UMAR MASUK ISLAM
Umar
bin Khattab masuk Islam menurut berita yang sudah umum diketahui, sesudah ada
empat puluh lima orang laki-laki dan dua puluh perempuan. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa jumlahnya lebih dari itu, ada pula yang mengatakan kurang. Menurut
peninjauan Ibn Kasir dalam
al-Bidayah wan-Nihayah Umar masuk Islam sesudah Muslimin hijrah ke
Abisinia, dan jumlah orang yang hijrah itu hampir mencapai sembilan puluh orang
laki-laki dan perempuan. Sesudah mereka
hijrah Umar bermaksud akan mendatangi Muhammad dan sahabatsahabatnya serta Muslimin yang lain di Darul Arqam
di Safa, dan jumlah mereka laki-laki
dan perempuan empat puluh orang. Dengan demikian kita bebas menyebutkan bahwa mereka yang
sudah mendahului Umar masuk Islam
sekitar seratus tiga puluh orang, walaupun kita tak dapat menyebutkan
jumlah yang pasti melebihi perkiraan yang berlawanan dengan pendapat yang sudah
umum itu.
Sumber-sumber tentang sebabnya Umar masuk Islam
Mengenai
sebabnya ia masuk Islam beberapa sumber masih saling berbeda. Berita yang paling terkenal menyebutkan
bahwa Umar sudah tidak tahan lagi
melihat seruan Muhammad itu ternyata telah memecah belah keutuhan
Kuraisy, dan mendorong orang semacam dia sampai menyiksa orang-orang yang masuk Islam agar keluar
meninggalkan agama itu dan memaksa
kembali kepada agama masyarakat mereka. Sesudah Muhammad memberi isyarat kepada
sahabat-sahabatnya supaya terpencar ke beberapa tempat dan berlindung
kepada Allah dengan agama yang mereka yakini, dan menasihati mereka agar pergi
ke Abisinia, dan setelah Umar melihat
mereka sudah pergi, ia merasa sangat
terharu dan merasa kesepian berpisah dengan mereka. Sumber yang mengenai Umm
Abdullah binti Abi Hismah menyebutkan bahwa ia berkata: "Kami sudah akan
berangkat tatkala Umar bin Khattab datang dan berhenti di depan kami, yang
ketika itu ia masih dalam syirik.
Kami menghadapi berbagai macam gangguan dan siksaan dari dia. Ia berhenti
dan berkata kepada kami: 'Jadi juga berangkat, Umm Abdullah?' Saya jawab: 'Ya! Kami akan keluar dari
bumi Allah ini. Kalian mengganggu
kami dan memaksa kami dengan kekerasan. Semoga Allah memberi jalan keluar kepada kami.'
Dia berkata lagi: 'Allah akan
menyertai kalian.' Saya lihat dia begitu terharu, yang memang belum pernah saya
lihat. Kemudian dia pergi, dan saya lihat dia sangat sedih karena kepergian kami
ini." Setelah itu suaminya datang.
Diceritakannya percakapannya dengan Umar itu dan dia sangat mengharapkan Umar akan masuk Islam. Tetapi jawab
suaminya: "Orang ini tidak akan masuk Islam sebelum keledai Khattab lebih
dulu masuk Islam."
Sumber-sumber
selanjutnya menyebutkan bahwa Umar memang sangat sedih karena sesama anggota
masyarakatnya telah pergi meninggalkan tanah air," sesudah mereka disiksa dan
dianiaya. Selalu ia memikirkan hendak
mencari jalan untuk menyelamatkan mereka dari keadaan demikian. Ia berpendapat keadaan ini baru
akan dapat diatasi apabila ia segera
mengambil tindakan tegas. Ketika itulah ia mengambil keputusan akan membunuh Muhammad. Selama ia masih
ada, Kuraisy tak akan bersatu. Suatu pagi ia pergi dengan pedang terhunus
di tangan hendak membunuh Rasulullah dan
beberapa orang sahabatnya yang sudah diketahuinya mereka sedang berkumpul
di Darul Arqam di Safa. Jumlah mereka hampir empat puluh orang laki-laki dan
perempuan. Sementara dalam perjalanan itu ia
bertemu dengan Nu'aim bin Abdullah yang laiu menanyakan: "Mau ke mana?" dan
dijawab oleh Umar: "Saya sedang
mencari Muhammad, itu orang yang sudah meninggalkan kepercayaan leluhur
dan memecah belah Kuraisy, menistakan lembaga hidup kita, menghina agama dan sembahan kita.
Akan saya bunuh dia!"
"Anda
menipu diri sendiri, Umar. Anda kira Abdu-Manaf akan membiarkan Anda bebas
berjalan di bumi ini jika sudah membunuh Muhammad? Tidakkah lebih baik Anda pulang dulu
menemui keluargamu dan luruskan mereka!" "Keluarga saya yang mana?"
tanya Umar. Kawannya itu menjawab: "Ipar dan
sepupu Anda Sa'id bin Zaid bin Amr, dan adikmu Fatimah binti Khattab.
Kedua mereka sudah masuk Islam dan menjadi
pengikut Muhammad. Mereka itulah yang harus Anda
hadapi."
Umar
kembali pulang hendak menemui adik perempuannya dan iparnya. Ketika itu di sana Khabbab bin al-Arat
yang sedang memegang
lembaran-lembaran Qur'an membacakan kepada mereka Surah TaHa. Begitu
mereka merasa ada Umar datang, Khabbab bersembunyi di kamar mereka dan Fatimah menyembunyikan kitab
itu. Setelah berada dekat dari rumah itu ia masih mendengar bacaan Khabbab tadi,
dan sesudah masuk langsung ia menanyakan:
"Saya
mendengar suara bisik-bisik apa itu?" "Saya tidak mendengar apa-apa," Fatimah
menjawab. "Tidak!" kata Umar lagi, "Saya sudah mendengar bahwa kamu berdua sudah menjadi
pengikut Muhammad dan agamanya!" Ia berkata begitu sambil menghantam Sa'id bin
Zaid keras-keras. Fatimah, yang berusaha hendak melindungi suaminya, juga
mendapat pukulan keras. Melihat tindakan Umar yang demikian, mereka berkata: "Ya, kami sudah masuk Islam, dan kami
beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Sekarang lakukan apa saja
sekehendak Anda!"
Melihat
darah di muka adiknya itu Umar merasa menyesal, dan menyadari apa yang telah
diperbuatnya. "Ke marikan kitab yang saya dengar kalian baca tadi," katanya.
"Akan saya lihat apa yang diajarkan Muhammad!" Fatimah berkata: "Kami khawatir
akan Anda sia-siakan." "Jangan takut," kata
Umar. Lalu ia bersumpah demi dewa-dewanya bahwa ia akan mengembalikannya
bilamana sudah selesai membacanya. Kitab itu
diberikan oleh Fatimah. Sesudah sebagian dibacanya, ia berkata: "Sungguh indah dan mulia sekali kata-kata
ini!" Mendengar katakata itu
Khabbab yang sejak tadi bersembunyi keluar dan katanya kepada Umar: "Umar, demi Allah saya sangat
mengharapkan Allah akan memberi kehormatan kepada Anda dengan ajaran
Rasul-Nya ini. Kemarin saya mendengar ia
berkata: 'Allahumma ya Allah, perkuatlah Islam dengan Abul-Hakam bin Hisyam1
atau dengan Umar bin Khattab.' Berhati-hatilah, Umar!'" Ketika itu Umar
berkata: "Khabbab, antarkan saya kepada
Muhammad. Saya akan menemuinya dan akan masuk Islam," dijawab oleh
Khabbab dengan mengatakan: "Dia dengan beberapa orang sahabatnya di sebuah rumah
di Safa." Umar mengambil pedangnya dan pergi
langsung mengetuk pintu di tempat Rasulullah dan sahabat-sahabatnya
berada.
Mendengar
suaranya, salah seorang di antara mereka mengintip dari
celah pintu. Dilihatnya Umar yang sedang menyandang pedang. la kembali ketakutan sambil berkata: "Rasulullah,
Umar bin Khattab datang membawa
pedang. Tetapi Hamzah bin Abdul-Muttalib menyela: "Izinkan dia masuk. Kalau kedatangannya dengan
tujuan yang baik, kita sambut dengan baik; kalau bertujuan jahat, kita
bunuh dia dengan pedangnya sendiri. Ketika
itu Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Izinkan dia
masuk." Sesudah diberi izin Rasulullah berdiri menemuinya di sebuah ruangan.
Digenggamnya baju Umar kemudian ditariknya kuat-kuat seraya katanya: "Ibn
Khattab, apa maksud kedatanganmu? Rupanya Anda tidak akan berhenti sebelum
Allah mendatangkan bencana kepada Anda!"
"Rasulullah,"
kata Umar, "saya datang untuk menyatakan keimanan kepada Allah dan kepada Rasul-Nya serta segala
yang datang dari Allah." Ketika itu juga Rasulullah bertakbir, yang oleh
sahabat-sahabatnya sudah dipahami bahwa Umar masuk Islam.
Sumber yang didasarkan kepada Umar sendiri
Demikian
sumber-sumber yang lebih terkenal mengenai keislaman Umar.
Di samping itu ada beberapa sumber lain, yang paling terkenal yang
didasarkan kepada Umar sendiri tatkala ia berkata: "Saya memang jauh dari Islam.
Saya pecandu minuman keras di zaman jahiliah, saya sangat menyukainya dan saya menjadi peminum. Kami
mempunyai tempat sendiri tempat kami
berkumpul dengan pemuka-pemuka Kuraisy. Suatu malam saya keluar akan
menemui teman-teman duduk itu. Tetapi tak seorang pun yang ada di tempat itu.
Dalam hati saya berkata: Sebaiknya saya
mendatangi si polan, pedagang khamar itu. Dia di Mekah berdagang khamar; kalau-kalau di tempat itu
ada khamar, saya ingin minum. Saya
pun pergi ke sana. Tetapi tak ada orang. Dalam hati saya berkata lagi:
Sebaiknya saya ke Ka'bah, berkeliling tujuh kali atau tujuh puluh kali. Maka
saya pergi ke Masjid[1] akan bertawaf di
Ka'bah. Tetapi ternyata di sana ada
Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam sedang salat. Ketika itu j
ika ia salat menghadap ke Syam, dan Ka'bah berada di antara dia dengan Syam, tempat salatnya
di antara dua sudut hajar aswad
dengan sudut Yamani. Ketika kulihat kataku: Sungguh, saya sangat
mengharap malam ini dapat menguping Muhammad sampai saya dapat mendengar apa
yang dikatakannya. Saya khawatir dia akan terkejut kalau saya dekati. Maka saya datang dari
arah Hijr. Saya masuk ke balik kain
Ka'bah; saya berjalan perlahan hingga saya berdiri di depannya berhadap-hadapan; antara saya dengan
dia hanya dibatasi kain Ka'bah,
sementara Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam sedang salat dengan membaca Qur'an. Setelah saya dengar
Qur'an itu dibacanya, hati saya rasa
tersentuh. Saya menangis; Islam sudah masuk ke dalam hati saya. Sementara
saya masih tegak berdiri menunggu sampai Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam
selesai salat. Kemudian ia pergi pulang menuju rumahnya. Saya ikuti
dia, hingga sudah dekat ke rumahnya saya
dapat menyusulnya. Mendengar suara gerak-gerik saya ia sudah mengenal
saya dan dikiranya saya menyusul hendak menyakitinya. Ia menghardikku seraya katanya: Ibn
Khattab, apa maksud kedatangan
Anda?! Saya menjawab: Kedatangan saya hendak beriman kepada Allah dan
kepada Rasul-Nya serta kepada segala yang datang dari Allah. Setelah menyatakan alhamdulillah ia berkata:
Umar, Allah telah memberi petunjuk
kepada Anda. Kemudian ia mengusap dada saya dan mendoakan saya agar
tetap tabah. Setelah itu saya pun pergi meninggalkan Rasulullah sebagai orang
yang sudah beriman kepada agamanya."
Sumber
yang dihubungkan kepada Umar ini merupakan sebuah gambaran yang terdapat dalam M usnad Imam
Ahmad bin Hanbal — dengan harapan
kiranya dapat melengkapi apa yang sudah dilukiskan di atas — yang
menyebutkan bahwa Umar berkata: Saya pergi hendak menghadang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa
sallam sebelum saya masuk Islam.
Saya lihat dia sudah mendahului saya ke mesjid. Saya berdiri di belakangnya. Ia memulai bacaannya
dengan surah al-Haqqah. Saya sungguh
kagum dengan susunan Qur'an itu. Dalam hati saya berkata: Sungguh dia
memang seorang penyair seperti dikatakan Kuraisy. Kemudian
dibacanya:
"Bahwa
ini sungguh perkalaan Rasul yang mulia. Itu bukanlah perkataan
seorang penyair; sedikit sekali kamu percaya!" (Qur'an,
69:40-41).
Kata
saya, dia seorang dukun. Kemudian dibacanya:
"Juga
bukan perkataan seorang peramal; sediklt sekali kamu mau menerima
peringatan. (lni adalah wahyu) yang diturunkan dari Tuhan semesta
alam. Dan kalau dia men gada-adakan perkataan atas nama Kami, pasti Kami tan
gkap dia dengan tangan kanan, kemudian pasti Kami potong pembuluh jantungnya.
Maka tak seorang pun dari kamu dapat
mempertahankannya." (Qur'an,
69:42-47) sampai akhir surah. Maka
Islam sungguh menyentuh hati saya begitu dalam.
Inilah
sumber yang juga terkenal sesudah yang pertama tadi. Ibn Ishaq
memperkuat kedua sumber itu dan menempatkannya berurutan demikian dengan
mengatakan: "Yang mana pun hanya Allah Yang Mahatahu."
Kedua
sumber itu dan yang semacamnya yang biasanya dikutip oleh
kitab-kitab sekitar islamnya Umar melukiskan saat Umar meninggalkan agama nenek moyangnya. Rasulullah
telah menyaksikan keimanannya kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan kepada
segala yang datang dari Allah. Tetapi semua itu tak ada yang melukiskan suatu
gambaran dari segi psikologi, apa yang
menyebabkan sampai ia memeluk Islam. Adakah kejadian itu tiba-tiba
begitu saja? Sudah begitu jauhkah Umar
menjauhi dan memusuhi Islam sampai dia tidak mau lagi memikirkan dan merenungkannya, kemudian Allah
menanamkan iman ke dalam hatinya melalui kitab yang dibacakan Khabbab kepada
adiknya atau Qur'an yang dibaca Rasulullah dalam salatnya, oleh Yang
Mahakuasa dijadikan jalan untuk memberi petunjuk kepada orang yang paling keras memusuhi agama-Nya itu? Ataukah
tidak demikian adanya, Umar sudah pernah mendengar pembacaan Qur'an
sebelum yang dibacakan dalam kitab Khabbab,
dan sebelum bersembunyi di balik kain Ka'bah lalu mendengarkannya dari
Rasulullah, dan bahwa dia mengkaji kembali
antara dirinya dengan Rasulullah, kemudian ia berbalik pikir tentang
diri lalu merenungkan keadaan dirinya dengan Muhammad dan pengikut-pengikutnya, lalu dengan
lama merenungkan itu lelah mengantarkannya kepada Islam, dengan izin
Allah?
Dari
sumber-sumber para sejarawan itu tak terdapat suatu gambaran tentang Umar yang
masuk Islam dalam kedua peristiwa itu, padahal
untuk melukiskannya bukan hal yang sulit. Penggambaran demikian ini hakikatnya
sangat menentukan, yang oleh umum dianggap suatu hal yang tak perlu dipersoalkan, tetapi kita
melihatnya cenderung tak dapat segera bertahan terhadap
kritik.
Yang
biasanya diceritakan menurut sumber.yang masyhur, bahwa Umar keluar hendak
membunuh Muhammad saat ia dan sahabat‑sahabatnya sedang berada di Safa kalau tidak
karena Allah telah memberi petunjuk kepadanya waktu ia membaca kitab yang
dibacakan Khabbab kepada ipar dan adiknya. Tak masuk akal bahwa dengan pedangnya Umar bermaksud membunuh Muhammad yang
sedang di tengah-tengah empat puluh
orang sahabatnya, di antaranya ada Hamzah bin Abdul-Muttalib dan Abu
Ubaidah bin al-Jarrah serta pahlawanpahlawan Mekah lainnya, apalagi mau
beranggapan bahwa ia mampu melaksanakan
maksudnya itu. Dapat saja ia memutuskan ingin bebas dari Muhammad dengan jalan
membunuhnya, dan sedang memikirkan cara-cara pelaksanaannya, tetapi
sementara ia membaca Qur'an itu dan melihat
isinya yang begitu indah ia surut dari niatnya dan kemudian masuk Islam. Tetapi bahwa dia akan membunuhnya
dengan cara seperti yang dilukiskan
oleh cerita yang sudah terkenal tentang islamnya Umar itu, adalah hal yang tak masuk akal, dan saya
cenderung demikian. Yang lebih dapat
diterima, ialah sumber kedua dari penuturan Umar sendiri dan yang
diperkuat oleh Ibn Hanbal dalam Musnad-nya.
Mendambakan ketertiban masyarakatnya dan kota Mekah
Hal
ini dapat diterima karena lebih sesuai dengan apa yang sudah umum
diketahui tentang pribadi dan psikologi Umar. Dia asli dari masyarakatnya
sendiri, sangat fanatik terhadap mereka, ingin sekali melihat
ketertiban dan kedudukan kota mereka yang kuat. Di samping itu
ia laki-laki yang praktis, suka bekerja. Nilai pikiran baginya ialah dampaknya yang nyata dalam kehidupan. Tetapi
merenung hanya untuk merenung, berpikir semata-mata hanya untuk berpikir dan
berlama-lama menimang-nimang untuk mencari kebenaran di balik itu,
kendati untuk kebenaran dan pemikiran itu
tak memberi kesan yang berpengaruh dalam kehidupan mereka, maka tidaklah dia
sendiri akan tertarik atau akan dapat melepaskan diri dari kebiasaan
masyarakatnya. Itulah pandangannya sekitar masalah-masalah duniawi secara
keseluruhan, bahkan yang berhubungan dengan masalah-masalah rasa simpati itu
sendiri. Ia tidak senang melihat pemuda
yang menghabiskan waktunya hanya untuk bercumbu dengan perempuan atau mendendangkan
kecantikannya, dengan maksud hendak menggodanya. Baginya, yang demikian
hanya memperlihatkan kelemahan, yang tak
patut bagi seorang laki-laki yang sudah cukup dewasa. Karenanya, ia tak pernah
bersimpati kepada orang-orang yang
bercinta-cinta dengan jalan menyanyi-nyanyikan nyanyian rindu asmara sebagai profesinya. Mengenai
pandangannya tentang keyakinannya itu, terlihat dari keberangannya yang
luar biasa terhadap saudara sepupunya, Zaid
bin Amr, sebab dia meninggalkan agama masyarakatnya, dan pergi mencari agama
benar itu dari yang lain. Buat Umar semua itu khayal belaka yang tak ada artinya
dalam hidup, dan tidak sesuai dengan wataknya yang ingin melihat
ketertiban umum serta kedudukan Mekah yang kuat di mata semua orang
Arab.
Kecenderungan
berpikir demikian memang sejalan dengan sosok Umar
— bertubuh kuat dan kekar. Oleh karena itu ia percaya kepada kekuatan dalam segala sikapnya. Kepercayaannya
kepada kekuatan yang paling menonjol tampak pada permulaan kerasulan
Nabi, saat ia sedang berada di puncak
keperkasaannya dengan segala kekerasan watak dan semangatnya sebagai
pemuda yang belum merasakan asam garamnya
kehidupan. Itu pula sebabnya ia menyiksa siapa saja pengikut Nabi yang dapat disiksanya, supaya keluar dari
agamanya. Kalau ia mampu memerangi mereka semua, niscaya akan diperanginya.
Tetapi dia tahu bahwa kabilah-kabilah Kuraisy melarang yang demikian, dan
kabilahnya sendiri — Banu Adi — tidak
sependapat dengan dia. Itu sebabnya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang
Kuraisy lainnya, kemampuannya
terbatas hanya sampai pada penyiksaan kaum duafa atau orang-orang yang lemah, tanpa dapat melakukan
kekerasan terhadap Abu Bakr, Usman
bin Affan, Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan yang lain, yang akan dilindungi oleh
kabilah-kabilah mereka. Tetapi yang masih dapat dilakukannya, mengadakan pemboikotan
dan menyakiti siapa saja yang dapat dij angkaunya.
Sungguhpun
begitu, di samping semua itu sebenarnya Umar orang yang berhati lembut,
berperasaan halus dalam arti keadilan. Salah satu bukti kelembutan hatinya tatkala adiknya hendak
melindungi suaminya dipukulnya
sekeras-kerasnya. Setelah dilihatnya adiknya sampai berdarah, ia menyesal dan menyadari kesalahannya
sendiri. Kelembutan demikian sering kita jumpai pada orang-orang yang
kuat dan bertangan besi tatkala mereka sudah melampaui batas dalam berpegang
pada kekuatan. Percakapannya dengan Umm
Abdullah binti Abi Hismah ketika
siap akan berangkat hijrah ke Abisinia, memperlihatkan sikap yang sangat lemah lembut kepadanya. Umm Abdullah
pun begitu terharu melihat sikapnya
yang demikian sehingga ia berkata kepada suaminya yang ketika itu baru datang:
"Kalau saja tadi Anda melihat Umar dan sikapnya yang begitu lemah lembut serta
kesedihannya melihat kami, sampai-sampai saya mengharapkan ia masuk Islam."
Sifat-sifat demikian ini dapat menerjemahkan kepada kita mengapa ia
kemudian masuk Islam.
la
ingin sekali melihat ketertiban dan kedudukan Mekah yang kuat, di
samping keprihatinannya jika ajakan agama baru ini nanti akan merusaknya. Sesudah ia melihat Nabi dan
sahabat-sahabatnya mengajak orang
kembali kepada Tuhan dengan cara yang baik dan jangan membuat kerusakan di muka bumi, kemudian dilihatnya
mereka begitu teguh berpegang pada agama itu, dan akidah bagi mereka
iebih berharga daripada segala apa yang ada di dunia, bahkan lebih berharga
daripada hidup mereka sendiri, ia kembali berpikir tentang mereka dan tentang
sikapnya sendiri terhadap mereka. Mereka sudah diancam, dianiaya dan disiksa, namun mereka pantang menyerah. Atas
segala penderitaan yang mereka alami, mereka hanya berkata: "Allah adalah
Tuhan kami." Mereka lebih-lebih lagi
dianiaya dan disiksa. Malah mereka memilih untuk mengorbankan tanah tumpah darah daripada
mengorbankan akidah. Mereka pun mengarungi lautan, hijrah dan berlindung
di bumi Allah yang lain dengan agama mereka.
Agama ini bukan sekadar konsep teori
yang tak memberi dampak apa-apa kepada pemeluknya, juga dalam kehidupan jemaah tempat mereka hidup,
tetapi sudah merupakan kekuatan pendorong yang pengaruhnya begitu
dahsyat, baik dalam kehidupan pribadi ataupun dalam kehidupan bersama. Pengaruh
demikian sudah mulai tampak dalam kehidupan
Mekah begitu Islam lahir. Dan pengaruh ini makin lama akan lebih besar
dan makin jelas. Bagaimana akhirnya keadaan Mekah dan kedudukannya jika hijrah
ini berjalan terus, dan orang-orang mengetahui bahwa anak negerinya tak dapat tinggal di tempat sendiri karena
diperlakukan begitu kejam, padahal ada pertalian kerabat dan hubungan
baik antara mereka dengan kabilah-kabilah
yang juga termasuk Mekah. Mereka diperlakukan begitu kejam hanya mereka
berbeda keyakinan dengan masyarakatnya.
Di
tanah Arab ketika itu memang terdapat berbagai macam kepercayaan: ada yang percaya kepada
berhala-berhala, ada Ahli Kitab orang-orang Yahudi dan Nasrani, ada penganut agama
Majusi mengikuti orang Persia.
Bukankah akan lebih baik buat Mekah bila Muslimin pergi meninggalkannya, mereka tidak
diganggu dan tidak akan digoda karena akidah mereka, dan biarkan
masing-masing bebas memeluk agama dan bersama-sama dengan mereka? Bukankah orang
semacam Umar sudah belajar seperti yang
lain, dan pengetahuannya tentang pemikiran Persia, Rumawi, Yahudi dan
Nasrani sudah melebihi yang lain, masih
akan menjauhi Muslimin? Tidakkah sebaiknya ia mau menggunakan penalarannya yang lebih cermat dan
teliti mengenai agama mereka, bukan penalaran orang yang fanatik dan
dengki?!
Dia
dan masyarakatnya sudah tahu tentang ajakan Muhammad dan tentang Qur'an yang
diwahyukan kepadanya. la pun sudah tahu berita tentang mereka yang memasang
telinga mendengarkan Rasulullah yang sedang
salat tengah malam di rumahnya. Bagaimana mereka kembali lagi memasang telinga mendengarkan Rasulullah
membaca Qur'an itu. la pun tahu
bagaimana mereka saling menyalahkan. Kemudian juga ia tahu bahwa ketika Abul-Hakam bin Hisyam ditanya
apa yang sudah didengarnya ia menjawab: "Kami dengan Abdu-Manaf saling
berebut kehormatan: Mereka memberi makan,
kami pun memberi makan; mereka menanggung, kami pun begitu; mereka
memberi, kami pun memberi, sehingga kami
dapat sejajar dan sama tangkas daiam perlombaan. Tiba-tiba kata mereka: 'Di kalangan kami
ada seorang nabi yang menerima wahyu dari langit! Kapan kita akan
menjumpai yang semacam itu? Tidak! Kami
samasekali tidak akan percaya dan tidak akan mempercayai atau
membenarkannya!" Atas dasar itu Abul-Hakam dan kawan-kawannya tetap menyiksa kaum Muslimin
dengan sewenangwenang tanpa alasan
yang benar. Dan Muslimin pun tetap berpegang pada agamanya tanpa menyerah karena siksaan.
Bahkan cinta mereka lebih besar dan lebih kuat lagi berpegang pada agama
itu.
Bukankah
ini suatu bukti yang kuat bahwa mereka dalam kebenaran dan bahwa Abu Jahl tidak
mau memperhatikan, tidak man beriman
atau mempercayai agama Muhammad karena antara Keluarga Abdu-Syams dengan Keluarga Abdu-Manaf terjadi
persaingan yang keras?! Tetapi
mengapa Umar tidak mau memperhatikan agama baru ini, padahal antara Keluarga Adi dengan Keluarga
Abdu-Manaf tak ada persaingan? Itu sebabnya Umar pergi bersembunyi di
balik kain Ka'bah untuk melihat Muhammad sembahyang, dan untuk mendengarkan ia
membaca Qur'an dalam salatnya itu.
Karenanya, ia ingin sekali membaca Surah Ta-Ha dalam kitab yang ada di tangan
adik perempuannya. Ia sudah merenungkan semua itu, dan lama sekali
memikirkan sampai akhirnya ia mendapat
hidayah. Allah telah memperkual agama-Nya dengan Umar, dan dia pun
membela Rasul-Nya.
Nabi
'alaihis-salam memang ingin sekali Islam dapat diperkuat dengan
orang yang kuat dan berani, yang tidak takut menghadapi musuh
dalam membela akidah. Nabi berdoa kepada Tuhan:
"'Ya
Allah, perkuat Islam dengan Abul-Hakam bin Hisyam atau Umar
bin al-Khattab."
Bagaimana Umar mendapat hidayah dan masuk Islam
Abul-Hakam[2] ini laki-laki
berwajah keras, kasar mulut dan keras kepala. la tidak peduli dan tidak gentar
menghadapi perang. Sedang Umar
sudah kita lihat sendiri. Keislaman keduanya jelas akan memperkuat
Islam, dan banyak yang akan mereka lindungi dari penganiayaan.
Tetapi Abul-Hakam — seperti sudah disebutkan di atas — banyak
terpengaruh oleh faktor persaingan antarkeluarga, sehingga untuk
beriman kepada agama yang dibawa oleh Muhammad bukan soal mudah. Sebaliknya Umar, sedikit demi sedikit ia
selalu didorong ke arah jalan yang
benar, dan berangsur-angsur ia dapat mendobrak belenggu fanatisme kegolongan di
sekitarnya, dan dapat menegakkan bibit-bibit keadilan sejati yang ada dalam
dirinya, sampai berakhir pada apa yang sudah kita sebutkan di atas. Maka
ia pun mendatangi Muhammad yang sedang berada di tengah-tengah para sahabatnya
di Darul Arqam di Safa, atau mengikutinya
dalam perjalanan pulang dari tempat ia salat di Ka'bah ke rumahnya.
Setelah ditanya oleh Rasulullah: Apa maksud kedatanganmu?! Tanpa ragu ia
menjawab: "Kedatangan saya hendak beriman
kepada Allah dan kepada Rasul-Nya serta kepada segala yang datang dari
Allah."
Dengan
demikian Umar masuk Islam atas dasar pembuktian setelah dibuktikannya
adanya pengaruh agama ini yang begitu kuat dalam jiwa orang-orang beriman, dari kehidupan pribadi
sampai kepada kehidupan masyarakat
bersama serta organisasinya. Ia menganut agama Allah dengan semangat yang sama seperti ketika dulu ia
memeranginya. Ingin sekali ia agar
masyarakat Muslimin menjadi sebuah organisasi yang dapat mempertahankannya seperti Kuraisy dulu.
Begitu ia menjadi Muslim ia
mengumumkan keislamannya itu kepada Kuraisy seluruhnya. Disebutkan bahwa
dia berkata: "Setelah malam itu saya masuk Islam, teringat saya betapa kerasnya
penduduk Mekah memusuhi Rasulullah Sallalldhu 'alaihi wa sallam sebelum saya datang kepadanya dan menyatakan saya telah menganut Islam. Pagi
keesokan harinya saya datang mengetuk pintu rumah Abu Jahl. Ia membukakan
pintu seraya berkata: 'Selamat datang,
kemenakanku! Ada apa?' Saya menjawab: 'Saya datang untuk memberitahukan kepada Anda
bahwa saya sudah beriman kepada Allah
dan kepada Rasul-Nya Muhammad dan saya percaya akan segala yang
dibawanya.' Ia membanting pintu di depanku sambil berkata: 'Sial kau! Dan berita
celaka yang kaubawa!'"
Umar men gumumkan keislamannya
Abdullah
bin Umar yang ketika bapanya masuk Islam masih anakanak tetapi sudah mengerti
apa yang dilihatnya. la mengatakan mengenai
keinginan bapanya untuk mengumumkan keislamannya, dan untuk
itu ia mau menantang Kuraisy. Menurut sebuah sumber ia berkata:
"Bapaku Umar berkata setelah ia masuk Islam: Kuraisy yang mana
yang lebih cepat menyampaikan berita? Dijawab: Jamil bin Ma'mar
al-Jumahi. Pagi itu ia pergi menemui Jamil dan mengatakan kepadanya:
Anda tahu, Jamil, bahwa saya sudah menjadi Muslim dan sudah menganut agama
Muhammad? Ia tidak membantah tetapi berdiri dan diikuti oleh Umar. Ketika sudah
berada di depan pintu mesjid ia berteriak
sekuat-kuatnya: Hai Kuraisy — mereka sedang berkumpul di tempat-tempat pertemuan
mereka di sekitar Ka'bah — ketahuilah bahwa Umar bin Khattab sudah menyimpang
meninggalkan agama leluhurnya! Umar berkata
dari belakangnya: Bohong! Tetapi saya sudah masuk Islam dan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah
dan bahwa Muhammad hamba dan
Rasul-Nya! Saat itu juga mereka gaduh dengan melemparkan tuduhan kepada
Umar. Mereka saling serang hingga saat matahari sudah mulai tinggi. Karena merasa sudah
letih Umar duduk. Ketika mereka berdiri mengelilinginya, Umar berkata:
Lakukanlah sekehendak kalian. Saya bersumpah kalau kami sudah mencapai tiga
ratus orang, akan kami tinggalkan semua itu
buat kalian, atau kalian tinggalkan
buat kami. Sementara mereka dalam keadaan demikian datang seorang laki-laki tua dari Kuraisy mengenakan
jubah katun bergarisgaris dan baju bersulam. Ia berdiri di depan mereka seraya
berkata: Ada apa ini!? Umar
meninggalkan agama leluhurnya, j awab mereka. Lalu? Kalau orang mencari sesuatu untuk dirinya
sendiri kalian mau apa? Kamu kira
Banu Adi bin Ka'b akan menyerahkan anggotanya begitu saja? Biarkan
dia...! Seolah mereka pakaian yang sudah tak terpakai..."
Setelah
hijrah Umar ditanya oleh Abdullah anaknya: Ayah, siapa laki-laki
yang menghardik orang-orang di Mekah dulu tatkala ayah masuk Islam dan mereka
mau menyerang ayah? Umar menjawab: Dia al-As
bin Wa'il dari Banu Sahm.
Al-As
bin Wa'il ini ayah Amr bin As.[3] Sampai pada waktu
Umar menerima Islam ia tetap memberi perlindungan kepadanya. Pihak Kuraisy pun tetap mengancam Umar setelah ia lepas
dari mereka. la tinggal di rumah menunggu dengan rasa khawatir. Abdullah
bin Umar menuturkan: Selama masih dengan
kekhawatirannya itu di rumah tibatiba datang al-As bin Wa'il as-Sahmi. Di zaman
jahiliah dulu Banu Sahm ini sekutu kami. "Ada apa?" tanya al-As.
"Golongan Anda bermaksud akan membunuh saya kalau saya bergabung ke dalam
Islam," jawabnya. "Tak mungkin," kata al-As.
Mendengar itu Umar merasa aman. Ketika al-As keluar dari tempat Umar, ia
menemui orang banyak yang sedang marah. "Mau ke mana kalian?" tanyanya. "Kami
akan mendatangi Umar yang sudah
meninggalkan agama kita." Al-As bertanya lagi: "Kalau Umar sudah meninggalkan
agama kita lalu mengapa?! Saya akan melimdunginya!" Mereka lalu
bubar.
Tidak
heran jika al-As akan melindungi Umar bin Khattab mengingat
apa yang sudah kita lihat di atas mengenai perlindungan Banu Sahm terhadap Banu
Adi bin Ka'b di masa jahiliah, yakni tatkala Banu Adi
bersaing dengan Banu Abdu-Syams dan kalah, kemudian diusir oleh
Banu Abdu-Syams dari Safa sehingga terpaksa mereka berlindung kepada Banu Sahm. Perlindungan ini membuat Umar
makin berani dalam menganut Islam dan merupakan tantangan bagi Kuraisy,
yang sekaligus merupakan pembelaan bagi Muslimin dalam menghadapi penganiayaan mereka. Dengan demikian
kepribadiannya makin menonjol dan makin percaya diri. Dia memang
memegang beberapa peranan penting yang tak ada pada mereka yang sudah lebih dulu
dalam Islam. Dalam catatan kalangan
sejarawan ia mendapat pujian dan dikagumi luar
biasa.
Disebutkan
bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi: "Rasulullah,
bukankah hidup dan mati kita dalam kebenaran?" Rasulullah 'alaihis-salam
menjawab: "Memang bSnar! Demi Allah, hidup dan mati kalian dalam kebenaran." "Kalau begitu," kata Umar
lagi, "Mengapa kita
sembunyi-sembunyi? Demi Yang mengutus Anda demi kebenaran, kita harus keluar!" Tak lama Nabi pun keluar
dalam dua rombongan. Dalam rombongan
yang satu ada Umar dan dalam rombongan kedua ada Hamzah. Keduanya
merupakan lambang keperkasaan. Tatkala memasuki mesjid, Kuraisy hanya melihat
dengan wajah sendu, baik mereka yang
beringas ataupun yang bijak, tak ada yang berani mendekati kedua
rombongan yang di dalamnya ada dua tokoh itu.
Dia
sudah menerima Islam, dan semua orang harus tahu bahwa dia sudah menganut agama Islam. Siapa saja boleh marah
kepadanya, terserah. Siapa saja boleh memeranginya kalau mau. Siapa saja, biar
mereka yang berkumpul di tempat-tempat pertemuan mereka di sekitar Ka'bah
berkomplot melawan dan memusuhinya, biar dia sampai merasa letih — ancamannya
terhadap mereka tak akan berkurang dan ia akan berterus terang kepada mereka.bahwa dia akan
menghadapi mereka, dan bahwa kaum Muslimin bilamana sudah mencapai jumlah
tiga ratus orang perang akan pecah, sampai mereka dapat mengusir kaum musyrik
dari Mekah, atau mereka yang diusir oleh
kaum musyrik. Kendati ia sudah tahu
bahwa Abu Jahl beringas dan kejam, ia tak akan mundur, ia akan
mendatanginya dan akan mengetuk pintu rumahnya serta menyatakan kepadanya bahwa
dia sudah menerima Islam. Dia kuat, dan percaya kepada kekuatan. Dia masih muda, yang sangat
percaya kepada kekuatan. Dia
pemberani, terbuka, tak gentar bertarung dan tak pernah takut kepada siapa pun. Oleh karena itu, tak perlu
ia sembunyisembunyi seperti
Muslimin yang lain. Malah ia sudah bersumpah akan bersembahyang di
Ka'bah, yaitu setelah dulu mereka salat dengan sembunyi-sembunyi di celah-celah
pegunungan di sekitar Mekah.
Ia
sudah memenuhi sumpahnya. Mengenai hal ini Abdullah bin Mas'ud
berkata: "Islamnya Umar suatu pembebasan, hijrahnya suatu kemenangan
dan kepemimpinannya suatu rahmat. Sebelum Umar memeluk Islam kami tak dapat salat di Ka'bah;
setelah ia menjadi Muslim diperanginya mereka sampai mereka membiarkan kami
maka kami pun dapat melakukan salat."
Dia juga berkata: "Sejak Umar bergabung ke dalam Islam kita merasa mempunyai harga diri."
Menurut sumber dari Suhaib bin Sinan
ia berkata: "Sejak Umar menganut Islam, Islam tampil ke depan dan
berdakwah terang-terangan. Kami duduk di sekitar Ka'bah dalam
lingkaran-lingkaran dan kami pun tawaf di Ka'bah; kami berlaku adil terhadap orang yang dulu
memperlakukan kami dengan kasar, dan kini gayung bersambut, kata
berjawab."
Sebenarnya
Umar tidak puas sebelum ia dapat melawan Kuraisy supaya
haknya dan hak saudara-saudaranya kaum Muslimin sama dengan
hak yang lain di Ka'bah dan dalam melaksanakan salat di sekelilingnya. Sementara
dalam perjuangannya ia melihat Hamzah bin Abdul-Muttalib juga melakukan
perjuangan yang sama. Ia dan Hamzah serta kaum Muslimin yang lain sekarang dapat
bersikap positif, yang dulu tak pernah mereka lakukan, sikap memperjuangkan
hak-hak kaum Muslimin seperti hak-hak yang ada pada Kuraisy, juga agar mereka
mendapat kebebasan berdakwah agama, sebab
baik Kuraisy atau yang lain tak boleh merintangi.
Sikap
positif ini ada juga pengaruhnya terhadap semua kabilah Kuraisy.
Ternyata banyak di antara mereka yang begitu cenderung kepada
Islam, hanya saja mereka masih takut karena harus menghadapi gangguan Kuraisy.
Tetapi sesudah Umar masuk Islam dan siap memerangi Kuraisy, kemudian salat di
Ka'bah bersama semua Muslimin, mereka pun bergabung ke dalam agama Allah dengan
anggapan bahwa mereka akan bebas dari
gangguan dan penganiayaan Kuraisy. Dalam hal ini Kuraisy berkata satu sama lain: "Hamzah
dan Umar sudah menganut Islam dan
ajaran Muhammad sudah tersebar ke seluruh Kuraisy." Sekarang mereka
berpikir-pikir, bagaimana cara menghadapi situasi baru
ini.
Berita
besarnya sambutan Kuraisy terhadap Islam sudah tersiar luas. Berita ini kemudian
tersebar dari Hijaz ke Abisinia. Muslimin yang
dulu hijrah ke sana mendengar berita ini mereka kembali pulang ke tanah air.
Tatkala sudah sampai di dekat Mekah, mereka mendapat kabar
bahwa apa yang dikatakan orang bahwa penduduk Mekah sudah beragama Islam, rupanya tidak sesuai dengan
kenyataan. Soalnya, setelah Kuraisy melihat keluarga mereka banyak yang
mengikuti jejak Umar dan menjadi pengikut
Muhammad, kabilah-kabilah Kuraisy itu mengadakan kesepakatan bersama
dengan menulis sebuah piagam yang isinya memboikot Banu Hasyim dan Banu
Abdul-Muttalib: untuk tidak saling mengawinkan dan tidak saling berjual beli.
Piagam itu digantungkan di Ka'bah sebagai penegasan dari pihak mereka. Mereka
yang hatinya sudah cenderung kepada Islam
tetapi belum masuk Islam melihat apa
yang dilakukan Kuraisy itu mereka menjadi maju mundur dan tidak segera mengikuti Rasulullah. Dengan
demikian perang yang tiada hentinya antara Kuraisy dan Muslimin pecah
lagi. Setelah kaum Muslimin yang baru
kembali dari Abisinia mengetahui soal itu, tak seorang pun dari mereka yang mau memasuki tanah
suci, kecuali yang sudah mendapat perlindungan atau masuk dengan
sembunyi-sembunyi. Sebagian besar mereka kembali ke
Abisinia.
Perang
berkepanjangan antara Kuraisy dengan pihak Muslimin sekarang
pecah lagi. Tak pelak Umar pun menjadi sasaran seperti yang dialami oleh
sahabat-sahabat Rasulullah yang lain. Pengalaman yang pernah menimpa mereka kini
juga menimpa Umar. Dengan terus mengikuti turunnya wahyu yang datang dari Allah
imannya bertambah kukuh; ia bertambah
cermat dengan disiplin yang tinggi disertai wawasannya yang tepat setelah ia berada di dekat
Nabi; ia mendapat tempat di hati
Rasulullah, untuk kemudian menjadi seorang sahabat Rasulullah kemudian
menjadi sahabat Abu Bakr pada masanya itu; dan dalam sejarah Islam pengaruhnya yang begitu
besar, sehingga namanya merupakan
lambang kekuatan, keadilan, kasih sayang dan kebaktian sekaligus. Zaman Umar merupakan zaman yang
terbesar dalam sejarah Kedaulatan Islam, bahkan dalam sejarah peradaban
umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar