Jumat, 21 Maret 2014

UMAR

PEMBEBASAN DAMSYIK DAN PEMBERSIHAN YORDANIA



Barangkali kita masih ingat bahwa tatkala Abu Bakr bermaksud membebaskan Syam, ia meminta bantuan semua orang Arab de­ngan mengerahkan empat brigade ke sana. Yang pertama di bawah pimpinan Abu Ubaidah bin al-Jarrah, yang kedua di bawah Ikrimah bin Abi Jahl, yang ketiga di bawah Yazid bin Abi Sufyan dan yang ke­empat di bawah Amr bin al-As. Setiap brigade dikhususkan untuk menyerang satu daerah di Syam. Kalau berkumpul, maka sebagai pang­limanya atas mereka semua adalah Abu Ubaidah. Semua pasukan ini sudah menghadapi perlawanan dan kekuatan pihak Rumawi, sehingga memaksa mereka bersepakat akan berkumpul di tepi Sungai Yarmuk. Mereka tidak diberi kesempatan maju oleh pasukan Heraklius, tetapi berhenti hanya sampai di seberang pantai. Merasa kesal melihat pa­sukannya yang dingin, tidak bergerak, Abu Bakr menulis surat kepada Khalid bin Walid di Irak agar berangkat ke Syam memimpin semua pasukan itu. Sesampainya di Syam, ia tinggal selama sebulan lagi di pantai Yarmuk tanpa berhadapan dengan pasukan Rumawi. Sesudah Abu Bakr wafat dan Umar naik sebagai Amirulmukminin keadaan tetap dingin. Langkah pertama yang dilakukannya dalam pemerintahannya ia mengutus Mahmiyat bin Zanim dan Syaddad bin Aus mengantarkan surat kepada Abu Ubaidah mengenai pemecatan Khalid dari pimpinan angkatan bersenjata dan menyerahkannya kepada Abu Ubaidah seperti sebelum keberangkatannya dari Irak ke Syam.[1]

Khalid dipecat dari pimpinan militer

Sementara Mahmiyat bin Zanim dan Syaddad bin Aus sedang dalam perjalanan ke Syam membawa surat Umar mengenai pemecatan Khalid, Khalid sendiri sedang mengatur strategi untuk menghadapi dan menghancurkan pasukan Rumawi. Dia sudah tahu bahwa pihak Ru­mawi sedang bersiap-siap hendak menghadapinya. Maka disusunnya pasukannya ke dalam beberapa "batalion"[2] seperti yang biasa dilakukan orang Arab sebelum itu, sebab yang terlihat tak ada yang lebih besar dari itu. Keesokan harinya ia bergerak dan bertemu dengan pasukan Rumawi. Pasukan Rumawi dapat dihancurkan dan segala impiannya ingin bertahan terus di Syam berakhir sudah.[3]
Ada pula sumber yang menyebutkan bahwa kedua utusan Umar yang membawa surat tentang pemecatan Khalid itu sampai di Syam pagi hari ketika sedang terjadi pertempuran yang menentukan itu, dan mereka menyampaikan surat Amirulmukminin itu kepada Abu Ubaidah tanpa mengumumkan isinya sebelum pertempuran selesai. Sesudah jelas kemenangan ada di pihak pasukan Muslimin Khalid diberi tahu dan di­siarkan kepada semua pasukan. Barulah ia memegang pimpinan meng­gantikan posisi Khalid. Sumber-sumber lain menyebutkan bahwa selepas pertempuran pun Abu Ubaidah tidak mengumumkan isi itu. Ia berang­kat ke Damsyik di bawah pimpinan Khalid. Baru setelah selesai semua dan diadakan perdamaian dengan yang bersangkutan, surat Amirul­mukminin tersebut diumumkan. Ada juga beberapa sumber yang tidak sama dalam melangsir peristiwa-peristiwa ini, dengan menyebutkan bahwa Umar memerintahkan pemecatan Khalid dari segala j abatan dalam militer serta diadilinya ia mengenai hal-hal yang dialamatkan kepadanya dan dimintai pertanggungjawabannya.
Yang lebih dapat diterima menurut hemat saya, begitu Abu Ubaidah menerima berita ia tidak segera mengumumkan pemecatan Khalid, baik waktu pagi sedang dalam pertempuran di Yarmuk atau sesudah Khalid mendapat kemenangan. Ia merahasiakan berita itu selama beberapa hari sementara ia sedang mencari j alan apa yang harus dilakukannya dan bagaimana cara mengumumkan. Dalam pada itu orang sudah tahu bahwa Abu Bakr sudah wafat dan Umar yang kini menggantikan kedudukannya. Mereka saling berbeda pendapat, ada yang tidak senang dengan kepemimpinan Umar, ada juga yang dari kalangan Medinah sendiri. Setelah itu mereka tenang kembali dan menerima kenyataan, setelah diketahui bahwa hal itu sesuai dengan pesan Abu Bakr. Khalid memang sudah memperkirakan bahwa Umar tidak senang ia menjadi panglima pasukan di Syam, dan dia pasti dipecat. Hal ini dikatakannya kepada stafnya yang terdekat, atau barangkali juga kepada Abu Ubaidah sendiri. Saat itulah ia diberi tahu oleh Abu Ubaidah. Tetapi dia tidak marah. Bahwa pimpinan angkatan perang itu akan dipegang oleh Abu Ubaidah diterimanya dengan patuh. Begitu juga dulu, Abu Ubaidah dengan patuh menerima penunjukan Abu Bakr agar ia berada di bawah pimpinan Khalid ketika Abu Bakr memerintahkan Khalid berangkat dari Irak ke Syam.[4] Orang pun tidak marah kepada Umar serta tindakannya memecat Khalid, karena mereka sudah tahu tentang posisi kedua orang itu sejak terjadinya peristiwa Malik bin Nuwairah dulu. Demikianlah perombakan dalam pimpinan militer itu selesai sesudah pertempuran yang dimenangkan oleh Khalid secara gemilang. Tidak ada pengaruh apa pun dalam kesatuan umat Islam dan pasukannya yang mungkin akan membawa akibat yang patut dikhawatirkan.
Inilah yang lebih dapat saya terima, yang saya simpulkan dari pel­bagai sumber. Abu Ubaidah sudah menulis surat kepada Umar mem­beritahukan kemenangan di Yarmuk dalam menghadapi pasjukan Rumawi, dengan mengirimkan seperlima hasil rampasan perang, dan menyebut­kan bahwa dia telah mengangkat Basyir bin Sa'd bin Ubai al-Himyari untuk Yarmuk, dan dia sendiri berangkat ke Marj as-Suffar hendak mengejar sisa-sisa tentara musuh yang kalah yang masih berserakan dan berkumpul di Fihl (Pella). Dia mendapat berita bahwa Heraklius dari Hims tempat kediamannya mengirimkan bala bantuan angkatan perangnya ke Damsyik. Tidak tahu dia, akan memulai dengan Dam­syik atau dengan Fihl di Yordania.
Begitu menerima dan membaca surat Abu Ubaidah, Umar segera membalasnya: "Mulailah dengan Damsyik dan perjuangkanlah, karena kota ini benteng Syam dan jantung kerajaannya. Alihkanlah perhatian Fihl dari Anda dengan pasukan berkuda di hadapan mereka. Jika Allah memberi kemenangan sebelum Damsyik, itulah yang kita harapkan, kalau kemenangan di sana tertunda sampai Allah memberi kemenangan di Damsyik, biarlah yang merebut Damsyik turun ke sana. Anda sendiri serta para perwira meneruskan perjalanan hingga dapat menyerang Fihl. Jika Allah memberi kemenangan kepada kalian, berangkatlah bersama Khalid ke Hims (Emessa atau Horns) dan tempatkanlah Syurahbil dan Amr di Yordan dan Palestina."
Begitu surat Umar diterima, Abu Ubaidah mengirim sepuluh per­wira ke Fihl dipimpin oleh Abu al-A'war as-Sulami. Dia sendiri dan Khalid bin Walid dengan kekuatan pasukan yang besar berangkat me­nuju Damsyik. Pihak Rumawi yang berlindung di Fihl — sementara pe­ngaruh Yarmuk serta bekas ketakutan yang masih membayang di wajah mereka, terasa sekali mencekam — melihat pasukan Muslimin sedang menuju ke daerah mereka, cepat-cepat mereka melepaskan air danau Tabariah (Tiberias) dan Sungai Yordania ke tanah sekitarnya. Dengan tanah yang menjadi lumpur tak akan mungkin dapat dilalui pihak la-wan. Pasukan Muslimin marah atas perbuatan musuhnya itu, terkepung berhenti di hadapan mereka, tak dapat maju di daratan berlumpur. Sementara mereka masih dalam keadaan demikian, saudara-saudara mereka sudah berhasil membebaskan Damsyik. Dengan demikian mereka dapat memberikan bala bantuan kepada mereka dengan kekuatan pasuk­an. Pasukan Muslimin sekarang bertambah kuat dan tambah berani.

Perjalanan Abu Ubaidah dan Khalid ke Damsyik

Tidak heran pasukan Muslimin dapat membebaskan Damsyik dengan benteng-bentengnya yang begitu kukuh, ditambah pula dengan pasukan Rumawi yang begitu besar dikirimkan oleh Heraklius. Dulu ketika Allah memberikan kemenangan kepada pasukan Muslimin di Yarmuk, mereka berjalan di tanah dengan air yang sedang mengalir. Tetapi kesuburan dan lahan perkebunan yang ada tidak melebihi tempat-tempat subur yang ada di Medinah dan sekitarnya. Godaannya pun tidak sebesar Delta di Irak. Tatkala mereka dalam perjalanan dari Waqusah di Yarmuk ke Damsyik mereka melihat keindahan yang begitu memukau. Mereka melihat tanah-tanah Balqa' di selatan dengan la­pangan rumput hijau yang membentang luas sejauh mata memandang, di sebelah utara terlihat tanah rumput gembala di dataran Golan, suatu pemandangan yang sungguh indah dan subur. Mereka juga melihat lahan-lahan pertanian gandum dan j awawut sela-menyela di antara padang rumput gembala itu, diselang-seling oleh pelbagai macam pe­pohonan, ada yang berbuah ada pula yang tidak, ada yang semerbak menyebarkan harumnya ke lingkungan sekitar. Sungai-sungai kecil dan kolam-kolam tempat penampungan air mengalir jernih, kadang berkilauan di permukaannya, kadang meluap serentak, mengairi perkebunan, pe­pohonan dan taman-taman yang indah, turun perlahan-lahan dari bukit­bukit yang lereng-lerengnya ditutupi hamparan hijau, atau ditumbuhi pohon-pohon yang menjulang tinggi. Dataran-dataran tinggi itu tampak j elas seperti bukit barisan di tengah-tengah wadi yang kadang mem­bentang panjang dan kadang bergelombang naik turun. Keadaan yang memanjang atau bergelombang itu diselimuti oleh hamparan bunga­bunga yang semerbak dan sedap dipandang mata. Ditambah lagi dengan gadis-gadis "kuning,"[5] seperti dalam ungkapan bahasa Arab — lingkungan alam ini yang begitu indah, meliuk-liuk di atas dataran tinggi dan di antara lembah-lembah itu, pandangan terpadu dengan bentuk­bentuk tubuh yang langsing dan pipi mereka yang halus kemerah­merahan, menandakan sehat dan segar berisi. Mereka diciptakan oleh Maha Pencipta dalam bentuknya yang paling indah. Mereka itu para malaikat penghuni surga ini, yang sekarang sedang ditapaki orang­orang Arab di jalan menuju ibu kota yang kukuh itu. Di sana sini berdiri kota-kota yang dibangun oleh pihak Rumawi dan dibangun pula pentas-pentas dan arena-arena tempat pertunjukan serta bangunan­bangunan gereja. Semua itu merupakan bangunan yang kebesaran dan keindahannya sangat memukau. Di sebelah sana, di perbatasan agak ke utara tampak gunung-gunung yang menjulang tinggi, yang puncaknya bermahkotakan salju, memperlihatkan keagungan, berwibawa seperti orang tua yang sudah tampak putih rambutnya. Pesona apa ini yang sampai begitu memukau, begitu gemilang! Adakah dorongan lain yang lebih kuat selain iman sehingga untuk itu mereka mau terjun mem­pertaruhkan segalanya! Dan bagi pasukan Muslimin kekuatan iman kepada Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih besar! Semua pesona itu telah menambah kekuatan iman dalam hati mereka, mendorong mereka cepat-cepat menuju ibu kota Syam, yang memang sangat mereka dambakan hendak menerobos benteng-bentengnya masuk ke pusat kota.
Bahkan nama Damsyik itu sendiri memperbesar keinginan mereka hendak cepat-cepat membuat penyelesaian. Betapa memesonakan yang pernah mereka dengar dari saudara-saudara dan nenek moyang mereka dulu, yang dalam musim panas mengadakan perjalanan ke Syam! Betapa pula pembicaraan mereka tentang sejarahnya, orang-orang se­tanah air yang beragama Nasrahi, yang datang berziarah ke Baitul­mukadas (Yerusalem). Kemudian mereka pergi ke tempat bersemayam­nya raja di Syam, merasakan nikmatnya peradaban di sana, membeli barang-barang hadiah yang tak ada taranya di kota suci di Palestina itu. Orang-orang Nasrani menceritakan sejarah negeri itu kepada mereka. Hasrat mereka ingin tahu makin besar, ingin menyaksikan dan me­nikmati taman-tamannya yang harum, air yang mengalir di sela-sela keteduhan yang rimbun serta buah-buahannya yang lezat, dengan segala keindahannya sekarang, lebih-lebih di masa silam. Damsyik termasuk salah satu kota tua di dunia kalaupun tidak akan dikatakan yang tertua.[6]
Beberapa abad silam tempat ini menjadi pusat penyembahan yang besar kaum pagan. Setelah datang agama Kristen, tempat ibadah pagan itu dijadikan gereja untuk pengikut-pengikut Almasih. Keagungan dan ke­indahannya tak ada yang dapat menandingi selain gereja Antakiah (Antioch), tempat ibadah Kristen terbesar di Syam, di samping bangun­an-bangunan yang didirikan oleh kerajaan Rumawi, yang keagungan dan kemegahannya melebihi semua yang dapat ditangkap mata orang­orang Arab dalam perjalanan mereka ke sana itu. Bagaimana pasukan Muslimin tidak ingin secepatnya sampai ke sana! Apa lagi yang masih menyangsikannya bahwa mereka harus menguasainya setelah mereka dapat mengalahkan pasukan Rumawi di Yarmuk, dan puluhan ribu prajurit habis terbantai di medan perang atau tersungkur hancur di jurang Waqusah!

Damsyik dikepung

Pasukan yang berjaya hampir tidak mendapat perlawanan yang berarti. Dalam perang ini pihak Rumawi tak dapat berlindung seperti pasukan Persia yang berlindung di sungai-sungai dan mengalirnya air yang saling bersambung di Furat dan Tigris, sebab di Syam tak ada sungai semacam itu. Juga di pihak Rumawi tak ada yang mau terjun bertempur mati-matian seperti pasukan Persia, karena^bagi Persia Irak besar sekali artinya, sedang Mada'in yang menjadi ibu kota para Kisra terletak di pantai Sungai Furat, sungai yang terbesar. Kebalikannya Syam yang merupakan wilayah kekuasaan Rumawi, ibu kotanya Konstantinopel jauh dari Baitulmukadas dan dari Damsyik. Pihak yang mempertahankan pun tak mempunyai semangat keagamaan yang bersedia mati demi Baitulmukadas. Sebelum itu Persia sudah pernah mengalahkan Rumawi dan menguasai Gereja Hari Kiamat[7] dan Gereja Buaian.[8] Dalam menghadapi perubahan yang menimpa para penguasa itu tidak ada yang menggerakkan hati penduduk negeri yang akan mengorbankan nyawa membela rumah-rumah ibadah itu. Kalau Herak­lius sudah memukul mundur Persia dan merebut kembali Palestina, kekuasaan para pejabatnya di sana rata-rata tidak lebih baik dan tidak lebih lunak daripada kekuasaan Persia. Oleh karena itu sandaran He­raklius di negeri-negeri ini hanya kota-kota yang sudah diperkuat de­ngan benteng-benteng, seperti Damsyik, Hims dan Antakiah (Antioch), dengan mengandalkan pada benteng-benteng dan kuatnya pertahanan.
Pasukan Muslimin sudah sampai di al-Gutah,[9] daerah subur selatan Damsyik, dan mereka maju dengan semangat yang makin tinggi. Mata mereka beradu pada dataran luas tempat berdirinya kota-kota penting dan yang tertua, yang seolah sebidang tanah surga yang dibawa turun oleh malaikat dari langit ke bumi: sungai-sungai yang mengalir, mata air yang memancar deras, pohon-pohon yang rindang, kebun-kebun anggur, tin, zaitun dan taman yang penuh bahagia. Di celah-celah daerah yang rindang dan teduh itu menyelir hembusan yang membawa keharuman yang segar, dengan rumah-rumah yang menjadi milik orang­orang kaya. Oleh Allah mereka telah diberi segala yang menyenangkan di dunia ini, menggambarkan apa dan siapa mereka yang dulu ada di tempat itu — tuan-tuan yang sudah menikmati segala kesenangan dan dayang-dayang yang seperti bidadari. Mana pula keindahan yang begitu memesona itu, kenikmatan yang begitu melimpah yang dulu dilihat oleh orang-orang yang pernah menemani Khalid bin Walid ke Irak. Ketika itu mereka sudah melihat pesona dan segala godaan yang luar biasa! Kalau benar kata-kata Khalid di Irak dulu: "Tidakkah kalian lihat makanan ini yang setinggi gunung? Demi Allah, kalau hanya untuk mencari makan, dan bukan karena kewajiban kita berjuang demi Allah dan mengajak orang kepada ajaran Allah, pasti kita gempur desa ini sehingga hanya tinggal kita yang berkuasa di sini; dan orang-orang yang enggan berjuang seperti yang kalian lakukan ini, akan kita biarkan dalam kelaparan dan kekurangan." Kalau kata-kata ini layak untuk Irak satu kali, maka apa yang ada di Damsyik dan daerah subur sekitarnya itu lebih layak seribu kali. Apa yang mereka lihat di sini bukan ma­kanan yang setinggi gunung, tetapi yang di luar dugaan kebanyakan mereka, makanan yang tak pernah terbayangkan dalam khayal, tak pernah terlihat mata, tak terdengar telinga dan tak pernah terlintas dalam pikiran.
Pasukan Muslimin melihat rumah-rumah dan istana-istana di daerah subur itu sudah-kosong dan sunyi. Yang terdengar hanya nyanyian burung-burung di taman-taman yang beraneka warna. Para penghuni rumah dan istana itu sudah meninggalkan tempat-tempat mereka untuk berlindung di pagar-pagar tembok kota yang kekar. Tentang kekukuhan dan kekekaran pagar-pagar tembok Damsyik itu memang sudah menjadi peribahasa. Dibangun dari batu-batu besar yang kuat, dengan ketinggian lebih dari enam meter dan tebal lebih dari tiga meter. Benteng-benteng­nya pun dengan puncak-puncak yang tinggi dan kotak-kotak pengintai yang tak sedikit jumlahnya, tempat berlindung para pemanah dan para pemakai manjaniq[10]. Heraklius memang sudah makin memperkukuh tempat itu sesudah ada serangan pihak Persia ke sana, dengan harapan dapat menangkis setiap serangan kepada kerajaannya. Tembok-tembok itu dilengkapi dengan pintu-pintu yang kuat dan tangguh dan dapat ditutup rapat sehingga tak mungkin orang dapat masuk atau keluar. Di sekeliling tembok dipasang pula parit-parit dengan lebar lebih dari tiga meter, dialirkan ke dalamnya air Sungai Barada. Dengan demikian se­luruh Damsyik itu sudah merupakan sebuah benteng dengan menara­menara di setiap penjuru. Tak mungkin ada penyerang yang dapat menerobos kecuali sesudah diadakan pengepungan lama yang akan membuat penghuninya menjadi lemah, kehilangan semangat dan me­maksa mereka menyerah.
Abu Ubaidah sudah memperkirakan untuk menyerbu kota yang kukuh ini memerlukan pengepungan yang cukup lama. Maka di­perintahkannya pasukannya membuka dan menempati gereja-gereja dan rumah-rumah daerah subur sekitar Damsyik itu. Diperkirakannya juga bahwa Heraklius sudah mengirim pasukan dari Hims atau Palestina untuk mengepung kekuatannya yang di sekitar Damsyik di antara benteng-benteng kota dengan kekuatan pasukan Rumawi. Abu Ubaidah memerintahkan Zul-Kula' al-Himyari menempatkan markasnya di suatu tempat antara Damsyik dengan Hims, sedang Alqamah bin Hakim dan Masruq al-Akki diperintahkan bermarkas di antara Damsyik dengan Palestina. Setelah merasa puas dengan strateginya itu para perwira dan pasukannya diperintahkan maju untuk mengepung ibu kota, sebagai persiapan untuk melancarkan serangan. la juga menunjukkan pintu mana yang harus menjadi bagian mereka masing-masing. Dia sendiri turun di Gerbang al-Jabiah, Amr bin As di Gerbang Tauma', Syurahbil bin Hasanah di Gerbang al-Faradis dan Yazid bin Abi Sufyan di Gerbang Kisan sedang Khalid bin Walid di Gerbang asy-Syarqi. Tak jauh dari Gerbang itu ada sebuah biara bernama Biara Saliba, yang oleh Khalid dijadikan tempat tinggalnya, dan kemudian disebut "Biara Khalid."
Pasukan Muslimin mulai menempatkan beberapa manjaniq dan "tank-tank"[11] di sekitar kota dan mulai menyerang benteng-benteng kota itu. Tetapi benteng-benteng itu rupanya begitu kukuh sehingga dapat bertahan dari peralatan Arab dan segala macamnya yang masih ber­sahaja dan anggota-anggota pasukan yang digunakan pun belum begitu terlatih untuk menghadapi cara-cara pengepungan demikian. Oleh ka­renanya, setiap serangan mendapat perlawanan dan pengawal-pengawal "tank" manjaniq dipukul mundur dengan panah dan tombak. Ketika itu Nestas, gubernur kota itu dan Bahan panglima perangnya yakin sekali bahwa Heraklius tidak akan membiarkan ibu kota kerajaannya di Syam itu jatuh ke tangan musuh-musuhnya sementara ia tinggal tak jauh di Hims dengan pasukannya yang sangat besar, dan orang-orang Arab itu tidak akan bertahan lama dan akan melepaskan kepungannya pergi dari sana seperti yang sudah pernah dilakukan musuh-musuh sebelumnya. Keyakinan ini memperpanjang perlawanan mereka, dan pasukan Mus­limin tidak pula dapat menembus kota. Sebenarnya Heraklius tidak menyalahi dugaan mereka. Dari Hims sudah dikirimnya beberapa pasukan sebagai bala bantuan ke Damsyik. Tetapi dalam perjalanan angkatan bersenjata ini dihadang oleh Zul-Kula' dan oleh pasukan berkuda dari Yaman, maka terjadilah pertempuran sengit antara kedua­nya. Pasukan Rumawi mundur kembali membawa kekalahan ke Hims. Mengetahui hal ini Nestas dan Bahan merasa gelisah sejenak, tetapi kemudian mereka kembali yakin akan kemampuan Damsyik untuk mengadakan perlawanan. Tak lama lagi musim akan dingin sekali, dan Arab anak-anak Sahara yang panas itu tidak akan tahan, dan akan kembali pulang ke kota mereka.
Tetapi keyakinan mereka tidak mengurangi hasrat mereka me­ngirim utusan kepada Heraklius meminta bala bantuan dipercepat, khawatir pengepungan itu masih akan lama dan semangat mereka akan lemah. Heraklius membalas bahwa ia akan mengirim bala bantuan dan menanamkan semangat kepada pasukannya agar tetap tabah mengada­kan perlawanan. Surat Heraklius itu membangkitkan semangat mereka dan mereka akan tabah menghadapi dan mengadakan perlawanan ter­hadap serangan pasukan Muslimin, kendati mereka tidak akan me­nanggung risiko keluar dari pagar-pagar tembok kota untuk menghadapi pihak yang telah mengalahkan dan menghancurkan pasukan Rumawi di Yarmuk dulu. Perlawanan mereka cukup lama dan pasukan Muslimin pun tidak kurang pula lamanya mengepung mereka: ada yang mengata­kan tujuh puluh hari, ada juga yang mengatakan empat bulan, yang lain mengatakan enam bulan. Selama waktu itu pasukan Muslimin terus memperketat pengepungannya. Sia-sia mereka menunggu datangnya bala bantuan Kaisar yang begitu lama. Musim dingin pun berlalu dan sekarang datang musim semi, pasukan Muslimin masih tidak beranjak dari pengepungannya. Sebaliknya pihak Rumawi sudah merasa makin lemah dan semangat mereka terasa makin dingin. Harapan mereka sudah buyar akan memperoleh bala bantuan dari Kaisar dan mengusir pasukan musuh. Mereka mulai berpikir hendak mengadakan pembicara­an dan perdamaian dengan pihak Muslimin.

Penaklukan Damsyik dengan kekerasan atau dengan jaIan damai?

Pasukan Muslimin akhirnya memasuki kota dan mengadakan per­damaian dengan mereka. Bagaimana mereka masuk? Dengan jalan kekerasan? Atau pihak Damsyik membukakan pintu-pintu gerbang? Siapa dari pihak Muslimin yang mengadakan perjanjian perdamaian, dan dengan cara apa diadakan? Di sini sumber-sumber masih saling berlawanan, malah masih kacau. Sumber yang lebih terkenal menyebut­kan bahwa Khalid bin Walid yang tinggal di Gerbang asy-Syarqi tidak tidur dan tidak membuat orang tidur. la mempunyai mata-mata yang tajam sehingga segala apa yang terjadi di Damsyik tak ada yang terlewat. Suatu hari ia menerima laporan bahwa seorang panglima tinggi di kota itu mendapat anak. Karena gembiranya ia mengadakan pesta dan prajurit-prajurit pun ikut makan dan minum sehingga mereka lupa akan tugas mereka. Khalid sudah pula menyiapkan tali-temali dalam bentuk tangga dan laso[12]. Sesudah mulai larut malam. ia dan pasukannya yang dibawanya dari Irak bangun. "Kalau kalian men­dengar suara kami bertakbir dari atas pagar-pagar tembok itu naiklah ke tempat kami," katanya kepada mereka. la melangkah maju dengan mengajak Qa'qa' bin Amr dan Maz'ur bin Adi dan yang semacamnya, yang sangat pemberani. Mereka menyeberangi parit dengan mengguna­kan kirbat-kirbat.1 Mereka melemparkan tali-temali itu ke kotak-kotak pengintai di atas pagar-pagar tembok lalu naik dengan memanjat tangga tali itu. Begitu mereka sudah memanjat dinding tali-tali sebagian ditarik dan dilemparkan ke kotak-kotak pengintai berikutnya di dalam kota dan mereka pun terjun. Khalid bersama beberapa orang lagi meluncur turun dan mereka berhenti di depan pintu gerbang dan cepat-cepat berusaha membukanya dengan pedang. Teman-temannya yang berada di atas dinding kini makin banyak. Setelah mendengar anak buah Khalid ber­takbir, cepat-cepat mereka menyeberangi air itu dan memanjat tali­temali tangga menyusul teman-teman mereka di atas pagar tembok.
Pintu Gerbang Syarqi merupakan yang terkuat di Damsyik serta paling banyak airnya dan jalan masuknya paling kukuh. Oleh karena itu jumlah penjaganya tidak banyak. Khalid dan kawan-kawannya menyer­gap dan membunuh mereka saat mereka sedang lengah. Kunci-kunci pintu gerbang itu dibuka dengan pedang, dan yang tidak ikut naik me­manjat pagar tembok menyerbu masuk ke dalam kota sambil bertakbir. Semua orang yang ada dalam ketakutan. Berita-berita sudah tersiar di kalangan mereka bahwa pasukan Muslimin telah menyerbu Gerbang Syarqi dan membunuh siapa saja yang mereka jumpai di tempat itu. Ketika itu juga cepat-cepat mereka menyerbu ke gerbang-gerbang yang lain. Sesudah berhasil dibuka, dan perdamaian diadakan dengan Abu Ubaidah, mereka diberi jaminan keamanan, ia masuk dari Gerbang Jabiah. Dia tidak tahu apa yang sudah dilakukan Khalid. Setelah kemudian ia mengetahui ada pertumpahan darah, ia mengutus orang kepada Khalid agar tindakan demikian itu dihentikan, dan bahwa dia sudah mengadakan perjanjian perdamaian dan menjamin keamanan mereka. Khalid membantah bahwa dia membuka gerbang kota itu dengan paksa. Tetapi Abu Ubaidah adalah panglima pasukan, dan tak ada jalan lain Khalid harus mematuhi perintahnya dan harus diadakan perjanjian perdamaian dengan pihak didudukinya.
Demikian sumber-sumber yang paling terkenal mengenai pem­bebasan Damsyik. Kendati peristiwa-peristiwa ini terasa aneh, namun didukung oleh para sejarawan Arab dan kalangan orientalis — karena pahlawannya Khalid bin Walid. Andaikata yang menjadi pahlawan bukan panglima jenius ini — yang banyak mendatangkan berbagai ke­ajaiban dalam perang — niscaya semua sejarawan akan mengenyam­pingkan peristiwa itu. Bahkan untuk melaporkannya pun tak akan ada yang berani. Siapa selain Khalid yang tidak tidur dan membuat orang tidak tidur! Siapa selain dia yang mampu mengetahui segala rahasia yang ada di balik pagar tembok kota Damsyik, sehingga ia tahu betul bahwa ada seorang panglima tinggi mendapat anak dan dia meng­undang orang dan pengawal-pengawal ikut berpesta makan minum sehingga melalaikan tugasnya? Dan siapa selain dia, yang sesudah pengepungan yang berlangsung selama tujuh puluh hari itu, atau empat bulan, atau enam bulan, yang berani menyeberangi parit bersama anak buahnya dengan menggunakan beberapa kirbat, dan memanjati pagar­pagar tembok dengan tali dan dia sendiri turun ke dalam pagar itu dengan mempertaruhkan diri ke dalam bahaya ketika fajar menying­sing?! Tetapi di medan perang Khalid memang suatu mukjizat, suatu keajaiban, seperti yang sudah kita lihat dalam Perang Riddah, dalam pembebasan Irak dan dalam Pertempuran Yarmuk. Tidak heran jika ini merupakan salah satu mukjizat yang telah memberikan keunggulan dan kemenangan dalam setiap pertempuran yang dihadapinya, sehingga ada kalangan sejarawan Arab dan orientalis yang mendukungnya.
Tetapi dukungan ini tidak bebas dari kritik dan kecaman orang. Mereka mengutip sumber-sumber lain yang lebih wajar dalam hal seperti peristiwa Damsyik ini. Misalnya, sumber-sumber yang menyebutkan bahwa Abu Ubaidah dengan pasukannya menyerang Gerbang Jabiah dan dibuka dengan kekerasan, sementara Khalid yang mengadakan persetujuan damai dengan pihak kota di Gerbang Syarqi. Setelah kedua panglima itu bertemu di dalam kota Damsyik perdamaian yang di­adakan oleh Khalid itu diterima oleh Abu Ubaidah dan diperlakukan untuk seluruh kota. Sebenarnya sumber ini tidak berbeda dengan sum­ber yang pertama, kecuali yang berkenaan dengan mukjizat-mukjizat Khalid, seperti dia sudah mengetahui panglima Rumawi yang meng­adakan pesta dan pengaruhnya terhadap para pengawal, memanjat pagar tembok dan tentang tali-temali. Andaikata soal mukjizat-mukjizat itu tidak disebut-sebut, dan katanya Khalid yang membuka Gerbang Syarqi dengan kekerasan dan Abu Ubaidah yang mengadakan persetujuan dengan pihak Gerbang Jabiah lalu terjadi perdamaian di seluruh kota, tentu kedua sumber itu tetap sejalan, artinya bahwa panglima-panglima Muslimin mengetahui bahwa pengepungan itu melemahkan mereka yang terkepung, lalu mereka sepakat menyerang semua gerbang kota. Sesudah pihak Damsyik melihat serangan pasukan Muslimin, terjadi perselisihan apa yang akan mereka perbuat. Lalu sebagian mereka membuka pintu-pintu gerbang itu dan yang sebagian lagi kemudian. Lalu panglima yang berikutnya membuka gerbang itu dengan paksa. Dengan demikian ada pasukan Muslimin yang masuk dengan cara damai, dan ada pula yang menyerbu tanpa menemui perlawanan. Maka terjadilah kemudian persetujuan damai untuk seluruh kota.

Perbedaan pendapat tentang perdamaian Damsyik

Gambaran ini saling mendukung kedua sumber itu, dan sumber­sumber yang berbeda tentang pembebasan Damsyik tidak lagi saling bertentangan. Di antara sumber-sumber itu ada yang menyebutkan, bahwa Uskup kota Damsyik beberapa kali berada di pagar berbicara dengan Khalid bin Walid. Suatu hari ia berkata kepada Khalid: "Abu Sulaiman, soal kalian sudah di ambang pintu, tetapi ada perjanjian saya dengan Anda. Maka adakanlah perdamaian dengan saya mengenai kota ini." Khalid setuju. Khalid meminta tinta dan kertas lalu menulis: "Bismillahir-rahmanir-rahim. Inilah yang dibuat Khalid untuk pen­duduk Damsyik bilamana ia sudah memasuki kota. Keamanan mereka dijamin: jiwa mereka, harta benda, gereja-gereja dan pagar-pagar tembok kota mereka. Tak boleh merusak atau menempati bangunan­bangunan mereka. Dalam hal ini mereka memperoleh janj i Allah dan jaminan Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam serta para khalifah dan orang-orang beriman. Jangan sampai mereka mendapat gangguan bila­mana mereka sudah membayar jizyah." Sesudah menyebutkan tentang surat ini oleh al-B alazuri ditambahkan, bahwa pada suatu malam Uskup itu mengungkapkan kepada Khalid bahwa kota ini sekarang sedang dalam hari raya dan penduduk sedang sibuk. Ia meminta disediakan sebuah tangga, maka dibawakan dua buah tangga. Beberapa orang pasukan Muslimin menaiki tangga itu ke atas pagar tembok, lalu turun di sebuah gerbang yang hanya ada satu atau dua orang. Mereka saling membantu dan gerbang dibuka saat matahari terbit. Dalam pada itu Abu Ubaidah di bagian samping sudah. memasuki Gerbang Jabiah de­ngan cara kekerasan. Uskup itu menunjukkan kepadanya surat Khalid. Beberapa kalangan Muslimin mengatakan: "Pimpinan bukan di tangan Khalid, ia tidak layak mengadakan perdamaian." Maka Abu Ubaidah berkata: "Perlindungan yang sudah diberikan oleh salah seorang dari Muslimin kepada mereka, tak dapat dibatalkan."
Sumber lain menyebutkan bahwa setelah pengepungan berjalan begitu lama dan keadaan makin terasa berat bagi penduduk Damsyik, diam-diam mereka menghubungi pihak Muslimin untuk mengadakan perdamaian. Pihak Muslimin bertahan agar diadakan bagi rata, yakni segala yang ada di Damsyik separuh untuk mereka. Pihak Damsyik maju-mundur untuk menerima tawaran ini. Karena garnisun kota itu tak mampu mempertahankan diri dan melindungi penduduk, maka tak ada jalan lain kecuali menyerah. Setelah mengirim utusan kepada Abu Ubaidah dan ia menjamin keamanan kota, mereka membukakan pintu­pintu gerbang itu. Abu Ubaidah bersama para perwira dan angkatan bersenjatanya memasuki kota tanpa pertempuran.
Sebagian orientalis mengatakan bahwa untuk mempertahankan kota Damsyik penanggung jawabnya sudah putus asa. Kota itu mereka tinggalkan. Sekarang penduduknya yang mengambil keputusan untuk menyerah dan mereka membukakan kota itu untuk pasukan Muslimin. Sesudah memasuki kota dan keadaan sudah stabil, Abu Ubaidah meng­adakan persetujuan dengan mereka.
Demikian beberapa sumber yang beraneka macam mengenai pem­bebasan Damsyik. Kalangan sejarawan sepakat — di samping adanya perbedaan-perbedaan bahwa mereka memasuki kota secara damai, bukan dengan kekerasan. Ini memperkuat apa yang sudah kita sebutkan di atas, bahwa karena lamanya pengepungan dan mereka putus asa menunggu bala bantuan dari Heraklius, pihak Damsyik lalu meminta damai, dengan adanya perbedaan mengenai syarat-syaratnya. Karena pasukan Muslimin bermaksud hendak menyerbu tembok-tembok kota, pihak Damsyik segera membukakan pintu-pintu gerbang itu. Barangkali ada di antara pintu-pintu yang kemudian dibuka dengan paksa. Kemu­dian diadakan perundingan dan berakhir dengan perdamaian.
Sebelum menyinggung soal syarat-syarat perdamaian ini bersama Abu Ubaidah, Khalid bin Walid dan rekan-rekannya, kita ingin me­lintasi tembok-tembok Damsyik itu. Kita menengok sebentar bersama mereka ke sela-sela kota yang padat ini, dengan sejarahnya yang beraneka macam dan indah, dan selama dalam perjalanan ini melihat­lihat selayang pandang apa yang ada di dalamnya. Kita melihat selintas karena hubungannya erat sekali dengan syarat-syarat perdamaian itu. Di atas sudah saya singgung betapa indahnya jalan yang menuju ke Damsyik dari Yarmuk dan tentang keindahan daerah subur sekitar kota itu. Kotanya sendiri sebenarnya melebihi keindahan dan kemegahan semua ini. Sejak dahulu kala kota ini merupakan tempat pertemuan niaga timur dan barat. Oleh karenanya ia menjadi kota yang paling padat penduduknya dan paling kaya, dibelah oleh sebuah jalan lurus yang menghubungkan barat dengan timur, membentang dari Gerbang Jabiah ke Gerbang Syarqi. Di kanan kirinya berdiri toko-toko, orang Arab sendiri tak pernah melihat yang semacam itu di negerinya, juga di Irak tak pernah mereka lihat. Di tengah-tengah kota itu mengalir Sungai Barada dengan airnya yang mengalir deras dan jernih. Di sekitarnya berdiri pula istana-istana yang megah dengan taman-taman beraneka warna diselang-seling oleh air mancur yang mencuat tinggi. Alangkah banyaknya di kota Damsyik gereja yang indah sekali, yang merupakan bangunan-bangunan Rumawi dengan kemegahan yang beraneka rupa. Jumlahnya lima belas buah, yang terbesar Gereja Santo Yohana Pembastis (Saint John the Baptist). Pihak Rumawi membangun gereja ini sebagai tempat pemujaan orang-orang pagan sebelum mereka menganut agama Kristen. Sesudah menjadi penganut agama Kristen tempat ini dijadikan pusat kebaktian mereka kepada Yesus dan ibunya Perawan Maria. Di sekitar gereja-gereja, istana-istana dan toko-toko itu, seperti sudah menjadi kebiasaan orang-orang dibangun pula gedung­gedung teater, tempat-tempat pemandian dan lapangan olahraga. Alangkah hebatnya semua ini di mata orang-orang Arab yang lewat di tempat itu! Mereka belum pernah menyaksikan kemegahan dan keagungan serupa itu. Alangkah bedanya dengan yang pernah mereka lihat di San'a dan di Hirah! Mana pula jika dibandingkan dengan Khawarnaq dan Sadir,[13] dua istana an-Nu'man bin al-Munzir bin Ma'as-Sama'! Coba kita lihat, syarat-syarat perdamaian apa yang ditetapkan dengan adanya kekayaan yang begitu besar itu, keindahan yang begitu cemerlang?! Adakah mereka lalu ditelanjangi dari semua itu dan tidak diberi bagian? Atau membiarkan mereka mendapat bagian yang lebih kecil?!
Sumber-sumber itu tidak sama mengenai hal ini, seperti halnya dengan pembebasan Damsyik. Menurut sumber al-Balazuri, perdamaian itu berlangsung seperti yang terdapat dalam surat Khalid bin Walid kepada Uskup Damsyik, seperti yang sudah kita kutip di atas, pihak Muslimin hanya mendapat jizyah tanpa yang Iain-lain, yang dipungut sebagai imbalan atas keamanan yang diberikan kepada penduduk kota, meliputi jiwa, harta benda, bangunan-bangunan, gereja-gereja dan tem­bok-tembok kota. Untuk memperkuat pendapatnya, Balazuri mengutip pendapat Abu Abdullah al-Waqidi: "Yang saya baca dari surat Khalid bin Walid tak terdapat pembagian sama rata mengenai rumah-rumah dan gereja-gereja." al-Waqidi menambahkan, bahwa pasukan Muslimin tinggal dan menetap di rumah-rumah di Damsyik itu karena pemiliknya meninggalkan kota setelah diduduki. Mereka bergabung dengan Herak­lius ketika tinggal di Antakiah dan rumah-rumah tak bertuan itu di­tempati oleh pasukan Muslimin.
Tetapi at-Tabari menyebutkan bahwa persetujuan Damsyik itu atas dasar pembagian bersama mengenai dinar dan harta tak bergerak serta jizyah satu dinar per kepala, Ibn Kasir menafsirkan pembagian bersama harta dan barang tak bergerak itu karena sebagian kota dibebaskan dengan kekerasan dan seharusnya menjadi milik Muslimin semua, dan sebagian lagi yang dibebaskan dengan j alan damai harus dikenakan jizyah saja. Oleh karena itu pasukan Muslimin mengambil separuh dari gereja-gereja, rumah-rumah dan harta yang ada di kota atas dasar dibebaskan dengan kekerasan, dan yang harus membayar j izyah atas dasar dibebaskan dengan jalan damai.
Mereka yang menentukan pembagian bersama mengenai gereja­gereja, rumah-rumah dan harta benda itu menyebutkan bahwa pihak Muslimin mengambil tujuh buah gereja dari empat belas gereja yang ada di Damsyik, dan gereja besar, Gereja Santo Yohana Pembaptis dibagi dua, separuh untuk kaum Nasrani untuk melaksanakan kebaktian dan membaca Bibel, yang separuh lagi dijadikan mesjid untuk Mus­limin membaca Qur'an serta berzikir dan di bagian atasnya untuk me­nyerukan azan.
Pembagian ini berjalan selama lebih kurang tiga puluh tahun. Dalam pada itu Mu'awiah bin Abi Sufyan menuntut, kemudian Abdul-Malik juga menuntut agar sebagian dari gereja itu ditambahkan untuk mesjid. Kendati untuk itu ditawarkan uang yang tidak sedikit, pihak Gereja menolak dengan alasan mereka berpegang pada nas perjanjian yang sudah disepakati bersama ketika pembebasan Damsyik. Setelah naik Walid bin Abdul-Malik sebagai penguasa, diulanginya lagi per­mintaan itu kepada pihak Nasrani seperti dulu, dan akan diberi ganti rugi yang cukup besar jumlahnya. Tetapi seperti dulu juga, sekali ini pun mereka tetap menolak. Kemudian mereka diancam bangunan itu akan dirobohkan kalau tawaran itu ditolak. Setelah ditakut-takuti de­ngan datangnya kemurkaan Allah mereka tidak juga merasa takut, maka bagian itu dihancurkan dan dimasukkan ke bagian mesjid. Setelah yang naik sebagai khalifah kemudian Umar bin Abdul-Aziz, pihak Nasrani mengadukan perbuatan Walid terhadap Gereja mereka itu kepadanya. Khalifah menulis surat kepada wakilnya dengan perintah agar Gereja tersebut dikembalikan kepada mereka, seperti semula. Ulama fikih dan penduduk Muslimin di Damsyik tidak senang dengan perintah Umar itu dan mereka berkata: "Akan merobohkan mesjid kami setelah kami salat dan azan di tempat itu dan dikembalikan menjadi gereja." Mereka menawarkan kepada pihak Kristen akan memberikan gereja-gereja yang ada di daerah subur sekitar Damsyik yang mereka ambil dengan kekerasan dan j atuh ke tangan pasukan Muslimin, dengan syarat tidak lagi menuntut Gereja Santo Yohana. Mereka setuju. Umar bin Abdul­Aziz pun menyetujui.
Kalau persetujuan Damsyik bukan atas dasar pembagian bersama, tentu sebagian Gereja Yohana tidak akan dijadikan mesjid, Mu'awiah dan Abdul-Malik tidak akan menuntut memasukkan sisanya yang masih di tangan kaum Nasrani ke dalam mesjid, tentu al-Walid tidak akan merobohkan Gereja itu dan pihak Nasrani tidak akan mengadukan hal itu kepada Umar bin Abdul-Aziz. Demikian dikatakan oleh mereka yang berpendapat bahwa perjanjian Damsyik itu atas dasar pembagian bersama, dan tidak terbatas hanya pada j izyah. Sebaliknya mereka yang berbeda pendapat mengatakan, bahwa dalam persetujuan Khalid itu Gereja Yohana tidak dibagi-bagi dan tidak ada gereja-gereja, rumah­rumah dan harta yang dibagi-bagi. Yang diputuskan dalam perjanjian ini hanya jizyah. Mu'awiah bin Abi Sufyan dan Abdul-Malik bin Marwan menuntut agar Gereja itu dijadikan mesjid baru sesudah Damsyik menjadi ibu kota kedaulatan Islam dan sesudah jumlah kaum Muslimin melebihi jumlah penduduk Kristen dan pemerintahan berada di tangan Amirulmukminin. Kalaupun pihak Kristen menolak perminta­an mereka dan Gereja dibiarkan seperti apa adanya, itu menunjukkan tentang adanya toleransi Islam serta menghormati perjanjian per­damaian meskipun keadaan sudah berubah — Damsyik yang Rumawi Kristen sudah menjadi Arab Islam. Maka sejalan dengan perubahan itulah kemudian Walid bin Abdul-Malik bertindak seperti itu. Dengan adanya perkembangan ini pihak Nasrani pada zaman Umar bin Abdul­Aziz setuju Gereja tersebut dijadikan mesjid untuk kaum Muslimin, dan mengambil kembali gereja-gereja di daerah subur Gutah di luar tembok ibu kota.
Kita lebih cenderung memperkuat pendapat yang terakhir ini. Bagaimanapun inilah pendapat mayoritas, berurutan dan narasumbernya juga terbanyak.
Kalangan sejarawan memang berbeda pendapat mengenai pembagi­an bersama tersebut, tetapi semua mereka sepakat bahwa persetujuan itu menentukan pengenaan jizyah kepada penduduk Damsyik sebagai imbalan bagi hak-hak mereka, kebebasan beragama dan melindungi kota dan harta mereka. Jumlah jizyah itu per kepala satu dinar, gan­dum, minyak dan cuka dalam jumlah tertentu. Ini di luar pajak yang biasa dibayar oleh penduduk Damsyik kepada penguasa Rumawi. Yang demikian ini tetap berlaku, mereka akan membayarnya kepada siapa saja yang memerintah, termasuk pemerintahan Muslimin.
Abu Ubaidah menyampaikan persetujuan perdamaian itu kepada Umar bin Khattab. Umar kemudian menulis surat kepadanya agar di­adakan perubahan, jizyah harus dibedakan menurut tingkatnya. Kepada yang kaya empat dinar per kepala dan yang di bawahnya empat puluh dirham. Konon tingkatan itu disesuaikan menurut kadar kekayaannya, ada yang kurang dari itu, ada yang menengah dan ada juga yang lebih di bawah. Kemudian penghasilan Muslimin berupa gandum, minyak, lemak dan madu ditentukan.
Itulah jumlah minimum sehubungan dengan jizyah dalam persetujuan Damsyik, dan demikian juga yang dikatakan mengenai pembagian bersama. Atas dasar persetujuan yang adil sesudah pengepungan yang memakan waktu lama itu, pasukan Muslimin sudah mantap di ibu kota Syam itu dan pendudukan Heraklius pun berakhir, sedang warga yang fanatik kepada Rumawi keluar. Politik Muslimin menjalankan adminis­trasinya sesuai dengan kebijakan yang digariskan oleh Abu Bakr sebelumnya, ketika ia mengirim Khalid bin Walid untuk membebaskan Irak: administrasi kota itu diserahkan kepada pihak Damsyik sendiri. Pemerintahan itu dijalankan seperti yang digambarkan oleh Khalid dalam kata-katanya kepada beberapa penduduk Irak: "Kalau kamu orang-orang Arab apa yang membuat kamu memusuhi Arab, dan kalau kamu orang-orang Persia apa yang membuat kamu membenci keadil­an!" Setelah keadaan pihak Muslimin di kota yang indah itu kembali tenang, mulailah mereka memikirkan kewajiban mereka terhadap agama dan tanah air.
Tentu wajar saja jika yang pertama-tama dipikirkannya mengenai siapa pasukan Muslimin yang akan menggantikannya di Fihl di Yordania itu, dan apa pula yang harus dilakukannya setelah mematahkan kekuat­an Rumawi di sana. Tetapi surat Umar supaya dia mengubah jumlah minimum jizyah masih menyangkut beberapa masalah yang harus segera dilaksanakan, di antaranya yang harus diprioritaskan, mengembalikan kekuatan pasukan yang ditinggalkan Khalid bin Walid ke Irak, dengan Khalid supaya tetap di Syam. Di antara pesan Abu Bakr kepada Umar saat ia menggantikannya, katanya: "Jika Allah memberikan kemenangan, dalam menghadapi penguasa-penguasa Syam tariklah kembali pasukan Khalid ke Irak, karena mereka penduduk sana dan para penguasa di sana. Mereka sudah terlatih dan berani menghadapi musuh."
Sekarang Allah telah membebaskan Damsyik di tangan Abu Ubaidah. Di samping itu pasukan Muslimin di Irak dalam berperang melawan pasukan Persia menghadapi pelbagai kesulitan. Mereka amat memerlukan bala bantuan. Kekuatan yang dipisahkan dari Irak ke Syam merupakan bala bantuan yang tidak dapat dipandang kecil. Di dalamnya terdapat pahlawan-pahlawan tangguh yang telah menggoncangkan dan digoncang perang, dan dalam setiap pertempuran yang dimasukinya sahamnya tidak sedikit. Oleh karena itu Abu Ubaidah mengangkat Hasyim bin Utbah untuk memimpin pasukan Irak didampingi oleh al­Qa'qa' bin Amr dan yang semacamnya yang nekat dan berani, dan menggantikan mereka yang sudah gugur di medan perang Syam dengan pasukan yang jumlah dan kekuatannya seimbang dengan pasukan yang datang dari Irak. Mereka semua berangkat ke markas Musanna di Zu Qar yang berbatasan dengan daerah pedalaman di jalan padat yang biasa dilalui kafilah untuk menghindari jalan yang penuh risiko yang dulu pernah dilalui Khalid tatkala ia datang ke Syam untuk mem­berikan pelajaran kepada Rumawi. Tak pernah terlintas dalam pikiran Hasyim bin Utbah atau para perwiranya dan pasukannya selama dalam perjalanan mengarungi Sahara itu, bahwa mereka maju ke Irak untuk bersama-sama dengan pasukan Muslimin yang dipimpin oleh Sa'd bin Abi Waqqas, Ialu menghadapi pertempuran sangat menentukan me­lawan pasukan Persia yang membuka jalan ke Mada'in dan jantung Persia: Pertempuran Kadisiah.

Pertempuran Fihl dan kemenangan Muslimin

Kita tinggalkan mereka sekarang dalam perjalanan mereka itu. Kita kembali menemani Abu Ubaidah di Syam, dan sebentar lagi kita akan kembali menyaksikan mereka dalam pertempuran dahsyat yang me­lumatkan pasukan Kisra, menggantikan kekuasaannya dan membuka lembaran-lembaran baru yang amat cemerlang dalam sejarah.[14]
Abu Ubaidah sudah merasa lega dengan adanya pasukan Muslimin di Damsyik. Pikirannya sekarang tertuju pada siapa yang akan meng­gantikannya dalam pasukan Muslimin di Fihl, Yordania. Sebagian per­wiranya sudah dipacu oleh semangat kemenangan. Mereka mengusul­kan untuk melanjutkan perjalanan dari Damsyik ke Hims. Selama pengepungan Damsyik Heraklius tinggal di kota ini. Setelah dilihatnya angkatan bersenjatanya tak mampu mencapai ibu kota Syam itu untuk memberikan perlindungan, ia menyingkir dari Hims ke Antakiah. Jika sekiranya Abu Ubaidah pergi ke Hims dan membebaskannya, niscaya Heraklius akan menyingkir dari Antakiah ke Anatolia atau ke Konstan­tinopel. Kalau ini yang dilakukannya semangat pasukannya di seluruh Syam akan hancur. Mereka akan angkat tangan, tidak akan mengadakan perlawanan dan tidak akan bertempur. Tetapi Abu Ubaidah menolak sa­ran itu. Ia tidak akan menerimanya sebab dalam perintahnya Umar melarang ia maju mendahului sisa pasukan Rumawi yang ada di belakangnya yang akan merupakan ancaman jika ia mundur atau akan memotong barisan belakangnya. Pasukan Rumawi yang selamat dari Pertempuran Yarmuk masih bertahan di Fihl sebelah selatan danau at­Tabariah (Tiberias), kemudian Heraklius menopangnya dengan angkat­an bersenjata baru. Rasa takut angkatan bersenjata ini belum hilang akibat kekalahan yang mereka alami di Yarmuk ketika Abul-A'war as­Sulami berangkat dengan pasukannya hendak menghadapi mereka. Karenanya mereka lalu melepaskan air danau dan sungai ke daratan sekitar sehingga terjadi tanah lumpur, dan pasukan Muslimin tak dapat maju. Tetapi pasukan Rumawi sendiri juga tak dapat maju, sehingga tak ada gunanya bala bantuan Heraklius kepada mereka. Selama musim dingin dan selama pengepungan kota Damsyik tanah itu tetap ber­lumpur, dan pihak Rumawi pun terkepung di balik lumpur di Lembah Baisan (Scythopolis). Sesudah Damsyik menyerah dan datang musim panas, tanah pun sudah mulai kering, Abu Ubaidah menyerahkan Damsyik ke tangan Yazid bin Abi Sufyan dengan kekuatan pasukan berkuda Yaman yang dipimpinnya. Dia sendiri bersama Khalid bin Walid dan angkatan bersenjatanya melangkah maju ke Fihl dan Lembah Baisan. Tanah yang sudah mulai kering itu memungkinkan pasukannya menghadapi pertempuran lagi.
Ketika itu Abu Bakr sudah menyerahkan Yordania ke tangan Syurahbil bin Hasanah, Hims kepada Abu Ubaidah, Balqa' kepada Yazid bin Abi Sufyan dan Arabat kepada Amr bin al-As. Komando di lapangan kepada pihak yang mengalami pertempuran di bawah pimpin­annya. Perintah ini oleh Umar tidak diubah. Dengan demikian komando pasukan Muslimin yang berada di Fihl tetap di tangan Syurahbil, dan yang sebagian masih tinggal di sana sebelum Damsyik dikepung di bawah Abul-A'war as-Sulami, dan yang datang sesudah pengepungan Damsyik di bawah Abu Ubaidah.
Syurahbil mengirim Abul-A'war dengan brigadenya ke Tabariah (Tiberias) untuk mengadakan pengepungan, Khalid bin Walid memim­pin barisan depan, Abu Ubaidah dan Amr bin al-As masing-masing di sayap kanan dan kiri sementara Dirar bin al-Azwar memimpin pasukan berkuda. Angkatan bersenjata ini berangkat semua menyeberangi Sungai Yarmuk di Umm Qais di dekat sebuah muara di Yordania, yang selanjutnya menyeberangi Lembah Gor, kemudian bermarkas di Fihl, berhadap-hadapan dengan pasukan Rumawi di Baisan. Tatkala sudah tak dapat melampaui tanah berlumpur para komandan itu berunding. Mereka melaporkan kepada Umar mengenai keadaan itu dan menunggu jawabannya. Bahan makanan yang tinggal sedikit tidak membuat me­reka cepat-cepat berpindah tempat. Tanah subur yang mereka peroleh lebih baik daripada yang diperoleh pasukan Rumawi, karena dengan kesuburan yang ada di sekitar mereka memungkinkan mereka membuat bahan-bahan makanan dan kehidupan mereka lebih makmur. Pasukan Rumawi yang kini di depannya terdiri atas delapan puluh ribu orang dengan nafsu besar ingin menghancurkan pihak yang telah mengalah­kan angkatan bersenjata mereka di Yarmuk dulu dan kemudian merebut Damsyik.
Sesudah pasukan Muslimin lama bertahan di Fihl, terbayang oleh Siqlar bin Mikhraq,[15] komandan angkatan bersenjata yang besar di bawah Heraklius, lebih baik menyergap musuhnya itu dengan tiba-tiba supaya dapat dihancurkan. Untuk itu pasukan perintisnya ditugaskan mencarikan tempat untuk angkatan bersenjatanya di tanah sekitarnya. Setelah malam tiba, ia bergerak dengan pasukan perintisnya. la sudah yakin bahwa pasukan Muslimin sudah merasa aman, dan tidak dalam keadaan siap tempur. Dengan demikian, begitu mendapat serangan per­tama barisan Muslimin akan kacau balau. Tetapi rupanya perhitungan­nya meleset. Ternyata pasukan Muslimin sepenuhnya waspada terhadap kemungkinan munculnya pasukan Rumawi. Malam mau tidur dan bangun tidur Syurahbil selalu siap siaga. Sergapan Siqlar dan pasukan­nya itu disambut dengan gempuran yang luar biasa hebatnya. Pihak Rumawi pun nekat mati-matian bertempur. Pertempuran ini berlangsung lama semalam suntuk dan bersambung ke hari berikutnya sampai malamnya lagi. Peranan Khalid bin Walid dan Dirar bin Azwar waktu itu mengingatkan pasukan Muslimin pada peperangan dan pertempuran­pertempuran sebelumnya. Sesudah gelap malam pasukan Rumawi tam­pak kepayahan, barisannya centang perenang. Mereka berlarian dalam kebingungan setelah melihat apa yang telah menimpa Siqlar dan para perwiranya.
Tak adakah tempat berlindung bagi angkatan bersenjata yang sudah kalah ini dalam pelarian mereka atau rencana pertahanan yang akan dapat menampung mereka? Tidak ada! Kekalahan dan kebingungan mereka itu mengantarkan mereka ke dalam lumpur. Mereka tak dapat berjalan lagi. Pasukan Muslimin terus mengejar mereka. Semula dikira sengaja mereka demikian, tetapi ternyata mereka memang dalam kekacauan dan kebingungan, tak dapat melangkah maju atau mundur, juga tak dapat melarikan diri. Pasukan Muslimin menggempur mereka dengan panah, sehingga mereka tersungkur, berjatuhan ke dalam lumpur dan tidak sedikit dari mereka yang terbunuh. Dari delapan pu­luh ribu itu tak ada yang lolos kecuali sisa-sisa yang terpencar-pencar. Kemenangan yang diperoleh pasukan Muslimin sangat meyakinkan dan cukup memuaskan. Rampasan perang yang mereka peroleh juga tidak sedikit, yang kemudian dibagi-bagikan di antara mereka. Mereka merasa puas bahwa Allah telah memberi kemenangan. Abu Ubaidah menulis Iaporan kepada Amirulmukminin di Medinah memberitahukan mengenai kemenangan itu, dan bahwa dia bersama Khalid bin Walid sudah akan berangkat ke Hims.
Dengan pertolongan Allah itu iman pasukan Muslimin makin kuat ketika mereka melihat bagaimana Allah menentukan sesuatu yang pada mulanya tidak mereka sukai. Mereka tidak senang melihat tanah yang berlumpur karena itu merintangi mereka untuk berhadapan dengan musuh. Apa yang tidak mereka senangi ternyata meriolong mereka dan membuat musuh yang terkepung akhirnya hancur berantakan. Bukankah ini merupakan tanda kebesaran Allah dan suatu bukti bahwa Allah pasti menolong mereka dan mereka akan menggantikan kekuasaan Rumawi dan Persia?[16]

Perdamaian Tabariah sampai Busyra

Waktu pasukan Muslimin sudah selesai dengan Pertempuran Fihl, Abul-A'war masih mengepung Tabariah. Syurahbil keluar dari Fihl bersama Amr bin As dan pasukannya menuju Baisan (Scythopolis) untuk mengadakan pengepungan. Tetapi pihak Baisan di setiap tempat sudah memperkuat diri dan berusaha hendak membendung pasukan Muslimin. Mereka melakukan itu karena sudah tahu bahwa Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah sudah kembali ke Damsyik dan akan meng­adakan perjalanan dengan pasukannya ke Hims, bahwa Abul-A'war masih mengepung Tabariah dan bahwa kekuatan pasukan Muslimin terbagi-bagi di beberapa tempat di Syam. Angkatan bersenjata yang masih tinggal di sana untuk mengepung mereka bukan tidak bisa dibendung. Tetapi perlawanan mereka tidak lama dan sebentar lagi mereka akan terpaksa menyerah dan menerima perdamaian seperti perdamaian Damsyik. Soalnya, secara moral keadaan mereka sudah amat lemah karena nasib yang menimpa mereka di Yarmuk, kemudian di Damsyik dan Fihl. Di samping itu penduduk Syam tidak begitu memusuhi pasukan Muslimin dalam arti mau membantu pihak Rumawi dalam mengadakan perlawanan. Pihak Rumawi memerintah mereka dengan kekerasan dan tangan besi sehingga tak ada yang mau men­dukungnya atau mengharapkan tetap bertahan. Penduduk Syam sendiri terdiri dari kabilah-kabilah Arab dan Nasrani. Sudah lama ikatan se­rumpun dan ikatan seagama bersaing di antara mereka. Mereka orang­orang Arab, seperti kaum Muslimin, dan juga kaum Nasrani, seperti orang-orang Rumawi. Sesudah melihat kelemahan Heraklius serta ke­pengecutan istananya dan kekalahan perwira-perwiranya, sebagian mereka berpihak kepada orang-orang Arab Muslim dan ditunjukkannya kepada mereka titik-titik kelemahan Rumawi, di samping kemenangan yang begitu berkilauan menyilaukan mata mereka dan membuat orang begitu kagum kepada pemenangnya dan ikut bergabung kepadanya.
Pengalaman pihak Tabariah (Tiberias) juga sama dengan yang dialami oleh pihak Baisan. Meminta kepada Abul-A'war untuk ber­damai dengan Syurahbil. Maka mereka pun dipertemukan dengan pang‑lima itu lalu diadakan persetujuan perdamaian seperti yang dilakukan dengan pihak Baisan menurut perdamaian Damsyik, yakni membagi dua rumah-rumah di kota-kota dan sekitarnya dengan kaum Muslimin dan yang separuh lagi buat mereka; membayar jizyah per tahun satu dinar tiap kepala dan sejumlah tertentu hasil gandum menurut kadar tertentu tanahnya. Demikian juga Azri'at (Dar'a atau Edrei), Amman, Jarasy, Ma'ab (Moab) dan Busra (Bostra) mengikuti cara-cara di atas dan mengadakan persetujuan perdamaian seperti dengan mereka dulu. Demikian juga dengan Yordania, Hauran sampai ke pedalamannya. Dan penguasa Muslimin yang membangun pasukan di kota-kota setuju menyerahkan kepengurusan administrasinya kepada warga setempat, dengan syarat administrasi itu harus dilaksanakan secara adil dan tidak berat sebelah.
***

Menghadapi ancaman Perang Kadisiah

Sekarang apakah kita akan mengikuti Abu Ubaidah bin Jarrah dan Khalid bin Walid dalam perjalanan ke Hims, ataukah mengikuti Hasyim bin Utbah dan Qa'qa' bin Amr dan pasukan Irak untuk melihat bagai­mana ketentuan Allah yang berlaku terhadap Musanna dan anak buah­nya yang tinggal bersama dia, dan kita menyaksikan Kadisiah bersama Sa'd bin Abi Waqqas? Dengan kata lain: Kita akan mengikuti angkatan bersenjata Muslimin dalam membebaskan Syam hingga Allah memberi kemenangan di seluruh Syam, atau akan berpindah ke Irak mengikuti berita-beritanya sampai pembebasannya selesai? Ada ahli sejarah yang berpihak pada yang pertama, yang sebagian lagi memilih yang kedua. Dalam hal ini kita akan lebih cenderung mengikuti yang kedua dan kita akan berpindah ke Irak, supaya kawasan Kedaulatan Islam berada di bawah mata kita dan mengikutinya secara utuh. Kita akan melihat di depan mata kita sendiri terkuak sedikit demi sedikit, ke timur dan ke barat. Ini lebih tepat buat kita menilai perjuangan Muslimin yang mula­mula dulu dalam menghadapi dua raksasa sekaligus, Persia dan Ruma­wi, juga lebih cocok untuk mengetahui politik Umar, untuk mengetahui bagaimana ia menghadapi peristiwa-peristiwa besar yang datang ber­tubi-tubi itu, bagaimana pula ia memik.ul beban pemerintahan di Medi­nah dan di seluruh Semenanjung Arab untuk menambah ketenteraman hidup bagi orang-orang Arab itu dan semangat. pembebasan yang telah melimpahkan kekayaan Persia dan Rumawi kepada mereka, hal yang tak pernah terlintas dalam pikiran mereka dalam zaman mana pun sepanjang sejarah mereka.
Tetapi sebelum kita pindah ke Irak bersama Hasyim bin Utbah dan kawan-kawannya, di sini kita perlu merenung sejenak, seperti yang kita sebutkan dalam biografi Abu Bakr tentang adanya perbedaan kalangan sejarawan sekitar urutan sejarah mengenai peristiwa-peristiwa pem­bebasan di Syam. Kita sudah melihat segala peristiwa dalam bab itu bahwa ketika Abu Bakr wafat pasukan Muslimin sedang berada di Yarmuk, dan bahwa pasukan Muslimin mendapat kemenangan di Yarmuk pada masa pemerintahan Umar, yakni ketika datang berita ke Syam tentang meninggalnya Abu Bakr dan pemecatan Khalid bin Walid dari pimpinan angkatan bersenjata serta penyerahannya kepada Abu Ubaidah bin Jarrah, bahwa sesudah itu atas perintah Umar mereka berangkat ke Damsyik, mengepungnya lalu membebaskannya. Kemu­dian sesudah perdamaian Damsyik mereka kembali ke Yordania untuk mengadakan pembersihan lalu mengadakan persetujuan dengan pihak Yordan seperti yang dibuat dengan Damsyik. Ini menurut sumber­sumber at-Tabari, Ibn Khaldun, Ibn Asir, Ibn Kasir dan mereka yang sejalan dengan pendapat ini. Tetapi Azdi, Waqidi dan Balazuri berbeda pendapat dengan Tabari mengenai urutan peristiwa-peristiwa dalam pembebasan Syam itu. Mereka mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa Ajnadain, Damsyik dan yang lain sebelum perang Yarmuk, dan yang lain berpendapat bahwa perang Yarmuk adalah yang terakhir di Syam. Memang sulit sekali kita mengambil keputusan yang tepat mengenai adanya perbedaan-perbedaan ini. Tabari sendiri menyebutkan adanya perbedaan ini dan ia tidak menentukan suatu pendapat. Misalnya ia mengatakan: "Muhammad bin Ishaq berkata: Pembebasan Damsyik tahun empat belas bulan Rajab. Pertempuran Fihl sebelum Damsyik, tetapi mereka berada di Damsyik sebagai pasukan yang meninggalkan komandannya di Fihl dan mereka dibuntuti oleh pasukan Muslimin, kendati Pertempuran Fihl itu terjadi tahun tiga belas bulan Zulkaidah. Sebaliknya Waqidi beranggapan bahwa pembebasan Damsyik tahun empat belas dan beranggapan bahwa Pertempuran Yarmuk dalam tahun lima belas dan bahwa Heraklius keluar dari Antakiah ke Konstan­tinopel dalam bulan Syaban tahun itu, setelah Pertempuran Yarmuk, dan bahwa sesudah itu dia tidak pernah mengalami suatu pertempuran lagi.
Rasanya tak perlu kita berlama-lama mengikuti perbedaan pendapat ini selama memang tidak mudah untuk menentukan pendapat yang pasti. Dalam bab ini kita sudah berpegang pada sumber Tabari dan mereka yang sependapat dengan dia. Sebaiknya ini kita teruskan, selama hal ini tidak akan merusak apa yang kita inginkan mengenai pencatatan sejarah Kedaulatan Islam itu pada masa pemerintahan Umar. Pembebasan Damsyik itu baik terjadi sebelum Pertempuran Yarmuk atau sesudahnya, terjadinya pembebasan secara umum disepakati, kendati ada perbedaan mengenai tanggal dan beberapa uraiannya. Sumber Tabari dari Saif bin Amr dan dari mereka yang mengutipnya, bahwa Pertempuran Yarmuk terjadi dalam bulan Rajab tahun tiga belas (September 634) dan Damsyik dikepung pada bulan Syawal tahun itu juga, dan dapat dibebaskan pada permulaan tahun berikutnya (antara Desember 634 dengan permulaan musim semi tahun 635), sementara Pertempuran Fihl terjadi sesudah Damsyik pada musim panas tahun 635, kemudian menyusul kota-kota lain di Yordania.
Setelah Pertempuran Fihl itu Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid berangkat ke Hims, sementara Hasyim bin Utbah kembali lagi ke Irak. Kita tinggalkan Abu Ubaidah dan Khalid, dan kita berangkat bersama pasukan Irak untuk menyaksikan perang Kadisiah, perang yang sangat menentukan yang telah membukakan pintu ke Mada'in bagi pasukan Muslimin, dan menurut semua ahli sejarah dianggap sebagai salah satu perang yang paling sengit yang telah mengantarkan sejarah dunia ke arah yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar