Jumat, 21 Maret 2014

MAKNA SYAHADATAIN




a. Pengantar

Makna Syahadataian, artinya makna dua kalimah syahadat (أشهد أن لا إله إلاّ الله وأشهد أنّ محمّدا رسول الله) . Syahadatain dari sisi makna, memiliki dua bagian yang secara terpisah harus difahami secara benar. Pertama, pernyataan “Asyhadu”. Kedua , dua sisi pernyatan tersebut, yaitu : أن لا إله إلاّ الله   dan   محمّد رسول الله . bagian pertama tidak memiliki makna apapun, jika bagian keduanya tidak difahami secara seksama. Oleh karena itu, dalam bahasan ini akan mendahulukan pembahasan bagian kedua dan kemudian bagian pertama.

b. Makna Laa Ilaha Ilallah.

Kalimat Laa Ilaha Illallah adalah kalimat Thayyibah  atau kalimat tauhid. Pembahasannya cukup mengingat ulang materi ma’rifatullah yang telah lalu. Untuk menguatkan dan mempertegas pemahaman yang terkandung dalam materi ma’rifatullah, kiranya perlu pembahasan di bawah ini:

1. Refleksi Makna Laa Ilaha Ilallah.


a. Hanya ada satu ketergantungan, yaitu kepada Allah.


Pertama, Refleksi makna laa Ilaha Illallah tercermin dalam kalimah “Allahu Shomad” (Qs. 112;2). Jika diterjemahkan dengan susunan kalimat tauhid, maka berarti hanya ada satu ketergantungan, yaitu kepada Allah saja.
Alasan utama yang diperoleh dalam Al-Quran mengapa ketergantungan itu hanya kepada Allah saja, karena segala kekuasaan, ilmu dan apa saja adalah milik Allah dan dalam pengawasannya (2:225). Karena itu, segala segala makhluk tunduk dan patuh kepada-Nya baik rela maupun terpaksa (3:83). Inti dari pembahasan ini, ialah bahwa Allah adalah tempat bergantungnya segala sesuatu, yang tidak ada tempat lain kecuali Allah SWT. Ketergantungan ini disebabkan karena Allah telah membuat segala hukum dan aturan (ilmu) yang meliputi alam raya termasuk manusia, sehingga apapun yang di langit dan yang ada di bumi, rela maupun terpaksa, mengikuti segala ilmu yag telah dibuat-Nya. Ilmu Allah  SWT baik yang ada di alam maupun yang tertulis dalam kitab-Nya, adalah pasti dan tidak seorangpun yang mampu merubah atau melanggarnya, terkecuali mendapatkan akibat yang telah digariskan-Nya.

b. Hanya ada satu kekuasaan, yaitu milik Allah.


Kedua, Refleksi makna Laa Ilaha Illallah tercermin dalam kalimat “Lam Yalid Walam Yulad”. (Qs. 112;3). Jika diterjemahkan dalam susunan kalimah tauhid, maka berarti hanya ada satu kekaasaan, yaitu milik Allah semata.
Alasan utamanya adalah bahwa Allah berfirman:
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا(111)
“Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya)  dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya”. (Qs. 17;111).
Allah SWT tidak beranak dan tidak mempunyai anak, sehingga Dia bebas dari segala yang membelenggu, yang menghambat, menghalang-halangi dan ketidak adilan. Alhasil, Allah adalah pemilik kekuasaan, dan segala bentuk kerajaan.

c. Hanya ada satu keunggulan, yaitu ada pada Allah.


Ketiga, refleksi makna Laa Ilaha Illallah tercermin dalam kalimah “Lam yakun Lahu Kufuwan Ahad”. (Qs. 112;4). Jika diterjemahkan dalam susunan kalimat tauhid, maka berarti hanya ada satu keunggulan, yaitu ada pada Allah saja.
Alasan utamanya adalah bahwa Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (Qs.22;62). Segala sesuatu Yang Maha atau Yang Lebih, akan senantiasa dikagumi, dicari, dicita-citakan dan sudah pasti ditunduki atau dipatuhi. Alhasil, Dia adalah tempat pengabdian dan harapan. Dengan alasan ini, maka segala sesuatu peribadatan atau ibadah yang tidak ditujukan kepada-Nya adalah batil.  

2. Aksioma Tauhidullah.

Berdasarkan pada pembahasan di atas, maka Tauhidullah memiliki aksioma dasar, yaitu:

a. Laa Rabba Illallah.


Aksioma ini muncul karena Allah adalah rabb (Pengatur) manusia (Qs. 114;1), sehingga tidak ada pengatur manusia kecuali Allah SWT. Mencari siapapun selain Allah sebagai Pengatur kehidupan manusia adalah musyrik. Manusia adalah produk Allah dan hanya Allah saja yang tahu bagaimana mengaturnya (Qs. 23;52) dan hanya aturan Allah saja yang dapat membimbingnya ke jalan yang lurus (Qs. 19:36). Oleh karena itu, siapapun yang tidak mengatur dirinya dengan aturan Allah (wahyu-Nya), maka ia akan tersesat dan jalan yang ditempuhnya menuju kerusakan dan kerugian. Aksioma ini menggariskan bahwa hanya ada satu aturan hidup yaitu aturan hidup dari Allah, yaitu Rububiyah-Nya (wahyu dan Dien Islam).

b. Laa Malika Illallah.


Aksioma ini muncul karena Allah adalah Malik (Raja) manusia (Qs. 114;2), sehingga tidak ada raja bagi manusia kecuali Allah SWT. Mengangkat siapapun selain Allah sebagai raja manusia adalah musyrik. Manusia adalah makhluk lemah dan kecil yang membutuhkan perlindungan dan pertolongan. Hanya Allah yang mampu melindungi dan menolong-Nya. Dia adalah yang pantas menolong dan melindungi. Sebab Dia adalah penguasa tunggal dan tidak ada seorangpun yang mampu melemahkan kekausaannya (17:111). Oleh karena itu, siapapun tidak mewalikan dirinya pada kerajaan Allah SWT, yaitu dalam kerajaan Islam atau negara  atau pemerintahan Islam, maka ia akan terzhalimi  dan tidak akan mendapat pertolongan dari Allah SWT. Aksioma ini menggariskan bahwa hanya ada satu kerajaan Allah, yaitu Mulkiyah-Nya (Pemerintahan Islam).

c. Laa Ma’buda Illallah / Laa Ilaha Illallah.


Aksioma ini muncul karena Allah adalah Ilah (sembahan/abdian) manusia (114;3). Sehingga tidak ada sembahan atau tempat pengabdian kecuali Allah. Menjadikan selain Allah sebagai yang diibadahi atau yang diabdi manusia adalah musyrik. Aksioma ini menggariskan bahwa hanya ada satu pengabdian, yaitu kepada Allah saja (Qs. 20;14). Ini adalah Uluhiyatullah (manusia hanya boleh menjadi hamba-Nya, artinya hanya boleh menjadi pengikut-Nya, ummat-Nya dan rakyat dan kerajaan-Nya).

c. Makna Muhammad Rasulullah SAW.

Muhammad dalam pembahasan ini bukanlah nama dari seorang ayah, namun ia adalah Rasulullah (Qs. 33;40) yang membawa risalah-Nya seperti rasul-rasul sebelumnya (Qs.3;144). Oleh karena itu, studi ini diarahkan bagaimana manusia mampu memahami ia sebagai seorang rasul bukan yang laiannya.

1. Refleksi Makna Muhammad SAW.


Nabi Muhammad sebagai utusan Allah SWT, apa yang diyakini, diucapkan dan diperbuatnya, tentu tidak lepas dari Tauhidullah. Sebab inti ajaran para Nabi bermuara pada kalimah Thayyibah (Qs. 2;133, 21;108). Oleh karena itu, seyogyanya studi atas kerasulan Nabi Muhammad Saw. dibimbing oleh kerangka tauhidullah seperti yang telah dibahas di muka. Sehingga refleksi maknanya dapat dipetakan sebagai berikut:

a. Hanya ada satu kitab yang berlaku bagi manusia, yaitu kitab yang dibawa oleh Muhammad SAW.


Adanya keyakinan yang diakui bahwa hanya ada “satu kitab yang berlaku bagi manusia”, yaitu kitab yang dibawa Muhammad saw. Sebab Muhammad saw. diberi al-Kitab yang dengan itu ia ditugaskan oleh Allah SWT untuk menghukumi manusia sesuai wahyu-Nya itu, tanpa memperdulikan penentangan dari siapapun (QS. 4;105). Ia adalah satu-satunya kitab yang harus dijadikan oleh manusia sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan dunia dan di akhirat aplikasi kitab inilah yang akan ditanyakan oleh Allah SWT.

b. Hanya ada satu struktur manusia, yaitu struktur yang diuswahkan oleh Muhammad SAW.


Menghendaki bahwa hanya ada “Satustruktur masyarakat manusia”. yaitu struktur yang diuswahkan oleh Muhammad SAW. Landasan utamanya, bahwa manusia yang hidup dalam suatu masyarakat, sudah pasti memiliki keterkaitan satu sama lain dengan yang namanya struktur sosial. Yang secara hierarki manusia ada yang memimpin dan yang dipimpin. Setiap kepemimpinan sudah pasti memiliki apa yang disebut panutan, dimana segala gerak kehidupan sosial mengacu padanya. Sementara itu, Muhammad adalah rasulullah dan ia telah mencontohkan bagaimana hidup dan menata kehidupan baik secara fardiyah maupun jam’iyah. Oleh karena itu, refleksi makna Muhammad Rasulullah SAW adalah mencontoh apa yang diperbuatnya (QS. 33;21).
Struktur masyarakat tersebut, dapat dilihat dalam Firman Allah SWT surat Al-Fath ayat 29. Sebagai berikut :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا(29)
“Muhammad itu adalah utusan Allah. Orang-orang yang bersamanya sangat keras terhadap orang-orang kafir dan kasih sayang kepada sesama mereka. Engkau lihat mereka ruku’, sujud serta mengharap Kurnia daripada Allah dan keridhaan-Nya. Tanda mereka itu ada di muka mereka, karena bekas sujud. Itulah contoh mereka dalam Taurat. Contoh mereka dalam Injil adalah seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu bertambah kuat dan bertambah besar, lalu tegak lurus dengan batangnya, sehingga ia menakjubkan orang-orang yang menanamnya. (Begitulah orang-orang Islam pada mulanya sedikit serta lemah, kemudian bertambah banyak dan kuat), supaya Allah memarahkan orang-orang kafir sebab itu. Allah telah menjanjikan ampunan dan pahala yang besar untuk orang-orang yang beriman dan beramal shaleh”. (49:29).

          Ayat ini sungguh sangat jelas bahwa Muhammad SAW telah membentuk suatu masyarakat yang ideal, dimana unsur-unsurnya berfungsi secara baik, sehingga mampu menyenangkan yang menanam dan mengalahkan musuh-musuhnya. Intinya, pertama, Muhammad dan para shahabatnya telah mencontohkan bagaimana bersikap terhadap lawan dan kawan, yaitu keras terhadap lawan dan lemah lembut terhadap kawan. Kedua, mereka mampu mencontohkan bagaimana hidup dalam satu poros kepemimpinan yang utuh, yaitu segala bentuk kreatifitas anggota-anggotanya muncul dari pokok batang yang sama, sehingga semakin kreatif anggotanya, semakin kuatlah struktur kepemimpinan tersebut. Kelima, mereka mampu memberi contoh bahwa kekuatan didalam adalah kunci mengalahkan segala rintangan dalam mencapai setiap kemenangan.
Mengakui Muhammad sebagai rasul berarti harus mengakui adanya kewajiban mewujudkan struktur masyarakat yang seperti tercermin dalam ayat tersebut diatas.

c. Hanya ada satu tujuan masyarakat manusia, yaitu Tegaknya Risalah Muhammad SAW.


Mengarahkan seluruh tujuan hidupnya, bahwa hanya ada “satu tujuan masyarakat manusia”, yaitu tegaknya Risalah Muhammad SAW. Tujuan masyarakat ini adalah perwujudan dari keinganan Allah SWT, bahwa Muhammad sebagai Rosul-Nya membawa tugas mulia yaitu mengidharkan dien al-Islam, dengan menyingkirkan dien-dien yang lain (QS. 9;33). Tugas suci ini tidak saja bersifat regional, namun lebih dari itu bersifat internasional (Qs. 34;28). Bagi ummat manusia tugas ini adalah rahmat (Qs. 21;107). Seseorang atau masyarakat yang mengimani Muhammad SAW sebagai rasul, berarti mengakui dan menjadikan tugas ini sebagai tanggung jawab orang atau masyarakat tersebut. Pengakuan Muhammad sebagai rasul, mewajibkan terlaksanya tujuan mulia ini. jadi, siapapun wajib mengarahkan tujuan hidupnya untuk membangun masyarakat yang didalamnya terlaksana al-Islam. Karena tugas ini bersifat menyeluruh, maka tugas pengikut Muhammad adalah menjadikan seluruh dunia ini mewujudkan satu tujuan mulia ini, yaitu terlaksananya hukum dan perundang-undangan Islam tidak saja secara bertahap di negerinya, namun juga diseluruh bangsa dan negara.

2. Aksiomatika Tauhid Sosial.


Bersandar pada refleksi makna Muhammad rasulullah tersebut diatas, membentuk suatu aksioma yang harus menjadi pegangan bagi setiap pengikut Muhammad rasulullah SAW, yaitu :

a. Pertama, bahwa tidak ada undang-undang yang diberlakukan atas manusia, kecuali undang-undang Islam.


Aksioma ini dibangun atas kesadaran bahwa hakikat alam raya ini adalah tunduk dan patuh kepada Allah SWT (QS. 3;83) dan Allah hanya mengakui satu agama yaitu Islam (Qs. 3;19). Muhammad SAW sebagai rasul telah mengucapkan pernyataan kepatuhan kepada-Nya. Firman Allah Surat al-Mu’min ayat 66, sebagai berikut :
قُلْ إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَمَّا جَاءَنِيَ الْبَيِّنَاتُ مِنْ رَبِّي وَأُمِرْتُ أَنْ أُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ(66)
“Katakanlah (ya Muhammad ): “Sesungguhnya aku melarang menyembah sembahan yang kami sembah selain Allah setelah datang keadaku keterangan-keterangan dari Tuhanku; dan aku diperintahkan supaya tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. (Qs. 40:66).
Sebagai pengikut nabi Muhammad SAW harus menyadari landasan ini, sebab ia adalah makhluk Allah dan salah satu komponen dari alam, yang rela atau terpaksa akan tetap mengikuti segala kehendak-Nya. Manusia seperti ini, hanya patuh pada satu perintah yaitu perintah Tuhannya dan hanya menjadikan syari’at Islam sebagai satu-satunya undang-undang yang ditaatinya. Mereka tidak hanya akan menjadi pengikut setia bagi pelaksanaan syari’ah Allah ini, juga menjadi pejuang dan pembela kebenaran syari’ahnya dimanapun ia berada dan akan tetap berjalan sesuai dengan syari’ah ini dalam kondisi apapun. Mereka meniadakan dan berusaha menyingkirkan undang-undang lain, dan menggantinya dengan undang-undang Islam.

b. Kedua, bahwa tidak ada sistem kepemimpinan yang harus ditegakkan, kecuali sistem kepemimpinan Islam.


Aksioma ini bagi manusia adalah hakikat dari perintah Allah dalam surat al-Isra ayat 111, yaitu :
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا(111)
“Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya)  dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya”. (Qs. 17;111).
          Ayat ini sangat jelas bahwa Allah memerintahkan untuk menyatakan bahwa segala puji, kerajaan, keagungan dan kebesaran adalah milik Allah semata. Menyadari Allah adalah penguasa tunggal, maka pengikut Muhammad mewajibkan dirinya untuk mewujudkan satu sistem kepemimpinan yang sesuai dengan ridla-Nya, yaitu sistem kepemimpinan Islam. Hirarki kepemimpinan Islam terlihat dalam surat al-Maidah ayat 55-56, yaitu :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ(55)وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ(56)
“Sesungguhnya Wali (pimpinan; penolong) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalah, menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa yang menjadikan Allah, Rasul-Nya  dan orang-orang yang beriman menjadi walinya, maka sesungguhnya pengikut Allah itulah yang menang”. (Qs. 5;55-56).
Bagi pengikut Muhammad SAW, hanya boleh mengakui dan mewujudkan sistem Islam sebagai prasyarat bagi dirinya untuk disebut sebagai manusia tauhid baik dihadapan Allah SWT maupun ditengah-tengah masyarakatnya.

c. Ketiga, bahwa tidak ada sistem sosial, kecuali sistem sosial Islam.


Landasan konsep dari aksioma ini dapat diperhatikan kandungan Surat Saba’ (34) ayat 15, sebagai berikut :
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ(15)
“Sesungguhnya sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu bua buah kebun di sebelah kanan dan disebelah kiri. (Kepada) mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rizki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepa. (Negerimu) adalah Negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”. (34;15). 
Ada tiga hal yang dapat diungkapkan dari ayat ini, pertama, dua kebun disebelah kanan dan kiri, menunjukkan suburnya lahan pekerjaan yang tersebar di seluruh negeri. Kedua, makanlah dari rizki Tuhanmu dan bersyukurlah kepadanya, menunjukkan adanya kemakmuran dan amal sosial yang dilandasi syukur kepada Allah. Ketiga, Negeri yang baik dan Tuhan Yang Maha Pengampun, menunjukkan bahwa adanya sistem sosial politik dan ekonomi yang bersih dan menempatkan Allah sebagai hakim tertinggi, untuk menentukan benar dan salah.
Tiga hal tersebut diatas adalah landasan utama menciptakan sistem sosial yang akan menjamin keadilan, kesejahteraan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Sistem sosial yang dilandasi oleh tiga prinsip ini, dapat dilihat pula dalam al-Quran surat 48 ayat 29. Dalam ayat ini, tersusun rapih sebuah sistem sosial yang komplit; pertama sistem sosial politik yang kokoh, yaitu bersihnya unsur-unsur kuffar dan terbangunnya solidaritas antar sesama mu’min yang tinggi. Hal ini akan menciptakan sebuah iklim yang aman dan menguntungkan bagi tumbuhnya sistem sosial yang bersih dan kuat. Kedua, seluruh unsur sosial tunduk dan patuh pada Allah SWT dan mengarahkan kehidupan sosialnya pada keseimbangan antara mencari karunia dari Allah dan keridlaan-Nya. Dengan demikian, maka setiap manusia yang berada dalam naungan sistem ini adalah merdeka dari kekuasaan manusia. dihadapan sistem ini setiap manusia adalah sama, yang membedakan hanyalah sejauhmana ia menjewantahkan ketaqwaan kepada Tuhannya. Seorang pemimpin bisa saja dapat kritik keras oleh rakyat yang dipimpinnya, dan seorang pimpinan menerimanya dengan seksama sambil mengoreksi apa kekurangan dan kesalahan yang dilakukanya serta menyelesaikan dengan hukum Tuhan mereka. Inilah persyaratan keadilan. Tidak ada sistem lain yang mampu menciptakan ini kecuali Islam. Ketiga, terbentuknya sistem regenerasi yang berkesinambungan dan kreatifitas generasi barunya senantiasa bertujuan membesarkan kekuatan dan ketangguhan generasi induknya. Menciptakan generasi terpuji, sangatlah tergantung pada dimana ia dibimbing dan dibina. Jika berharap muncul generasi muslim sejati, tidak mungkin dilahirkan dari sistem sosial yang sistem sosialnya dilandaskan pada non Islam, ia hanya akan muncul dari sistem sosial Islam.

d. Refleksi Makna Syahadat.


Studi tentang syahadat, terkonsentrasi pada kata Asyhadu. Asyhadu adalah fi’il mudhari’ yang berarti aku (sedang dan akan terus) bersaksi. Pengertian ini menunjukkan adanya kesadaran, kehadiran dan kontinuitas. Yaitu, setiap manusia yang mengatakan asyhadu berarti ia sedang sadar (tanpa paksaan siapapun), sedang hadir (terlibat dan bertanggung jawab) dan kontinu (sejak sekarang sampai waktu yang tidak terhingga). Ini menunjukkan bahwa siapapun yang mengucapkan Asyhadu, berarti ia memahami sepenuhnya materi yang diucapkan, sehingga kesimpulannya sangat meyakinkan. Dengan demikian Asyhadu Anla illaha Ilallah berarti ia bersaksi dengan segenap pemahaman yang dimiliki tentang ilah, sehingga ia memilih pilihan terbaiknya bahwa Allah lah satu-satunya yang dipilih sebagai ilah begitu pula kalimat wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah berarti ia bersaksi dengan segenap pemahamannya tentang Muhammad sehingga ia memutuskan bahwa Muhammad ialah rasulullah.
Pernyataan Asyhadu An Laa Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah adalah dua kalimat syahadat. Syahadat dalam pengertian bahasa Arab, dapat berarti bukti, sumpah, alam lahir, kesaksian atau pengakuan. Jika demikian berarti syahadatain adalah bukti atau pengakuan atas pilihan terhadap Allah dan pilihan terhadap Muhammad sebagai rasul-Nya dialam lahir. Jadi pengakuan yang dimaksud tidak berarti sama sekali jika tidak dinyatakan dalam bentuk kalimat yang nyata dan terlihat. Makna nyata atau terlihat (alam lahir), sesuai dengan pernyataan asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah berarti adalah mengucapkan, ada yang menyaksikan dan ada yang dipersaksikan. Seluruhnya tampak nyata ada yang memperdengarkan, ada yang didengar dan ada yang didengarkan. Karena syahadatain adalah rukun Islam yang pertama, maka berarti seseorang dianggap Islam jika seseorang telah mengucapkan persaksiannya, didepan saksi yang berhak dan dengan kalimat Asyhadu An Laa Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah.
Mengenai syahadat atau saksi dan mempersaksikan sesungguhnya adalah sunnah dimana hal tersebut telah, sedang dan akan terjadi sepanjang zaman sejak azali sampai kehidupan akhirat, Allah sendiri berfirman dalam surat al-Imran ayat 18 :
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ(18)
“Allah, para Malaikat dan orang-orang yang berilmu yang menegakkan keadilan, memberikan kesaksian bahwa sesungguhnya Ia adalah tidak ada Ilah kecuali Ia. Tidak ada ilah kecuali Dia yang Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana”.  (Qs. 3;18).
Ini adalah bukti bahwa saksi mempersaksikan tentang keberadaan Allah sebagai tuhan yang tiada tuhan selain dia telah dilakukan oleh Allah sendiri, para malaikat, dan orang-orang yang memiliki ilmu. Oleh karena itu bagi manusia Allah telah menurunkan saksi untuk menyaksikan pernyataan kesaksian mereka atas Allah tersebut, dengan mengutus rasul-Nya (QS. 33;45). Dimasa kenabian Muhammad SAW Allah pun mengatakan bahwa sesungguhnya kami telah mengutus kamu (hai orang-orang mekah) seorang rosul yang menjadi saksi terhadapmu sebagaimana kami telah utus seorang rasul kepada Fir’aun (QS. 73;15).
Ayat ini menunjukkan bahwa setiap generasi ada peristiwa saksi menyaksikan ini, dan hal ini tentu akan berlanjut sampai saat ini, sebab saksi menyaksikan ini adalah peristiwa yang tidak saja berakibat di dunia tetapi akan terus berlangsung di akhirat. Allah sendiri menyatakan bahwa :
“Dan ingatlah akan hari ketika kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan kami datangkan kamu Muhammad sebagai saksi bagi seluruh umat manusia.”

Ini menunjukkan bahwa setiap orang harus memiliki orang yang dipercaya untuk menjadi saksi bagi dirinya atas syahadatnya dimana ia akan bersaksi dihadapan Allah Azza wa jalla di akhirat kelak. Ini menunjukkan bahwa saksi adalah manusia yang bertanggung jawab atas kehidupannya di dunia dan akhirat. Dia tidak lain adalah seorang imam atau pimpinan Islam (selain rasulullah ia adalah ulil amri). Sebab Allah SWT berfirman :
“Ingatlah suatu hari yang dihari itu) Kami panggil tiap ummat dengan pemimpinnya”. (Qs. 17:71).

1. Persaksian diri.


Persaksian diri dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan dari yang sesungguhnya telah dilakukan sejak zaman azali. (Karena alasan tertentu) . Setiap manusia lupa atas persaksian dirinya, padahal pada hari kiamat persaksian ini yag akan dipertanyakan oleh Allah SWT (Qs. 7;172). Oleh karena itu, bersandar pada pembahasan tentang syahadat di atas, maka sayogyanya memperhatikan bagaimana seharusnya manusia memproses dirinya untuk memenuhi apa yang telah dipersaksikannya di alam azali tersebut. Manusia harus melakukan hal-hal di bawah ini:

a. Menghadirkan Tauhid dalam diri.


Manusia harus tunduk dan patuh pada Allah saja, sebab hanya Dia yang memberi makan dan tidak pernah menuntut makanan apapun dari manusia (qs. 6;14) . Dia menghadirkan tauhid dalam dirinya dan memperdengarkannya kepada orang lain (Qs. 36;25). Semestinya manusia seperti pengikut setia nabi Isa As. (Hawariyyin) ketika Allah mengilhamkan kepada mereka untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka berkata:
وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ ءَامِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا ءَامَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ(111)
“Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu). (Qs. 5;111).
 Mereka telah menyadari dan menghadirkan tauhid dalam dirinya, dengan mengakui Allah dan Rasul-Nya sebagai tempat untuk ditaati dan dipatuhi. Menghadirkan tauhid berarti mengadakan tauhid dalam segenap jiwa, sehingga tauhid itu  mengisi diri manusia dan membimbing seluruh gerak jiwa dan raganya.

b. MembTauhid dalam Sistem diri.


Kehadiran tauhid dalam diri tercermin dalam seluruh gerak jiwa dan raganya. Jika ini terjadi, maka benarlah kehadiran tauhid tersebut. Ia akan menjadi sebuah sistem yang mengatur seluruh aspek diri baik jiwa dan raganya. Cobalah lihat hal ini dalam diri Muhammad SAW . Untuk ini Allah berfirman:
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ(33)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Qs. 39;33).
Muhammad SAW datang dengan membawa kebenaran dan ia membenarkan kebenaran  yang dibawanya itu. Artinya, ia tidak saja mengakui, menyampaikan, namun juga membuktikan dalam seluruh hidupnya bahwa yang diyakininya benar. Sistem diri inilah yang membawa Muhammad SAW mampu memenangkan perjuangan dan menyaksikan kemenangannya.

c. Membuktikan Tauhid diri dengan aksi diri melalui Amar Ma’ruf Nahi Munkar.


Tauhid yang telah menjadi sistem diri tersebut, mengkristal menjadi tauhid diri. Artinya, tauhid telah menyatu dalam diri dan tak terpisahkan. Manusia seperti ini memiliki integritas kepribadian yang kokoh dengan seluruh aspek tauhid. Ia tidak hanya sekedar mengimani dan tidak meragukan, namun lebih dari itu, telah mengambil jalan jihad sebagai jalan hidupnya. (Qs. 49;15). Ia telah melakukan kebaikan sehingga benarlah persaksiannya (Qs 2;177). Ia adalah manusia terbaik yang dilahirkan untuk manusia demi terlaksananya amar manusia’ruf nahi munkar (Qs. 3;110).

2. Persaksian Sosial.


Persaksian sosial mengarah pada amal jama’i yang dilaksanakan oleh manusia terbaik tersebut di atas. Ini harus diakui sebagai sebuah kenyataan dari persaksian atas Rasulullah. Sebab rasul diambil dari tengah-tengah masyarakat manusia. Persaksian sosial lahir dari kesadaran bahwa seluruh makhluk di alam raya ini, sudah sepatutnya mengakui secara bersama-sama, seperti masyarakat terdahulu yang menyatakan:
…وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ(84)
“Hanya kepada -Nyalah kami menyerahkan diri”, (Qs. 3;84).
Ini sudah sepatutnya bagi manusia untuk melakukannya, sebab manusia tidak akan bisa lepas dari manusia yang lain. Ia harus berjamaah dan bertanggung jawab mewujudkan jamaah manusia yang bertauhid. Karena itu, sayogyanya mengikuti prosesnya sebagai berikut :

a. Menghadirkan Tauhid dalam Masyarakat .


Landasan operasional adalah Surat Allah-Baqarah ayat 208, sebagai berikut :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ(208)
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu”. (2:208).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Islam adalah agama kaffah. Jika agama berisi aturan-aturan bagaimana manusia hidup, maka dalam Islam mengatur segala sesuatu bagaiman manusia harus menjalani hidupnya, ketika berhubungan dengan tuhannya, sesama manusia dan dengan alam semesta. Islam yang kaffah ini, sudah pasti tidak akan mampu hanya diwujudkan oleh hanya seorang diri atau hanya segelintir orang. Sebab Islam mengatur seluruh sisi kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengatur manusia secara individu, namun lebih dari itu, mengatur bagaimana hidup bermasyarakat dan bahkan bernegara. Oleh karena itu, manusia yang bersyahadat berarti manusia yang mengikatkan dirinya dengan aturan-aturan Islam yang bersifat kemasyarakatan tadi. Jika masyarakat  belum menerapkan aturan Islam tersebut, maka ia berjuang mewujudkannya, sebab ini adalah salah satu misi Rasul yang harus diemban oleh setiap orang yang bersyahadat atasnya.
Manusia yang telah bersyahadat adalah bukan manusia individualistis, malah justru ia adalah manusia yang sangat peduli terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Ia adalah pelopor kebaikan dan perbaikan dan kemajuan masyarakatnya. Ia akan membawa masyarakatnya untuk menata masyarakatnya dengan Islam. Ia akan memasukkan Islam ke masyarakatnya sebagai satu-satunya way of life. Semua ini ia lakukan demi hadirnya ajaran tauhid dalam masyarakatnya.
   

b. Membenarkan kehadiran Tauhid sebagai sistem sosial.


Manusia yang telah mempersaksikan bahwa hanya ada satu Ilah yaitu Allah SWT saja yang harus diibadahi, dan bersaksi untuk mengikuti uswah Rasulullah Muhammad SAW, ia akan memegang teguh tali Allah (wahyu). Ia memilih untuk menjadi penyeru kebaikan dan menggalang manusia untuk menegakkan yang ma’ruf dan menggulingkan yang munkar, serta dengan itu semua ia bersatu padu dengan sesamanya demi tegaknya syahadat yang ia persaksikan (Qs. 3;103-105).
Ia hadir ditengah-tengah masyarakat dan membimbing masyarakat bagaimana memadukan, menerapkan dan menseimbangkan antara wahyu (hablum minallah) dengan ilmu dan tehnologi yang dihasilkan oleh penelitian manusia atas alam semesta (hablum minan-nas). Ia manusia yang sadar akan  pentingnya kehadiran wahyu dalam kehidupan masyarakat dan pentingnya menopang  kehidupan masyarakat yang berlandaskan wahyu tersebut dengan ilmu dan teknologi. Ia adalah manusia yang melek wahyu dan melek ilmu dan tehnologi. Sebab ia sadar keduanya adalah jaminan kemuliaan, ridla dan kemakmuran (Qs. 3:112).

c. Membuktikan Tauhid sosial dengan aksi sosial melalui Liyudhhirahu ‘aladdieni kullihi.


Manusia  tauhid yang dipaparkan di atas, adalah manusia yang penuh semangat, loyalitas dan dedikasi yang tinggi dalam setiap langkah perubahan dan perbaikan masyarakat. Ia adalah manusia utama yang mementingkan jihad fisabilillah baik dengan harta maupun jiwanya daripada duduk berpangku tangan (Qs. 4;95).
Pilihan ini adalah pilihan terbaik bagi manusia beriman, sebab dengan demikian, selain ia akan terbebas dari perbudakan manusia , dan akan memperoleh kemerdekaan sejati, juga ia telah mampu membuktikan  bahwa ia seorang muslim sejati sebagai penegak Al-Quran (Qs. 5;68). 

e. Proses dan implementasi Syahadatain.


Syahadatain sebagai rukun Islam yang pertama, harus sudah difahami, dihayati dan menjadi cara pandang, cara fikir, cara sikap dan cara tindakan. Tanpa hal tersebut, maka rukun-rukun Islam yang lainnya tidak akan bermakna sama sekali. Di bawah ini proses dan implementasi syahadatain dalam sistem diri dan sistem sosial .

1. Proses dan Implementasi dalam sistem diri


a.  Membongkar institusi diri


Manusia selain memiliki potensi fitriyah, potensi jasmaniyah dan aqliyah, juga memiliki potensi ruhiyah. Potensi yang terakhir ini memiliki kekuatan yang dahsyat sebab ia yang akan menentukan arah dan gerakan dua potensi lainya. Potensi ruhiyah ini ketika sudah memilih jalan mana yang ditempuh, maka ia akan membentuk sebuah sistem diri yang seluruh sisinya dilapisi benteng yang kuat untuk menangkal setiap ancaman yang masuk. Jika sistem diri ini sudah terbentuk sedemikian rupa, maka biasanya ia akan mampu mengetahui dan menyadari keberadaan institusi dirinya tersebut, sebab salah-salah ia sesungguhnya terbawa ke dalam jurang kenistaan, tanpa disadarinya. 
Dalam  al-Quran Allah berfirman dalam surat al-Jatsiyah ayat 23 yang berbunyi :
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ(23)
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya, maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”

Ayat ini harus menjadi lampu peringatan lalu-lintas dalam kehidupan manusia. sebab kenyataannya banyak manusia yang tidak menyadari atas kecelakaan di depan matanya karena Allah sudah sangat murka kepadanya. Ayat ini mengingatkan bahwa dalam sejarah manusia telah menjadi rentetan manusia yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Di dalam dirinya terpasang aturan-aturan, norma-norma dan komitmen-komitmen yang dibuatnya sendiri, berdasarkan hasrat dan kemauan sendiri. Di dalam dirinya hanya ada dirinya sendiri. Ia hanya patuh kepada dirinya. ia membangun mahligai kerajaan dan sistem kedirinya sedemikian rupa sehingga apapun yang masuk untuk mempengaruhinya secara otomatis dihancurkannya ia adalah tuhan bagi dirinya sendiri. Manusia seperti ini tidak tahu siapa dirinya, darimana asalnya ia datang, sedang apa, dan mau kemana ia akan mengakhiri kehidupannya. Ia adalah manusia musyrik sejati. Tidak ada manusia yang paling musyrik kecuali dirinya. Manusia seperti ini ada dan mungkin saja diri kita. Sebab institusi diri yang ia miliki sangat jelas dan dapat dilihat dengan mata jasmani. Siapapun ia, yang mendengar bukan dengan cara mendengar yang diajarkan Allah maka ia telah mempertuhankan alat pendengarannya. Siapapun yang memandang bukan dengan cara yang diajarkan Allah SWT maka ia telah mempertuhankan alat penglihatannya. Siapapun yang merasa yang bukan dengan cara merasa yang diajarkan Allah SWT maka ia telah mempertuhankan alat perasaanya. Siapapun yang bersikap dengan sikap yang bukan diajarkan Allah SWT maka ia telah mempertuhankan kehendaknya. Siapapun yang berbuat bukan dengan cara berbuat yang diajarkan Allah SWT maka ia telah mempertuhankan keputusannya.
Manusia yang bersyahadatain harus sadar tentang ini. dia harus membongkar institusi dirinya, melihatnya, memperhatikannya, mewaspadainya dan menyingkirkan yang bertentangan dengan makna syahadatain. Sebaliknya ia harus ingat bahwa hanya Wahyu-Nya yang harus menjadi ukuran, sesamanya yang hanya boleh menjadi teman sekalipun perhiasan dunia menggodanya dan haram memilih teman yang mempertuhankan hawa nafsunya, ia harus senantiasa mengingat-Nya dan mengatakan bahwa kebenaran hanya datang dari Allah SWT, jika demikian, maka pahala dunia dan pahala akhirat senantiasa menyambutnya (Qs. 18;28).

b. Standarisasi citra, cita dan karya diri.


Standarisasi ibarat menyetel kembali kendaraan yang onderdilnya sudah tidak pada tempatnya, menjadi sesuai dengan standar (ukuran) aslinya. Dalam al-Quran Sura al-Baqarah ayat 256 Allah telah memberikan standar hidup ber-rububiyah bagi manusia. Allah berfirman :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ(256)
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar dan lagi Maha Mengetahui”.
Firman suci ini adalah standar way of life bagi manusia. Bagi manusia yang bernyahadah, mengatahui mana yang baik dan yanya buruk, kemudian memilih yang baik (Allah SWT) dan meninggalkan yang buruk (Thaghut) adalah pegangan utama. Sebab di dalamnya ada jaminan kekuatan dan ketangguhan. Manusia yang memilih Allah sebagai segala sumber kebenaran, maka Allah adalam jaminannya. Allah akan memilihnya, memperbaiki hidupnya, menuntunnya dan siapun tidak akan mempu menghalangi Allah berbuat sekehendak-Nya.
Standar ber-mulkiyah, Allah SWT berfirman dalam surat al-ashr ayat 1-3, yang berbunyi :
وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ(2)إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(3)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Masa senantiasa berkaitan dengan kebangkitan dan keruntuhan. Manusia dalam ayat ini terkena hukum rugi jika berhubungan dengan masa. Kecuali mereka yang beriman, beramal shaleh, menasehati demi kebenaran dan menasehati agar shabar. Manusia yang beradab akan tersusun secara bertingkat pimpinan sosial-politik, orang-orang kaya, teknokrat dan tenaga keamanan negara, serta rakyat. Kesemuanya itu terbentuk dalam satu batang kekuasaan, yang memiliki akar ideologi sebagai dasar konsepsi dan operasi batang tersebut dalam menciptakan buah budaya dan generasi yang dicita-citakan. Bagi batang sangat erat hubungannya dengan waktu, dan batang manapun yang tidak waspada terhadap keganasan waktu, akan runtuh karenanya. Ada satu yang mampu bertahan dari serangan waktu tersebut, yaitu jika komponen batang tersebut diatas, senantiasa menjunjung tinggi iman dan karya besar, dengan tetap teguh mendasarkan dan menjawantahkan akar ideologinya dalam setiap karya mereka serta senantiasa sabar menanti munculnya buah budaya dan generasi terbaik dari karya besar mereka.
Bagi manusia bersyahadat ini harus diakui dan ia harus mampu menempatkan diri dimanda saja dalam kondisi dan situasi apa saja. Jika ia sebagai pimpinan, maka ia akan memperkuat iman sebelum melangkah dan dalam setiap langkahnya adalah bukti diri keteguhannya memegang rububiyatullah serta sabar dalam membimbing dan mengarahkan rakyatnya. Sebagai seorang rakyat ia akan senantiasa mempertahankan posisi imannya yang kuat dan terus berkarya dengan menonjolkan keutamaan, mendukung kebijakan pimpinan yang maslahat dan mencegah munculnya setiap kebijakan pimpinan yang mafsadat, serta sabar menanti kemajuan dan perbaikan yang dicita-citakan.
Standar beruluhiyah yang Allah kehendaki dalam kondisi apapun, terbingkai dalam bentuk yang paling praktis yaitu dalam surat al-Anfal (8) ayat 74 sebagai berikut :
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ(74)
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memeberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rizki (ni’mat) yang mulia”.
Bukti Iman adalah Hijrah dan bukti Hijrah adalah jihad. Jihad adalah aktivitas akhir dari seluruh proses keimanan. Iman, Hijrah dan Jihad adalah tiga aktivitas yang satu sama alin ada dan mengada pada setiap saat. Setiap mu’min harus melewati seluruh hidupnya dengan tiga hal ini, jika tidak, maka ia bukan mu’min hak. Ini adalah standar hidup menjadi hamba Allah.
Berlandas pada tiga standar tersebut diatas, maka citra, cita dan karya manusia yang bersyahadat telah jelas. Ia adalah manusia yang dibentuk, berorientasi dan berkarya dalam kerangka Rububiyatullah, Mulkiyatullah dan Uluhiyatullah. Ini adalah manusia seutuhnya.

c. Kristalisasi melalui shibghatullah dalam sistem diri.


Shibghatullah adalah celupan yang dibuat oleh Allah untuk mencelup manusia agar warna hidupnya utuh, hanya warna yang Allah inginkan saja. Celupan Allah ini jika sudah masuk di dalam sistem diri manusia, ia akan mengikat manusia. manusia yang sudah tercelup oleh celupan Allah, tidak akan pudar untuk selamanya. Ia menyatu dalam diri dan menjadi diri itu sendiri. Celupan itu ialah standar-standar tersebut diatas, yang intinya adalah Wahyu (al-Quran). Manusia yang sudah tercelup dengan al-Quran, maka ia adalah al-Quran berjalan. Dia adalah al-Quran dan al-Quran adalah dia (Qs. 2:138).

d. Diimplementasikan dalam Amar Ma'ruf Nahi Mungkar.


Manusia yang sudah terkristalisasi dengan standar-standar hidup al-Quran tersebut, adalah manusia terbaik yang dilahirkan untuk manusia. ia adalah agen penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran (Qs. 3;110). Dialah satu-satunya agen yang memenuhi syarat untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang benderang (Qs. 14;5). Dia hadir untuk manusia, membimbingnya, mengeluarkannya dari kesukaran, meringankan segal beban penderitaannya dan manusia yang paling setia dalam memberantas ketidak adilan, penindasan dan perbudakan sesama manusia.

e. Hasilnya adalah insan kamil.


Proses tersebut akan menghasilkan manusia sempurna. Yaitu manusia yang rela seluruh kehidupannya dibeli oleh Allah, seluruh aktivitasnya berada dijalan Allah (fisabilillah), mati dan hidupnya hanya dipersembahkan kepada Allah saja. Ia senantiasa merendahkan diri dihadapan Allah (bertaubat); mengabdi kepada-Nya (beribadah); menerima dan berprasangka baik kepada-Nya (memuji-Nya); menuntut ilmu-Nya dan berperandijalan-Nya (berpergian); taat dan patuh kepada-Nya (ruku dan sujud); menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran; dan senantiasa memelihara terlaksananya hukum-hukum Allah SWT (Qs. 9;111-112).

2. Proses dan Implementasi dalam sistem Sosial


a. Membongkar institusi sosial.


Insan kamil yang telah terbentuk diats mempunyai pengaruh yang baik terhadap perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat terdapat berbagai institusi yang tidak jarang menghambat berkembanya ajaran tauhid dalam masyarakat tersebut. Seperti halnya dalam sistem diri manusia, masyarakat juga seeringkali mempertuhankan dirinya sendiri. Dalam kisah disebutkan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah mempertuhankan anggota masyarakat, yaitu para ahli agama mereka (rahib), mereka mentaatinya, sekalipun rahib tersebut menghalang-halangi mereka dari petunjuk Allah SWT dengan membuat-buat hukum yang bertentangan dengan hukum Allah (Qs. 9;31-32).
Ini kasus sejarah yang mungkin perlu perhatian yang lebih serius, bahwa justru dari ahli agama sendiri yang menyimpangkan institusi sosial yang awalnya baik menjadi rusak dan menyesatkan. Bagi masyarakat yang telah tergoda dengan keindahan dunia, mereka akan terus mempertahankan dan memoles status quo ini menjadi sesuatu yang seakan-akan benar. Oleh karena itu,, manusia bertauhid harus lebih waspada. Sebab ini adalah agama baru, agama penyimpangan yang bisa jadi sengaja diciptakan untuk kepuasan fihak tertentu. Manusia yang bersyahadat harus mampu membaca gelagat ini sebab jika ini terjadi, maka masyarakat akan rusak dan tersesatkan. Agama hanya barang dagangan dan barang jual beli kepentingan.
Oleh karena itu, mengukur segala gejala sosial dengan pendekatan tauhid dan mengajak mereka menggunakan kacamata tauhid dalam menyikapi segala persoalan yang terjadi, adalah jalan terbaik (Qs. 3;64). Manusia yang bersyahadat, bersama-sama dengan sesamanya, akan rela berkorban untuk mengganyang segala kekuatan sosial seperti ini, sampai hancur dan munculnya panji tauhid di masyarakat mereka.

b. Standarisasi citra, cita dan karya masyarakat


Masyarakat yang dipenhi dengan insan kamil, dengan senang hati akan merubah sistem sosialnya, dengan menempatkan Allah, Rasulullah dan orang-orang beriman sebagai penentu kebijakan dalam setiap langkah perbaikan dan pengembangan potensi masyarakatnya (QS. 5;55-56). Inilah standar utama susunan masyarakat Islami dan standar bagi kehidupan sosial Islam.

c. Kristalisasi melalui Shibghatallah dalam sistem sosial.


Masyarakat yang telah terstandarkan tersebut, meningkat dan terkokohkan dengan kekuatan taqwa yang mengikat erat seluruh sistem sosial masyarakat mereka dari awal sampai akhir (QS. 4;1 dan 49;13).

d. Diimplementasikan dalam liyudhirahu ‘aladienikullihi.


Masyarakat seperti ini adalah masyarakat pilihan. Mereka mengutamakan Islam diatas segalanya dan mengorbankan apa saja demi tegaknya Dien Allah diatas dien-dien yang lain (Qs. 61;9) keseharian mereka diisi dengan perilaku dan karya seperti pengikut Rasulullah SAW, mereka menghiasi negerinya dengan amar maruf dan membentengi negerinya dari kemungkaran, mereka hanya mengambil yang halal dan membuang yang haram, mereka melepaskan segala bentuk penindasan, penjajahan dan ketidak adilan sosial merekalah manusia yang beruntung sepanjang zaman (QS. 7;157).

e. Hasilnya adalah Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur.


Inilah masyarakat ideal. Masyarakat seperti ini, selain telah mampu menjadikan agama sebagai ulama, panglima, hakim, prajurit, pekerja sosial dan rakyat jelata, juga mereka mampu menciptakan keamanan dan ketenangan. Ini adalah masyarakat tauhid (Qs. 24;55) dimana negerinya penuh kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan terhiasi dengan kesucian disetiap sudutnya (QS. 34;15).
Demikianlah materi Makna Syahadatain. Semoga Allah membuka hati kita, dalam mengkaji dan menerapkannya lebih jauh.  ?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar