Jumat, 21 Maret 2014

UMAR DI MASA ABU BAKR



Umar yakin sudah bahwa Rasulullah sudah wafat. Ia mulai berpikir mengenai masa depan umat Islam sepeninggal Nabi. Situasi itu memang memerlukan pemikiran yang mendalam. Andaikata orang­orang Arab[1] terus berselisih di antara sesama mereka, niscaya Islam akan menghadapi bahaya besar. Mereka yang tinggal jauh dari Mekah dan Medinah, di pelbagai kawasan di Semenanjung itu tidak dapat menyembunyikan kejenuhan mereka terhadap kekuasaan Kuraisy dan kekuasaan Medinah. Kejenuhan terhadap kekuasaan inilah yang mem­buat al-Aswad al-'Ansi di Yaman memberontak. Dia juga yang mem­bela Banu Hanifah di Yamamah supaya mendukung Musailimah bin Habib ketika ia mendakwakan dirinya nabi dan membela Banu Asad supaya mendukung Tulaihah bin Khuwailid yang juga mendakwakan dirinya nabi. Apa pula gerangan nasib yang akan menimpa Islam sepe­ninggal Rasulullah kalau kaum Muslimin tidak benar-benar teguh hati dalam menghadapi keadaan yang begitu genting dengan tetap bersatu dan hati tabah?

Umar di Saqifah Banu Sa'idah

Hal ini yang pertama kali dipikirkan Umar begitu ia yakin bahwa Rasulullah sudah wafat. Dan ini akan segera terlihat dengan jelas bahwa j ika keadaan dibiarkan dan tidak ada orang yang dapat segera mengambil langkah dan mengatur strategi Muslimin yang tepat, kaum Muhajirin dan Ansar hampir saja terjerumus ke dalam perselisihan, dan di segenap penjuru negeri akan berkobar pemberontakan. Oleh karena itu cepat-cepat ia menyeruak ke tengah-tengah jemaah Muslimin di Masjid membicarakan kematian Rasulullah. Ia terus menuju tempat Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan katanya: "Bentangkan tangan Anda akan saya baiat Anda. Andalah orang kepercayaan umat[2] ini atas dasar ucapan Rasulullah." Mendengar kata-kata Umar itu Abu Ubaidah ter­pengarah. Ia sadar, mengenai umat Islam sekarang ini memang perlu ada keputusan cepat. Tetapi pendapat Umar tidak disetujuinya. Ditatap­nya laki-laki itu seraya katanya: "Sejak Anda masuk Islam tak pernah Anda tergelincir. Anda akan memberikan sumpah setia kepada saya padahal masih ada Abu Bakr, 'salah seorang dari dua orang'."[3] Sementara kedua orang itu sedang berpikir mengenai persoalan genting ini, tiba-tiba datang berita bahwa Ansar sudah berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah, dengan tujuan agar pimpinan Muslimin di tangan me­reka. Saat itu juga Umar cepat-cepat mengutus orang kepada Abu Bakr di rumah Aisyah agar segera datang. Abu Bakr menjawab melalui utusan itu, bahwa dia sedang sibuk. Tetapi Umar menganggap keadaan Muslimin lebih penting untuk sekadar meninggalkan kesibukan itu sebentar kendati sedang mempersiapkan jenazah Rasulullah. Sekali lagi Umar mengutus orang kepada Abu Bakr dengan pesan: "Telah terjadi sesuatu yang sangat memerlukan kehadirannya."
Abu Bakr pun kemudian datang dan menanyakan: Apa yang terjadi ia harus meninggalkan persiapan jenazah Rasulullah? "Anda tidak tahu," kata Umar, "bahwa pihak Ansar sudah berkumpul di Serambi Banu Sa'idah hendak menyerahkan pimpinan ke tangan Sa'd bin Ubadah. Ucapan yang paling baik ketika ada yang mengatakan: Dari kami seorang amir dan dari Kuraisy seorang amir?" Abu Bakr melihat keadaan memang sangat berbahaya. Cepat-cepat ia berangkat disertai Umar dan Abu Ubaidah menuju Saqifah.
Begitu mereka sampai Abu Bakr yang memimpin perdebatan Ansar dengan sikapnya yang bijaksana dan lemah lembut. Umar berdiri di sampingnya mengawasi apa yang akan terjadi, setelah melihat Hubab bin Munzir membakar semangat Ansar supaya menentang jika tak ada seorang amir dari mereka dan seorang amir dari Muhajirin.
"Bah!" kata Umar. "Jangan ada dua kemudi dalam satu perahu. Orang-orang tidak akan mau mengangkat kalian sedang nabinya bukan dari kalangan kalian. Tetapi mereka tidak akan keberatan mengangkat seorang pemimpin selama kenabian dari kalangan mereka. Alasan dan kewenangan kami sudah jelas buat mereka yang masih menolak semua itu. Siapakah yang mau membantah kewenangan dan kepemimpinan Muhammad sedang kami adalah kawan dan kerabat dekatnya — kecuali buat orang yang memang cenderung hendak berbuat batil, berbuat dosa dan gemar mencari-cari malapetaka!" Hubab menjawab dengan meminta kepada Ansar supaya mengeluarkan kaum Muhajirin dari Medinah atau mereka harus berada di bawah pimpinan Ansar. Kemudian kata-katanya ditujukan kepada ketiga orang Muhajirin itu: "Ya, demi Allah, kalau perlu biar kita yang memulai peperangan." Mendengar ancaman itu Umar membalas: "Mudah-mudahan Allah memerangi kamu!" Hubab pun menjawab lagi: "Bahkan Andalah yang harus diperangi!"
Kedua ungkapan itu telah membangkitkan kemarahan di hati me­reka, Melihat situasi demikian Abu Ubaidah bin Jarrah segera turun tangan dan berkata yang ditujukan kepada penduduk Medinah: "Saudara­saudara Ansar! Kalian adalah orang yang pertama memberikan bantuan dan dukungan, janganlah sekarang menjadi orang yang pertama pula mengadakan perubahan dan perombakan."
Kata-kata ini dapat meredakan kemarahan mereka. Mereka mulai berdiskusi dengan saling mengemukakan argumen. Basyir bin Sa'd, salah seorang pemimpin Khazraj bergabung kepada pihak Muhajirin. Dengan demikian Ansar tidak lagi seia sekata. Abu Bakr memperkira­kan bahwa keadaan sudah reda dan sudah saatnya mengambil keputus­an. Ia mengajak orang-orang supaya bergabung dan mengingatkan jangan terpecah belah. Kemudian ia mengangkat tangan Umar dan Abu Ubaidah seraya berseru: "Ini Umar dan ini Abu Ubaidah, berikanlah ikrar kalian kepada yang mana saja yang kalian sukai." Tetapi Umar tidak akan membiarkan perselisihan menjadi perkelahian yang ber­kepanj angan. Dengan suaranya yang lantang menggelegar ia berkata: "Abu Bakr, bentangkan tangan Anda" Abu Bakr membentangkan tangan dan oleh Umar ia diikrarkan seraya. katanya: "Abu Bakr, bukankah Nabi menyuruh Anda memimpin Muslimin bersembahyang? Andalah penggantinya (khalifahnya). Kami akan membaiat1 orang yang paling disukai oleh Rasulullah di antara kita semua ini." Menyusul Abu Ubaidah memberikan ikrar dengan mengatakan: "Andalah di kalangan Muslimin yang paling mulia dan yang kedua dari dua orang dalam gua, menggantikan Rasulullah dalam salat, sesuatu yang paling mulia dan utama dalam agama kita. Siapa lagi yang lebih pantas dari Anda untuk ditampilkan dan memegang pimpinan kita!" Setelah itu berturut-turut jemaah Saqifah membaiat Abu Bakr secara aklamasi, tak ada ke­tinggalan kecuali Sa'd bin Ubadah. Selesai membaiat mereka kembali ke Masjid menanti-nantikan berita dari rumah Aisyah mengenai per­siapan jenazah Rasulullah. Keesokan harinya sementara Abu Bakr sedang di Masjid, Umar tampil di depan kaum Muslimin meminta maaf mengenai pernyataannya bahwa Nabi tidak wafat. "Kepada Saudara­saudara kemarin saya mengucapkan kata-kata yang tidak terdapat dalam Qur'an, ataupun suatu pesan yang tak pernah disampaikan Rasulullah kepada saya. Tetapi ketika itu saya berpendapat bahwa Rasulullah akan mengemudikan segala urusan kita dan akan tetap demikian sampai akhir hidup kita. Yang tetap ditinggalkan untuk kita oleh Allah ialah Kitab-Nya, yang dengan itu telah membimbing Rasul-Nya. Kalau kita berpegang teguh pada Kitabullah, kita akan mendapat bimbingan Allah, yang juga dengan itu Allah telah membimbing Rasul-Nya. Allah telah memutuskan segala persoalan kita demi kebaikan kita, sahabat Ra­sulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam dan yang kedua dari dua orang ketika di dalam gua, maka marilah kita baiat." Semua orang kemudian sama-sama memberikan baiat (ikrar) yang dikenal sebagai Baiat Umum setelah Baiat Saqifah.
Inilah sikap Umar yang pertama sepeninggal Rasulullah. Seperti sudah kita saksikan, ini merupakan sikapnya yang sangat bijaksana, berpandangan jauh ke depan dan strategi politik yang baik sekali. Ini jugalah sikapnya dalam mencalonkan pimpinan umat. Kemampuannya membuktikan ia dapat mengemudikan negara yang baru tumbuh ini, dengan tidak menghiraukan kepentingan pribadinya, dan segala pemi­kirannya hanya ditujukan untuk kepentingan umat dan kedisiplinan yang tinggi. Karena tak dapat menahan duka dengan wafatnya Rasulullah yang dirasakannya sangat tiba-tiba, Umar tidak percaya bahwa yang demikian dapat terjadi. Sesudah kemudian yakin bahwa Rasulullah sudah wafat, pikiran sehatnya kini dapat menguasai perasaannya, kesedihannya tak sampai mempengaruhinya untuk berbicara dengan Abu Ubaidah dalam menghadapi bahaya yang sedang mengancam umat Islam: bagaimana mengendalikan mereka serta mengarahkan strategi politik umat. la tidak ingin berkuasa untuk dirinya, walaupun ia mampu untuk itu. Bahkan apa yang dipikirkannya itu bersih dari segala nafsu dan kepentingan pribadi. Oleh karena itu cepat-cepat ia membaiat Abu Ubaidah. Tetapi tatkala orang kepercayaan umat ini mengingatkannya bahwa dalam soal ini Abu Bakrlah yang lebih tepat dan lebih berhak dari semua orang, tanpa ragu pendapatnya langsung disetujuinya. Tak lama ketika diketahuinya ada pertemuan di Saqifah, ia pun memanggil Abu Bakr untuk menghadapi kaum Ansar itu. Juga ia tidak mundur untuk menghadapi mereka ketika dikatakan kepadanya bahwa Ansar sudah mengambil keputusan dan tidak akan mengubah keputusannya. Kepergiannya bersama kedua sahabatnya ke Saqifah itu telah me­nentukan pengangkatan Abu Bakr dan bersatunya kembali umat Islam.
Mengenai apa yang dikatakan orang tentang ketidakhadiran Ali bin Abi Talib dan Banu Hasyim dalam membaiat Abu Bakr, peranan Umar dalam hal ini tidak pula kurang bijaksananya dari peranannya dalam hal Saqifah. Saya masih meragukan sumber-sumber mengenai peristiwa ketidakhadiran ini. Saya sudah memberikan pendapat mengenai hal ini ketika menguraikan soal pembaiatan Abu Bakr.[4] Tetapi saya tak dapat memastikan bahwa Ali dan Banu Hasyim menyambut pembaiatan itu dengan senang hati seperti Muslimin yang lain. Yang sudah pasti, hubungan Fatimah putri Rasulullah dengan Abu Bakr sampai wafatnya tetap tidak baik. Adakah yang demikian ini karena Abu Bakr tidak mau memenuhi tuntutan Fatimah atas warisan dari ayahnya, ataukah karena ia melihat suaminya lebih berhak sebagai khalifah daripada Abu Bakr? Dalam hal ini masih terdapat beberapa perbedaan pendapat. Yang tidak lagi diperselisihkan ialah bahwa Umar sependapat dengan Abu Bakr bahwa apa yang ditinggalkan Nabi merupakan sedekah dan tak boleh diwariskan. Sudah tentu pendapatnya ini akan membuat Fatimah marah. Adakah kemarahannya itu sampai menjurus pada kemarahan Ali dan pada ancaman Umar dan tindakannya mengambil keputusan? Apa pun yang terjadi, seperti yang diceritakan orang pengaruhnya mengenai ini dalam sejarah Islam sampai sekarang masih terasa. Karena pengaruh inilah, setidak-tidaknya golongan Syiah dan golongan Alawi yang lain tidak mau menghargai Umar, bahkan tidak senang kepadanya.

Politik Umar dan politik Abu Bakr

Kebijakan Abu Bakr sesudah dibaiat, tidak ingin ia meninggalkan apa pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan tidak akan me­lakukan tindakan apa pun yang tidak dilakukan oleh Rasulullah. Oleh karena itu, perintah pertama yang dikeluarkan dalam pemerintahannya ialah meneruskan pengiriman pasukan yang sudah disiapkan Rasulullah dengan pimpinan Usamah bin Zaid untuk menyerbu Rumawi di Syam. Sejak masa Rasulullah dulu kaum Muslimin memang sudah tidak puas dengan perintah ini, sebab Usamah masih terlalu muda dalam usianya yang belum mencapai dua puluh tahun itu. Yang membuat mereka lebih tidak puas karena dikhawatirkan Medinah akan terperangkap ke dalam bahaya kalau Medinah ditinggalkan pasukan ini; orang-orang Arab akan menyerbunya dan akan mefongrong kewibawaannya. Mereka berkata kepada Abu Bakr: "Mereka [yakni pasukan Usamah] Muslimin pilihan, dan seperti Anda ketahui, orang-orang Arab sudah memberontak ke­pada Anda. Maka semestinya mereka terpisah dari Anda." Abu Bakr menjawab dengan cukup bijak: "Demi Yang memegang nyawa Abu Bakr,[5] sekiranya ada serigala akan menerkam saya, niscaya akan saya teruskan pengiriman pasukan Usamah ini, seperti yang sudah diperin­tahkan Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam. Sekalipun di kota ini sudah tak ada orang lagi selain saya, tetap akan saya laksanakan!"

Sikap Umar-terhadap kaum murtad

Adakah politik Umar dalam situasi semacam ini sama dengan politik Abu Bakr dalam arti kekuatan dan kebijaksanaannya? Ada di­sebutkan bahwa Usamah meminta kepada Umar agar memintakan izin kepada Abu Bakr memanggil pasukan ke Medinah untuk membantu dalam menghadapi kaum musyrik. Dan kaum Ansar berkata kepada Umar: "Kalau Abu Bakr menolak dan kami harus berangkat juga tolong sampaikan atas nama kami, agar yang memimpin kami orang yang usianya lebih tua dari Usamah." Permintaan Usamah dan permintaan Ansar itu oleh Umar tidak ditolak. Ia langsung menernui Abu Bakr dan menyampaikan apa yang mereka minta. Tetapi jawaban Khalifah: "S e­kiranya saya yang akan disergap anjing dan serigala, saya tidak akan mundur dari keputusan yang sudah diambil oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam." Dan mengenai permintaan Ansar ia berkata: "Celaka Anda Umar! Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam yang menempatkan dia, lalu saya yang akan mencabutnya?"
Pasukan Usamah berangkat. Di antara anggota pasukannya itu terdapat tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Ansar, termasuk Umar bin Khattab, yang tidak berbeda dengan yang Iain, harus tunduk kepada kepemimpinan Usamah sebagai komandan pasukan. Abu Bakr juga ikut pergi melepas dan menyampaikan pesan kepada pasukan itu. Setelah tiba saatnya ia akan kembali, ia berkata kepada Usamah: "Usamah, kalau menurut pendapat Anda Umar perlu diperbantukan kepada saya, silakan." Usamah mengizinkan Umar meninggalkan pasukannya itu dan kembali (ke Medinah) bersama Abu Bakr.
Sebaiknya kita berhenti sejenak untuk memberikan perhatian ten-tang perbedaan haluan politik ini antara Abu Bakr dengan Umar. Abu Bakr hanya seorang pengikut, bukan pembaru. Apa yang dikerjakan oleh Rasulullah akan dikerjakannya. Terserah apa yang akan dikatakan oleh kaum Muslimin, kendati mereka akan menentang pendapatnya. Ia tak akan mendengarkan apa yang mereka katakan selama perintah itu dari Rasulullah. Perintah Rasulullah agar meneruskan pengiriman pa­sukan Usamah, maka perintah ini harus terlaksana. Biar Muhajirin dan Ansar berselisih, biar seluruh jazirah berontak. Medinah sekalipun, biar terperangkap dalam bahaya. Semua itu tidak akan membuat Abu Bakr mundur dari melaksanakan perintah Rasulullah. Bukankah dia sudah menjadi pilihan Allah dan Qur'an sudah diwahyukan kepadanya, sudal diberi janji kemenangan dan Allah akan menjaga agama-Nya! Bagaimana seorang Muslim yang sudah mengorbankan dirinya tidak akan melaksanakan perintahnya. Bagaimana pula penggantinya yang pertama akan menjadi orang yang pertama pula melanggar!

Sikapnya tentang Usamah

Bagi Umar sudah menjadi kewajiban seorang politikus memper­timbangkan segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Di antara sekian banyak peristiwa itu adanya perbedaan pendapat antara Muhajirin dengan Ansar, yang pada masa Rasulullah tidak tampak, seperti yang kemudian terjadi di Saqifah, dan pembangkangan orang-orang Arab terhadap kekuasaan Medinah tidak setajam pemberontakan baru setelah tersiar berita tentang kematian Rasulullah di segenap penjuru Semenanjung Arab. Kaum Muslimin waktu itu sangat menaati segala perintah Ra­sulullah dengan sungguh-sungguh dan penuh keimanan. Abu Bakr tidak berhak menuntut orang agar menaatinya seperti menaati Rasulullah yang sudah menjadi pilihan Allah. Maka sudah seharusnya Khalifah memperhatikan semua masalah itu dan sudah seharusnya pula ia menjadi seorang politikus yang dapat mengatur segala persoalan dengan penalaran dan pandangan yang lebih tajam, sesudah tak ada lagi kepengurusan atau kekuasaan yang akan dapat mengawasinya dengan sungguh-sungguh dan sesudah wahyu pun terputus dengan meninggalnya Rasulullah.
Ini merupakan perbedaan dasar antara kedua tokoh itu dalam men­jalankan politik negara. Tetapi perbedaan ini tak sampai mengurangi penghargaan mereka masing-masing serta kecintaan dan penghormatan mereka satu sama lain. Oleh karenanya, Umar tetap menjalankan ke­wajibannya terhadap Abu Bakr, dan tidak lebih ia hanya menyampaikan pendapat kaum Muslimin dan dia mendukungnya dengan alasannya sendiri. Setelah Abu Bakr bersikeras dengan pendapatnya, Umar pun berangkat sebagai seorang prajurit yang berjuang di jalan Allah di bawah pimpinan Usamah. Mengapa tidak akan dilakukannya, dia pula yang telah membaiat Abu Bakr dan mengakuinya sebagai pengganti Rasulullah. Abu Bakr pun menjalankan kewajibannya terhadap Umar, dipilihnya ia sebagai wazir-nya, sebagai tangan kanannya, untuk mem­berikan saran-saran kepadanya seperti kepada Rasulullah dulu. Dengan demikian, hubungan antara kedua orang ini tetap akrab dan penuh keikhlasan, saling menghormati dan bantu-membantu, demi kepentingan Islam dan kaum Muslimin.
Perbedaan pendapat demikian antara dua tokoh ini dengan pasukan Usamah masih terjadi dalam menghadapi pendukung-pendukung Ru­mawi di bagian utara Semenanjung Arab, yaitu tatkala kabilah-kabilah Abs dan Zubyan yang berdekatan dengan Medinah tak mau menunaikan zakat. Abu Bakr berpendapat akan memerangi mereka, dan menangkis alasan mereka yang menentang pendapatnya dengan mengatakan: "Demi Allah, orang keberatan menunaikan zakat kepada saya, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam, akan saya perangi." Umar termasuk orang yang menentangnya dan yang berpendapat mengambil j alan damai dengan mereka yang enggan membayar zakat itu dan lebih baik meminta bantuan mereka dalam memerangi kaum pembangkang. Umar begitu keras dalam membela pendapatnya itu sehingga kata-katanya agak tajam ditujukan kepada Abu Bakr: "Bagaimana kita akan memerangi orang yang kata Rasulul­lah Sallallahu 'alaihi wa sallam; 'Aku diperintah memerangi orang sampai mereka berkata: Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul-Nya. Barang siapa berkata demikian, darah dan hartanya dijamin, kecuali dengan alasan, dan masalahnya kembali kepada Allah." Tan­tangan Umar itu dijawab oleh Abu Bakr dengan mengatakan: "Demi Allah, saya akan memerangi siapa saja yang memisahkan salat dengan zakat. Zakat adalah kewajiban harta. Dan dia sudah berkata: 'sesuai dengan kewajiban zakat.'" Dengan perbedaan pendapat yang demikian rupa, dengan tanggung jawab sepenuhnya yang harus dipikulkan ke bahu Abu Bakr dalam memerangi mereka yang enggan membayar zakat dan berhasil mengalahkan mereka, persahabatan antara keduanya tidak berubah. Umar tetap mendampingi Abu Bakr dengan berjuang dalam barisan Muslimin. Dia memang laki-laki yang penuh disiplin, dan Abu Bakr memang yang bertanggung jawab dalam urusan negara. Umar berkewajiban memberikan pendapat kepadanya, dan menjadi kewajib­annya menaati segala perintah Khalifah, dan semua ini sudah dilaku­kannya. Kemudian ia tetap sebagai wazir-nya, sebagai tangan kanannya yang patuh dan menghargai pendapatnya.
Abu Bakr berhasil menghadapi mereka yang menolak membayar zakat, dan keberhasilan ini merupakan bukti yang nyata ketepatan pendapatnya dan kebijakan politiknya. Tentang Umar mengenai hal ini ada disebutkan bahwa ia berkata: "Sungguh, apa yang saya saksikan ini ternyata Allah memang telah melapangkan dada Abu Bakr dalam menghadapi perang, maka saya tahu bahwa dia benar." Sesudah ke­berhasilan ini, tak ada lagi orang menentang maksud Abu Bakr hendak memerangi kaum pembangkang di seluruh Semenanjung Arab. Barangkali Muslimin sekarang melihat bahwa laki-laki yang telah mendampingi Rasulullah selama dua puluh tahun itu telah mendapat tiupan semangat Rasulullah sehingga ia dapat melihat dengan cahaya Allah, dengan nur ilahi, yang tak terlihat oleh orang lain, dan mendapat ilham yang tak diperoleh orang lain.
Pasukan Muslimin kini berangkat di bawah pimpinan Amr bin al-As dan Khalid bin al-Walid ke tempat suku Quda'ah dan Banu Asad untuk menghadapi kaum murtad dan mengembalikan mereka kepada agama Allah yang sebenarnya. Sudah tentu umat Islam merasa lega melihat bantuan Allah kepada pasukan-Nya yang berjuang di jalan Allah. Umar tetap mendampingi Abu Bakr dengan memberikan pen­dapatnya dan bersama-sama mengurus politik negara.

Sikapnya tentang Khalid

Khalid bin Walid sudah berhasil menumpas pembangkangan Banu Asad, dan sekarang ia pindah dari perkampungan mereka ke Butah menumpas kaum pembangkang Banu Tamim. Pemirrrpin mereka, Malik bin Nuwairah terbunuh dan dia yang kemudian mengawini istrinya1, me­nyalahi adat kebiasaan orang Arab yang harus menghindari perempuan selama dalam perang. Abu Qatadah al-Ansari begitu marah atas. pembunuhan Malik bin Nuwairah itu setelah menyatakan keislamannya. Dia menduga itu suatu muslihat Khalid saja untuk dapat mengawini Laila yang cantik. Disebutkan bahwa konon ia memang sudah men­cintainya sejak masa jahiliah dulu. Abu Qatadah dan Mutammam bin Nuwairah saudara Malik segera pergi ke Medinah dan menemui Abu Bakr dengan melaporkan segala yang dilihatnya itu. Tak lebih Abu Bakr hanya membayar diat (tebusan) atas kematian Malik, dan menulis surat agar tawanan dikembalikan. Tetapi ia tak habis heran mengapa Abu Qatadah sampai menyerang atau menuduh Khalid. Abu Qatadah membicarakan soal ini dengan Umar bin Khattab dan Umar mendukung pendapatnya. Keduanya menyerang dan mengecam Khalid. Kemudian Umar menemui Abu Bakr dan befkata dengan nada marah. "Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa dan harus ada sanksinya," katanya. Ketika Umar tetap mendesak, ia berkata: "Ah, Umar] Dia sudah mem­buat pertimbangan tetapi meleset. Jatiganlah berkata yang bukan-bukan tentang Khalid." Umar tidak puas dengan jawaban itu dan tiada henti­hentinya ia menuntut agar Khalid dipecat. Melihat desakan yang demi­kian Khalifah kesal juga. "Umar," katanya kemudian, "saya tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah dihunuskan terhadap orang-orang kafir!"
Jawaban tegas ini tentu sudah menunjukkan bahwa Abu Bakr tak akan memecat Khalid. Adakah dengan itu Umar sudah merasa puas bahwa dia sudah menjalankan kewajibannya sebagai pehasihat dan sesudah itu ia harus mengalah kepada pendapat Khalifah dan j angan sampai membuat kecurigaan orang kepadanya? Tidak! Umar tetap marah besar terhadap Khalid dan mengecamnya sampai begitu keras. Dikumpulkannya Mutammam, Abu Qatadah dan beberapa orang lagi. Dimintanya Mutammam membacakan syairnya yang meratapi Malik, la memperlihatkan simpatinya kepada Mutammam dan pada syair yang dibacanya itu. Bagaimana Umar akan merasa senang dan diam begitu saja melihat orang membunuh seorang Muslim lalu mengawini[6] istri­nya, padahal ia harus dirajam! Biar orang ini Saifullah sekalipun. Biar dia paman Umar dari pihak ibu dan sepupu ibunya. Biar dia sudah berjasa menumpas kaum pembangkang!
Soalnya berhubungan dengan disiplin masyarakat serta ketertiban­nya. Disiplin akan berada dalam bahaya bilamana sudah mulai ada perbedaan dalam memperlakukan manusia. Yang seorang dibiarkan me­lakukan pelanggaran, yang lain dijatuhi hukuman. Ia tetap tidak puas sebelum Abu Bakr memanggil Khalid ke Medinah, dan Umar pun yakin Khalifah akhirnya akan menyetujui pendapatnya dan memecat jenderal jenius itu. Tetapi ternyata Abu Bakr tidak melakukannya selain hanya memarahi Khalid karena perkawinannya dengan seorang perempuan yang darah suaminya belum lagi kering, di samping tindakannya yang sudah melampaui batas membunuh Malik dan anak buahnya dari ka­bilah Tamim. Abu Bakr memerintahkan Khalid berangkat ke Yamamah untuk menghadapi Musailimah dan anak buahnya. Ia yakin bahwa Allah akan -membantu Khalid dalam menghadapi Banu Hanifah dan akan mendapat kemenangan terus-menerus dan orang akan lupa per­kawinannya dengan Laila. Sekalipun begitu Umar tidak beranjak dari pendiriannya mengenai perbuatan Khalid itu dan keharusannya ia dipecat. Kegigihannya ini tampak juga pengaruhnya setelah kemudian ia bertugas sebagai Amirulmukminin. Ketika ia sudah memegang jabatannya itu, tindakan pertama yang dilakukannya memecat Khalid dari panglima pasukan, kemudian ia dipecat dari semua jabatan militer. Peristiwa ini akan kita uraikan lebih terinci sesuai dengan tempatnya dalam buku ini nanti.
Buku-buku sejarah tidak menyebutkan bahwa Abu Bakr pernah berselisih dengan Umar setajam seperti persoalan Khalid ini, perselisih­an yang sejalan dengan watak kedua orang itu serta tujuan masing­masing mengenai politik negara. Umar berpendapat bahwa seseorang tak dapat lepas dari dosanya sebelum ia menebusnya. Dengan demikian keadaan akan menjadi stabil dan tertib hukum dapat ditegakkan atas dasar persamaan sejati yang kuat. Buat dia, memaafkan orang-orang penting yang melakukan pelanggaran besar akan sangat berbahaya bagi ketertiban masyarakat. Tetapi Abu Bakr pernah mengatakan bahwa Rasulullah yang memberi julukan Saifullah kepada Khalid, dan kalau daerah-daerah perbatasan di waktu damai harus diperkuat dengan ke­tidakjelasan hukum, maka waktu dalam keadaan bahaya juga harus diperkuat dengan cara serupa. Ketika Khalid dipanggil pulang oleh Abu Bakr dan diberi teguran keras, saat itulah umat Islam sedang sangat memerlukan Khalid dan kepemimpinannya dalam militer yang jenius itu, melebihi waktu mana sebelumnya. Itu sebabnya Abu Bakr tidak sampai memecatnya. Malah ia dikirim ke Yamamah untuk menumpas Musailimah, kemudian dikirim ke Irak dan berhasil membebaskan wilayah itu. Selanjutnya ia dipindahkan ke Syam sehingga dengan itu Rumawi sudah melupakan bisikan setan.
Bersikerasnya Umar dengan pendapatnya terhadap Khalid itu untuk mencegah timbulnya malapetaka, dan tetap meminta Abu Bakr terus menegurnya. Begitu mendapat kemenangan di Yamamah Khalid kawin lagi dengan seorang gadis. Sekali lagi Abu Bakr menulis surat yang berisi teguran keras dengan mengatakan: "Demi hidupku, ah Umm Khalid! Sungguh Anda orang tak berakal! Anda kawin dengan perempuan itu sedang bercak darah seribu dua ratus Muslim di beranda rumahmu belum lagi kering!" Dilihatnya surat itu oleh Khalid, lalu katanya: "Ini tentu perbuatan si kidal." Dan Umar bin Khattab memang kidal. Se­telah membebaskan Irak dan sudah sampai di perkampungan Huzail dan mengikis mereka, ada dua laki-laki yang dibunuhnya, padahal me­reka masing-masing membawa surat dari Abu Bakr yang menyatakan keislamannya. Atas perbuatannya ini menurut pendapat Umar Khalid harus dijatuhi hukuman, dan katanya tentang kedua orang itu: "Begitu ia bertindak terhadap penduduk di daerah perang."
Ada sebagian mereka yang merasa heran bahwa Umar sampai demikian rupa marah kepada Khalid, Khalid yang paman Umar sendiri dan Saifullah serta pembela agama-Nya. Dapat saja keheranan demikian dihilangkan berdasarkan sumber yang dikemukakan oleh beberapa sejarawan bahwa pandangan Umar terhadap Khalid memang tidak baik sejak sebelum ia menganut Islam. Selama hidupnya ia memang sudah tidak menyukainya.[7] Barangkali Umar tak dapat melupakan Khalid ketika dalam Perang Uhud dan peranannya waktu itu, serta kemenangan kaum musyrik terhadap kaum Muslimin karena kehebatan Khalid. Kemudian serangannya terhadap Rasulullah, kalau tidak karena Umar yang lalu menghadangnya sehingga rencananya itu dapat digagalkan. Bagaimanapun juga yang pasti Umar tidak senang kepada Khalid kendati ia sangat menghargainya serta mengagumi kehebatannya me­mimpin pasukan. Perasaan Khalid terhadap Umar pun demikian. Dalam segala hal yang datang dari Khalifah, yang tidak disukainya ia melihat campur tangan Umar. Ketika oleh Abu Bakr ia dipindahkan dari Irak ke Syam ia berkata: "Ini perbuatan si kidal anak Umm Sakhlah. Dia dengki kepada saya karena saya yang membebaskan Irak."
Setiap orang berhak heran melihat perselisihan yang begitu me­nonjol antara Abu Bakr dengan Umar mengenai masalah Khalid bin Walid itu. Tetapi kita harus kagum juga kepada kedua tokoh besar ini. Bagaimanapun perselisihan mereka yang sudah begitu jelas, namun demi kepentingan Islam dan umat Islam, keakraban dan eratnya kerja sama antara keduanya tak pernah berubah. Umar tetap setia kepada Abu Bakr dan pada janjinya. Ia menjalankan tugasnya dengan selalu memberikan pendapatnya, dan melaksanakan perintah Khalifah dengan penuh keikhlasan. Kepercayaan Abu Bakr kepada Umar juga tetap seperti dulu, sedikit pun tak terpengaruh oleh keadaan dari luar. Ke­ikhlasan timbal balik dan kepercayaan yang begitu kuat, itulah dasar organisasi yang kukuh dan sumber kewibawaan dan kekuatannya. Itu sebabnya kedaulatan Islam pada masa kedua tokoh ini telah mencapai puncaknya, yang tak pernah ada dalam kedaulatan mana pun di dunia. Nama Abu Bakr dan nama Umar dalam lembaran sejarah merupakan lambang ketulusan, kejujuran dan kekuatan. Tak ada yang dapat me­nandingi kebesaran dan keagungan pribadi mereka.
Abu Bakr menjatuhkan sanksi kepada Khalid bin Walid karena ia telah membunuh Malik bin Nuwairah dan mengawini Laila, maka ia lalu mengirimnya ke Yamamah. Tetapi ia telah memperoleh kemenang­an besar, dan ini merupakan suatu pengumuman dari Allah untuk mengikis kaum murtad di segenap penjuru Semenanjung Arab, kendati untuk itu telah menelan korban seribu dua ratus Muslimin mati syahid. Penduduk Medinah begitu sedih karena mereka yang telah mati syahid itu. Ketika itu yang sangat berduka cita Umar bin Khattab karena kematian Zaid adiknya, sehingga ketika Abdullah anaknya kembali ke Medinah ia berkata: "Mengapa kau pulang padahal Zaid sudah me­ninggal. Tidak malu kau memperlihatkan muka kepadaku!?" Tetapi anaknya menjawab dengan jujur dan penuh iman: "Dia memohon mati syahid kepada Allah, permohonannya terkabul. Saya sudah berusaha supaya saya juga demikian, namun tidak juga diberikan."

Men yarankan pen gumpulan Qur'an

Tetapi kesedihan Umar karena kematian adiknya itu tidak sampai membuatnya lalai dari memikirkan masalah yang paling berbahaya dalam sejarah Islam dan umat Islam. Di antara yang mati itu banyak dari mereka yang sudah hafal Qur'an. Bagaimana kalau perang ini berlanjut dan akan banyak lagi yang terbunuh dari orang-orang yang sudah hafal Qur'an seperti yang terjadi di Yamamah? Inilah yang men­dera pikiran Umar. Sampai kemudian ia mengambil keputusan pergi menemui Abu Bakr, yang saat itu sedang dalam majelis di Masjid. "Pembunuhan yang terjadi dalam perang Yamamah sudah makin me­muncak," katanya kemudian kepada Abu Bakr. "Saya khawatir di tempat-tempat lain akan bertambah banyak penghafal Qur'an yang "akan terbunuh sehingga Qur'an akan banyak yang hilang. Saya mengusulkan supaya Anda memerintahkan orang menghimpun Qur'an."
Usui yang dirasakan oleh Abu Bakr sangat tiba-tiba itu dijawab dengan pertanyaan: "Bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam?" Umar memperkuat pendapatnya dengan argumen yang membuat Abu Bakr kemudian merasa puas. Ia memanggil Zaid bin Sabit dan menceritakan dialognya dengan Umar. Kemudian katanya: "Anda masih muda, cerdas dan kami tidak meragukan kau. Anda penulis wahyu untuk Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam. Sekarang lacaklah Qur'an itu dan kumpulkanlah." Seperti Abu Bakr Zaid juga ragu. Kemudian Allah membukakan hatinya seperti terhadap Abu Bakr dan Umar. Selanjutnya Zaid bekerja melacak dan menghimpun Qur'an dari lempengan­lempengan, dari tulang-tulang bahu, kepingan-kepingan pelepah pohon kurma dan dari hafalan orang. Demikianlah, karena saran Umar itu pula maka Qur'an dikumpulkan dan sampai sekarang dipelihara seperti ke­tika dikumpulkan dulu, sehingga sehubungan dengan ini Orientalis Inggris William Muir berkata: "Di seluruh belahan bumi ini rasanya tak ada sebuah kitab pun selain Qur'an yang sampai dua belas abad lama­nya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan cermat."
Ada pula sumber yang menyebutkan bahwa Umar-lah yang per­tama menghimpun Qur'an dalam satu jilid kitab (mushaf). Pendapat ini bertentangan dengan sumber-sumber yang mutawatir.[8] Tetapi sumber­sumber yang mutawatir ini mengakui bahwa karena jasa Umar dengan sarannya kepada Abu Bakr sampai dapat meyakinkan untuk meng­himpun Qur'an itu. Sekiranya Umar tidak menyadari apa yang akan mungkin menimpa para penghafal Qur'an di tempat-tempat lain selain Yamamah, dan segala akibatnya dengan banyaknya Qur'an yang hilang, barangkali tidak terpikir oleh Abu Bakr untuk menghimpunnya dan tidak akan berani pula. Bahkan sekiranya Umar tidak mengoreksi Abu Bakr ketika mengatakan: "Bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah" dan tidak dapat meyakinkannya betapa pentingnya menghimpun Qur'an, tentu Abu Bakr tidak ter­dorong untuk melakukannya, dan tidak akan memanggil Zaid bin Sabit untuk mengerjakannya. Kalau Abu Bakr juga telah berjasa dalam pe­kerjaan yang besar ini sehingga Ali bin Abi Talib berkata: "Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakr, orang yang paling besar j asanya dalam mengumpulkan Qur'an, maka sudah tentu dalam pahala dan jasa itu sekaligus Umar juga bersama-sama. Sungguh Muslimin sangat ber­utang budi kepadanya, begitu juga kepada Abu Bakr dalam mengum­pulkan Kitabullah itu. Ini merupakan salah satu dari tiupan jiwa besarnya, tiupan yang membawa berkah paling agung dan mulia, yang telah memberikan segala yang terbaik.
Barangkali di atas sudah kita lihat sejauh mana peranan Umar pada masa Abu Bakr. Kita lihat dia pada masa itu — sama seperti ketika mendampingi Rasulullah — ia lebih berperan sebagai orang yang mem­punyai banyak gagasan dan kebijakan politik yang luar biasa, daripada sebagai orang lapangan dan di medan perang. Bahkan sudah kita lihat bagaimana ia menentang Abu Bakr dalam hal memerangi orang yang tak mau membayar zakat. Begitu juga sebelum itu, ia menentang me­neruskan pengiriman pasukan Usamah. Sesudah kemudian ia melihat politik jihad membawa keunggulan dan kemenangan, ia pun menerima­nya dan mendukung Abu Bakr dengan sungguh-sungguh. Bukankah politik jihad itu yang telah dapat menumpas kaum murtad dan me­ngembalikan mereka ke pangkuan Islam, dan seluruh Semenanjung Arab bernaung di bawah satu panji? Bukankah politik ini juga yang telah membukakan pintu Irak dan pada gilirannya merambah jalan ke Persia? Tidak heran jika Umar benar-benar yakin dan langsung mem­berikan dukungannya pada setiap langkah yang sudah diyakininya.

Sikapnya tentang pembebasan Syam

Sesudah Khalid bin Walid mendapat kemajuan di Irak, dan berita kemenangannya berkumandang ke seluruh Semenanjung Arab dan sekitarnya, Abu Bakr bermaksud hendak membebaskan pula Syam. Pada suatu pagi ia mengundang beberapa pemuka, dan terutama Umar. Dikatakannya kepada mereka bahwa Rasulullah dulu bermaksud men­curahkan perhatiannya ke daerah Syam, tetapi dengan kehendak Allah ajal telah mendahuluinya. "Orang-orang Arab itu seibu sebapa dan saya ingin meminta bantuan mereka menghadapi Rumawi di Syam. Jika di antara mereka ada yang tewas, mereka akan mati syahid. Apa yang dari Allah, itulah yang lebih baik bagi mereka yang berbakti. Dan mereka yang masih hidup di antaranya, hidup mereka mempertahankan agama. Allah Yang Mahakuasa akan memberi pahala kepada mereka sebagai mujahid." Abu Bakr meminta pendapat mereka dalam hal ini. Yang pertama sekali memberikan jawaban Umar bin Khattab dengan me­ngatakan: "Setiap kami berlomba untuk segala yang baik ternyata Anda sudah lebih dulu dari kami. Sebenarnya saya ingin menemui Anda justru untuk membicarakan pendapat yang Anda sebutkan itu. Apa yang sudah ditentukan Allah untuk itu, itu pula yang Anda sebutkan. Allah telah membimbing Anda ke jalan yang benar. Kirimkanlah berturut­turut pasukan berkuda, perwira demi perwira dan prajurit demi prajurit. Allah 'azza wa jalla akan membela agama-Nya, akan memperkuat Is­lam dan pemeluknya dan akan menunaikan apa yang sudah dijanjikan kepada Rasul-Nya."
Orang-orang yang hadir tidak begitu bersemangat terhadap seruan itu kendati yang berbicara Abu Bakr dan Umar. Malah mereka masih mendiskusikan kehebatan Rumawi. Selesai mereka berbicara, kembali Abu Bakr mengulangi seruannya agar mereka bersiap-siap. Mereka diam. Tetapi Umar berteriak kepada mereka: "Kaum Muslimin sekalian, mengapa kalian tidak menjawab seruan Khalifah yang mengajak kalian untuk hal-hal yang akan menghidupkan iman kalian?" Dengan teriakan itu mereka tersentak. Sekarang mereka menerima seruan jihad itu meskipun yang mereka utamakan agar Khalifah meminta bantuan Yaman dan seluruh Semenanjung untuk menghadapi musuh.
Sekali lagi di sini kita merenung sejenak. Perubahan yang sekarang tiba-tiba terjadi pada Umar, dan sampai mendukung politik perang dengan begitu bersemangat, memperkuat gambaran kita terdahulu mengenai jalan pikirannya. Kita bertambah yakin bahwa dulu ia orang lapangan yang tidak begitu menghiraukan konsep yang hanya untuk konsep semata, bahkan terhadap pengaruh yang tampak dalam kenyataan hidup. Itulah yang kita sebutkan ketika kita menggambarkan jalan pikirannya dulu waktu ia masuk Islam. Berbaliknya Umar dari politik yang sangat berhati-hati kepada politik yang agresif pada masa pemerintahan Abu Bakr tambah memperjelas gambaran tersebut. Waktu itu ia sangat menjauhi Islam dan memusuhi kaum Muslimin ketika Muslimin belum mempunyai kekuatan yang dapat dibanggakan. Ia melihat keberadaan mereka berbahaya terhadap ketertiban Mekah dan kedudukan agamanya. Sesudah melihat Muslimin begitu tabah dengan agama mereka dan bersedia menanggung segala penderitaan dan pengorbanan demi agama, sampai pun mereka keluar meninggalkan tanah air, barulah dia lihat bahwa dalam agama baru ini ada kekuatan yang dapat melengkapi jiwa pemeluknya, dan dia yakin bahwa mereka tak akan dapat dikalahkan. Saat itulah ia mulai mengoreksi dirinya, dan apa yang sudah didengarnya dari Qur'an menjadi bahan pemikirannya, sampai akhirnya ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta segala yang datang dari Allah. Sesudah beriman ia mendukung Muslimin dengan kekuatan semangat yang sama seperti ketika dulu ia memerangi mereka. Dulu ia menentang politik Abu Bakr dalam soal perang. Tidak senang ia dengan pengiriman Usamah dan tidak pula setuju dengan tindakannya memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat. Sesudah Abu Bakr menyiapkan Medinah untuk memerangi kaum mur­tad itu ia menjauhkan diri. Kalangan sejarawan hampir tidak menyebut­nyebut mengenai pandangannya ketika itu. Tetapi politik Abu Bakr mengenai perang ternyata berhasil dan dapat menumpas pembangkang itu sampai ia dapat membebaskan Irak. Ketika itulah Umar berbalik memberikan dukungan dengan segala kemampuannya, seperti tatkala dulu ia sudah mulai beriman ia berbalik mendukung Islam dengan se­gala kekuatannya.
Karena adanya orientasi baru ini dalam pemikiran Umar, ada juga pengaruhnya kemudian terhadap penggantian Abu Bakr kepada Umar, dan terhadap politik pembebasan yang berhasil yang dipelopori oleh Khalifah pertama ini. Setelah itu kita akan melihat bagaimana semangat Umar terhadap politik ini yang sampai dapat membangun Kedaulatan Islam di atas puing-puing kedua imperium besar Persia dan Rumawi itu.

Umar dan sistem kelas dalam masyarakat

Tetapi perubahan yang terjadi dalam orientasi politik Umar ketika itu tidak pula disertai perubahan pemikirannya dalam bidang sosial. Dalam beberapa masalah pokok, pemikiran Umar dari segi sosial ber­beda dengan pemikiran Abu Bakr yang adakalanya sampai sangat ber­lawanan. Abu Bakr cenderung mempersamakan semua kaum Muslimin, tidak hendak membeda-bedakan yang Arab dan yang bukan-Arab, dan antara yang mula-mula dalam Islam dan yang kemudian. Pada masanya di dekat Medinah terdapat sebuah tambang emas dan pembagian emas yang dihasilkan dari tambang tersebut dipersamakan antara kaum Muslimin. Ketika dikatakan kepadanya tentang kelebihan mereka yang sudah lebih lama dalam Islam sesuai dengan kedudukan mereka, ia menjawab: "Mereka menyerahkan diri kepada Allah dan untuk itu mereka patut mendapat balasan; Dia Yang akan memberi ganjaran di akhirat. Dunia ini hanya tempat menyampaikan." Ia mengajak orang­orang Mekah bermusyawarah untuk menyerbu Syam dan meminta bantuan mereka seperti yang telah dilakukannya terhadap penduduk Medinah. Tetapi kebalikannya Umar, ia dengan pemikirannya itu lebih cenderung pada sistem kelas (bertingkat). Ia mengutamakan mereka yang sudah lebih dulu dalam Islam, dan lebih utama lagi dari mereka adalah keluarga Rasulullah (ahlul bait). Pemikiran Umar demikian telah meninggalkan bekas dalam kehidupan umat Islam, dan dalam politik kedaulatan Islam telah mengemudikan sejarah Islam selama berabad­abad, yang sampai sekarang masih berbekas. Nanti akan kita lihat bilamana pembicaraan sudah sampai pada soal administrasi negara dan - tentang sistem pemerintahan, yang sudah tak dapat disangsikan lagi.
Pada masa Abu Bakr Umar tidak menyembunyikan kecenderung­annya untuk lebih mengutamakan kelas-kelas tertentu. Tatkala Abu Bakr mengajak orang-orang Mekah bermusyawarah untuk menyerbu Syam dan meminta bantuan mereka seperti yang telah dilakukannya terhadap penduduk Medinah, Umar langsung menentang, yang dasarnya ingin menjaga agar kaum Muhajirin dan Ansar yang mula-mula dalam Islam didahulukan dari kaum Muslimin yang lain dalam soal kekuasaan dan dalam mengemukakan pendapat. Pendapat Umar ini ditentang oleh Suhail bin Amr dengan mengatakan: "Bukankah kami saudara-saudara kalian dalam Islam dan saudara seayah dalam keturunan? Karena dalam hal ini Allah telah memberi kedudukan kepada kalian, yang tak ada pada kami, lalu kalian mau memutuskan hubungan silaturahmi dan tidak menghargai hak kami ! ?" Umar menjawab terus-terang: "Seperti yang Anda lakukan, apa yang sudah saya sampaikan kepada kalian hanyalah sebagai nasihat dari orang yang sudah lebih dulu dalam Islam, dan lebih sesuai dengan keadilan yang berlaku antara kalian dengan Muslimin yang lebih berjasa daripada kalian."
Apa yang dilihat Umar dengan lebih mengutamakan orang-orang yang sudah lebih dulu dalam Islam dan veteran Badr serta keluarga Rasulullah, dasarnya bukanlah karena didorong nafsu, tetapi karena ingin memberikan kepuasan. Baginya tak ada pengaruh apa-apa dalam berhubungan dengan mereka semua dan dalam keadilannya terhadap mereka pada masa pemerintahan Abu Bakr dan pada masa pemerin­tahannya sendiri. Soalnya karena keadilan memang sudah menjadi bawaannya. Arti keadilan dalam dirinya sudah lengkap, gambarannya sudah menjelma dalam nuraninya. Selama dua tahun ia menjabat sebagai hakim dalam pemerintahan Abu Bakr tak pernah ada dua orang yang bersengketa mendatanginya sampai berulang-ulang. Kesibukan kaum Muslimin menghadapi pertempuran, Perang Riddah, pembebasan Irak dan Syam sudah tentu besar sekali pengaruhnya terhadap semua itu. Sudah tentu juga, Umar yang terkenal karena keadilannya sangat besar pula pengaruhnya. Beberapa faktor yang mendorong orang untuk berperkara, karena pihak yang bersalah mengharapkan hakim akan bertindak salah dan menyimpang dari jalan yang benar atau bertindak berat sebelah lalu menyimpang dari yang semestinya. Tetapi orang tidak melihat, bahwa dalam hal mencari keadilan Umar tidak pernah bertindak berat sebelah terhadap siapa pun, atau memeriksa suatu perkara tidak cermat dan tanpa diteliti sungguh-sungguh untuk me­nemukan kebenaran itu sampai kemudian dapat diungkapkan. Dengan sikapnya yang demikian tidak heran orang yang berperkara akan datang kepadanya untuk memperoleh kebenaran dan keadilan itu. Juga tidak heran j ika orang yang j ahat takut sekali akan kena tamparannya dan terpukul oleh kejahatannya sendiri dan kebenaran dikembalikan kepada yang berhak.
Sejak awal pertumbuhannya keadilan sudah menjadi sifat dasar Umar — sudah menjadi bawaannya. Kemudian cita keadilan itu tumbuh dalam dirinya sampai mencapai kesempurnaannya. sebab dengan akal pikiran dan nuraninya ia sudah berada di atas segala nafsu kehidupan dunia sehingga ia tak dapat dikuasai oleh nafsu. Di masa mudanya ia bekerja sebagai pedagang dan hasilnya dapat memberi makan baginya dan bagi keluarganya, rezeki yang sekadar cukup, bukan yang ber­lebihan atau bermewah-mewah. Dalam perdagangan ia pergi ke Irak, ke Syam dan ke Yaman. Di tempat-tempat yang dikunjunginya itu lebih cenderung ia untuk bertemu dengan para amir dan kalangan terpelajar­nya untuk menambah pengetahuan dengan jalan berbicara dengan mereka, daripada untuk memperoleh keuntungan dari perdagangannya dan kemudian menjadi kaya. Sesudah menjadi Muslim, sedikit demi sedikit keislamannya diarahkan pada penyucian diri, dan untuk itu ia sendiri hidup sebagai seorang zahid. Karenanya, ia tidak memerlukan segala yang ada di tangan orang, ia tak merasa memerlukan mereka, juga ia tak mempunyai maksud apa-apa dengan mereka. Barangkali sikap kerasnya yang sudah terkenal itu, itu pula yang mendorong dan membantunya bersuci diri. Ia tidak peduli akan mengatakan kepada siapa pun apa yang diyakininya tanpa harus mengambil hati atau mengharapkan orang senang atau tidak. Bukankah begitu selesai Per­janjian Hudaibiah ia menemui Rasulullah dan mengatakan: "Bukankah Anda Rasulullah? Bukankah kita Muslimin? Bukankah mereka musyrik? Mengapa kita mau merendahkan diri kita dalam soal agama kita?" Keberaniannya itu tidak dibuat-buat atau akan dij adikannya kebanggaan yang tidak diperlukannya, dari siapa pun seperti yang suka dilakukan orang, j ika memerlukan sesuatu bermuka manis dan merayu-rayu. Yang berlaku demikian hanya orang yang sudah tergoda dan dikuasai dunia. Tetapi orang yang dapat menguasai dunia ia sudah tidak memerlu­kannya lagi. Ia tidak mau merayu-rayu dan bermanis-manis muka. Begitulah orang yang berjiwa besar dengan hati yang bersih. Dalam hal ini Umar berada di barisan terdepan.
Sifat-sifat demikian yang sudah menyatu dalam diri Umar, mem­buatnya lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan dirinya, keluarga atau kerabatnya. Pertimbangan ini yang kemudian membawanya sampai ia yakin pada politik Abu Bakr dalam hal pembebasan Irak dan Syam, dan menyebabkan Abu Bakr menilainya pantas ia menjadi penggantinya dalam memimpin umat. Tetapi Umar orangnya keras dan kasar. Ini pula yang membuat banyak orang bijak tidak suka berhubungan dengan dia, padahal orang-orang bijak itu yang menjadi pembantu-pembantu dekat Khalifah dalam mengatur politik negara. Apabila hubungan antara kedua pihak terputus dan tidak lagi membantunya dengan nasihat atau pendapat, maka sulitlah ia akan da­pat mengatur mereka dan mengatur negara dengan pendapat mereka. Tidakkah sebaiknya Abu Bakr mempertimbangkan sifat-sifat Umar dan kebijakan politiknya itu dengan watak kerasnya yang sudah menjadi bawaannya, yang bukan tidak mungkin akan merusak suasana, di samping itu tak akan dapat digantikan oleh ciri-ciri khasnya yang lain?
Hal ini yang selalu menjadi pikiran Abu Bakr ketika dalam sakitnya ia merasa akan berakhir dengan kematian. Perlukah Muslimin dibiarkan memilih sendiri, tanpa memberi pendapat atau mencalonkan seorang pengganti, dan ini pula teladan yang diperolehnya dari Rasulul­lah? Inilah cara yang paling mudah dan ringan. Tetapi yang teringat oleh Abu Bakr peristiwa Saqifah Bani Sa'idah dan sikap Ansar, dan teringat apa yang hampir terjadi ketika itu kalau Allah tidak memper­satukan tekad Muslimin dengan segera membaiatnya. Kalau sampai terjadi perselisihan di kalangan Muslimin sewaktu-waktu ia meninggal, maka perselisihan itu akan lebih parah dan lebih berbahaya, yang akan terjadi hanya antara kaum Muhajirin dengan Ansar sendiri sesudah tokoh-tokoh yang lain masih terlibat dalam perjuangan di Irak dan di Syam dalam menghadapi Persia dan Rumawi. Jika Abu Bakr meninggal lalu terjadi perselisihan, perselisihan demikian akan berkembang men­jadi kerusuhan, yang mungkin berkecamuk ke seluruh negeri Arab. Suasana akan menjadi kacau dan politik perluasan yang baru dimulai itu akan berakhir. Tetapi kalau penggantinya sudah ditunjuk dan Mus­limin sepakat dengan orang yang ditunjuk, maka apa yang dikhawatirkan itu akan dapat dihindari. Kalaupun Rasulullah tidak menunjuk peng­ganti, soalnya supaya jangan ada yang mengira bahwa pengganti yang ditunjuk itu sudah ditentukan bagi kaum Muslimin dengan wahyu dari Allah, sehingga ia akan menjadi Khalifatullah — pengganti Tuhan. Kalau Abu Bakr yang menunjuk penggantinya, hal serupa itu tak perlu dikhawatirkan dan kaum Muslimin dapat dihindarkan dari perselisihan, politik perluasan dapat diteruskan dan akan berhasil. Ini sajalah di­laksanakan. Biarlah Umar menjadi penggantinya. Biarlah Muslimin bersatu menerimanya. Kalau kesepakatan itu dapat diwujudkan, maka itulah jaminan dari Allah yang akan memberikan kemenangan kepada agama-Nya.

Abu Bakr menunjuk Umar seba gai pen gganti

Pagi itu ia memanggil Abdur-Rahman bin Auf dan ia menanyakan tentang Umar. "Dialah yang mempunyai pandangan terbaik, tetapi dia terlalu keras," kata Abdur-Rahman. "Ya, karena dia melihat saya terlalu lemah lembut," kata Abu Bakr. "Kalau saya menyerahkan masalah ini ke tangannya, tentu banyak sifatnya yang akan ia tinggalkan. Saya perhatikan dan lihat, kalau saya sedang marah kepada seseorang karena sesuatu, dia meminta saya bersikap lebih lunak, dan kalau saya mem­perlihatkan sikap lunak, dia malah meminta saya bersikap lebih keras." Setelah Abdur-Rahman keluar ia memanggil Usman bin Affan dan ditanyanya tentang Umar. "Semoga Allah telah memberi pengetahuan kepada saya tentang dia," kata Usman, "bahwa isi hatinya lebih baik dari lahirnya. Tak ada orang yang seperti dja di kalangan kita." Se­sudah Usman pergi Abu Bakr meminta pendapat Sa'id bin Zaid dan Usaid bin Hudair dan yang lain, baik Muhajirin maupun Ansar. Ia ingin sekali mereka seia sekata tentang kekhalifahan Umar. Beberapa orang sahabat Nabi ketika mendengar saran-saran Abu Bakr mengenai pe­nunjukan Umar sebagai khalifah, mereka merasa khawatir mengingat bawaan Umar memang begitu keras dan karena kekerasannya itu umat akan terpecah belah. Mereka sependapat akan memohon kepada Khalifah untuk menarik kembali maksudnya itu. Sesudah meminta izin mereka masuk menemuinya, dan Talhah bin Ubaidillah yang berkata: "Apa yang akan Anda katakan kepada Tuhan kalau Anda ditanya tentang ke­putusan Anda menunjuk Umar sebagai pengganti, yang akan memimpin kami. Sudah Anda lihat bagaimana ia menghadapi orang padahal Anda ada di sampingnya. Bagaimana pula kalau sudah Anda tinggalkan?!" Mendengar itu Abu Bakr marah dan berteriak kepada keluarganya: Dudukkan saya. Sesudah didudukkan ia berkata, dengan air muka yang masih memperlihatkan kemarahan: "Untuk urusan Allah kalian meng­ancam saya?! Akan kecewalah orang yang menyuruh berbuat kezaliman! Saya berkata: Demi Allah, saya telah menunjuk pengganti saya yang akan memimpin kalian, dialah orang yang terbaik di antara kalian!" Kemudian ia menujukan kata-katanya kepada Talhah: "Sampaikan kepada orang yang di belakang Anda apa yang saya katakan kepada Anda ini!"
Abu Bakr merasa sangat letih karena percakapan itu. Dengan senang hati orang sudah sepakat tentang kekhalifahan Umar. Semalam­an itu ia tak dapat tidur. Keesokan harinya datang Abdur-Rahman bin Auf menemuinya setelah saling memberi hormat. Abu Bakr berkata, seolah kejadian kemarin itu masih melelahkannya: "Saya menyerahkan persoalan ini kepada orang yang terbaik dalam hatiku. Tetapi kalian, merasa kesal karenanya, menginginkan yang lain." Abdur-Rahman menjawab: "Tenanglah, semoga Allah memberi rahmat kepada Anda. Hal ini akan membuat Anda sangat letih. Dalam persoalan ini ada dua pendapat orang: orang yang sependapat dengan Anda berarti ada di pihak Anda, dan orang yang berbeda pendapat dengan Anda berarti mereka juga memberikan perhatian kepada Anda. Kawan Anda ialah yang Anda senangi. Yang kami ketahui Anda hanya mencari yang terbaik, dan Anda masih tetap berusaha ke arah itu."
Merasa tidak cukup hanya bermusyawarah dengan orang-orang bijaksana di kalangan Muslimin, terutama setelah ada pihak yang menentang, dari dalam kamar di rumahnya itu Abu Bakr menjenguk kepada orang-orang yang ada di Masjid, dan berkata kepada mereka:
"Setujukah kalian dengan orang yang dicalonkan menjadi pemimpin kalian? Saya sudah berijtihad menurut pendapat saya dan tidak saya mengangkat seorang kerabat. Yang saya tunjuk menjadi pengganti adalah Umar bin Khattab. Patuhi dan taatilah dia!" Mereka menjawab: "Kami patuh dan taat." Ketika itu ia mengangkat tangan ke atas seraya berkata: "Ya Allah, yang kuinginkan untuk mereka hanyalah yang ter­baik untuk mereka. Aku khawatir mereka dilanda kekacauan. Aku sudah bekerja untuk mereka dengan apa yang sudah lebih Kauketahui. Setelah aku berijtihad dengan suatu pendapat untuk mereka, maka untuk memimpin mereka kutempatkan orang yang terbaik di antara mereka, yang terkuat menghadapi mereka dan paling berhati-hati agar mereka menempuh jalan yang benar." Setelah orang banyak mendengar doanya itu apa yang dilakukannya mereka makin yakin.
Kemudian Abu Bakr memanggil Umar dengan pesan dan wasiat supaya perang di Irak dan Syam diteruskan dan jangan bersikap lemah lembut, juga diingatkannya kewajiban orang yang memegang tampuk pimpinan umat untuk selalu berpegang pada kebenaran, dan bahwa di samping menyebutkan ayat kasih sayang Allah juga menyebutkan ayat tentang azab, supaya pada hamba-Nya ada harapan dan rasa takut. Yang diharapkan dari Allah hanyalah kebenaran. Jika wasiat ini dijaga, tak ada perkara gaib yang lebih disukai daripada kematian, dan kehendak Allah tak akan dapat dikalahkan.
Sesudah Abu Bakr selesai berwasiat Umar keluar, pikirannya dipa­dati oleh persoalan ini belaka, yang sekarang dipikulkan ke pundaknya. Harapannya sekiranya Abu Bakr sembuh dari sakitnya untuk meng­hadapi peristiwa yang sangat gawat ini. Tetapi tanggung jawab yang dipikulkan ke bahunya itu akan diterimanya tanpa ragu bila waktunya sudah tiba. Itulah tanggung jawab besar dan beban yang sungguh berat. Tetapi siapa orang yang seperti Umar bin Khattab yang akan dapat memikul tanggung jawab ini? Umar tampil dengan segala kemauan dan kekuatannya. Ia melepaskan dunia ini sesudah penyebaran Islam sampai ke Persia, Syam dan Mesir dan sebuah kedaulatan Islam dengan dasar yang sangat kukuh berdiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar