayat tersebut bisa diterjemahkan
sebagai berikut :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
sholat dalam keadaan lupa ingatan (mabuk) sampai kamu sadar (mengerti) apa yang
kamu katakan dan jangan pula kamu memasuki tempat sholat itu sementara kamu
dalam keadaan JUNUB (habis melakukan perjalanan jauh
yang melelahkan) kecuali sekedar melaluinya saja (lewat
didekatnya) sampai kamu mandi (yaitu tubuh sudah
bersih, segar dan harum sehingga tidak mengganggu orang lain yang beribadah
didalamnya), dan jika kamu sakit atau SAFAR (BERBEBAN
BERAT seperti wanita haid, kuli angkut dipasar),
sehabis buang air atau kamu LAAMASTUMUN
NISAA’ (habis
bersetubuh) sedang kamu tidak mendapat air maka
hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu muka kamu dan
tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan
dan Maha mengampuni. - Qs. 4 an-Nisaa’ 43
Hai orang-orang yang beriman, bila kamu berdiri
untuk sholat hendaklah kamu menyuci muka kamu dan tangan kamu sampai
kesiku-sikunya dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dua mata kaki; dan jika
kamu BERJUNUB hendaklah kamu
mandi; dan jika kamu sakit atau BERBEBAN
BERAT atau selesai dari buang air atau kamu
SELESAI BERSETUBUH tetapi
kamu tidak mendapati air maka hendaklah kamu bertayamum ... Qs. 5 al-Maaidah
6
Jika kedua ayat ini diterjemahkan seperti
diatas, maka tidak menjadi persoalan lagi bila didalam banyak Hadisnya Nabi
Muhammad melarang wanita yang sedang menstruasi untuk melakukan sholat maupun
puasanya, sebab mereka saat itu termasuk sedang dalam keadaan yang berbeban
berat, bayangkan saja mereka mengalami pendarahan yang kontinyu selama beberapa
hari bahkan bagi mereka yang ada kelainan bisa menjalani lebih lama dari wanita
umumnya dan dalam keadaan demikian secara emosional wanita akan lebih sensitif,
mudah marah, mudah kesal, mudah capek dan sebagainya belum lagi sakit kepala,
sakit perut pokoknya kompleks (saya pribadi tidak pernah mengalaminya tetapi ini
berdasarkan pengalaman istri saya).
Orang yang berbeban berat juga bisa mencakup
kuli angkut dipasar, tukang becak dan sebagainya dimana mereka bekerja
benar-benar menggunakan tenaga kasarnya sehingga tidak bisa dihindari faktor
keringat dan bau tubuh yang menyengat (maaf bukan bermaksud menghina, semoga
Allah mengampuni saya).
Tetapi karena Islam itu fleksibel dan simpel,
ya Allah tidak mau juga membebani umat dengan hal-hal yang sifatnya kaku, mereka
bisa tetap melakukan sholat jika mereka sudah membersihkan dirinya dengan mandi,
atau bila tidak didapati air untuk mandi dan berwudhu mereka tetap boleh
bertayamum.
Dalam prakteknya pula Nabi mengusir orang yang
hendak sholat jemaah dimasjid karena mulutnya bau sampai yang bersangkutan
membersihkan diri dan sementara itu dia bisa melakukan sholat sendiri-sendiri
atau secara terpisah.
Dalam prakteknya Nabi memerintahkan wanita yang
sedang haidh untuk tidak sholat dan berpuasa sampai mereka benar-benar bersih
lahir dan batin, sembuh dari sakit ditubuh maupun pulih dari ketinggian
emosionalnya.
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Fatimah binti Abu Hubaisy memberitahu kepada
Rasulullah Saw : Sesungguhnya aku seorang perempuan yang beristihadah, karena
itu aku tidak akan pernah suci, bolehkah aku meninggalkan sholat ? lalu
Rasulullah Saw menjawab : Sesungguhnya yang demikian itu hanya sekedar
basah-basah, bukan haidh, oleh karenanya saat haidh datang maka tinggalkanlah
sholat lalu apabila waktu haidh sudah selesai maka mandilah karena haidh itu dan
sholatlah. - Hadis Riwayat Bukhari dan
Ahmad
Sekarang timbul satu pertanyaan, apakah
meninggalkan sholat bagi perempuan yang haidh itu merupakan keringanan atau
suatu kewajiban ?
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. - Qs. al-Baqarah 2:222
Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat ini
menurut Anas Bin Malik dalam buku Nailul Authar adalah sebagai jawaban Nabi
kepada para sahabatnya atas pertanyaan mereka tentang haidh dan kisah
orang-orang Yahudi yang tidak mau makan bersama-sama istri mereka dan tidak mau
tinggal bersama mereka dalam satu rumah selama masa haidhnya.
Bahwa wanita yang sedang datang bulan disebut
sebagai dalam keadaan kotor sehingga hendaknya tidak dicampuri oleh suaminya
tidak mengindikasikan bahwa wanita tersebut tidak boleh juga melakukan sholat.
Ayat ini sekali lagi hanya bercerita mengenai hubungan sesama manusia dan bukan
hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Sabda Rasulullah :
Ketentuan halal itu adalah apa yang dihalalkan
oleh Allah dikitab-Nya, dan yang haram itu adalah apa yang diharamkan Allah
didalam kitab-Nya, dan apa-apa yang Dia tidak cantumkan adalah sesuatu yang Dia
berikan kelonggaran untuk kamu. – Hadis Riwayat Ibnu Majah
Hai manusia, aku tidak berkuasa mengharamkan
apa yang dihalalkan oleh Allah – Hadis Riwayat Muslim
Dengan demikian, apabila suatu permasalahan
tidak disebutkan secara detil atau malah tidak dijumpai secara nyata hukumnya
didalam al-Qur’an maka itu
menjadi hal yang bersifat Ruksah atau keringanan dari Tuhan, demikian pula
kiranya masalah haidh ini maka kiranya menjadi satu keringan tersendiri buat
kaum wanita dari Allah setidaknya bisa kita mengerti dari sisi kejiwaan maupun
keadaan tubuh ketika siklus menstruasi itu datang.
Kesimpulan ini dikuatkan oleh hadis-hadis yang
menyebutkan bahwa apabila siklus tersebut berjalan diluar normal dan terjadi
dalam rentang waktu yang lama maka sebaiknya siwanita tersebut tetap melakukan
sholatnya.
Dalam satu hadis yang panjang diriwayatkan oleh
Abu Daud, Ahmad dan Tirmidzi menyebutkan bahwa pernah suatu waktu Hammah binti
Jahsy mengadukan perihal siklus menstruasinya yang tidak menentu kepada
Rasulullah dan beliau menjawab :
Karenanya tentukanlah masa haidhmu itu enam
atau tujuh hari menurut ketentuan Allah, kemudian mandilah sehingga apabila kamu
melihat dirimu telah suci dan merasa bersih maka sholatlah dua puluh empat atau
dua puluh tiga malam dan hari lalu berpuasalah karena yang demikian itu memadai.
.... Demikian selanjutnya, maka kerjakanlah dan
sholatlah dan puasalah apabila kamu mampu untuk melakukan hal itu, dan Rasulullah Saw bersabda : Dan ini adalah dua perkara yang
paling kusenangi[7].
Bagaimana bisa terjadi diskriminasi didalam
menjalankan hukum-hukum agama yang diwajibkan seperti sholat dan puasa ? Kenapa
pula kaum laki-laki tidak ada kemudahan seperti halnya kaum wanita ?
Satu hal yang harus kita camkan baik-baik :
bahwa ajaran Islam tidak rumit apalagi bersifat memberatkan umatnya.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menginginkan kesukaran bagimu - Qs. 2 al-Baqarah :
185
Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar kesanggupannya - Qs. 6
al-an’aam: 152
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, sabdanya :
sesungguhnya Islam itu mudah ; dan barang siapa yang memperberatnya, ia akan
dikalahkan oleh agamanya - Hadis Riwayat
Bukhari
Islam sebagai agama wahyu merupakan ajaran
rasional, tidak bertentangan dengan fitrah manusia yang diciptakan oleh Yang
Maha pembuat wahyu itu sendiri.; karenanya, pembuat mobil Kijang tentu tidak
akan memberikan buku petunjuk (manual book) untuk mobil Sedan, demikian juga
sebaliknya.
Begitulah Islam, dia diturunkan oleh Allah yang
menciptakan manusia, maka bagaimana mungkin Allah akan menurunkan buku petunjuk
berisi pedoman yang tidak sesuai dengan karakteristik manusia itu sendiri
?
Sesuai isi ayat al-Qur’an dan hadis diatas, Nabi berpesan agar
manusia tidak memperberat ajaran Islam sebab hanya akan membuat manusia itu
dikalahkan oleh agama. Dimana akhirnya tidak akan ada amal yang sempat diperbuat
oleh simanusia itu sendiri karena dia selalu memandang semua perintah agama itu
sulit dan berat untuk dilakukan sehingga akhirnya tidak ada satupun kewajiban
agama yang dijalankannya. Perintah sholat salah satu kewajiban yang termasuk
memiliki banyak kemudahan dalam praktek pengamalannya, disinilah menurut saya
bahwa Islam itu sangat manusiawi sekali, rasional dan ilmiah.
[2] Qs. ali Imron
3:7
[3] Qs. an-Najm
53:4
[4] Qs. Fushilat
41:42
[5] Qs. al-Hijr
15:9
[6] Nazwar Syamsu,
Tauhid dan Logika, al-Qur’an
tentang Sholat Puasa dan Waktu, Ghalia Indonesia 1983, hal 68-69
[7] Terjemahan
Nailul Authar, Himpunan Hadits-hadits hukum Buku 1, PT. Bina Ilmu hal. 248
-249
Wassalam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar