Jumat, 21 Maret 2014

Menentukan Halal Haram Semata Mata Hak Allah


DASAR kedua: Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk
menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari
tangan manusia, betapapun
tingginya kedudukan manusia tersebut dalam
bidang agama maupun duniawinya. Hak tersebut semata
-
mata ditangan
Allah.
Bukan pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak
menentukan halal
-
haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah
m
elanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan perundang
-
undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta
mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai
sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut "musyrik"
Firman Allah:
"Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan
agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah?" (as
-
Syura: 21)
Al
-
Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah
memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pende
ta untuk menetapkan
halal dan haram, dengan firmannya sebagai berikut:
"Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya
sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam
(telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan
supaya h
anya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada
Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa
-
apa yang
mereka sekutukan." (at
-
Taubah: 31)
'Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah
--
pada
waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani seb
elum ia masuk Islam
--
setelah dia
mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya
mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu.
Maka jawab Nabi s.a.w.:
"Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah
menetapkan
haram terhadap sesuatu yang halal, dan
menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka
mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada
mereka." (Riwayat Tarmizi)
"Memang mereka (ahli kitab) itu tidak menyernbah pendeta dan
pastor, tetapi apabila
pendeta dan pastor itu menghalalkan
sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga; dan apabila
pendeta dan pastor itu mengharamkan sesuatu, mereka pun
ikut mengharamkan juga."
Orang
-
orang Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al
-
Masih telah
memberikan kepada m
urid
-
muridnya
--
ketika beliau naik ke langit
--
suatu
penyerahan (mandat) untuk menetapkan halal dan haram dengan sesuka
hatinya. Hal ini tersebut dalam Injil Matius 18:18 yang berbunyi sebagai
berikut: "Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang ka
mu ikat
di atas bumi, itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu lepas
di atas bumi, itupun terlepas kelak di sorga."
Al
-
Quran telah mengecap juga kepada orang
-
orang musyrik yang berani
mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan ka
ta
-
katanya
sebagai berikut:
 
"Katakanlah! Apakah kamu menyetahui apa
-
apa yang Allah
telah turunkan untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan
sebagian daripadanya itu, haram dan halal; katakanlah apakah
Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah memang
kamu
hendak berdusta atas (nama) Allah?"(Yunus: 59)
Dan firman Allah juga:
"Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang
dikatakan oleh lidah
-
lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal
dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah,
sesung
guhnya orang
-
orang yang berani berbuat dusta atas
(nama) Allah tidak akan dapat bahagia." (an
-
Nahl: 116)
Dari beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih
mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan
halal
dan haram, baik dalam kitabNya (al
-
Quran) ataupun melalui lidah
RasulNya (Sunnah). Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum
Allah tentang halal dan haram itu. Seperti firmanNya:
"Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia
haramkan ata
s kamu." (al
-
An'am: 119)
Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara' ini
boleh dan ini tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam
ataupun mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha
untuk tidak jatuh kepad
a kesalahan dalam menentukan halal dan haram
(mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram).
Imam Syafi'i dalam al
-
Um
5
meriwayatkan, bahwa Qadhi Abu Yusuf, murid
Abu Hanif
ah pernah mengatakan: "Saya jumpai guru
-
guru kami dari para
ahli ilmu, bahwa mereka itu tidak suka berfatwa, sehingga mengatakan: ini
halal dan ini haram, kecuali menurut apa yang terdapat dalam al
-
Quran
dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran.
Kata Imam Sy
afi'i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari ar
-
Rabi' bin Khaitsam
--
dia termasuk salah seorang tabi'in yang besar
--
dia
pernah berkata sebagai berikut: "Hati
-
hatilah kamu terhadap seorang laki
-
laki yang berkata: Sesungguhnya Allah telah mengh
alalkan ini atau
meridhainya, kemudian Allah berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini
dan tidak meridhainya. Atau dia juga berkata: Sesungguhnya Allah
mengharamkan ini kemudian Allah akan berkata: "Dusta engkau, Aku
samasekali tidak pernah mengharamka
n dan tidak melarang dia."
Imam Syafi'i juga pernah berkata: Sebagian kawan
-
kawanku pernah
menceriterakan dari Ibrahim an
-
Nakha'i
--
salah seorang ahli fiqih golongan
tabi'in dari Kufah
--
dia pernah menceriterakan tentang kawan
-
kawannya,
bahwa mereka itu ap
abila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu,
 
mereka berkata: Ini makruh, dan ini tidak apa
-
apa. Adapun yang kalau kita
katakan: Ini adalah halal dan ini haram, betapakah besarnya persoalan ini!
Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari
salafus saleh yang
kemudian diambil juga oleh Imam Syafi'i dan diakuinya juga. Hal ini sama
juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah: "Bahwa ulama
-
ulama salaf dulu tidak mau mengatakan haram,
kecuali setelah dik
etahuinya dengan pasti."
6
Kami dapati juga imam Ahmad, misalnya, kalau beliau ditanya tentang
sesuatu persoalan, maka ia menjawab: Aku tidak menyukainya, atau hal itu
tidak meny
enangkan aku, atau saya tidak senang atau saya tidak
menganggap dia itu baik.
Cara seperti ini dilakukan juga oleh imam
-
imam yang lain seperti Imam
Malik, Abu Hanifah dan lain
-
lain.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar