UMAR DI MASA ABU BAKR
Umar
yakin sudah bahwa Rasulullah sudah wafat. Ia mulai berpikir mengenai masa depan
umat Islam sepeninggal Nabi. Situasi itu memang memerlukan pemikiran yang mendalam.
Andaikata orangorang Arab[1] terus
berselisih di antara sesama mereka, niscaya Islam akan menghadapi bahaya besar. Mereka yang tinggal
jauh dari Mekah dan Medinah, di pelbagai kawasan di Semenanjung itu tidak
dapat menyembunyikan kejenuhan mereka
terhadap kekuasaan Kuraisy dan kekuasaan Medinah. Kejenuhan terhadap kekuasaan
inilah yang membuat al-Aswad
al-'Ansi di Yaman memberontak. Dia juga yang membela Banu Hanifah di Yamamah
supaya mendukung Musailimah bin Habib ketika ia mendakwakan dirinya nabi dan
membela Banu Asad supaya mendukung Tulaihah bin Khuwailid yang juga
mendakwakan dirinya nabi. Apa pula gerangan nasib yang akan menimpa Islam
sepeninggal Rasulullah kalau kaum Muslimin tidak benar-benar teguh hati dalam menghadapi keadaan yang begitu genting
dengan tetap bersatu dan hati tabah?
Umar di Saqifah Banu Sa'idah
Hal
ini yang pertama kali dipikirkan Umar begitu ia yakin bahwa Rasulullah
sudah wafat. Dan ini akan segera terlihat dengan jelas bahwa
j ika keadaan dibiarkan dan tidak ada orang yang dapat segera mengambil langkah
dan mengatur strategi Muslimin yang tepat, kaum Muhajirin dan Ansar hampir saja terjerumus ke
dalam perselisihan, dan di segenap
penjuru negeri akan berkobar pemberontakan. Oleh karena itu cepat-cepat ia
menyeruak ke tengah-tengah jemaah Muslimin di Masjid membicarakan kematian Rasulullah. Ia terus
menuju tempat Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan katanya: "Bentangkan tangan Anda
akan saya baiat Anda. Andalah orang kepercayaan umat[2] ini atas dasar
ucapan Rasulullah." Mendengar kata-kata
Umar itu Abu Ubaidah terpengarah.
Ia sadar, mengenai umat Islam sekarang ini memang perlu ada keputusan cepat. Tetapi pendapat Umar tidak
disetujuinya. Ditatapnya laki-laki
itu seraya katanya: "Sejak Anda masuk Islam tak pernah Anda tergelincir. Anda akan memberikan sumpah
setia kepada saya padahal masih ada
Abu Bakr, 'salah seorang dari dua orang'."[3] Sementara kedua orang itu sedang berpikir mengenai
persoalan genting ini, tiba-tiba
datang berita bahwa Ansar sudah berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah, dengan tujuan agar pimpinan
Muslimin di tangan mereka. Saat itu juga Umar cepat-cepat mengutus orang kepada
Abu Bakr di rumah Aisyah agar segera
datang. Abu Bakr menjawab melalui utusan itu, bahwa dia sedang sibuk.
Tetapi Umar menganggap keadaan Muslimin
lebih penting untuk sekadar meninggalkan kesibukan itu sebentar kendati
sedang mempersiapkan jenazah Rasulullah. Sekali lagi Umar mengutus orang kepada Abu Bakr dengan pesan:
"Telah terjadi sesuatu yang sangat memerlukan
kehadirannya."
Abu
Bakr pun kemudian datang dan menanyakan: Apa yang terjadi
ia harus meninggalkan persiapan jenazah Rasulullah? "Anda tidak
tahu," kata Umar, "bahwa pihak Ansar sudah berkumpul di Serambi
Banu Sa'idah hendak menyerahkan pimpinan ke tangan Sa'd bin
Ubadah. Ucapan yang paling baik ketika ada yang mengatakan: Dari kami seorang
amir dan dari Kuraisy seorang amir?" Abu Bakr melihat
keadaan memang sangat berbahaya. Cepat-cepat ia berangkat disertai
Umar dan Abu Ubaidah menuju Saqifah.
Begitu
mereka sampai Abu Bakr yang memimpin perdebatan Ansar dengan sikapnya yang
bijaksana dan lemah lembut. Umar berdiri di sampingnya mengawasi apa yang akan terjadi,
setelah melihat Hubab bin Munzir
membakar semangat Ansar supaya menentang jika tak ada seorang amir
dari mereka dan seorang amir dari Muhajirin.
"Bah!"
kata Umar. "Jangan ada dua kemudi dalam satu perahu. Orang-orang
tidak akan mau mengangkat kalian sedang nabinya bukan dari
kalangan kalian. Tetapi mereka tidak akan keberatan mengangkat seorang pemimpin
selama kenabian dari kalangan mereka. Alasan dan kewenangan kami sudah jelas buat mereka yang masih
menolak semua itu. Siapakah yang mau membantah kewenangan dan
kepemimpinan Muhammad sedang kami adalah
kawan dan kerabat dekatnya — kecuali buat orang yang memang cenderung hendak berbuat
batil, berbuat dosa dan gemar
mencari-cari malapetaka!" Hubab menjawab dengan meminta kepada Ansar
supaya mengeluarkan kaum Muhajirin dari Medinah atau mereka harus berada di
bawah pimpinan Ansar. Kemudian kata-katanya ditujukan kepada ketiga orang Muhajirin itu: "Ya,
demi Allah, kalau perlu biar kita yang memulai peperangan." Mendengar ancaman
itu Umar membalas: "Mudah-mudahan Allah memerangi kamu!" Hubab pun
menjawab lagi: "Bahkan Andalah yang harus diperangi!"
Kedua
ungkapan itu telah membangkitkan kemarahan di hati mereka, Melihat situasi
demikian Abu Ubaidah bin Jarrah segera turun tangan
dan berkata yang ditujukan kepada penduduk Medinah: "Saudarasaudara
Ansar! Kalian adalah orang yang pertama memberikan bantuan dan
dukungan, janganlah sekarang menjadi orang yang pertama pula mengadakan
perubahan dan perombakan."
Kata-kata
ini dapat meredakan kemarahan mereka. Mereka mulai berdiskusi dengan saling mengemukakan argumen.
Basyir bin Sa'd, salah seorang
pemimpin Khazraj bergabung kepada pihak Muhajirin. Dengan demikian Ansar tidak lagi seia sekata. Abu
Bakr memperkirakan bahwa keadaan
sudah reda dan sudah saatnya mengambil keputusan. Ia mengajak orang-orang supaya bergabung dan
mengingatkan jangan terpecah belah. Kemudian ia mengangkat tangan Umar
dan Abu Ubaidah seraya berseru: "Ini Umar
dan ini Abu Ubaidah, berikanlah ikrar kalian kepada yang mana saja yang kalian
sukai." Tetapi Umar tidak akan membiarkan perselisihan menjadi perkelahian yang
berkepanj angan. Dengan suaranya yang lantang menggelegar ia berkata:
"Abu Bakr, bentangkan tangan Anda"
Abu Bakr membentangkan tangan dan oleh Umar ia diikrarkan seraya.
katanya: "Abu Bakr, bukankah Nabi menyuruh
Anda memimpin Muslimin bersembahyang? Andalah penggantinya (khalifahnya).
Kami akan membaiat1 orang yang paling disukai oleh Rasulullah di antara kita semua
ini." Menyusul Abu Ubaidah memberikan ikrar dengan mengatakan: "Andalah
di kalangan Muslimin yang paling mulia dan
yang kedua dari dua orang dalam gua, menggantikan Rasulullah dalam salat, sesuatu yang
paling mulia dan utama dalam agama kita. Siapa lagi yang lebih pantas
dari Anda untuk ditampilkan dan memegang pimpinan kita!" Setelah itu
berturut-turut jemaah Saqifah membaiat Abu
Bakr secara aklamasi, tak ada ketinggalan kecuali Sa'd bin Ubadah. Selesai
membaiat mereka kembali ke Masjid
menanti-nantikan berita dari rumah Aisyah mengenai persiapan jenazah Rasulullah. Keesokan harinya
sementara Abu Bakr sedang di Masjid, Umar tampil di depan kaum Muslimin
meminta maaf mengenai pernyataannya bahwa Nabi tidak wafat. "Kepada
Saudarasaudara kemarin saya mengucapkan kata-kata yang tidak terdapat dalam
Qur'an, ataupun suatu pesan yang tak pernah
disampaikan Rasulullah kepada saya.
Tetapi ketika itu saya berpendapat bahwa Rasulullah akan mengemudikan segala urusan kita dan akan tetap
demikian sampai akhir hidup kita. Yang tetap ditinggalkan untuk kita oleh Allah
ialah Kitab-Nya, yang dengan itu telah membimbing Rasul-Nya. Kalau kita
berpegang teguh pada Kitabullah, kita akan mendapat bimbingan Allah, yang juga
dengan itu Allah telah membimbing Rasul-Nya. Allah telah memutuskan segala persoalan kita demi kebaikan
kita, sahabat Rasulullah
Sallallahu 'alaihi wa sallam dan yang kedua dari dua orang
ketika di dalam gua,
maka marilah kita baiat." Semua
orang kemudian sama-sama memberikan baiat (ikrar) yang dikenal sebagai
Baiat Umum setelah Baiat Saqifah.
Inilah
sikap Umar yang pertama sepeninggal Rasulullah. Seperti sudah
kita saksikan, ini merupakan sikapnya yang sangat bijaksana, berpandangan jauh
ke depan dan strategi politik yang baik sekali. Ini jugalah sikapnya dalam mencalonkan pimpinan umat.
Kemampuannya membuktikan ia dapat
mengemudikan negara yang baru tumbuh ini, dengan tidak menghiraukan
kepentingan pribadinya, dan segala pemikirannya hanya ditujukan untuk kepentingan umat
dan kedisiplinan yang tinggi. Karena
tak dapat menahan duka dengan wafatnya Rasulullah yang dirasakannya sangat
tiba-tiba, Umar tidak percaya bahwa yang demikian dapat terjadi. Sesudah kemudian yakin
bahwa Rasulullah sudah wafat, pikiran sehatnya kini dapat menguasai
perasaannya, kesedihannya tak sampai
mempengaruhinya untuk berbicara dengan Abu Ubaidah dalam menghadapi
bahaya yang sedang mengancam umat Islam:
bagaimana mengendalikan mereka serta mengarahkan strategi politik
umat. la tidak ingin berkuasa untuk
dirinya, walaupun ia mampu untuk itu. Bahkan
apa yang dipikirkannya itu bersih dari segala nafsu dan kepentingan
pribadi. Oleh karena itu cepat-cepat ia membaiat Abu Ubaidah. Tetapi tatkala orang kepercayaan umat
ini mengingatkannya bahwa dalam soal
ini Abu Bakrlah yang lebih tepat dan lebih berhak dari semua orang, tanpa ragu pendapatnya langsung
disetujuinya. Tak lama ketika
diketahuinya ada pertemuan di Saqifah, ia pun memanggil Abu Bakr untuk menghadapi kaum Ansar itu. Juga ia
tidak mundur untuk menghadapi mereka
ketika dikatakan kepadanya bahwa Ansar sudah mengambil keputusan dan
tidak akan mengubah keputusannya. Kepergiannya bersama kedua sahabatnya ke Saqifah
itu telah menentukan pengangkatan Abu Bakr dan bersatunya kembali umat
Islam.
Mengenai
apa yang dikatakan orang tentang ketidakhadiran Ali bin Abi
Talib dan Banu Hasyim dalam membaiat Abu Bakr, peranan Umar dalam
hal ini tidak pula kurang bijaksananya dari peranannya dalam hal Saqifah. Saya masih meragukan sumber-sumber
mengenai peristiwa ketidakhadiran ini. Saya sudah memberikan pendapat
mengenai hal ini ketika menguraikan soal pembaiatan Abu Bakr.[4] Tetapi saya tak
dapat memastikan bahwa Ali dan Banu Hasyim menyambut pembaiatan itu dengan senang hati seperti Muslimin yang lain.
Yang sudah pasti, hubungan Fatimah
putri Rasulullah dengan Abu Bakr sampai wafatnya tetap tidak baik. Adakah
yang demikian ini karena Abu Bakr tidak mau memenuhi tuntutan Fatimah atas warisan dari
ayahnya, ataukah karena ia melihat
suaminya lebih berhak sebagai khalifah daripada Abu Bakr? Dalam hal ini masih terdapat beberapa perbedaan
pendapat. Yang tidak lagi
diperselisihkan ialah bahwa Umar sependapat dengan Abu Bakr bahwa apa
yang ditinggalkan Nabi merupakan sedekah dan tak boleh diwariskan. Sudah tentu
pendapatnya ini akan membuat Fatimah marah. Adakah kemarahannya itu sampai menjurus pada
kemarahan Ali dan pada ancaman Umar dan tindakannya mengambil keputusan?
Apa pun yang terjadi, seperti yang diceritakan orang pengaruhnya mengenai ini
dalam sejarah Islam sampai sekarang masih
terasa. Karena pengaruh inilah,
setidak-tidaknya golongan Syiah dan golongan Alawi yang lain tidak mau
menghargai Umar, bahkan tidak senang kepadanya.
Politik Umar dan politik Abu Bakr
Kebijakan
Abu Bakr sesudah dibaiat, tidak ingin ia meninggalkan apa pun yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah, dan tidak akan melakukan
tindakan apa pun yang tidak dilakukan oleh Rasulullah. Oleh karena itu, perintah pertama yang dikeluarkan
dalam pemerintahannya ialah meneruskan pengiriman pasukan yang sudah
disiapkan Rasulullah dengan pimpinan Usamah
bin Zaid untuk menyerbu Rumawi di Syam. Sejak masa Rasulullah dulu kaum Muslimin memang
sudah tidak puas dengan perintah ini,
sebab Usamah masih terlalu muda dalam usianya yang belum mencapai dua puluh tahun itu. Yang
membuat mereka lebih tidak puas karena dikhawatirkan Medinah akan
terperangkap ke dalam bahaya kalau Medinah
ditinggalkan pasukan ini; orang-orang Arab akan menyerbunya dan akan mefongrong kewibawaannya.
Mereka berkata kepada Abu Bakr:
"Mereka [yakni pasukan Usamah] Muslimin pilihan, dan seperti Anda ketahui, orang-orang Arab sudah
memberontak kepada Anda. Maka
semestinya mereka terpisah dari Anda." Abu Bakr menjawab dengan cukup bijak: "Demi Yang memegang
nyawa Abu Bakr,[5] sekiranya ada
serigala akan menerkam saya, niscaya akan saya teruskan pengiriman pasukan Usamah ini, seperti
yang sudah diperintahkan Rasulullah
Sallallahu 'alaihi wa sallam. Sekalipun di kota ini sudah tak ada
orang lagi selain saya, tetap akan saya laksanakan!"
Sikap Umar-terhadap kaum murtad
Adakah
politik Umar dalam situasi semacam ini sama dengan politik
Abu Bakr dalam arti kekuatan dan kebijaksanaannya? Ada disebutkan bahwa Usamah
meminta kepada Umar agar memintakan izin kepada Abu Bakr memanggil pasukan ke Medinah untuk
membantu dalam menghadapi kaum musyrik. Dan kaum Ansar berkata kepada
Umar: "Kalau Abu Bakr menolak dan kami harus berangkat juga tolong sampaikan atas nama kami, agar yang memimpin kami
orang yang usianya lebih tua dari
Usamah." Permintaan Usamah dan permintaan Ansar itu oleh Umar tidak
ditolak. Ia langsung menernui Abu Bakr dan menyampaikan apa yang mereka minta.
Tetapi jawaban Khalifah: "S ekiranya saya yang akan disergap anjing dan
serigala, saya tidak akan mundur dari
keputusan yang sudah diambil oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam." Dan mengenai permintaan Ansar ia berkata:
"Celaka Anda Umar! Rasulullah
Sallallahu 'alaihi wa sallam yang menempatkan dia, lalu saya yang
akan mencabutnya?"
Pasukan
Usamah berangkat. Di antara anggota pasukannya itu terdapat
tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Ansar, termasuk Umar bin Khattab, yang tidak
berbeda dengan yang Iain, harus tunduk kepada kepemimpinan
Usamah sebagai komandan pasukan. Abu Bakr juga ikut pergi
melepas dan menyampaikan pesan kepada pasukan itu. Setelah tiba saatnya ia akan
kembali, ia berkata kepada Usamah: "Usamah, kalau
menurut pendapat Anda Umar perlu diperbantukan kepada saya, silakan." Usamah
mengizinkan Umar meninggalkan pasukannya itu dan kembali (ke Medinah) bersama
Abu Bakr.
Sebaiknya
kita berhenti sejenak untuk memberikan perhatian ten-tang
perbedaan haluan politik ini antara Abu Bakr dengan Umar. Abu Bakr
hanya seorang pengikut, bukan pembaru. Apa yang dikerjakan oleh
Rasulullah akan dikerjakannya. Terserah apa yang akan dikatakan oleh kaum
Muslimin, kendati mereka akan menentang pendapatnya. Ia tak akan mendengarkan
apa yang mereka katakan selama perintah itu dari Rasulullah. Perintah Rasulullah
agar meneruskan pengiriman pasukan
Usamah, maka perintah ini harus terlaksana. Biar Muhajirin dan Ansar berselisih, biar seluruh jazirah berontak.
Medinah sekalipun, biar terperangkap dalam bahaya. Semua itu tidak akan
membuat Abu Bakr mundur dari melaksanakan
perintah Rasulullah. Bukankah dia sudah menjadi pilihan Allah dan Qur'an
sudah diwahyukan kepadanya, sudal diberi janji kemenangan dan Allah akan menjaga
agama-Nya! Bagaimana seorang Muslim yang
sudah mengorbankan dirinya tidak akan melaksanakan perintahnya. Bagaimana
pula penggantinya yang pertama akan menjadi orang yang pertama pula
melanggar!
Sikapnya tentang Usamah
Bagi
Umar sudah menjadi kewajiban seorang politikus mempertimbangkan segala
peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Di antara sekian banyak peristiwa itu adanya perbedaan pendapat
antara Muhajirin dengan Ansar, yang pada masa Rasulullah tidak tampak,
seperti yang kemudian terjadi di Saqifah, dan pembangkangan orang-orang Arab
terhadap kekuasaan Medinah tidak setajam
pemberontakan baru setelah tersiar
berita tentang kematian Rasulullah di segenap penjuru Semenanjung Arab. Kaum Muslimin waktu itu sangat menaati
segala perintah Rasulullah dengan sungguh-sungguh dan penuh keimanan.
Abu Bakr tidak berhak menuntut orang agar
menaatinya seperti menaati Rasulullah yang sudah menjadi pilihan Allah.
Maka sudah seharusnya Khalifah memperhatikan semua masalah itu dan sudah
seharusnya pula ia menjadi seorang
politikus yang dapat mengatur segala persoalan dengan penalaran dan pandangan yang lebih tajam, sesudah tak ada
lagi kepengurusan atau kekuasaan
yang akan dapat mengawasinya dengan sungguh-sungguh dan sesudah wahyu pun
terputus dengan meninggalnya Rasulullah.
Ini
merupakan perbedaan dasar antara kedua tokoh itu dalam menjalankan politik negara. Tetapi perbedaan ini tak
sampai mengurangi penghargaan mereka masing-masing serta kecintaan dan
penghormatan mereka satu sama lain. Oleh karenanya, Umar tetap menjalankan
kewajibannya terhadap Abu Bakr, dan tidak lebih ia hanya menyampaikan pendapat kaum Muslimin dan dia mendukungnya dengan
alasannya sendiri. Setelah Abu Bakr
bersikeras dengan pendapatnya, Umar pun berangkat sebagai seorang prajurit yang berjuang
di jalan Allah di bawah pimpinan
Usamah. Mengapa tidak akan dilakukannya, dia pula yang telah membaiat Abu Bakr dan mengakuinya
sebagai pengganti Rasulullah. Abu Bakr pun menjalankan kewajibannya
terhadap Umar, dipilihnya ia sebagai wazir-nya, sebagai tangan kanannya,
untuk memberikan saran-saran kepadanya seperti kepada Rasulullah dulu. Dengan
demikian, hubungan antara kedua orang ini tetap akrab dan penuh keikhlasan,
saling menghormati dan bantu-membantu, demi kepentingan Islam dan kaum
Muslimin.
Perbedaan
pendapat demikian antara dua tokoh ini dengan pasukan Usamah masih terjadi dalam menghadapi
pendukung-pendukung Rumawi di bagian
utara Semenanjung Arab, yaitu tatkala kabilah-kabilah Abs dan Zubyan yang berdekatan dengan Medinah tak
mau menunaikan zakat. Abu Bakr berpendapat akan memerangi mereka, dan
menangkis alasan mereka yang menentang
pendapatnya dengan mengatakan: "Demi
Allah, orang keberatan menunaikan zakat kepada saya, yang dulu mereka lakukan
kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam, akan saya perangi." Umar termasuk orang yang
menentangnya dan yang berpendapat mengambil j alan damai dengan mereka
yang enggan membayar zakat itu dan lebih baik meminta bantuan mereka dalam
memerangi kaum pembangkang. Umar begitu keras dalam membela pendapatnya itu
sehingga kata-katanya agak tajam ditujukan kepada Abu Bakr: "Bagaimana kita akan memerangi orang
yang kata Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam; 'Aku diperintah memerangi orang sampai mereka berkata: Tiada tuhan selain Allah
dan Muhammad Rasul-Nya. Barang siapa berkata demikian, darah dan hartanya
dijamin, kecuali dengan alasan, dan
masalahnya kembali kepada Allah." Tantangan Umar itu dijawab oleh Abu Bakr
dengan mengatakan: "Demi Allah, saya akan memerangi siapa saja yang
memisahkan salat dengan zakat. Zakat adalah
kewajiban harta. Dan dia sudah berkata: 'sesuai dengan kewajiban zakat.'" Dengan perbedaan
pendapat yang demikian rupa, dengan tanggung jawab sepenuhnya yang harus
dipikulkan ke bahu Abu Bakr dalam memerangi mereka yang enggan membayar
zakat dan berhasil mengalahkan mereka, persahabatan antara keduanya tidak berubah. Umar tetap mendampingi Abu Bakr dengan
berjuang dalam barisan Muslimin. Dia memang laki-laki yang penuh
disiplin, dan Abu Bakr memang yang
bertanggung jawab dalam urusan negara. Umar berkewajiban memberikan
pendapat kepadanya, dan menjadi kewajibannya menaati segala perintah Khalifah, dan semua
ini sudah dilakukannya. Kemudian ia
tetap sebagai wazir-nya, sebagai tangan kanannya yang patuh dan
menghargai pendapatnya.
Abu
Bakr berhasil menghadapi mereka yang menolak membayar zakat,
dan keberhasilan ini merupakan bukti yang nyata ketepatan pendapatnya dan kebijakan politiknya. Tentang Umar
mengenai hal ini ada disebutkan bahwa ia berkata: "Sungguh, apa yang saya
saksikan ini ternyata Allah memang telah melapangkan dada Abu Bakr dalam
menghadapi perang, maka saya tahu bahwa dia benar." Sesudah keberhasilan ini,
tak ada lagi orang menentang maksud Abu Bakr hendak memerangi kaum pembangkang di seluruh Semenanjung
Arab. Barangkali Muslimin sekarang
melihat bahwa laki-laki yang telah mendampingi Rasulullah selama dua
puluh tahun itu telah mendapat tiupan semangat Rasulullah sehingga ia dapat melihat dengan
cahaya Allah, dengan nur ilahi, yang tak terlihat oleh orang lain, dan
mendapat ilham yang tak diperoleh orang lain.
Pasukan
Muslimin kini berangkat di bawah pimpinan Amr bin al-As
dan Khalid bin al-Walid ke tempat suku Quda'ah dan Banu Asad untuk menghadapi
kaum murtad dan mengembalikan mereka kepada agama
Allah yang sebenarnya. Sudah tentu umat Islam merasa lega melihat
bantuan Allah kepada pasukan-Nya yang berjuang di jalan Allah.
Umar tetap mendampingi Abu Bakr dengan memberikan pendapatnya
dan bersama-sama mengurus politik negara.
Sikapnya tentang Khalid
Khalid
bin Walid sudah berhasil menumpas pembangkangan Banu Asad, dan sekarang ia
pindah dari perkampungan mereka ke Butah menumpas kaum pembangkang Banu Tamim.
Pemirrrpin mereka, Malik bin Nuwairah terbunuh dan dia yang kemudian mengawini
istrinya1, menyalahi adat kebiasaan orang Arab yang harus
menghindari perempuan selama dalam perang. Abu Qatadah al-Ansari begitu marah
atas. pembunuhan Malik bin Nuwairah itu setelah menyatakan keislamannya. Dia menduga itu suatu muslihat Khalid saja untuk
dapat mengawini Laila yang cantik. Disebutkan bahwa konon ia memang sudah
mencintainya sejak masa jahiliah dulu. Abu Qatadah dan Mutammam bin Nuwairah saudara Malik segera pergi ke Medinah dan
menemui Abu Bakr dengan melaporkan
segala yang dilihatnya itu. Tak lebih Abu Bakr hanya membayar diat (tebusan) atas kematian
Malik, dan menulis surat agar
tawanan dikembalikan. Tetapi ia tak habis heran mengapa Abu Qatadah
sampai menyerang atau menuduh Khalid. Abu Qatadah membicarakan soal ini dengan Umar bin Khattab dan
Umar mendukung pendapatnya.
Keduanya menyerang dan mengecam Khalid. Kemudian Umar menemui Abu Bakr dan befkata dengan nada
marah. "Pedang Khalid itu sangat
tergesa-gesa dan harus ada sanksinya," katanya. Ketika Umar tetap mendesak, ia berkata: "Ah, Umar]
Dia sudah membuat pertimbangan tetapi meleset. Jatiganlah berkata yang
bukan-bukan tentang Khalid." Umar tidak puas dengan jawaban itu dan tiada
hentihentinya ia menuntut agar Khalid
dipecat. Melihat desakan yang demikian Khalifah kesal juga. "Umar,"
katanya kemudian, "saya tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah
dihunuskan terhadap orang-orang kafir!"
Jawaban
tegas ini tentu sudah menunjukkan bahwa Abu Bakr tak akan
memecat Khalid. Adakah dengan itu Umar sudah merasa puas bahwa
dia sudah menjalankan kewajibannya sebagai pehasihat dan sesudah
itu ia harus mengalah kepada pendapat Khalifah dan j angan sampai
membuat kecurigaan orang kepadanya? Tidak! Umar tetap marah
besar terhadap Khalid dan mengecamnya sampai begitu keras. Dikumpulkannya
Mutammam, Abu Qatadah dan beberapa orang lagi. Dimintanya Mutammam membacakan
syairnya yang meratapi Malik, la memperlihatkan simpatinya kepada Mutammam dan
pada syair yang dibacanya itu. Bagaimana Umar akan merasa senang dan diam
begitu saja melihat orang membunuh seorang
Muslim lalu mengawini[6] istrinya, padahal ia harus dirajam! Biar orang ini
Saifullah sekalipun. Biar dia
paman Umar dari pihak ibu dan sepupu ibunya. Biar dia sudah berjasa
menumpas kaum pembangkang!
Soalnya
berhubungan dengan disiplin masyarakat serta ketertibannya.
Disiplin akan berada dalam bahaya bilamana sudah mulai ada perbedaan dalam
memperlakukan manusia. Yang seorang dibiarkan melakukan pelanggaran, yang lain dijatuhi hukuman.
Ia tetap tidak puas sebelum Abu Bakr
memanggil Khalid ke Medinah, dan Umar pun yakin Khalifah akhirnya akan menyetujui pendapatnya
dan memecat jenderal jenius itu.
Tetapi ternyata Abu Bakr tidak melakukannya selain hanya memarahi Khalid karena perkawinannya dengan
seorang perempuan yang darah suaminya belum lagi kering, di samping tindakannya
yang sudah melampaui batas membunuh Malik dan anak buahnya dari kabilah
Tamim. Abu Bakr memerintahkan Khalid berangkat ke Yamamah untuk menghadapi Musailimah dan anak buahnya. Ia
yakin bahwa Allah akan -membantu
Khalid dalam menghadapi Banu Hanifah dan akan mendapat kemenangan terus-menerus dan orang
akan lupa perkawinannya dengan Laila. Sekalipun begitu Umar tidak
beranjak dari pendiriannya mengenai
perbuatan Khalid itu dan keharusannya ia dipecat. Kegigihannya ini tampak juga pengaruhnya
setelah kemudian ia bertugas sebagai Amirulmukminin. Ketika ia sudah
memegang jabatannya itu, tindakan pertama
yang dilakukannya memecat Khalid dari panglima pasukan, kemudian ia
dipecat dari semua jabatan militer. Peristiwa ini akan kita uraikan lebih terinci
sesuai dengan tempatnya dalam buku ini nanti.
Buku-buku
sejarah tidak menyebutkan bahwa Abu Bakr pernah berselisih dengan Umar setajam seperti persoalan
Khalid ini, perselisihan yang
sejalan dengan watak kedua orang itu serta tujuan masingmasing mengenai politik negara. Umar berpendapat
bahwa seseorang tak dapat lepas dari dosanya sebelum ia menebusnya.
Dengan demikian keadaan akan menjadi stabil
dan tertib hukum dapat ditegakkan atas dasar persamaan sejati yang kuat. Buat dia,
memaafkan orang-orang penting yang melakukan pelanggaran besar akan
sangat berbahaya bagi ketertiban masyarakat. Tetapi Abu Bakr pernah mengatakan
bahwa Rasulullah yang memberi julukan Saifullah kepada Khalid, dan kalau
daerah-daerah perbatasan di waktu damai harus diperkuat dengan ketidakjelasan
hukum, maka waktu dalam keadaan bahaya juga harus diperkuat dengan cara serupa.
Ketika Khalid dipanggil pulang oleh Abu Bakr dan diberi teguran keras, saat
itulah umat Islam sedang sangat memerlukan
Khalid dan kepemimpinannya dalam militer yang jenius itu, melebihi waktu mana sebelumnya. Itu sebabnya
Abu Bakr tidak sampai memecatnya. Malah ia dikirim ke Yamamah untuk
menumpas Musailimah, kemudian dikirim ke Irak dan berhasil membebaskan wilayah
itu. Selanjutnya ia dipindahkan ke Syam
sehingga dengan itu Rumawi sudah melupakan bisikan
setan.
Bersikerasnya
Umar dengan pendapatnya terhadap Khalid itu untuk mencegah timbulnya malapetaka, dan tetap meminta
Abu Bakr terus menegurnya. Begitu
mendapat kemenangan di Yamamah Khalid kawin lagi dengan seorang gadis. Sekali lagi Abu Bakr
menulis surat yang berisi teguran
keras dengan mengatakan: "Demi hidupku, ah Umm Khalid! Sungguh Anda orang tak berakal! Anda kawin dengan
perempuan itu sedang bercak darah
seribu dua ratus Muslim di beranda rumahmu belum lagi kering!" Dilihatnya surat itu oleh
Khalid, lalu katanya: "Ini tentu
perbuatan si kidal." Dan Umar bin Khattab memang kidal. Setelah membebaskan Irak dan sudah sampai di
perkampungan Huzail dan mengikis
mereka, ada dua laki-laki yang dibunuhnya, padahal mereka masing-masing
membawa surat dari Abu Bakr yang menyatakan keislamannya. Atas perbuatannya ini menurut
pendapat Umar Khalid harus dijatuhi
hukuman, dan katanya tentang kedua orang itu: "Begitu ia bertindak
terhadap penduduk di daerah perang."
Ada
sebagian mereka yang merasa heran bahwa Umar sampai demikian
rupa marah kepada Khalid, Khalid yang paman Umar sendiri dan
Saifullah serta pembela agama-Nya. Dapat saja keheranan demikian dihilangkan berdasarkan sumber yang dikemukakan
oleh beberapa sejarawan bahwa pandangan Umar terhadap Khalid memang tidak
baik sejak sebelum ia menganut Islam. Selama
hidupnya ia memang sudah tidak
menyukainya.[7] Barangkali Umar
tak dapat melupakan Khalid ketika dalam Perang Uhud dan peranannya waktu
itu, serta kemenangan kaum musyrik terhadap kaum Muslimin karena kehebatan
Khalid. Kemudian serangannya terhadap Rasulullah, kalau tidak karena Umar yang
lalu menghadangnya sehingga rencananya itu dapat digagalkan. Bagaimanapun juga yang pasti Umar tidak senang
kepada Khalid kendati ia sangat
menghargainya serta mengagumi kehebatannya memimpin pasukan. Perasaan
Khalid terhadap Umar pun demikian. Dalam segala hal yang datang dari Khalifah,
yang tidak disukainya ia melihat campur tangan Umar. Ketika oleh Abu Bakr ia
dipindahkan dari Irak ke Syam ia berkata:
"Ini perbuatan si kidal anak Umm Sakhlah. Dia dengki kepada saya karena
saya yang membebaskan Irak."
Setiap
orang berhak heran melihat perselisihan yang begitu menonjol
antara Abu Bakr dengan Umar mengenai masalah Khalid bin Walid
itu. Tetapi kita harus kagum juga kepada kedua tokoh besar ini. Bagaimanapun
perselisihan mereka yang sudah begitu jelas, namun demi
kepentingan Islam dan umat Islam, keakraban dan eratnya kerja sama
antara keduanya tak pernah berubah. Umar tetap setia kepada Abu
Bakr dan pada janjinya. Ia menjalankan tugasnya dengan selalu memberikan
pendapatnya, dan melaksanakan perintah Khalifah dengan penuh keikhlasan. Kepercayaan Abu Bakr kepada Umar
juga tetap seperti dulu, sedikit pun tak terpengaruh oleh keadaan dari
luar. Keikhlasan timbal balik dan
kepercayaan yang begitu kuat, itulah dasar organisasi yang kukuh dan sumber
kewibawaan dan kekuatannya. Itu sebabnya kedaulatan Islam pada masa kedua
tokoh ini telah mencapai puncaknya, yang tak pernah ada dalam kedaulatan mana
pun di dunia. Nama Abu Bakr dan nama Umar dalam lembaran sejarah merupakan
lambang ketulusan, kejujuran dan kekuatan. Tak ada yang dapat menandingi
kebesaran dan keagungan pribadi mereka.
Abu
Bakr menjatuhkan sanksi kepada Khalid bin Walid karena ia telah
membunuh Malik bin Nuwairah dan mengawini Laila, maka ia lalu
mengirimnya ke Yamamah. Tetapi ia telah memperoleh kemenangan
besar, dan ini merupakan suatu pengumuman dari Allah untuk mengikis
kaum murtad di segenap penjuru Semenanjung Arab, kendati untuk itu telah menelan
korban seribu dua ratus Muslimin mati syahid. Penduduk Medinah begitu sedih karena mereka yang
telah mati syahid itu. Ketika itu
yang sangat berduka cita Umar bin Khattab karena kematian Zaid adiknya,
sehingga ketika Abdullah anaknya kembali ke Medinah ia berkata: "Mengapa kau pulang padahal
Zaid sudah meninggal. Tidak malu kau memperlihatkan muka kepadaku!?"
Tetapi anaknya menjawab dengan jujur dan
penuh iman: "Dia memohon mati syahid kepada Allah, permohonannya terkabul. Saya
sudah berusaha supaya saya juga demikian, namun tidak juga
diberikan."
Men yarankan pen gumpulan Qur'an
Tetapi
kesedihan Umar karena kematian adiknya itu tidak sampai membuatnya lalai dari memikirkan masalah yang
paling berbahaya dalam sejarah Islam
dan umat Islam. Di antara yang mati itu banyak dari mereka yang sudah hafal Qur'an. Bagaimana
kalau perang ini berlanjut dan akan banyak lagi yang terbunuh dari orang-orang
yang sudah hafal Qur'an seperti yang terjadi di Yamamah? Inilah yang
mendera pikiran Umar. Sampai kemudian ia mengambil keputusan pergi
menemui Abu Bakr, yang saat itu sedang dalam majelis di Masjid. "Pembunuhan yang
terjadi dalam perang Yamamah sudah makin memuncak," katanya kemudian kepada Abu Bakr. "Saya
khawatir di tempat-tempat lain akan
bertambah banyak penghafal Qur'an yang "akan terbunuh sehingga Qur'an
akan banyak yang hilang. Saya mengusulkan supaya Anda memerintahkan orang
menghimpun Qur'an."
Usui
yang dirasakan oleh Abu Bakr sangat tiba-tiba itu dijawab dengan
pertanyaan: "Bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam?" Umar
memperkuat
pendapatnya dengan argumen yang membuat Abu Bakr kemudian
merasa puas. Ia memanggil Zaid bin Sabit dan menceritakan dialognya dengan Umar.
Kemudian katanya: "Anda masih muda, cerdas dan kami tidak meragukan kau. Anda
penulis wahyu untuk Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam. Sekarang
lacaklah Qur'an itu dan kumpulkanlah." Seperti Abu Bakr Zaid juga ragu.
Kemudian Allah membukakan hatinya seperti
terhadap Abu Bakr dan Umar. Selanjutnya Zaid bekerja melacak dan menghimpun Qur'an dari
lempenganlempengan, dari tulang-tulang bahu, kepingan-kepingan pelepah
pohon kurma dan dari hafalan orang. Demikianlah, karena saran Umar itu pula
maka Qur'an dikumpulkan dan sampai sekarang
dipelihara seperti ketika dikumpulkan dulu, sehingga sehubungan dengan ini
Orientalis Inggris William Muir
berkata: "Di seluruh belahan bumi ini rasanya tak ada sebuah kitab pun selain Qur'an yang sampai dua
belas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan
cermat."
Ada
pula sumber yang menyebutkan bahwa Umar-lah yang pertama
menghimpun Qur'an dalam satu jilid kitab (mushaf). Pendapat ini bertentangan
dengan sumber-sumber yang mutawatir.[8] Tetapi
sumbersumber
yang mutawatir ini mengakui bahwa karena jasa Umar dengan sarannya kepada Abu Bakr sampai dapat meyakinkan
untuk menghimpun Qur'an itu. Sekiranya Umar tidak menyadari apa yang
akan mungkin menimpa para penghafal Qur'an di tempat-tempat lain selain Yamamah, dan segala akibatnya dengan banyaknya
Qur'an yang hilang, barangkali tidak
terpikir oleh Abu Bakr untuk menghimpunnya dan tidak akan berani pula.
Bahkan sekiranya Umar tidak mengoreksi Abu Bakr ketika mengatakan: "Bagaimana saya akan
melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah" dan tidak dapat
meyakinkannya betapa pentingnya menghimpun
Qur'an, tentu Abu Bakr tidak terdorong untuk melakukannya, dan tidak akan
memanggil Zaid bin Sabit untuk
mengerjakannya. Kalau Abu Bakr juga telah berjasa dalam pekerjaan yang besar ini sehingga Ali bin Abi Talib
berkata: "Semoga Allah memberi rahmat
kepada Abu Bakr, orang yang paling besar j asanya dalam mengumpulkan Qur'an,
maka sudah tentu dalam pahala dan jasa itu sekaligus Umar juga bersama-sama.
Sungguh Muslimin sangat berutang
budi kepadanya, begitu juga kepada Abu Bakr dalam mengumpulkan Kitabullah itu. Ini merupakan salah satu
dari tiupan jiwa besarnya, tiupan yang membawa berkah paling agung dan
mulia, yang telah memberikan segala yang terbaik.
Barangkali
di atas sudah kita lihat sejauh mana peranan Umar pada masa Abu Bakr. Kita lihat
dia pada masa itu — sama seperti ketika mendampingi Rasulullah — ia lebih
berperan sebagai orang yang mempunyai banyak gagasan dan kebijakan politik yang
luar biasa, daripada sebagai orang lapangan dan di medan perang. Bahkan sudah
kita lihat bagaimana ia menentang Abu Bakr
dalam hal memerangi orang yang tak mau membayar zakat. Begitu juga
sebelum itu, ia menentang meneruskan
pengiriman pasukan Usamah. Sesudah kemudian ia melihat politik jihad membawa keunggulan dan kemenangan,
ia pun menerimanya dan mendukung Abu
Bakr dengan sungguh-sungguh. Bukankah politik jihad itu yang telah dapat
menumpas kaum murtad dan mengembalikan
mereka ke pangkuan Islam, dan seluruh Semenanjung Arab bernaung di bawah satu panji? Bukankah
politik ini juga yang telah membukakan pintu Irak dan pada gilirannya merambah
jalan ke Persia? Tidak heran jika Umar benar-benar yakin dan langsung
memberikan dukungannya pada setiap langkah yang sudah
diyakininya.
Sikapnya tentang pembebasan Syam
Sesudah
Khalid bin Walid mendapat kemajuan di Irak, dan berita kemenangannya berkumandang ke seluruh Semenanjung
Arab dan sekitarnya, Abu Bakr
bermaksud hendak membebaskan pula Syam. Pada suatu pagi ia mengundang beberapa pemuka,
dan terutama Umar. Dikatakannya kepada mereka bahwa Rasulullah dulu
bermaksud mencurahkan perhatiannya ke
daerah Syam, tetapi dengan kehendak Allah ajal telah mendahuluinya.
"Orang-orang Arab itu seibu sebapa dan saya ingin meminta bantuan mereka menghadapi Rumawi di
Syam. Jika di antara mereka ada yang tewas, mereka akan mati syahid. Apa
yang dari Allah, itulah yang lebih baik bagi
mereka yang berbakti. Dan mereka yang
masih hidup di antaranya, hidup mereka mempertahankan agama. Allah Yang
Mahakuasa akan memberi pahala kepada mereka sebagai mujahid." Abu Bakr meminta pendapat mereka dalam
hal ini. Yang pertama sekali memberikan jawaban Umar bin Khattab dengan
mengatakan: "Setiap kami berlomba untuk segala yang baik ternyata Anda sudah lebih dulu dari kami. Sebenarnya saya ingin
menemui Anda justru untuk membicarakan pendapat yang Anda sebutkan itu.
Apa yang sudah ditentukan Allah untuk itu,
itu pula yang Anda sebutkan. Allah telah membimbing Anda ke jalan yang benar.
Kirimkanlah berturutturut pasukan berkuda, perwira demi perwira dan
prajurit demi prajurit. Allah 'azza wa
jalla akan membela agama-Nya, akan memperkuat Islam dan pemeluknya
dan akan menunaikan apa yang sudah dijanjikan kepada
Rasul-Nya."
Orang-orang
yang hadir tidak begitu bersemangat terhadap seruan itu
kendati yang berbicara Abu Bakr dan Umar. Malah mereka masih mendiskusikan kehebatan Rumawi. Selesai mereka
berbicara, kembali Abu Bakr mengulangi seruannya agar mereka bersiap-siap.
Mereka diam. Tetapi Umar berteriak
kepada mereka: "Kaum Muslimin sekalian, mengapa kalian tidak menjawab seruan Khalifah yang
mengajak kalian untuk hal-hal yang
akan menghidupkan iman kalian?" Dengan teriakan itu mereka tersentak. Sekarang
mereka menerima seruan jihad itu meskipun yang mereka utamakan agar
Khalifah meminta bantuan Yaman dan seluruh Semenanjung untuk menghadapi
musuh.
Sekali
lagi di sini kita merenung sejenak. Perubahan yang sekarang tiba-tiba terjadi pada Umar, dan sampai mendukung
politik perang dengan begitu
bersemangat, memperkuat gambaran kita terdahulu mengenai jalan
pikirannya. Kita bertambah yakin bahwa dulu ia orang lapangan yang tidak begitu menghiraukan konsep
yang hanya untuk konsep semata,
bahkan terhadap pengaruh yang tampak dalam kenyataan hidup. Itulah yang
kita sebutkan ketika kita menggambarkan jalan pikirannya dulu waktu ia masuk
Islam. Berbaliknya Umar dari politik yang
sangat berhati-hati kepada politik yang agresif pada masa pemerintahan Abu Bakr tambah memperjelas gambaran
tersebut. Waktu itu ia sangat menjauhi Islam dan memusuhi kaum Muslimin
ketika Muslimin belum mempunyai kekuatan
yang dapat dibanggakan. Ia melihat
keberadaan mereka berbahaya terhadap ketertiban Mekah dan kedudukan
agamanya. Sesudah melihat Muslimin begitu tabah dengan agama mereka dan bersedia
menanggung segala penderitaan dan pengorbanan demi agama, sampai pun mereka keluar
meninggalkan tanah air, barulah dia
lihat bahwa dalam agama baru ini ada kekuatan yang dapat melengkapi jiwa pemeluknya, dan dia
yakin bahwa mereka tak akan dapat
dikalahkan. Saat itulah ia mulai mengoreksi dirinya, dan apa yang sudah
didengarnya dari Qur'an menjadi bahan pemikirannya, sampai akhirnya ia beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya serta segala yang datang
dari Allah. Sesudah beriman ia mendukung Muslimin dengan kekuatan
semangat yang sama seperti ketika dulu ia memerangi mereka. Dulu ia menentang
politik Abu Bakr dalam soal perang. Tidak senang ia dengan pengiriman Usamah dan
tidak pula setuju dengan tindakannya
memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat. Sesudah Abu Bakr menyiapkan
Medinah untuk memerangi kaum murtad itu ia menjauhkan diri. Kalangan
sejarawan hampir tidak menyebutnyebut mengenai pandangannya ketika itu. Tetapi
politik Abu Bakr mengenai perang ternyata
berhasil dan dapat menumpas pembangkang itu sampai ia dapat membebaskan
Irak. Ketika itulah Umar berbalik memberikan
dukungan dengan segala kemampuannya, seperti tatkala dulu ia sudah mulai beriman ia berbalik mendukung
Islam dengan segala kekuatannya.
Karena
adanya orientasi baru ini dalam pemikiran Umar, ada juga pengaruhnya kemudian terhadap penggantian Abu Bakr
kepada Umar, dan terhadap politik
pembebasan yang berhasil yang dipelopori oleh Khalifah pertama ini.
Setelah itu kita akan melihat bagaimana semangat Umar terhadap politik ini yang sampai dapat
membangun Kedaulatan Islam di atas
puing-puing kedua imperium besar Persia dan Rumawi
itu.
Umar dan sistem kelas dalam masyarakat
Tetapi
perubahan yang terjadi dalam orientasi politik Umar ketika itu tidak pula
disertai perubahan pemikirannya dalam bidang sosial. Dalam beberapa masalah
pokok, pemikiran Umar dari segi sosial berbeda
dengan pemikiran Abu Bakr yang adakalanya sampai sangat berlawanan. Abu Bakr cenderung mempersamakan semua
kaum Muslimin, tidak hendak
membeda-bedakan yang Arab dan yang bukan-Arab, dan antara yang mula-mula dalam Islam dan yang
kemudian. Pada masanya di dekat
Medinah terdapat sebuah tambang emas dan pembagian emas yang dihasilkan dari tambang tersebut dipersamakan
antara kaum Muslimin. Ketika dikatakan kepadanya tentang kelebihan mereka yang
sudah lebih lama dalam Islam sesuai dengan kedudukan mereka, ia menjawab: "Mereka menyerahkan diri kepada Allah
dan untuk itu mereka patut mendapat
balasan; Dia Yang akan memberi ganjaran di akhirat. Dunia ini hanya tempat menyampaikan." Ia
mengajak orangorang Mekah
bermusyawarah untuk menyerbu Syam dan meminta bantuan mereka seperti yang telah dilakukannya
terhadap penduduk Medinah. Tetapi kebalikannya Umar, ia dengan
pemikirannya itu lebih cenderung pada sistem
kelas (bertingkat). Ia mengutamakan mereka yang sudah lebih dulu dalam Islam, dan lebih
utama lagi dari mereka adalah
keluarga Rasulullah (ahlul bait). Pemikiran Umar demikian telah
meninggalkan bekas dalam kehidupan umat Islam, dan dalam politik kedaulatan Islam telah mengemudikan sejarah Islam
selama berabadabad, yang sampai sekarang masih berbekas. Nanti akan kita lihat
bilamana pembicaraan sudah sampai pada soal administrasi negara dan -
tentang sistem pemerintahan, yang sudah tak dapat disangsikan
lagi.
Pada
masa Abu Bakr Umar tidak menyembunyikan kecenderungannya
untuk lebih mengutamakan kelas-kelas tertentu. Tatkala Abu Bakr
mengajak orang-orang Mekah bermusyawarah untuk menyerbu Syam
dan meminta bantuan mereka seperti yang telah dilakukannya terhadap penduduk Medinah, Umar langsung
menentang, yang dasarnya ingin
menjaga agar kaum Muhajirin dan Ansar yang mula-mula dalam Islam didahulukan
dari kaum Muslimin yang lain dalam soal kekuasaan dan dalam mengemukakan
pendapat. Pendapat Umar ini ditentang oleh Suhail bin Amr dengan mengatakan: "Bukankah kami
saudara-saudara kalian dalam Islam
dan saudara seayah dalam keturunan? Karena dalam hal ini Allah telah memberi kedudukan kepada
kalian, yang tak ada pada kami, lalu
kalian mau memutuskan hubungan silaturahmi dan tidak menghargai hak kami ! ?" Umar menjawab
terus-terang: "Seperti yang Anda lakukan, apa yang sudah saya sampaikan kepada
kalian hanyalah sebagai nasihat dari
orang yang sudah lebih dulu dalam Islam, dan lebih sesuai dengan keadilan
yang berlaku antara kalian dengan Muslimin yang lebih berjasa daripada
kalian."
Apa
yang dilihat Umar dengan lebih mengutamakan orang-orang yang
sudah lebih dulu dalam Islam dan veteran Badr serta keluarga Rasulullah, dasarnya bukanlah karena didorong
nafsu, tetapi karena ingin
memberikan kepuasan. Baginya tak ada pengaruh apa-apa dalam berhubungan
dengan mereka semua dan dalam keadilannya terhadap mereka pada masa pemerintahan
Abu Bakr dan pada masa pemerintahannya sendiri. Soalnya karena keadilan memang
sudah menjadi bawaannya. Arti keadilan dalam
dirinya sudah lengkap, gambarannya sudah menjelma dalam nuraninya. Selama dua tahun
ia menjabat sebagai hakim dalam pemerintahan Abu Bakr tak pernah ada dua
orang yang bersengketa mendatanginya sampai
berulang-ulang. Kesibukan kaum Muslimin menghadapi pertempuran, Perang Riddah,
pembebasan Irak dan Syam sudah tentu
besar sekali pengaruhnya terhadap semua itu. Sudah tentu juga, Umar yang terkenal karena
keadilannya sangat besar pula pengaruhnya. Beberapa faktor yang mendorong
orang untuk berperkara, karena pihak yang bersalah mengharapkan hakim akan bertindak salah dan menyimpang dari jalan yang
benar atau bertindak berat sebelah
lalu menyimpang dari yang semestinya. Tetapi orang tidak melihat, bahwa dalam hal mencari keadilan
Umar tidak pernah bertindak berat
sebelah terhadap siapa pun, atau memeriksa suatu perkara tidak cermat dan
tanpa diteliti sungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran itu sampai kemudian
dapat diungkapkan. Dengan sikapnya yang
demikian tidak heran orang yang berperkara akan datang kepadanya untuk memperoleh kebenaran dan keadilan
itu. Juga tidak heran j ika orang yang j ahat takut sekali akan kena
tamparannya dan terpukul oleh kejahatannya sendiri dan kebenaran dikembalikan
kepada yang berhak.
Sejak
awal pertumbuhannya keadilan sudah menjadi sifat dasar Umar
— sudah menjadi bawaannya. Kemudian cita keadilan itu tumbuh dalam dirinya
sampai mencapai kesempurnaannya. sebab dengan akal pikiran dan nuraninya ia sudah berada di atas
segala nafsu kehidupan dunia
sehingga ia tak dapat dikuasai oleh nafsu. Di masa mudanya ia bekerja sebagai pedagang dan hasilnya dapat
memberi makan baginya dan bagi
keluarganya, rezeki yang sekadar cukup, bukan yang berlebihan atau
bermewah-mewah. Dalam perdagangan ia pergi ke Irak, ke Syam dan ke Yaman. Di
tempat-tempat yang dikunjunginya itu lebih cenderung ia untuk bertemu dengan para amir
dan kalangan terpelajarnya untuk
menambah pengetahuan dengan jalan berbicara dengan mereka, daripada untuk memperoleh keuntungan dari
perdagangannya dan kemudian menjadi
kaya. Sesudah menjadi Muslim, sedikit demi sedikit keislamannya diarahkan
pada penyucian diri, dan untuk itu ia sendiri hidup sebagai seorang zahid. Karenanya, ia
tidak memerlukan segala yang ada di tangan orang, ia tak merasa memerlukan
mereka, juga ia tak mempunyai maksud apa-apa dengan mereka. Barangkali
sikap kerasnya yang sudah terkenal itu, itu pula yang mendorong dan membantunya bersuci diri. Ia tidak peduli akan
mengatakan kepada siapa pun apa yang diyakininya tanpa harus mengambil
hati atau mengharapkan orang senang atau tidak. Bukankah begitu selesai
Perjanjian Hudaibiah ia menemui Rasulullah dan mengatakan: "Bukankah Anda Rasulullah? Bukankah kita Muslimin? Bukankah
mereka musyrik? Mengapa kita mau merendahkan diri kita dalam soal agama
kita?" Keberaniannya itu tidak dibuat-buat atau akan dij adikannya kebanggaan
yang tidak diperlukannya, dari siapa pun
seperti yang suka dilakukan orang, j ika memerlukan sesuatu bermuka manis
dan merayu-rayu. Yang berlaku demikian hanya orang yang sudah tergoda dan
dikuasai dunia. Tetapi orang yang dapat
menguasai dunia ia sudah tidak memerlukannya lagi. Ia tidak mau
merayu-rayu dan bermanis-manis muka. Begitulah orang yang berjiwa besar dengan hati
yang bersih. Dalam hal ini Umar berada di barisan
terdepan.
Sifat-sifat
demikian yang sudah menyatu dalam diri Umar, membuatnya
lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan dirinya, keluarga atau kerabatnya. Pertimbangan
ini yang kemudian membawanya sampai
ia yakin pada politik Abu Bakr dalam hal pembebasan Irak dan Syam, dan menyebabkan Abu Bakr
menilainya pantas ia menjadi penggantinya dalam memimpin umat. Tetapi
Umar orangnya keras dan kasar. Ini pula
yang membuat banyak orang bijak tidak suka berhubungan dengan dia,
padahal orang-orang bijak itu yang menjadi
pembantu-pembantu dekat Khalifah dalam mengatur politik negara. Apabila
hubungan antara kedua pihak terputus dan tidak lagi membantunya dengan nasihat atau pendapat, maka
sulitlah ia akan dapat mengatur
mereka dan mengatur negara dengan pendapat mereka. Tidakkah sebaiknya Abu
Bakr mempertimbangkan sifat-sifat Umar dan kebijakan politiknya itu dengan watak
kerasnya yang sudah menjadi bawaannya, yang
bukan tidak mungkin akan merusak suasana, di samping itu tak akan dapat
digantikan oleh ciri-ciri khasnya yang lain?
Hal
ini yang selalu menjadi pikiran Abu Bakr ketika dalam sakitnya
ia merasa akan berakhir dengan kematian. Perlukah Muslimin dibiarkan memilih
sendiri, tanpa memberi pendapat atau mencalonkan seorang pengganti, dan ini pula
teladan yang diperolehnya dari Rasulullah? Inilah cara yang paling mudah dan
ringan. Tetapi yang teringat oleh Abu Bakr
peristiwa Saqifah Bani Sa'idah dan sikap Ansar, dan teringat apa yang
hampir terjadi ketika itu kalau Allah tidak mempersatukan tekad Muslimin dengan segera membaiatnya.
Kalau sampai terjadi perselisihan di
kalangan Muslimin sewaktu-waktu ia meninggal, maka perselisihan itu akan
lebih parah dan lebih berbahaya, yang akan terjadi hanya antara kaum Muhajirin dengan Ansar
sendiri sesudah tokoh-tokoh yang lain
masih terlibat dalam perjuangan di Irak dan di Syam dalam menghadapi
Persia dan Rumawi. Jika Abu Bakr meninggal lalu terjadi perselisihan, perselisihan demikian
akan berkembang menjadi kerusuhan,
yang mungkin berkecamuk ke seluruh negeri Arab. Suasana akan menjadi kacau dan
politik perluasan yang baru dimulai itu akan berakhir. Tetapi kalau penggantinya sudah
ditunjuk dan Muslimin sepakat dengan orang yang ditunjuk, maka apa yang
dikhawatirkan itu akan dapat dihindari.
Kalaupun Rasulullah tidak menunjuk pengganti, soalnya supaya jangan ada
yang mengira bahwa pengganti yang ditunjuk itu sudah ditentukan bagi kaum
Muslimin dengan wahyu dari Allah, sehingga
ia akan menjadi Khalifatullah — pengganti Tuhan. Kalau Abu Bakr yang menunjuk penggantinya, hal
serupa itu tak perlu dikhawatirkan dan kaum Muslimin dapat dihindarkan
dari perselisihan, politik perluasan dapat diteruskan dan akan berhasil. Ini
sajalah dilaksanakan. Biarlah Umar menjadi
penggantinya. Biarlah Muslimin bersatu menerimanya. Kalau kesepakatan itu dapat
diwujudkan, maka itulah jaminan dari Allah yang akan memberikan
kemenangan kepada agama-Nya.
Abu Bakr menunjuk Umar seba gai pen gganti
Pagi
itu ia memanggil Abdur-Rahman bin Auf dan ia menanyakan tentang Umar. "Dialah
yang mempunyai pandangan terbaik, tetapi dia terlalu keras," kata Abdur-Rahman.
"Ya, karena dia melihat saya terlalu lemah
lembut," kata Abu Bakr. "Kalau saya menyerahkan masalah ini ke tangannya,
tentu banyak sifatnya yang akan ia tinggalkan. Saya perhatikan dan lihat, kalau
saya sedang marah kepada seseorang karena sesuatu, dia meminta saya bersikap
lebih lunak, dan kalau saya memperlihatkan
sikap lunak, dia malah meminta saya bersikap lebih keras." Setelah
Abdur-Rahman keluar ia memanggil Usman bin Affan dan ditanyanya tentang Umar.
"Semoga Allah telah memberi pengetahuan kepada saya tentang dia," kata Usman, "bahwa isi
hatinya lebih baik dari lahirnya. Tak
ada orang yang seperti dja di kalangan kita." Sesudah Usman pergi Abu
Bakr meminta pendapat Sa'id bin Zaid dan Usaid bin Hudair dan yang lain, baik
Muhajirin maupun Ansar. Ia ingin sekali mereka seia sekata tentang kekhalifahan
Umar. Beberapa orang sahabat Nabi ketika mendengar saran-saran Abu Bakr mengenai
penunjukan Umar sebagai khalifah, mereka merasa khawatir mengingat bawaan Umar memang begitu keras dan karena
kekerasannya itu umat akan terpecah
belah. Mereka sependapat akan memohon kepada Khalifah untuk menarik kembali maksudnya itu. Sesudah
meminta izin mereka masuk menemuinya,
dan Talhah bin Ubaidillah yang berkata: "Apa yang akan Anda katakan
kepada Tuhan kalau Anda ditanya tentang keputusan Anda menunjuk Umar sebagai
pengganti, yang akan memimpin kami. Sudah
Anda lihat bagaimana ia menghadapi orang padahal Anda ada di sampingnya. Bagaimana pula kalau sudah
Anda tinggalkan?!" Mendengar itu Abu Bakr marah dan berteriak kepada
keluarganya: Dudukkan saya. Sesudah
didudukkan ia berkata, dengan air muka yang masih memperlihatkan
kemarahan: "Untuk urusan Allah kalian mengancam saya?! Akan kecewalah orang yang menyuruh
berbuat kezaliman! Saya berkata: Demi
Allah, saya telah menunjuk pengganti saya yang akan memimpin kalian,
dialah orang yang terbaik di antara kalian!" Kemudian ia menujukan kata-katanya kepada Talhah:
"Sampaikan kepada orang yang di
belakang Anda apa yang saya katakan kepada Anda
ini!"
Abu
Bakr merasa sangat letih karena percakapan itu. Dengan senang
hati orang sudah sepakat tentang kekhalifahan Umar. Semalaman
itu ia tak dapat tidur. Keesokan harinya datang Abdur-Rahman bin Auf
menemuinya setelah saling memberi hormat. Abu Bakr berkata, seolah
kejadian kemarin itu masih melelahkannya: "Saya menyerahkan persoalan ini kepada orang yang terbaik dalam
hatiku. Tetapi kalian, merasa kesal karenanya, menginginkan yang lain."
Abdur-Rahman menjawab: "Tenanglah,
semoga Allah memberi rahmat kepada Anda. Hal ini akan membuat Anda sangat
letih. Dalam persoalan ini ada dua pendapat
orang: orang yang sependapat dengan Anda berarti ada di pihak Anda, dan orang yang berbeda pendapat dengan
Anda berarti mereka juga memberikan perhatian kepada Anda. Kawan Anda ialah
yang Anda senangi. Yang kami ketahui
Anda hanya mencari yang terbaik, dan Anda masih tetap berusaha ke arah
itu."
Merasa
tidak cukup hanya bermusyawarah dengan orang-orang bijaksana di kalangan
Muslimin, terutama setelah ada pihak yang menentang, dari dalam kamar di rumahnya itu Abu
Bakr menjenguk kepada orang-orang yang ada di Masjid, dan berkata kepada
mereka:
"Setujukah
kalian dengan orang yang dicalonkan menjadi pemimpin kalian?
Saya sudah berijtihad menurut pendapat saya dan tidak saya mengangkat seorang kerabat. Yang saya tunjuk
menjadi pengganti adalah Umar bin Khattab. Patuhi dan taatilah dia!"
Mereka menjawab: "Kami patuh dan taat." Ketika itu ia mengangkat tangan ke atas
seraya berkata: "Ya Allah, yang kuinginkan
untuk mereka hanyalah yang terbaik
untuk mereka. Aku khawatir mereka dilanda kekacauan. Aku sudah bekerja
untuk mereka dengan apa yang sudah lebih Kauketahui. Setelah aku berijtihad dengan suatu pendapat
untuk mereka, maka untuk memimpin
mereka kutempatkan orang yang terbaik di antara mereka, yang terkuat
menghadapi mereka dan paling berhati-hati agar mereka menempuh jalan yang
benar." Setelah orang banyak mendengar doanya itu apa yang dilakukannya mereka
makin yakin.
Kemudian
Abu Bakr memanggil Umar dengan pesan dan wasiat supaya
perang di Irak dan Syam diteruskan dan jangan bersikap lemah lembut, juga diingatkannya kewajiban orang yang
memegang tampuk pimpinan umat untuk selalu berpegang pada kebenaran, dan
bahwa di samping menyebutkan ayat kasih sayang Allah juga menyebutkan ayat tentang azab, supaya pada hamba-Nya ada harapan
dan rasa takut. Yang diharapkan dari
Allah hanyalah kebenaran. Jika wasiat ini dijaga, tak ada perkara gaib yang lebih disukai daripada
kematian, dan kehendak Allah tak akan dapat
dikalahkan.
Sesudah
Abu Bakr selesai berwasiat Umar keluar, pikirannya dipadati
oleh persoalan ini belaka, yang sekarang dipikulkan ke pundaknya. Harapannya
sekiranya Abu Bakr sembuh dari sakitnya untuk menghadapi
peristiwa yang sangat gawat ini. Tetapi tanggung jawab yang dipikulkan
ke bahunya itu akan diterimanya tanpa ragu bila waktunya sudah
tiba. Itulah tanggung jawab besar dan beban yang sungguh berat. Tetapi siapa
orang yang seperti Umar bin Khattab yang akan dapat memikul tanggung jawab ini? Umar tampil dengan
segala kemauan dan kekuatannya. Ia
melepaskan dunia ini sesudah penyebaran Islam sampai ke Persia, Syam dan Mesir dan sebuah kedaulatan
Islam dengan dasar yang sangat kukuh berdiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar