MAKNA SYAHADATAIN
a. Pengantar
Makna
Syahadataian, artinya makna dua kalimah syahadat (أشهد أن لا إله إلاّ الله وأشهد أنّ
محمّدا رسول الله) . Syahadatain dari sisi makna, memiliki dua bagian yang secara
terpisah harus difahami secara benar. Pertama, pernyataan “Asyhadu”. Kedua , dua
sisi pernyatan tersebut, yaitu : أن لا إله إلاّ الله dan محمّد رسول الله . bagian pertama tidak memiliki makna apapun, jika bagian
keduanya tidak difahami secara seksama. Oleh karena itu, dalam bahasan ini akan
mendahulukan pembahasan bagian kedua dan kemudian bagian
pertama.
b. Makna Laa Ilaha Ilallah.
Kalimat
Laa Ilaha Illallah adalah kalimat Thayyibah
atau kalimat tauhid. Pembahasannya cukup mengingat ulang materi
ma’rifatullah yang telah lalu. Untuk menguatkan dan mempertegas pemahaman yang
terkandung dalam materi ma’rifatullah, kiranya perlu pembahasan di bawah ini:
1. Refleksi Makna Laa Ilaha Ilallah.
a. Hanya ada satu ketergantungan, yaitu kepada Allah.
Pertama,
Refleksi makna laa Ilaha Illallah tercermin dalam kalimah “Allahu
Shomad” (Qs. 112;2). Jika diterjemahkan dengan susunan kalimat tauhid,
maka berarti hanya ada satu ketergantungan, yaitu kepada Allah
saja.
Alasan
utama yang diperoleh dalam Al-Quran mengapa ketergantungan itu hanya kepada
Allah saja, karena segala kekuasaan, ilmu dan apa saja adalah milik Allah dan
dalam pengawasannya (2:225). Karena itu, segala segala makhluk tunduk dan patuh
kepada-Nya baik rela maupun terpaksa (3:83). Inti dari pembahasan ini, ialah
bahwa Allah adalah tempat bergantungnya segala sesuatu, yang tidak ada tempat
lain kecuali Allah SWT. Ketergantungan ini disebabkan karena Allah telah membuat
segala hukum dan aturan (ilmu) yang meliputi alam raya termasuk manusia,
sehingga apapun yang di langit dan yang ada di bumi, rela maupun terpaksa,
mengikuti segala ilmu yag telah dibuat-Nya. Ilmu Allah SWT baik yang ada di alam maupun yang
tertulis dalam kitab-Nya, adalah pasti dan tidak seorangpun yang mampu merubah
atau melanggarnya, terkecuali mendapatkan akibat yang telah
digariskan-Nya.
b. Hanya ada satu kekuasaan, yaitu milik Allah.
Kedua,
Refleksi makna Laa Ilaha Illallah tercermin dalam kalimat “Lam Yalid Walam
Yulad”. (Qs. 112;3). Jika diterjemahkan dalam susunan kalimah tauhid,
maka berarti hanya ada satu kekaasaan, yaitu milik Allah semata.
Alasan
utamanya adalah bahwa Allah berfirman:
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ
لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ
تَكْبِيرًا(111)
“Segala
puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam
kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan
pengagungan yang sebesar-besarnya”. (Qs. 17;111).
Allah
SWT tidak beranak dan tidak mempunyai anak, sehingga Dia bebas dari segala yang
membelenggu, yang menghambat, menghalang-halangi dan ketidak adilan. Alhasil,
Allah adalah pemilik kekuasaan, dan segala bentuk
kerajaan.
c. Hanya ada satu keunggulan, yaitu ada pada Allah.
Ketiga,
refleksi makna Laa Ilaha Illallah tercermin dalam kalimah “Lam yakun Lahu
Kufuwan Ahad”. (Qs. 112;4). Jika diterjemahkan dalam susunan kalimat
tauhid, maka berarti hanya ada satu keunggulan, yaitu ada pada Allah saja.
Alasan
utamanya adalah bahwa Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (Qs.22;62). Segala
sesuatu Yang Maha atau Yang Lebih, akan senantiasa dikagumi, dicari,
dicita-citakan dan sudah pasti ditunduki atau dipatuhi. Alhasil, Dia adalah
tempat pengabdian dan harapan. Dengan alasan ini, maka segala sesuatu
peribadatan atau ibadah yang tidak ditujukan kepada-Nya adalah batil.
2. Aksioma Tauhidullah.
Berdasarkan
pada pembahasan di atas, maka Tauhidullah memiliki aksioma dasar,
yaitu:
a. Laa Rabba Illallah.
Aksioma
ini muncul karena Allah adalah rabb (Pengatur) manusia (Qs. 114;1), sehingga
tidak ada pengatur manusia kecuali Allah SWT. Mencari siapapun selain Allah
sebagai Pengatur kehidupan manusia adalah musyrik. Manusia adalah produk Allah
dan hanya Allah saja yang tahu bagaimana mengaturnya (Qs. 23;52) dan hanya
aturan Allah saja yang dapat membimbingnya ke jalan yang lurus (Qs. 19:36). Oleh
karena itu, siapapun yang tidak mengatur dirinya dengan aturan Allah
(wahyu-Nya), maka ia akan tersesat dan jalan yang ditempuhnya menuju kerusakan
dan kerugian. Aksioma ini menggariskan bahwa hanya ada satu aturan hidup yaitu
aturan hidup dari Allah, yaitu Rububiyah-Nya (wahyu dan Dien
Islam).
b. Laa Malika Illallah.
Aksioma
ini muncul karena Allah adalah Malik (Raja) manusia (Qs. 114;2), sehingga tidak
ada raja bagi manusia kecuali Allah SWT. Mengangkat siapapun selain Allah
sebagai raja manusia adalah musyrik. Manusia adalah makhluk lemah dan kecil yang
membutuhkan perlindungan dan pertolongan. Hanya Allah yang mampu melindungi dan
menolong-Nya. Dia adalah yang pantas menolong dan melindungi. Sebab Dia adalah
penguasa tunggal dan tidak ada seorangpun yang mampu melemahkan kekausaannya
(17:111). Oleh karena itu, siapapun tidak mewalikan dirinya pada kerajaan Allah
SWT, yaitu dalam kerajaan Islam atau negara
atau pemerintahan Islam, maka ia akan terzhalimi dan tidak akan mendapat pertolongan dari
Allah SWT. Aksioma ini menggariskan bahwa hanya ada satu kerajaan Allah, yaitu
Mulkiyah-Nya (Pemerintahan Islam).
c. Laa Ma’buda Illallah / Laa Ilaha Illallah.
Aksioma
ini muncul karena Allah adalah Ilah (sembahan/abdian) manusia (114;3). Sehingga
tidak ada sembahan atau tempat pengabdian kecuali Allah. Menjadikan selain Allah
sebagai yang diibadahi atau yang diabdi manusia adalah musyrik. Aksioma ini
menggariskan bahwa hanya ada satu pengabdian, yaitu kepada Allah saja (Qs.
20;14). Ini adalah Uluhiyatullah (manusia hanya boleh menjadi hamba-Nya, artinya
hanya boleh menjadi pengikut-Nya, ummat-Nya dan rakyat dan
kerajaan-Nya).
c. Makna Muhammad Rasulullah SAW.
Muhammad
dalam pembahasan ini bukanlah nama dari seorang ayah, namun ia adalah Rasulullah
(Qs. 33;40) yang membawa risalah-Nya seperti rasul-rasul sebelumnya (Qs.3;144).
Oleh karena itu, studi ini diarahkan bagaimana manusia mampu memahami ia sebagai
seorang rasul bukan yang laiannya.
1. Refleksi Makna Muhammad SAW.
Nabi
Muhammad sebagai utusan Allah SWT, apa yang diyakini, diucapkan dan
diperbuatnya, tentu tidak lepas dari Tauhidullah. Sebab inti ajaran para Nabi
bermuara pada kalimah Thayyibah (Qs. 2;133, 21;108). Oleh karena itu, seyogyanya
studi atas kerasulan Nabi Muhammad Saw. dibimbing oleh kerangka tauhidullah
seperti yang telah dibahas di muka. Sehingga refleksi maknanya dapat dipetakan
sebagai berikut:
a. Hanya ada satu kitab yang berlaku bagi manusia, yaitu kitab yang dibawa oleh Muhammad SAW.
Adanya
keyakinan yang diakui bahwa hanya ada “satu kitab yang berlaku bagi manusia”,
yaitu kitab yang dibawa Muhammad saw. Sebab Muhammad saw. diberi al-Kitab yang
dengan itu ia ditugaskan oleh Allah SWT untuk menghukumi manusia sesuai
wahyu-Nya itu, tanpa memperdulikan penentangan dari siapapun (QS. 4;105). Ia
adalah satu-satunya kitab yang harus dijadikan oleh manusia sebagai petunjuk
dalam menjalani kehidupan dunia dan di akhirat aplikasi kitab inilah yang akan
ditanyakan oleh Allah SWT.
b. Hanya ada satu struktur manusia, yaitu struktur yang diuswahkan oleh Muhammad SAW.
Menghendaki
bahwa hanya ada “Satustruktur masyarakat manusia”. yaitu struktur yang
diuswahkan oleh Muhammad SAW. Landasan utamanya, bahwa manusia yang hidup dalam
suatu masyarakat, sudah pasti memiliki keterkaitan satu sama lain dengan yang
namanya struktur sosial. Yang secara hierarki manusia ada yang memimpin dan yang
dipimpin. Setiap kepemimpinan sudah pasti memiliki apa yang disebut panutan,
dimana segala gerak kehidupan sosial mengacu padanya. Sementara itu, Muhammad
adalah rasulullah dan ia telah mencontohkan bagaimana hidup dan menata kehidupan
baik secara fardiyah maupun jam’iyah. Oleh karena itu, refleksi makna Muhammad
Rasulullah SAW adalah mencontoh apa yang diperbuatnya (QS.
33;21).
Struktur
masyarakat tersebut, dapat dilihat dalam Firman Allah SWT surat Al-Fath ayat 29.
Sebagai berikut :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى
الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا
مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ
أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ
الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا(29)
“Muhammad
itu adalah utusan Allah. Orang-orang yang bersamanya sangat keras terhadap
orang-orang kafir dan kasih sayang kepada sesama mereka. Engkau lihat mereka
ruku’, sujud serta mengharap Kurnia daripada Allah dan keridhaan-Nya. Tanda
mereka itu ada di muka mereka, karena bekas sujud. Itulah contoh mereka dalam
Taurat. Contoh mereka dalam Injil adalah seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya, lalu bertambah kuat dan bertambah besar, lalu tegak lurus dengan
batangnya, sehingga ia menakjubkan orang-orang yang menanamnya. (Begitulah
orang-orang Islam pada mulanya sedikit serta lemah, kemudian bertambah banyak
dan kuat), supaya Allah memarahkan orang-orang kafir sebab itu. Allah telah
menjanjikan ampunan dan pahala yang besar untuk orang-orang yang beriman dan
beramal shaleh”. (49:29).
Ayat ini sungguh sangat jelas bahwa
Muhammad SAW telah membentuk suatu masyarakat yang ideal, dimana unsur-unsurnya
berfungsi secara baik, sehingga mampu menyenangkan yang menanam dan mengalahkan
musuh-musuhnya. Intinya, pertama, Muhammad dan para shahabatnya telah
mencontohkan bagaimana bersikap terhadap lawan dan kawan, yaitu keras terhadap
lawan dan lemah lembut terhadap kawan. Kedua, mereka mampu mencontohkan
bagaimana hidup dalam satu poros kepemimpinan yang utuh, yaitu segala bentuk
kreatifitas anggota-anggotanya muncul dari pokok batang yang sama, sehingga
semakin kreatif anggotanya, semakin kuatlah struktur kepemimpinan tersebut.
Kelima, mereka mampu memberi contoh bahwa kekuatan didalam adalah kunci
mengalahkan segala rintangan dalam mencapai setiap
kemenangan.
Mengakui
Muhammad sebagai rasul berarti harus mengakui adanya kewajiban mewujudkan
struktur masyarakat yang seperti tercermin dalam ayat tersebut
diatas.
c. Hanya ada satu tujuan masyarakat manusia, yaitu Tegaknya Risalah Muhammad SAW.
Mengarahkan
seluruh tujuan hidupnya, bahwa hanya ada “satu tujuan masyarakat manusia”, yaitu
tegaknya Risalah Muhammad SAW. Tujuan masyarakat ini adalah perwujudan dari
keinganan Allah SWT, bahwa Muhammad sebagai Rosul-Nya membawa tugas mulia yaitu
mengidharkan dien al-Islam, dengan menyingkirkan dien-dien yang lain (QS. 9;33).
Tugas suci ini tidak saja bersifat regional, namun lebih dari itu bersifat
internasional (Qs. 34;28). Bagi ummat manusia tugas ini adalah rahmat (Qs.
21;107). Seseorang atau masyarakat yang mengimani Muhammad SAW sebagai rasul,
berarti mengakui dan menjadikan tugas ini sebagai tanggung jawab orang atau
masyarakat tersebut. Pengakuan Muhammad sebagai rasul, mewajibkan terlaksanya
tujuan mulia ini. jadi, siapapun wajib mengarahkan tujuan hidupnya untuk
membangun masyarakat yang didalamnya terlaksana al-Islam. Karena tugas ini
bersifat menyeluruh, maka tugas pengikut Muhammad adalah menjadikan seluruh
dunia ini mewujudkan satu tujuan mulia ini, yaitu terlaksananya hukum dan
perundang-undangan Islam tidak saja secara bertahap di negerinya, namun juga
diseluruh bangsa dan negara.
2. Aksiomatika Tauhid Sosial.
Bersandar
pada refleksi makna Muhammad rasulullah tersebut diatas, membentuk suatu aksioma
yang harus menjadi pegangan bagi setiap pengikut Muhammad rasulullah SAW, yaitu
:
a. Pertama, bahwa tidak ada undang-undang yang diberlakukan atas manusia, kecuali undang-undang Islam.
Aksioma
ini dibangun atas kesadaran bahwa hakikat alam raya ini adalah tunduk dan patuh
kepada Allah SWT (QS. 3;83) dan Allah hanya mengakui satu agama yaitu Islam (Qs.
3;19). Muhammad SAW sebagai rasul telah mengucapkan pernyataan kepatuhan
kepada-Nya. Firman Allah Surat al-Mu’min ayat 66, sebagai berikut :
قُلْ إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ
اللَّهِ لَمَّا جَاءَنِيَ الْبَيِّنَاتُ مِنْ رَبِّي وَأُمِرْتُ أَنْ أُسْلِمَ
لِرَبِّ الْعَالَمِينَ(66)
“Katakanlah
(ya Muhammad ): “Sesungguhnya aku melarang menyembah sembahan yang kami sembah
selain Allah setelah datang keadaku keterangan-keterangan dari Tuhanku; dan aku
diperintahkan supaya tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. (Qs.
40:66).
Sebagai
pengikut nabi Muhammad SAW harus menyadari landasan ini, sebab ia adalah makhluk
Allah dan salah satu komponen dari alam, yang rela atau terpaksa akan tetap
mengikuti segala kehendak-Nya. Manusia seperti ini, hanya patuh pada satu
perintah yaitu perintah Tuhannya dan hanya menjadikan syari’at Islam sebagai
satu-satunya undang-undang yang ditaatinya. Mereka tidak hanya akan menjadi
pengikut setia bagi pelaksanaan syari’ah Allah ini, juga menjadi pejuang dan
pembela kebenaran syari’ahnya dimanapun ia berada dan akan tetap berjalan sesuai
dengan syari’ah ini dalam kondisi apapun. Mereka meniadakan dan berusaha
menyingkirkan undang-undang lain, dan menggantinya dengan undang-undang
Islam.
b. Kedua, bahwa tidak ada sistem kepemimpinan yang harus ditegakkan, kecuali sistem kepemimpinan Islam.
Aksioma
ini bagi manusia adalah hakikat dari perintah Allah dalam surat al-Isra ayat
111, yaitu :
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ
لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ
تَكْبِيرًا(111)
“Segala
puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam
kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan
pengagungan yang sebesar-besarnya”. (Qs. 17;111).
Ayat ini sangat
jelas bahwa Allah memerintahkan untuk menyatakan bahwa segala puji, kerajaan,
keagungan dan kebesaran adalah milik Allah semata. Menyadari Allah adalah
penguasa tunggal, maka pengikut Muhammad mewajibkan dirinya untuk mewujudkan
satu sistem kepemimpinan yang sesuai dengan ridla-Nya, yaitu sistem kepemimpinan
Islam. Hirarki kepemimpinan Islam terlihat dalam surat al-Maidah ayat 55-56,
yaitu :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ
رَاكِعُونَ(55)وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ
حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ(56)
“Sesungguhnya
Wali (pimpinan; penolong) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalah, menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada
Allah). Dan barang siapa yang menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi walinya,
maka sesungguhnya pengikut Allah itulah yang menang”. (Qs. 5;55-56).
Bagi
pengikut Muhammad SAW, hanya boleh mengakui dan mewujudkan sistem Islam sebagai
prasyarat bagi dirinya untuk disebut sebagai manusia tauhid baik dihadapan Allah
SWT maupun ditengah-tengah masyarakatnya.
c. Ketiga, bahwa tidak ada sistem sosial, kecuali sistem sosial Islam.
Landasan
konsep dari aksioma ini dapat diperhatikan kandungan Surat Saba’ (34) ayat 15,
sebagai berikut :
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ
يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ
طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ(15)
“Sesungguhnya
sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman
mereka, yaitu bua buah kebun di sebelah kanan dan disebelah kiri. (Kepada)
mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rizki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepa. (Negerimu) adalah Negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah
Tuhan yang Maha Pengampun”. (34;15).
Ada
tiga hal yang dapat diungkapkan dari ayat ini, pertama, dua kebun disebelah
kanan dan kiri, menunjukkan suburnya lahan pekerjaan yang tersebar di seluruh
negeri. Kedua, makanlah dari rizki Tuhanmu dan bersyukurlah kepadanya,
menunjukkan adanya kemakmuran dan amal sosial yang dilandasi syukur kepada
Allah. Ketiga, Negeri yang baik dan Tuhan Yang Maha Pengampun, menunjukkan bahwa
adanya sistem sosial politik dan ekonomi yang bersih dan menempatkan Allah
sebagai hakim tertinggi, untuk menentukan benar dan salah.
Tiga
hal tersebut diatas adalah landasan utama menciptakan sistem sosial yang akan
menjamin keadilan, kesejahteraan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
Sistem sosial yang dilandasi oleh tiga prinsip ini, dapat dilihat pula dalam
al-Quran surat 48 ayat 29. Dalam ayat ini, tersusun rapih sebuah sistem sosial
yang komplit; pertama sistem sosial politik yang kokoh, yaitu bersihnya
unsur-unsur kuffar dan terbangunnya solidaritas antar sesama mu’min yang tinggi.
Hal ini akan menciptakan sebuah iklim yang aman dan menguntungkan bagi tumbuhnya
sistem sosial yang bersih dan kuat. Kedua, seluruh unsur sosial tunduk dan patuh
pada Allah SWT dan mengarahkan kehidupan sosialnya pada keseimbangan antara
mencari karunia dari Allah dan keridlaan-Nya. Dengan demikian, maka setiap
manusia yang berada dalam naungan sistem ini adalah merdeka dari kekuasaan
manusia. dihadapan sistem ini setiap manusia adalah sama, yang membedakan
hanyalah sejauhmana ia menjewantahkan ketaqwaan kepada Tuhannya. Seorang
pemimpin bisa saja dapat kritik keras oleh rakyat yang dipimpinnya, dan seorang
pimpinan menerimanya dengan seksama sambil mengoreksi apa kekurangan dan
kesalahan yang dilakukanya serta menyelesaikan dengan hukum Tuhan mereka. Inilah
persyaratan keadilan. Tidak ada sistem lain yang mampu menciptakan ini kecuali
Islam. Ketiga, terbentuknya sistem regenerasi yang berkesinambungan dan
kreatifitas generasi barunya senantiasa bertujuan membesarkan kekuatan dan
ketangguhan generasi induknya. Menciptakan generasi terpuji, sangatlah
tergantung pada dimana ia dibimbing dan dibina. Jika berharap muncul generasi
muslim sejati, tidak mungkin dilahirkan dari sistem sosial yang sistem sosialnya
dilandaskan pada non Islam, ia hanya akan muncul dari sistem sosial
Islam.
d. Refleksi Makna Syahadat.
Studi
tentang syahadat, terkonsentrasi pada kata Asyhadu. Asyhadu adalah fi’il
mudhari’ yang berarti aku (sedang dan akan terus) bersaksi. Pengertian ini
menunjukkan adanya kesadaran, kehadiran dan kontinuitas. Yaitu, setiap manusia
yang mengatakan asyhadu berarti ia sedang sadar (tanpa paksaan siapapun), sedang
hadir (terlibat dan bertanggung jawab) dan kontinu (sejak sekarang sampai waktu
yang tidak terhingga). Ini menunjukkan bahwa siapapun yang mengucapkan Asyhadu,
berarti ia memahami sepenuhnya materi yang diucapkan, sehingga kesimpulannya
sangat meyakinkan. Dengan demikian Asyhadu Anla illaha Ilallah berarti ia
bersaksi dengan segenap pemahaman yang dimiliki tentang ilah, sehingga ia
memilih pilihan terbaiknya bahwa Allah lah satu-satunya yang dipilih sebagai
ilah begitu pula kalimat wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah berarti ia
bersaksi dengan segenap pemahamannya tentang Muhammad sehingga ia memutuskan
bahwa Muhammad ialah rasulullah.
Pernyataan
Asyhadu An Laa Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah adalah
dua kalimat syahadat. Syahadat dalam pengertian bahasa Arab, dapat berarti
bukti, sumpah, alam lahir, kesaksian atau pengakuan. Jika demikian berarti
syahadatain adalah bukti atau pengakuan atas pilihan terhadap Allah dan pilihan
terhadap Muhammad sebagai rasul-Nya dialam lahir. Jadi pengakuan yang dimaksud
tidak berarti sama sekali jika tidak dinyatakan dalam bentuk kalimat yang nyata
dan terlihat. Makna nyata atau terlihat (alam lahir), sesuai dengan pernyataan
asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah berarti adalah
mengucapkan, ada yang menyaksikan dan ada yang dipersaksikan. Seluruhnya tampak
nyata ada yang memperdengarkan, ada yang didengar dan ada yang didengarkan.
Karena syahadatain adalah rukun Islam yang pertama, maka berarti seseorang
dianggap Islam jika seseorang telah mengucapkan persaksiannya, didepan saksi
yang berhak dan dengan kalimat Asyhadu An Laa Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna
Muhammad Rasulullah.
Mengenai
syahadat atau saksi dan mempersaksikan sesungguhnya adalah sunnah dimana hal
tersebut telah, sedang dan akan terjadi sepanjang zaman sejak azali sampai
kehidupan akhirat, Allah sendiri berfirman dalam surat al-Imran ayat 18
:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ
وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ(18)
“Allah,
para Malaikat dan orang-orang yang berilmu yang menegakkan keadilan, memberikan
kesaksian bahwa sesungguhnya Ia adalah tidak ada Ilah kecuali Ia. Tidak ada ilah
kecuali Dia yang Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana”. (Qs. 3;18).
Ini
adalah bukti bahwa saksi mempersaksikan tentang keberadaan Allah sebagai tuhan
yang tiada tuhan selain dia telah dilakukan oleh Allah sendiri, para malaikat,
dan orang-orang yang memiliki ilmu. Oleh karena itu bagi manusia Allah telah
menurunkan saksi untuk menyaksikan pernyataan kesaksian mereka atas Allah
tersebut, dengan mengutus rasul-Nya (QS. 33;45). Dimasa kenabian Muhammad SAW
Allah pun mengatakan bahwa sesungguhnya kami telah mengutus kamu (hai
orang-orang mekah) seorang rosul yang menjadi saksi terhadapmu sebagaimana kami
telah utus seorang rasul kepada Fir’aun (QS. 73;15).
Ayat
ini menunjukkan bahwa setiap generasi ada peristiwa saksi menyaksikan ini, dan
hal ini tentu akan berlanjut sampai saat ini, sebab saksi menyaksikan ini adalah
peristiwa yang tidak saja berakibat di dunia tetapi akan terus berlangsung di
akhirat. Allah sendiri menyatakan bahwa :
“Dan
ingatlah akan hari ketika kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas
mereka dari mereka sendiri, dan kami datangkan kamu Muhammad sebagai saksi bagi
seluruh umat manusia.”
Ini
menunjukkan bahwa setiap orang harus memiliki orang yang dipercaya untuk menjadi
saksi bagi dirinya atas syahadatnya dimana ia akan bersaksi dihadapan Allah Azza
wa jalla di akhirat kelak. Ini menunjukkan bahwa saksi adalah manusia yang
bertanggung jawab atas kehidupannya di dunia dan akhirat. Dia tidak lain adalah
seorang imam atau pimpinan Islam (selain rasulullah ia adalah ulil amri). Sebab
Allah SWT berfirman :
“Ingatlah
suatu hari yang dihari itu) Kami panggil tiap ummat dengan pemimpinnya”. (Qs.
17:71).
1. Persaksian diri.
Persaksian
diri dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan dari yang sesungguhnya telah
dilakukan sejak zaman azali. (Karena alasan tertentu) . Setiap manusia lupa atas
persaksian dirinya, padahal pada hari kiamat persaksian ini yag akan
dipertanyakan oleh Allah SWT (Qs. 7;172). Oleh karena itu, bersandar pada
pembahasan tentang syahadat di atas, maka sayogyanya memperhatikan bagaimana
seharusnya manusia memproses dirinya untuk memenuhi apa yang telah
dipersaksikannya di alam azali tersebut. Manusia harus melakukan hal-hal di
bawah ini:
a. Menghadirkan Tauhid dalam diri.
Manusia
harus tunduk dan patuh pada Allah saja, sebab hanya Dia yang memberi makan dan
tidak pernah menuntut makanan apapun dari manusia (qs. 6;14) . Dia menghadirkan
tauhid dalam dirinya dan memperdengarkannya kepada orang lain (Qs. 36;25).
Semestinya manusia seperti pengikut setia nabi Isa As. (Hawariyyin) ketika Allah
mengilhamkan kepada mereka untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka
berkata:
وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ ءَامِنُوا بِي
وَبِرَسُولِي قَالُوا ءَامَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ(111)
“Kami
telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang patuh (kepada seruanmu). (Qs. 5;111).
Mereka telah menyadari
dan menghadirkan tauhid dalam dirinya, dengan mengakui Allah dan Rasul-Nya
sebagai tempat untuk ditaati dan dipatuhi. Menghadirkan tauhid berarti
mengadakan tauhid dalam segenap jiwa, sehingga tauhid itu mengisi diri manusia dan membimbing seluruh
gerak jiwa dan raganya.
b. MembTauhid dalam Sistem diri.
Kehadiran
tauhid dalam diri tercermin dalam seluruh gerak jiwa dan raganya. Jika ini
terjadi, maka benarlah kehadiran tauhid tersebut. Ia akan menjadi sebuah sistem
yang mengatur seluruh aspek diri baik jiwa dan raganya. Cobalah lihat hal ini
dalam diri Muhammad SAW . Untuk ini Allah berfirman:
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ
الْمُتَّقُونَ(33)
“Dan
orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah
orang-orang yang bertakwa”. (Qs. 39;33).
Muhammad
SAW datang dengan membawa kebenaran dan ia membenarkan kebenaran yang dibawanya itu. Artinya, ia tidak saja
mengakui, menyampaikan, namun juga membuktikan dalam seluruh hidupnya bahwa yang
diyakininya benar. Sistem diri inilah yang membawa Muhammad SAW mampu
memenangkan perjuangan dan menyaksikan kemenangannya.
c. Membuktikan Tauhid diri dengan aksi diri melalui Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Tauhid
yang telah menjadi sistem diri tersebut, mengkristal menjadi tauhid diri.
Artinya, tauhid telah menyatu dalam diri dan tak terpisahkan. Manusia seperti
ini memiliki integritas kepribadian yang kokoh dengan seluruh aspek tauhid. Ia
tidak hanya sekedar mengimani dan tidak meragukan, namun lebih dari itu, telah
mengambil jalan jihad sebagai jalan hidupnya. (Qs. 49;15). Ia telah melakukan
kebaikan sehingga benarlah persaksiannya (Qs 2;177). Ia adalah manusia terbaik
yang dilahirkan untuk manusia demi terlaksananya amar manusia’ruf nahi munkar
(Qs. 3;110).
2. Persaksian Sosial.
Persaksian
sosial mengarah pada amal jama’i yang dilaksanakan oleh manusia terbaik tersebut
di atas. Ini harus diakui sebagai sebuah kenyataan dari persaksian atas
Rasulullah. Sebab rasul diambil dari tengah-tengah masyarakat manusia.
Persaksian sosial lahir dari kesadaran bahwa seluruh makhluk di alam raya ini,
sudah sepatutnya mengakui secara bersama-sama, seperti masyarakat terdahulu yang
menyatakan:
…وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ(84)
“Hanya
kepada -Nyalah kami menyerahkan diri”, (Qs. 3;84).
Ini
sudah sepatutnya bagi manusia untuk melakukannya, sebab manusia tidak akan bisa
lepas dari manusia yang lain. Ia harus berjamaah dan bertanggung jawab
mewujudkan jamaah manusia yang bertauhid. Karena itu, sayogyanya mengikuti
prosesnya sebagai berikut :
a. Menghadirkan Tauhid dalam Masyarakat .
Landasan
operasional adalah Surat Allah-Baqarah ayat 208, sebagai berikut :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِينٌ(208)
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh
yang nyata bagimu”. (2:208).
Ayat
ini mengisyaratkan bahwa Islam adalah agama kaffah. Jika agama berisi
aturan-aturan bagaimana manusia hidup, maka dalam Islam mengatur segala sesuatu
bagaiman manusia harus menjalani hidupnya, ketika berhubungan dengan tuhannya,
sesama manusia dan dengan alam semesta. Islam yang kaffah ini, sudah pasti tidak
akan mampu hanya diwujudkan oleh hanya seorang diri atau hanya segelintir orang.
Sebab Islam mengatur seluruh sisi kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengatur
manusia secara individu, namun lebih dari itu, mengatur bagaimana hidup
bermasyarakat dan bahkan bernegara. Oleh karena itu, manusia yang bersyahadat
berarti manusia yang mengikatkan dirinya dengan aturan-aturan Islam yang
bersifat kemasyarakatan tadi. Jika masyarakat
belum menerapkan aturan Islam tersebut, maka ia berjuang mewujudkannya,
sebab ini adalah salah satu misi Rasul yang harus diemban oleh setiap orang yang
bersyahadat atasnya.
Manusia
yang telah bersyahadat adalah bukan manusia individualistis, malah justru ia
adalah manusia yang sangat peduli terhadap masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Ia adalah pelopor kebaikan dan perbaikan dan kemajuan
masyarakatnya. Ia akan membawa masyarakatnya untuk menata masyarakatnya dengan
Islam. Ia akan memasukkan Islam ke masyarakatnya sebagai satu-satunya way of
life. Semua ini ia lakukan demi hadirnya ajaran tauhid dalam
masyarakatnya.
b. Membenarkan kehadiran Tauhid sebagai sistem sosial.
Manusia
yang telah mempersaksikan bahwa hanya ada satu Ilah yaitu Allah SWT saja yang
harus diibadahi, dan bersaksi untuk mengikuti uswah Rasulullah Muhammad SAW, ia
akan memegang teguh tali Allah (wahyu). Ia memilih untuk menjadi penyeru
kebaikan dan menggalang manusia untuk menegakkan yang ma’ruf dan menggulingkan
yang munkar, serta dengan itu semua ia bersatu padu dengan sesamanya demi
tegaknya syahadat yang ia persaksikan (Qs. 3;103-105).
Ia
hadir ditengah-tengah masyarakat dan membimbing masyarakat bagaimana memadukan,
menerapkan dan menseimbangkan antara wahyu (hablum minallah) dengan ilmu dan
tehnologi yang dihasilkan oleh penelitian manusia atas alam semesta (hablum
minan-nas). Ia manusia yang sadar akan
pentingnya kehadiran wahyu dalam kehidupan masyarakat dan pentingnya
menopang kehidupan masyarakat yang
berlandaskan wahyu tersebut dengan ilmu dan teknologi. Ia adalah manusia yang
melek wahyu dan melek ilmu dan tehnologi. Sebab ia sadar keduanya adalah jaminan
kemuliaan, ridla dan kemakmuran (Qs. 3:112).
c. Membuktikan Tauhid sosial dengan aksi sosial melalui Liyudhhirahu ‘aladdieni kullihi.
Manusia tauhid yang dipaparkan di atas, adalah
manusia yang penuh semangat, loyalitas dan dedikasi yang tinggi dalam setiap
langkah perubahan dan perbaikan masyarakat. Ia adalah manusia utama yang
mementingkan jihad fisabilillah baik dengan harta maupun jiwanya daripada duduk
berpangku tangan (Qs. 4;95).
Pilihan
ini adalah pilihan terbaik bagi manusia beriman, sebab dengan demikian, selain
ia akan terbebas dari perbudakan manusia , dan akan memperoleh kemerdekaan
sejati, juga ia telah mampu membuktikan
bahwa ia seorang muslim sejati sebagai penegak Al-Quran (Qs. 5;68).
e. Proses dan implementasi Syahadatain.
Syahadatain
sebagai rukun Islam yang pertama, harus sudah difahami, dihayati dan menjadi
cara pandang, cara fikir, cara sikap dan cara tindakan. Tanpa hal tersebut, maka
rukun-rukun Islam yang lainnya tidak akan bermakna sama sekali. Di bawah ini
proses dan implementasi syahadatain dalam sistem diri dan sistem sosial
.
1. Proses dan Implementasi dalam sistem diri
a. Membongkar institusi diri
Manusia
selain memiliki potensi fitriyah, potensi jasmaniyah dan aqliyah, juga memiliki
potensi ruhiyah. Potensi yang terakhir ini memiliki kekuatan yang dahsyat sebab
ia yang akan menentukan arah dan gerakan dua potensi lainya. Potensi ruhiyah ini
ketika sudah memilih jalan mana yang ditempuh, maka ia akan membentuk sebuah
sistem diri yang seluruh sisinya dilapisi benteng yang kuat untuk menangkal
setiap ancaman yang masuk. Jika sistem diri ini sudah terbentuk sedemikian rupa,
maka biasanya ia akan mampu mengetahui dan menyadari keberadaan institusi
dirinya tersebut, sebab salah-salah ia sesungguhnya terbawa ke dalam jurang
kenistaan, tanpa disadarinya.
Dalam al-Quran Allah berfirman dalam surat
al-Jatsiyah ayat 23 yang berbunyi :
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى
عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً
فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ(23)
“Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan
Allah membiarkannya berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya, maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka
mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”
Ayat
ini harus menjadi lampu peringatan lalu-lintas dalam kehidupan manusia. sebab
kenyataannya banyak manusia yang tidak menyadari atas kecelakaan di depan
matanya karena Allah sudah sangat murka kepadanya. Ayat ini mengingatkan bahwa
dalam sejarah manusia telah menjadi rentetan manusia yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya. Di dalam dirinya terpasang aturan-aturan, norma-norma
dan komitmen-komitmen yang dibuatnya sendiri, berdasarkan hasrat dan kemauan
sendiri. Di dalam dirinya hanya ada dirinya sendiri. Ia hanya patuh kepada
dirinya. ia membangun mahligai kerajaan dan sistem kedirinya sedemikian rupa
sehingga apapun yang masuk untuk mempengaruhinya secara otomatis dihancurkannya
ia adalah tuhan bagi dirinya sendiri. Manusia seperti ini tidak tahu siapa
dirinya, darimana asalnya ia datang, sedang apa, dan mau kemana ia akan
mengakhiri kehidupannya. Ia adalah manusia musyrik sejati. Tidak ada manusia
yang paling musyrik kecuali dirinya. Manusia seperti ini ada dan mungkin saja
diri kita. Sebab institusi diri yang ia miliki sangat jelas dan dapat dilihat
dengan mata jasmani. Siapapun ia, yang mendengar bukan dengan cara mendengar
yang diajarkan Allah maka ia telah mempertuhankan alat pendengarannya. Siapapun
yang memandang bukan dengan cara yang diajarkan Allah SWT maka ia telah
mempertuhankan alat penglihatannya. Siapapun yang merasa yang bukan dengan cara
merasa yang diajarkan Allah SWT maka ia telah mempertuhankan alat perasaanya.
Siapapun yang bersikap dengan sikap yang bukan diajarkan Allah SWT maka ia telah
mempertuhankan kehendaknya. Siapapun yang berbuat bukan dengan cara berbuat yang
diajarkan Allah SWT maka ia telah mempertuhankan
keputusannya.
Manusia
yang bersyahadatain harus sadar tentang ini. dia harus membongkar institusi
dirinya, melihatnya, memperhatikannya, mewaspadainya dan menyingkirkan yang
bertentangan dengan makna syahadatain. Sebaliknya ia harus ingat bahwa hanya
Wahyu-Nya yang harus menjadi ukuran, sesamanya yang hanya boleh menjadi teman
sekalipun perhiasan dunia menggodanya dan haram memilih teman yang
mempertuhankan hawa nafsunya, ia harus senantiasa mengingat-Nya dan mengatakan
bahwa kebenaran hanya datang dari Allah SWT, jika demikian, maka pahala dunia
dan pahala akhirat senantiasa menyambutnya (Qs. 18;28).
b. Standarisasi citra, cita dan karya diri.
Standarisasi
ibarat menyetel kembali kendaraan yang onderdilnya sudah tidak pada tempatnya,
menjadi sesuai dengan standar (ukuran) aslinya. Dalam al-Quran Sura al-Baqarah
ayat 256 Allah telah memberikan standar hidup ber-rububiyah bagi manusia. Allah
berfirman :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ(256)
“Tidak
ada paksaan untuk memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang salah. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada
thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul
tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar dan lagi
Maha Mengetahui”.
Firman
suci ini adalah standar way of life bagi manusia. Bagi manusia yang bernyahadah,
mengatahui mana yang baik dan yanya buruk, kemudian memilih yang baik (Allah
SWT) dan meninggalkan yang buruk (Thaghut) adalah pegangan utama. Sebab di
dalamnya ada jaminan kekuatan dan ketangguhan. Manusia yang memilih Allah
sebagai segala sumber kebenaran, maka Allah adalam jaminannya. Allah akan
memilihnya, memperbaiki hidupnya, menuntunnya dan siapun tidak akan mempu
menghalangi Allah berbuat sekehendak-Nya.
Standar
ber-mulkiyah, Allah SWT berfirman dalam surat al-ashr ayat 1-3, yang berbunyi
:
وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ(2)إِلَّا الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ(3)
“Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran”.
Masa
senantiasa berkaitan dengan kebangkitan dan keruntuhan. Manusia dalam ayat ini
terkena hukum rugi jika berhubungan dengan masa. Kecuali mereka yang beriman,
beramal shaleh, menasehati demi kebenaran dan menasehati agar shabar. Manusia
yang beradab akan tersusun secara bertingkat pimpinan sosial-politik,
orang-orang kaya, teknokrat dan tenaga keamanan negara, serta rakyat. Kesemuanya
itu terbentuk dalam satu batang kekuasaan, yang memiliki akar ideologi sebagai
dasar konsepsi dan operasi batang tersebut dalam menciptakan buah budaya dan
generasi yang dicita-citakan. Bagi batang sangat erat hubungannya dengan waktu,
dan batang manapun yang tidak waspada terhadap keganasan waktu, akan runtuh
karenanya. Ada satu yang mampu bertahan dari serangan waktu tersebut, yaitu jika
komponen batang tersebut diatas, senantiasa menjunjung tinggi iman dan karya
besar, dengan tetap teguh mendasarkan dan menjawantahkan akar ideologinya dalam
setiap karya mereka serta senantiasa sabar menanti munculnya buah budaya dan
generasi terbaik dari karya besar mereka.
Bagi
manusia bersyahadat ini harus diakui dan ia harus mampu menempatkan diri dimanda
saja dalam kondisi dan situasi apa saja. Jika ia sebagai pimpinan, maka ia akan
memperkuat iman sebelum melangkah dan dalam setiap langkahnya adalah bukti diri
keteguhannya memegang rububiyatullah serta sabar dalam membimbing dan
mengarahkan rakyatnya. Sebagai seorang rakyat ia akan senantiasa mempertahankan
posisi imannya yang kuat dan terus berkarya dengan menonjolkan keutamaan,
mendukung kebijakan pimpinan yang maslahat dan mencegah munculnya setiap
kebijakan pimpinan yang mafsadat, serta sabar menanti kemajuan dan perbaikan
yang dicita-citakan.
Standar
beruluhiyah yang Allah kehendaki dalam kondisi apapun, terbingkai dalam bentuk
yang paling praktis yaitu dalam surat al-Anfal (8) ayat 74 sebagai berikut
:
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ
مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ(74)
“Dan
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan
orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memeberi pertolongan (kepada
orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman.
Mereka memperoleh ampunan dan rizki (ni’mat) yang mulia”.
Bukti
Iman adalah Hijrah dan bukti Hijrah adalah jihad. Jihad adalah aktivitas akhir
dari seluruh proses keimanan. Iman, Hijrah dan Jihad adalah tiga aktivitas yang
satu sama alin ada dan mengada pada setiap saat. Setiap mu’min harus melewati
seluruh hidupnya dengan tiga hal ini, jika tidak, maka ia bukan mu’min hak. Ini
adalah standar hidup menjadi hamba Allah.
Berlandas
pada tiga standar tersebut diatas, maka citra, cita dan karya manusia yang
bersyahadat telah jelas. Ia adalah manusia yang dibentuk, berorientasi dan
berkarya dalam kerangka Rububiyatullah, Mulkiyatullah dan Uluhiyatullah. Ini
adalah manusia seutuhnya.
c. Kristalisasi melalui shibghatullah dalam sistem diri.
Shibghatullah
adalah celupan yang dibuat oleh Allah untuk mencelup manusia agar warna hidupnya
utuh, hanya warna yang Allah inginkan saja. Celupan Allah ini jika sudah masuk
di dalam sistem diri manusia, ia akan mengikat manusia. manusia yang sudah
tercelup oleh celupan Allah, tidak akan pudar untuk selamanya. Ia menyatu dalam
diri dan menjadi diri itu sendiri. Celupan itu ialah standar-standar tersebut
diatas, yang intinya adalah Wahyu (al-Quran). Manusia yang sudah tercelup dengan
al-Quran, maka ia adalah al-Quran berjalan. Dia adalah al-Quran dan al-Quran
adalah dia (Qs. 2:138).
d. Diimplementasikan dalam Amar Ma'ruf Nahi Mungkar.
Manusia
yang sudah terkristalisasi dengan standar-standar hidup al-Quran tersebut,
adalah manusia terbaik yang dilahirkan untuk manusia. ia adalah agen penyeru
kebaikan dan pencegah kemungkaran (Qs. 3;110). Dialah satu-satunya agen yang
memenuhi syarat untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang
benderang (Qs. 14;5). Dia hadir untuk manusia, membimbingnya, mengeluarkannya
dari kesukaran, meringankan segal beban penderitaannya dan manusia yang paling
setia dalam memberantas ketidak adilan, penindasan dan perbudakan sesama
manusia.
e. Hasilnya adalah insan kamil.
Proses
tersebut akan menghasilkan manusia sempurna. Yaitu manusia yang rela seluruh
kehidupannya dibeli oleh Allah, seluruh aktivitasnya berada dijalan Allah
(fisabilillah), mati dan hidupnya hanya dipersembahkan kepada Allah saja. Ia
senantiasa merendahkan diri dihadapan Allah (bertaubat); mengabdi kepada-Nya
(beribadah); menerima dan berprasangka baik kepada-Nya (memuji-Nya); menuntut
ilmu-Nya dan berperandijalan-Nya (berpergian); taat dan patuh kepada-Nya (ruku
dan sujud); menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran; dan senantiasa
memelihara terlaksananya hukum-hukum Allah SWT (Qs.
9;111-112).
2. Proses dan Implementasi dalam sistem Sosial
a. Membongkar institusi sosial.
Insan
kamil yang telah terbentuk diats mempunyai pengaruh yang baik terhadap
perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat terdapat berbagai institusi yang tidak
jarang menghambat berkembanya ajaran tauhid dalam masyarakat tersebut. Seperti
halnya dalam sistem diri manusia, masyarakat juga seeringkali mempertuhankan
dirinya sendiri. Dalam kisah disebutkan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah
mempertuhankan anggota masyarakat, yaitu para ahli agama mereka (rahib), mereka
mentaatinya, sekalipun rahib tersebut menghalang-halangi mereka dari petunjuk
Allah SWT dengan membuat-buat hukum yang bertentangan dengan hukum Allah (Qs.
9;31-32).
Ini
kasus sejarah yang mungkin perlu perhatian yang lebih serius, bahwa justru dari
ahli agama sendiri yang menyimpangkan institusi sosial yang awalnya baik menjadi
rusak dan menyesatkan. Bagi masyarakat yang telah tergoda dengan keindahan
dunia, mereka akan terus mempertahankan dan memoles status quo ini menjadi
sesuatu yang seakan-akan benar. Oleh karena itu,, manusia bertauhid harus lebih
waspada. Sebab ini adalah agama baru, agama penyimpangan yang bisa jadi sengaja
diciptakan untuk kepuasan fihak tertentu. Manusia yang bersyahadat harus mampu
membaca gelagat ini sebab jika ini terjadi, maka masyarakat akan rusak dan
tersesatkan. Agama hanya barang dagangan dan barang jual beli
kepentingan.
Oleh
karena itu, mengukur segala gejala sosial dengan pendekatan tauhid dan mengajak
mereka menggunakan kacamata tauhid dalam menyikapi segala persoalan yang
terjadi, adalah jalan terbaik (Qs. 3;64). Manusia yang bersyahadat, bersama-sama
dengan sesamanya, akan rela berkorban untuk mengganyang segala kekuatan sosial
seperti ini, sampai hancur dan munculnya panji tauhid di masyarakat
mereka.
b. Standarisasi citra, cita dan karya masyarakat
Masyarakat
yang dipenhi dengan insan kamil, dengan senang hati akan merubah sistem
sosialnya, dengan menempatkan Allah, Rasulullah dan orang-orang beriman sebagai
penentu kebijakan dalam setiap langkah perbaikan dan pengembangan potensi
masyarakatnya (QS. 5;55-56). Inilah standar utama susunan masyarakat Islami dan
standar bagi kehidupan sosial Islam.
c. Kristalisasi melalui Shibghatallah dalam sistem sosial.
Masyarakat
yang telah terstandarkan tersebut, meningkat dan terkokohkan dengan kekuatan
taqwa yang mengikat erat seluruh sistem sosial masyarakat mereka dari awal
sampai akhir (QS. 4;1 dan 49;13).
d. Diimplementasikan dalam liyudhirahu ‘aladienikullihi.
Masyarakat
seperti ini adalah masyarakat pilihan. Mereka mengutamakan Islam diatas
segalanya dan mengorbankan apa saja demi tegaknya Dien Allah diatas dien-dien
yang lain (Qs. 61;9) keseharian mereka diisi dengan perilaku dan karya seperti
pengikut Rasulullah SAW, mereka menghiasi negerinya dengan amar maruf dan
membentengi negerinya dari kemungkaran, mereka hanya mengambil yang halal dan
membuang yang haram, mereka melepaskan segala bentuk penindasan, penjajahan dan
ketidak adilan sosial merekalah manusia yang beruntung sepanjang zaman (QS.
7;157).
e. Hasilnya adalah Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur.
Inilah
masyarakat ideal. Masyarakat seperti ini, selain telah mampu menjadikan agama
sebagai ulama, panglima, hakim, prajurit, pekerja sosial dan rakyat jelata, juga
mereka mampu menciptakan keamanan dan ketenangan. Ini adalah masyarakat tauhid
(Qs. 24;55) dimana negerinya penuh kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan
terhiasi dengan kesucian disetiap sudutnya (QS. 34;15).
Demikianlah
materi Makna Syahadatain. Semoga Allah membuka hati kita, dalam mengkaji dan
menerapkannya lebih jauh. ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar