MA’RIFATULLAH
a. Pengantar.
Dalam
pandangan Allah Swt, mengetahui tentang diri-Nya adalah wajib. Hal ini terlihat
dalam firman-Nya:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ...
“Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah melainkan Allah”. (47:19).
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ(1)
“Katakanlah:
“Dialah Allah Yang Maha Esa”. (112:1).
Kata
“Fa’lam” dan “Qul” adalah fi’il amr yang menunjukkan
perintah. Yaitu perintah untuk mengetahui dan perintah untuk mengatakan. Dua
perintah Ini menegaskan bahwa mengetahui Allah dan memberitahukan tentang Allah
adalah wajib. Ayat ini selain menunjukkan wajibnya, juga memuat materi apa yang
harus diketahui tentang Allah. Berdasarkan dua ayat ini, Allah adalah Satu
(Esa), yaitu tidak ada ilah kecuali Allah atau Laa ilaha ilallah. Jadi untuk
memahami siapa Allah terletak pada kata Laa Ilaha ilallah. Dalam ilmu tauhid
kalimat ini disebut Kalimat tauhid atau kalimat thayyibah.
b. Tauhid teoritis dan tauhid terapan
1. Tauhid Teoritis
Tauhid
teoritis dimaksudkan untuk memedomani secara mendalam tentang makna yang
terkandung dalam kata Ahad atau kata Esa. Sebagai langkah awal, kata Esa atau
Ahad dapat difahami sebagai suatu keyakinan yang integral, tidak terbagi, tetapi
tunggal.
Selanjutnya
Al-Quran memberikan penjelasan tentang kata Ahad atau Esa ini dalam Surah
Al-Ikhlas, sebagai berikut:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ(1)اللَّهُ الصَّمَدُ(2)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ
يُولَدْ(3)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ(4)
“Katakanlah:
“Dialah Allah Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada diperanakkkan, dan tidak seorangpun
yang setara dengan Dia”. (112:1-4).
Allah
memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw. atau siapa saja untuk mengatakan bahwa
Allah adalah Maha Esa. Ke-Esa-an Allah ini dijelaskan-Nya dalam tiga garis
besar, yaitu terlihat dalam kalimat:
a. Allahush-Shamad
Yaitu,
Allah adalah Tuhan yang tergantung kepada-Nya segala sesuatu. Artinya, segala
sesuatu bergantung dan tergantung atas kehendak dan keingin Allah. Tergantung
atas aturan, ilmu, hukum dan sunnah Allah. Segala sesuatu tidak akan pernah
terlepas dari pada-Nya. manusia tidak akan pernah menahan rasa lapar, menahan
berkurangnya umur, menempatkan kaki berfungsi sebagai tangan atau sebaliknya,
dan lebih jauh lagi manusia tidak akan pernah mampu merubah hukum alam yang
lain, seperti hukum mendidih dan membeku air dan membalik gaya grafitasi
bumi.
Dus,
siapapun tidak akan mampu berbuat apa-apa kecuali tunduk patuh kepada yang telah
digariskan, disunahkan dan diatur oleh-Nya, baik rela mapupun terpaksa. (Qs.
3:83).
Intinya,
Allah adalah Rabbul ‘alamin, dimana segala sesuatu telah diatur, dipelihara dan
diawasi-Nya dengan seksama, sistematis dan kokoh, sehingga tidak suatu apapun
atau siapapun mampu merusak tatanan-Nya. Tidak ada yang harus dilakukan oleh
makhluk-Nya kecuali tunduk patuh atau bergantung
kepada-Nya.
Konsekuensi
dari pemahaman ini secara teoritis adalah Allah tempat bergantung, Allah tempat
sandaran, Allah tempat merujuk kebenaran, Allah tempat kembali bagi segala
pikiran, harapan, keinginan, cita-cita dan keadilan. Berdasarkan teori ini,
sangat logis jika manusia memilih Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung.
Laa Shamada Illallah. Tidak ada tempat bergantung kecuali Allah.
b. Lam Yalid Walam Yulad
Yaitu,
Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Allah ada dan mewujud tidak disebabkan
oleh hukum sebab-akibat. Allah SWT ada dan mengada-Nya hanya Allah SWT saja yang
mengetahuinya. Manusia hanya diberi tahu bahwa Allah ada dan mengada bukan
melalui proses dilahirkan dan juga Allah tidak melahirkan. Jadi Allah itu
ahad/tunggal mutlak. Demikian juga kekuasaan-Nya pun betul-betul mutlak. Berbeda
jika Allah mempunyai bapak atau anak
seperti manusia, maka kekuasaannya tidak mutlak. karena kekuasaan tersebut, bisa
jadi didukung atau dilemahkan oleh keduanya.
Allah
SWT sudah pasti memiliki kekuatan dan kekuasaan penuh. Dia tidak mempunyai anak
dan sekutu dalam kerajaan-Nya (Qs. 17;111). Tidak ditekan atau menekan siapapun.
Dia adalah yang tidak menerima jasa dan pamrih dari siapapun. Dia Suci dan
tersucikan, sehingga Dia Laa Malika Illallah, yang segala kerajaan yang ada di
langit dan dibumi tunduk kepada-Nya. Ia memberikan kerajaan kepada siapa saja
yang Ia kehendaki. Dia tidak lebih besar karena diibadahi dan tidak lebih kecil
karena didurhakai.
Konsekuensi
pemahaman seperti ini secara teoritis adalah bahwa menjadikan Allah sebagai
satu-satunya raja, Laa Malika Illallah. Maha Raja abadi dan Dia berkuasa atas
segala sesuatu. Berdasarkan teori ini, maka sangat logis jika manusia menjai
khalifah-Nya dan melaksanakan amanat kekhalifahan-Nya
(Wahyu).
c. Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad.
Yaitu,
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. Setara artinya sama. Sama rendah,
sama tinggi, sama besar dan lain sebagainya. Tidak serata artinya tidak sama.
Jadi makna siapapun tidak setara dengan Allah adalah Allah Maha Unggul dari
siapapun dan dari apapun.
Sudah
menjadi fitrah manusia, memilih yang lebih cantik, lebih baik, lebih pintar,
lebih adil, lebih bijaksana dan memlilih yang lebih segala-galanya. Kepada yang
unggul ini, manusia akan mampu memberikan segala cinta, kepatuhan, ketundukan,
keridlaan untuk berbuat apa saja demi yang unggul tersebut. Oleh karena itu,
secara teoritis, jika Allah adalah unggul dari segala-galanya (Qs. 2:255), maka
tidak ada yang patut untuk ditaati, dipatuhi dan dibadahi kecuali Allah SWT.
Sangat logis, jika menusia hanya mengangkat dan menjadikan Allah saja yang
diibadahi, ditaati dan dipatuhi seumur hidupnya. Sebab tidak ada yang lebih
unggul kecuali Allah. Laa Kafiya Illallah.
2. Tauhid Terapan
Tauhid
terapan ini akan menuntun pembaca untuk menelusuri bagaimana tauhid diterapkan
dalam kehidupan manusia. Tauhid terapan menguraikan bagaimana tauhid itu menjadi
nyata dan bentuknya dapat dilihat lebih transaparan dan
riil.
Berangkat
dari ke-Maha Besar-an Allah yang telah
mewahyukan Al-Quran dengan paripurna, lengkap dan penuh pelajaran dan mengandung
pelajaran mental spiritual bagi yang mengkajinya, maka pembahasan tauhid praktis
ini akan mengacu pada keunggulan dan keutamaan surah pertama dan terakhir mushaf
Al-Quran yang tauqi’fi. Kedua surat ini masing-masing akan dikaji dan ditelusuri
isi dan suasana makna yang terkandung dalam kalimat
-kalimatnya.
Firman
Allah SWT dalam surah Al-Fatihah dab Surah An-Nas:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ(1)الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ(2)الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ(3)مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ(4)إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(5)اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ(6)صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ
الضَّالِّينَ(7)
“Dengan
nama Allah yang Maha Pemurah lagi maha
Penyayang. Sebaga puji bagi Allah Rabb semesta alam. Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Malik hari pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya
kepada Engkau Kami mohon pertolongan. Tunjukilah Kami jalan yang lurus. (Yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka; bukan jalan
mereka yang dimurkai dab bukan (pula jalan) meereka yang sesat”.
(1:1-7).
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ(1)مَلِكِ النَّاسِ(2)إِلَهِ
النَّاسِ(3)مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ(4)الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ
النَّاسِ(5)مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ(6)
“Katakanlah:
“Aku berlindung pada Rabb manusia. Malik manusia. manusia. Dari kejahatan
(bisikan) syaitan-syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan)
ke dalam dada manusia, dari jenis jin dan manusia”. (114:1-6).
Kedua
surat ini secara keseluruhan ditampilkan dalam bentuk do’a. Di dalamnya
mengajarkan tatacara berdo’a, yaitu do’a harus didahului dengan pujian kepada
Allah SWT. Ayat ke 1 sampai ke 5 surat Al-Fatihah berisikan pujian dan ayat
sisanya berisi do’a. Begitu pula dalam surat An-Naas, ayat ke 1 sampai ke 3
selain permohonan perlindungan juga berisi pujian dan penyebutan nama Allah
keseluruhannya merupakan permohonan/do’a. Sedangkan doa merupakan muhhul ibadah
(otak/hati ibadah), sedang ibadah merupakan tugas hidup yang mesti
direalisasikan dalam praktek. Ajaran ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang bersifat lebih kecil atau makhluk harus
mengetahui tentang keberadaan Yang Maha Besar sebelum si kecil melakukan
pengabdian kepada-Nya. Sebab, salah-salah, yang dianggapnya Maha Besar tidak
diketahui secara riil seperti apa dan bagaimana kebesaran dari Yang Maha Besar
tersebut. Niat beribadah kepada Allah SWT, bisa jadi salah kaprah, justru yang
diibadahi adalah kebesaran dirinya dalam mempersepsikan (dugaan) tentang
Tuhannya.
Bagian
pertama kedua surat ini, berisikan pujian kepada-Nya, yaitu, dalam ayat ke 1
sampai ke 5 durat Al-Fatihah dan ayat ke 1 sampai ke 3 surat An-Nas. Di dalamnya
menyebutkan tiga pokok kata Allah SWT.
yaitu, Rabb, Malik dan Ilah. Ketiga pokok kata sifat Allah SWT ini,
tersusun di dalam kedua surat ini secara berurutan Rabb di urutan pertama, Malik
diurutan kedua dan diurutan ketiganya kata Ma’bud/Ilah.
a. Rabb.
Kata
rabb dalam surat Al-Fatihah diikuti dengan kata al-’Alamin yang berarti seluruh
alam. Dan Rabb dalam surat An-Nas diikuti dengan kata an-Nas yang berarti
manusia. Al-Quran sendiri banyak memberikan arti dalam kata Rabb di antaranya
dalam syrat Al-A’raf (7) ayat 54 dan surat Ali Imran (3) ayat 64, dengan arti
pencipta, pemelihara, pengatur. Sebagaimana disebutkan dalam
Firman-Nya:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ
يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ
الْعَالَمِينَ(54)
“Sesungguhnya
Tuhan kami ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsyi. Dia menutupkan malam ke dalam siang yang
mengikutinya dengan cepat. Dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya.
Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah,
Tuhan Semesta Alam”. (Qs. 7:54).
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا
وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا
يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا
فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ(64)
“Katakanlah:
“Hai al-Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesutau apapun dan tidak pula sebagian kita menjadikan
sebagaian yang lain sebagai tuhan selain daripada Allah. Jika mereka berpaling,
maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
menyerahkan diri (kepada Allah )”. (3:64).
Ayat
pertama terdapat kata Rabbukum berarti yang menciptakan. Dia pencipta dan
pemegang perintah segala sesuatu.
Ayat
kedua terdapat kata Arbaban, yang berarti yang mengatur. Asbab nuzul ayat ini,
menceritakan bahwa Bani Israil telah menjadikan para rahib mereka menjadi
pembuat hukum dan undang-undang yang
mereka taati selayaknya tuhan. Jadi, Allah Rabbul-‘alamin dan Rabbun berarti
adalah Allah Pengatur alam semesta dan Pengatur manusia. Secara praktis dapat difahami bahwa sebagai
pemelihara dan pengatur, Allah SWT sudah pasti memiliki aturan, yaitu wahyu.
Secara manusiawi terlihat dalam sejarah umat manusia, bahwa peradaban tertinggi
manusia dapat dicapai dengan keteraturan dalam segala bidang. Ini menunjukkan
bahwa dengan adanya aturan masyarakat akan mampu mencapai peradaban
tertingginya. Dalam hal ini, Allah telah mengatur manusia (Qs. 114;2), alam
semesta (Qs. 26;23-28) dan ‘Arsy (Qs. 23;116). Dus, Allah adalah pengatur segala
sesuatu (Qs. 6:164).
Penjelasan
selanjutnya, Allah rabbul ‘Alamin telah mengatur seluruh alam dengan ilmunya
yaitu menata seluruh alam raya ini, sehingga tertata rapih, kokoh, seimbang dan
karena sangat pastinya aturan ini, tidak ada seorangpun atau apapun yang mempu
merubahnya. Ilmu Allah untuk alam ini dapat diketahui oleh manusia melalui
mempelajari hukum-hukum alam yang berjalan tanpa perubahan, merumuskannya dan
memanfaatkannya, sesuai dengan peruntukannya dami kelangsungan kehidupan manusia
(Qs. 35;43-44).
Demikianlah
Allah mengatur alam, yang berbeda ketika Allah mengatur manusia. Jika aturan
bagi alam melekat dalam dirinya, bersifat pasti dan tetap, mengikutinya baik
rela maupun terpaksa, maka aturan bagi manusia selain dalam dirinya, juga
diberikan suatu aturan yang sama pastinya dengan hukum alam, yaitu wahyu. Dalam
hal ini manusia diberi kebebasan untuk mengikutinya atau menolaknya. Yang jelas,
kedua aturan tersebut (aturan alam dan manusia) kedua-duanya memiliki kepastian
yag sama, artinya manusia tidak akan sanggup merubah hukum dan konsekuensi
hukuman bagi yang melanggarnya. Contoh, jika hukum alam mengatakan bahwa air
dapat mendidih dengan 90 derajat Celcius, maka manusia tidak akan pernah mampu
mendidihkan air dengan 89,9 derajat Celcius. Hal ini sama dengan manusia tidak
akan pernah hidup dalam keadilan tanpa memenuhi syarat-syarat keadilan yang
harus diwujudkan sesuai dengan atuarn Al-Quran. Contoh riil, zina selamanya akan
menjadi jalan terburuk bagi kelangsungan hidup manusia, dan tidak ada menusia
yang mampu merubah jalan zina ini menjadi jalan baik.
Berdasarkan
hal ini, maka nyatalah bahwa Allah
adalah Rabbul ‘Alamin dan Rabbin-Nas. Oleh karena itu, pengakuan manuisa
terhadap Allah sebagai pangtur dirinya, harus mengakui Al-Quran sebagai wahyu
dari-Nya, sebagai satu-satunya aturan yang hanya boleh mengatur dirinya. (Qs. 16:89, 6;38). Inilah makna pengakuan
tauhid Laa Rabba Illallah. Artinya, ia harus menafikan (menolak,
menjauhi dan memerangi) segala bentuk hukum, ideologi, perundang-undangan dan
adat-istiadat yang tidak dibangun berdasarkan wahyu Allah.
Kesimpulan,
wujud nyata Allah sebagai Rabb adalah adanya Rububiyatullah, yaitu hukum alam
dan wahyu Allah (Al-Quran).
b. Malik.
Dalam Al-Quran kata Malik diartikan dengan
pemilik seperti terlihat dalam surat Ali Imran (3) ayat 26, dan diartikan Raja
seperti terlihat dalam surat Al-Fatihah (1):3, An-Nas (114):2, Yusuf (12) ayat
76, sebagai berikut:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ
وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ
تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(26)
“Katakanlah
: “Ya Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu”. (3:26).
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِى دِينِ اْلمَلِكِ
"Tidak
patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja”.
(12:76).
Dalam
ayat pertama terdapat kata malikul mulki yang artinya pemilik kerajaan dan dalam
ayat kedua terdapat kata Dienul Malik yang artinya undang-undang raja,
Kesimpulan kata Malik, Pemilik dan Raja. Sudah barang tentu seorang raja pasti
memiliki kerajaan dan pemilik kerajaan sudah pasti adalam seorang raja. Allah
adalah Maliki Yaumidin. Artinya Dia-lah Allah yang merajai dan memiliki hari
pembalasan karena setiap manusia diminta mempertanggung-jawabkan dien Allan yang
telah Dia ajarkan kepada manusia.
Allah
adalah Malikin-Naas. Artinya, Dia-lah yang merajai dan memiliki manusia. Tidak
ada yanpatut menjadi raja dan
memperbudak manusai kecuali Allah SWT. Dia adalah raja langit dan bumi (Qs.
62;1). Demikianlah Allah SWT, Dia adalah Raja di dunia dan juga raja di akhirat.
Manusia di hadapan Allah SWT, secara umum adalah hamba dan secara khusus adalah
khalifah-Nya tidak lebih dari itu. Oleh karena itu, manusia tidak lebih dari
sekedar pembawa amanat dari Allah (khalifatullah) untuk memimpin manusia menjadi
hamba-Nya, menjalankan perintah-perintah-Nya, membimbing kearah ridla-Nya dan
menegakkan keadilan-Nya (Qs.33;72). Berdasarkan hal ini, maka secara riil bahwa manusia harus mewujudkan kekhalifahan
Allah (Qs. 24;55) dan menafikan (menolak, menjauhi dan memerangi) segala bentuk
kekuasaan, kerajaan, pemerintahan dan
kepemimpinan yang tidak ditegakkan atas kehendak Allah.
Allah
telah nyata-nyata menggariskan:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ
رَاكِعُونَ(55)
“Sesungguhnya
Wali (pimpinan; penolong) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalah, menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada
Allah)”. (Qs. 5;55).
Siapapun
dalam kepemimpinannya tidak satu jalur denagn tersebut di atas, maka ia adalah
batil. Inilah wujud kongrit dari Tauhid Laa Malika Illallah.
Kesimpulannya,
Wujud nyata Allah sebagai Malik adalah adanya Mulkiyatullah, yaitu kerajaan
Allah dan Khilafah Islamiyah.
c. Ilah.
Kalimat
Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in adalah kalimat ubudiyah yang
ditujukan kepada Allah sebagai Ma’bud. Ma’bud sama maknanya dengan
ilah, yaitu yang diibadahi. Ilah atau Ma’bud maknanya meliputi:
Yang dicintai seperti terdapat dalam surat Al-Bqarah ayat 165,
Yang diibadahi seperti yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat
138:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا
يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ
لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ(165)
“Dan
sebagian manusia ada yang membuat tuhan-tuhan tandingan selain Allah, mereka
mencintai tunah-tuhan tandingan sama seperti mencintai Allah. Sedangkan
orang-orang yang beriman itu harus lebih tinggi cintanya kepada Allah”.
(2;165).
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ
عَابِدُونَ(138)
“Shibghah
Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari Allah? Dan hanya
kepada-Nyalah kamu menyembah”. (2:138).
Makna
ilah dalam ayat tersebut, memuat rasa cinta, dan penghambaan. Cinta mampu
membawa manusia pada penghambaan dan rasa aman yang luar biasa. Jika manusia
telah terikat dengan rasa cinta, segala potensinya akan mampu merubah apa saja
demi tercapainya penghambaan kepada yang dicintainya, sampai merasa tentram
karena pengakuannya. Oleh karena itu, apa saja dilakukannya demi yang
dicintainya sepanjang hal tersebut memenuhi tuntutan dan
ridla-Nya.
Cinta
didahului oleh tahu, artinya dengan ilmu. Cinta yang dilandasai oleh ilmu,
tumbuh dan berkembang dengan ksadaran. Mencintai berarti tahu tentang keunggulan
yang patut dicintai. Mencintai berarti ia telah mengambil risiko untuk meridlai
apa yang diridla-Nya dan membenci apa yang dibenci-Nya. Inilah makna penghambaan
kepada Ilah. Seorang pencinta tidak akan merasa tentram sebelum melakukan
penghambaan dan berbuat sesuai dengan ridla yang
dicintainya.
Selanjutnya, segala sesuatu yang dicintai
menimbulkan keterikatan, kecanduan, kecenderuangan dan ketakutan akan tidak
mendapat atau kehilangan ridlonya, maka sesuatu itu menjadi tuhan. Dalam hal
ini, rakyat, demokrasi, nasionalisme-kebangsaan, leluhur, sejarah, kekuasaan,
pangkat, jabatan, pimpinan, harta benda, suami-istri, anak dan segala bentuk
ketergantungan yang menghambat cinta, penghambaan kepada Allah SWT, maka ia
telah menjadi saingan-Nya (Andad-Nya).
Jika
hal ini mewujud dalam perasaan, pikiran, sikap dan tindakan apapun dalam diri
seseorang, maka ia telah mengangkat ilah selain Allah. Berdasarkan hal tersebut
di atas, maka sudah nyata bahwa ilah sangat tergantung pada perasaan, pikiran,
sikap dan tindakan yang mengilahkannya. Jadi wujud kongrit adanya penghambaan
kepada Allah SWT adalah adanya hamba Allah yang senantiasa mencintai, menyerahkan penghambaan kepada-Nya
dan merasa tentram karena ridla-Nya. Dus, bentuk nyata Tauhid Laa Ilaha Illallah
adalah mewujdnya hamba-hamba Allah dalam masyarakat manusia. Manusia atau
masyarakat Tauhid adalah manusia atau
masyarakat yang menafikan (menolak, menjauhi dan memerangi) segala bentuk
perasaan, pikiran, sikap dan perilaku manusia atau masyarakat yang tidak
menghambakan diri kepada Allah SWT.
Kesimpulannya,
Wujud nyata Allah sebagai Ilah bagi manusia adalah adanya Uluhiyatullah, yaitu
terwujudnya manusia dan masyarakat yang mengabdi
kepada-Nya.
Demikianlah
gambaran tentang Rabb, Malik dan Ilah dalam pembahsan Tauhid Praktis.
Kesimpulannya, Allah sebgai rabb nampak dalam Al-Quran sebagai wahyu-Nya. Allah
sebagai Malik nampak dalam kekhalifahan dan kepemimpinan orang-orang yang
beriman. Allah sebagai Ilah nampak dalam masyarakat yang menjunjung tinggi
penghambaan kepada Allah, yaitu masyarakat Islam. Selain hal tersebut, dapat
diungkapkan pula bahwa dalam surat An-Naas kara Rabb, Malik dan Ilah ini
tersusun berurutan tanpa penghalang apapun (tanpa huruf washal) ini menunjukkan
adanya kesinambungan, satu kesatuan dan integral tak terpisahkan satu sama
lain.
Hal
ini pula, tiga kata tersebut tersusun secara berurutan dalam dua surat,
menunjukkan bahwa baik teori maupun dalam praktek (kehidupan nyata) harus
difahami sebagai urut-urutan yang pasti. Artinya Rabb harus didahulukan, diikuti
oleh Malik yang akhirnya Ilah. Di sini dapat dilukiskan, manusia atau masyarakat
tauhid tidak akan muncul tanpa terlebih dahulu menegakkan khalifatullah atau
pemerintahan Islam, dan pemerintahan Islam tidak akan pernah terwujud jika
ideologi atau perundang-undangan pemerintahan tersebut bukan wahyu Allah SWT.
Inilah urutan berfikir yag diisyaratkn oleh Al-Quran dalam mewujdkan manusia
atau masyarakat tauhid. Ini adalah ilmu pasti dan sunnah yang akan terus berjalan sepanjang masa.
c. Amtsal Tauhid
Dalam
Al-Quran tidak saja berisi kumpulan-kumpulan cerita, hukum, nasihat dan
aturan-aturan dasarmemahami alam semesta, namun juga memuat teori dan logika
yang sangat falid. Allah SWT dalam hal ini tidak segan-segan membuat perumpamaan
dalam setiap perkara besar, sekalipun perumpamaan tersebut seekor lalat. Allah
tidak malu untuk membuat perumpamaan tersebut, sampai manusia memahami apa
kehendak-Nya (Qs. 2;26). Tak terkecuali, masalah tauhid yang dalam studi agama
adalah masalah-masalah ketuhanan adalah masalah pokok sebelum memahami unsur
lainnya. Untuk masalah tauhid ini, Allah membuat perunpamaan seperti yang
tertuang dalam surat Ibrahim (14) ayat 24-25 di bawah ini:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً
كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ(24)تُؤْتِي
أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ(25)
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah
telah membuat perumpamaan kalimah yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada
setiap, musim dengan seijin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu
untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. (14:24-25).
Pelajaran
pertama yang harus diungkap adalah bahwa Allah SWT sangat memahami dan
mempermudah manusia. Mengumpamakan sesuatu yang sangat penting dalam urusan
agama, Allah mencontohkannya dengan sebuah pohon. Siapa manusia yang tidak kenal
pohon dan siapa manusia yang tidak
mengenal tiga unsur pohon tersebut, yaitu akar, batang dan
buah.
Semua
pasti tahu. Disinilah ke Maha Besar-an Allah dan kecuian Al-Quran dalam
mengajarkan kebenaran. Ia sangat dekat dengan manusia dan segala pengalanamnya.
Setiap manusia yang berfikir akan mengetahui keberadaan dan fungsi masing-masing
unsur pohon tersebut. Manusia tahu tidak akan pernah ada pohon yang tidak
memiliki keberadaan dan fungsi tiga unsur pohon tersebut. Keberadaan pohon
diawali tumbuhnya akar, lalu batang dan setelah kedua unsur ini berproses pada
fungsinya masing-masing, maka menghasilkan buah. Pohon tidak pernah hidup tanpa
akar dan akar tidak pernah menghasilkan buah tanpa ada batang. Ini adalah
pelajaran yang harus terus diingat selama-lamanya oleh siapa
saja.
Demikian
gambaran singkat tentang pohon. Yang penting, bahwa pohon ini akan menjadi
barometer untuk mengukur faliditas konsep tauhid yang diangkat dari Al-Quran,
tentang kalimat Thayyibah yang diilustrasikan dalam kalimat Laa Ilalah Illallah
atau kalimah tauhid. Inti tentang kalimah tauhid adalah memahami Allah SWT.
Pemahaman tentang Allah SWT ini, telah diuraikan dalam tulisan ini dimuka. Oleh
karena itu, penyebutan untuk Allah SWT, sebagai Rabb, Malik dan Ilah, wujud
kongritnya memiliki kesamaan dalam keberadaan dan fungsinya, perannnya, namanya
seperti akar, batang dan buah.
Untuk
mempermudah memahami perumpamaan ini, dapat menggunakan metrik, yang hasilnya
sebagai berikut:
Perumpamaan
Syajarah Thayyibah
|
Amtsal
Tauhid/Kalimat Thoyyibah
|
Wujud
Kongkrit
|
Ashlun/Akar
|
Rabb/Rububiyah
|
Al-Quran/
Sunatullah
|
Far’un/Batang
|
Malik
/ Mulkiyatullah
|
Kerajaan/
Khilafah Islamiyah
|
Ukulun/Buah
|
Ilah
/ Uluhiyatullah
|
Manusia/
Masyarakat Tauhid
|
Selanjutnya,
akan diuraikan perbandingan setiap unsur dari keduanya, sebagai
berikut:
1. Perbandingan akar dengan Rabb atau Rububiyatullah
Akar
bagi pohon mewujud di awal kehidupan dan berfungsi sebagai dasar dan sumber
kehidupan bagi kelangsungan hidup pohon. Jika akar mati, maka pohon akan
mati.
Rububiyatullah
atau Rububiyah (aturan hidup) bagi manusia mewujud atau hadir dalam kehidupan
manusia sebelum manusia mampu menata kehidupannya (ingat manusia diciptakan oleh
Allah setelah Allah menciptakan alam raya ini dengan segala hukum-hukumnya) dan
berfungsi sebagai sumber dari segala sumber kehidupan manusia, sebab manusia
tidak akan pernah sampai pada kemapanan
kebudayaan dan peradaban, tanpa adanya sebuah aturan yang dijunjung tinggi.
Manusia tanpa aturan akan menjadi masyarakat tak beradab; hidup tanpa aturan
sehingga tidak tahu mana hak mana kewajiban dan lainnya. Uraian ini menunjukkan
bahwa, kedua-duanya ada dan berada pada awal kehidupan dan berfungsi sebagai
sumber kehidupan.
2. Perbandinagn batang dengan Malik atau Mulkiyatullah
Batang
bagi pohon ada dan mewujud untuk memproses suplai makanan dari akar ke tunas dan
dengan proses yang terus menerus menjadi batang yang kokoh dan dengan memproses
makanan yang bersumber dari akar, sehingga munculnya buah.
Mulkiyatullah
atau Mulkiyah (kerajaan, kekuasaan, kepemimpinan) bagi manusia ada dan mewujud
sebagai proses kelanjutan dari implikasi dan pengejawantahan Rububiyah. Sebab
tidak ada kekausaan atau pemerintahan yang tidak menganut suatu ideologi
(rububiyah), dan adanya kekuasaan diciptakan dari sentimen dan berlandasan pada
ideologi yang dianut. Negera Liberal tidak pernah ada jika tidak muncul ideologi
leberalisme dan lain sebagainya. Fungsinya, selain sebagai proses dan jaminan
atas pelaksanaan hukum dan perundang-undangan, juga sebagai tempat atau wadah
yang nyata menata dan menciptakan masyarakat ideal.
Uraian
di atas menunjukkan, keduanya memiliki
kesamaan dalam keberadaan dan sekaligus fungsinya, yaitu sebagai tempat
memproses dari hal yang mendasar menjadi hasil yang muncul dipermukaan.
3. Perbandingan buah dengan Ilah atau Uluhiyatullah
Buah
bagi pohon adalah hasil dari sebuah proses suplai makanan dari akar yang
diproses oleh batang. Ia selain sebagai bukti keberhasilan dari sebuah proses
berkesinambungan antara akar dan batang serta tujuan dari sebuah proses
penanaman sebuah pohon, juga berfungsi sebagai pelanjut keturunan dan
perkembangan genetika sebuah pohon. Di dalamnya ada benih yang merupakan inti
dari kehidupan pohon. Di dalamnya ada cikal bakal akar, batang dan
buah.
Uluhiayah
(pengabdian/Ibadah atau terbentuknya manusia dan masyarakat tauhid) bagi manusia
dalah hasil dari pelaksanaan Rubiyatullah di dalam Mulkiyatullah. Manusia tauhid
atau masyarakat tauhid mewujud selain sebagai bukti berjalannya proses tersebut
di atas, juga merupakan tujuan dari penciptaan manusia. Ingat! Bahwa tujuan
akhir dari seluruh proses lehidupan manusia adalah ibadah. Artinya, masyarakat
manusia harus berupaya menciptakan suatu kondisi yang mengantarkan dan menjaga
manusia agar tetap beribadah.
Jika
buah yang diharapkan oleh petani ketika menanam pohon, maka Allah menerima
ibadah manusia bila dilakukan dengan berlandaskan Rububiyah-Nya dan dilaksanakan
dalam Mulkiyah-Nya. Dan sesuailah tujuan tujuan Allah menciptakan manusia untuk
beribadah kepada-Nya (Qs. 51;56). Kloplah sudah perumpamaan ini. maha Suci Allah
yang telah menciptakan perumpamaan ini dengan
sejelas-jelasnya.
Selanjutnya, pelajaran yang dapat ditarik
dipermukaan dari perumapamaan tersebut, yaitu bahwa ketiga unsur pohon itu,
memiliki hukum pasti yang mengajarkan bahwa buah mangga misalnya, akan
dihasilkan dari akar dan batang buah mangga dan tidak mungkin dari akar dan
batang durian. Begitu juga, batang buah tidak akan muncul dari akar durian.
Pelajaran
ini jika diterapkan dalam kehidupan manusia, masyarakat Islami hanya akan muncul
dari sebuah negara atau pemerintahan Islam, dan tidak pernah muncul dari negara
atau pemerintahan non Islam. Begitu pula, negara Islami tidak akan pernah ada
dari ideologi atau ajaran bukan Islam.
Ini peringatan dari Allah SWT, semoga Allah SWT memudahkan manusia dalam
mencerap ajaran ini.
Untuk
selanjutnya, pembaca boleh membandingkan dengan isi sari surat An-Nuur ayat
35-37. Setelah memahami ayat ini, kiranya perlu membuka satu kenyataan lagi, bahwa tiga unsur ini berlaku bagi kehidupan manapun. Jika ideologo
komunisme dianut oleh suatu bangsa, maka sudah pasti bangsa tersebut akan
menjadi negara komunis, selanjutnya akan menata danm embentuk masyarakat komunis
yang dicita-citakan. Begitu pula bagi Liberalisme, kapitalisme atau
nasionalisme. Dalam setiap kasus tersebut tidak terlepas dari tiga unsur
tersebut. Ini adalah pandangan dunia tauhid. Pandangan dunia yang sesungguhnya,
pandangan yang murni dan benar.
d. Syirik dan akibat-akibatnya
1. Syirik Lawan Tauhid
Dalam
kehidupan manusia, hidup senantiasa berpasangan. Baik yang bersanding saling
mengisi atau justru pasangan tersebut saling bertentangan. Contoh yang
bersanding dan saling mengisi seperti suami istri, siang dan mala, dan contoh yang justru saling
bermusuhan adalah hak dan bathil, Allah dan Syaitan, atau juga antara Tauhid dan
Syirik.
Perlu
dijelaskan di sini bahwa makna tauhid artinya satu, menyatukan, tunggal, tidak
terbagi, tidak terpilah, lengkap dan sempurna. Yang lebih oprosional, tauhid
sebagai suatu yang tidak membenarkan kesempatan kepada pihak manapun mencampuri
yang satu tersebut. Oleh karena itu, ia mampu menjamin danm enjaga kesempurnaan
dan kemapanan. Syirik berarti mencampur adukkan, menandingi, menyaingi dan
mengisi kesempurnaan dengan yang lainnya.
Jika
unsur tauhid sudah gamblang dijelaskan di muka, maka syirik berlawanan dengan
tauhid, maka memiliki unsur yang sama. Jadi, ada syirik Rububiyah, syirik
Mulkiyah dan syirik Uluhiyah.
Syirik
Rububiyah
ialah mensekutukan Allah dari sisi Rububiyah-Nya. Jadi siapapunyang tidak
menafikan segela bentuk rububiyah selain Rububiyatullah adalah musyrik. (72;1-2, 18;26).
Syirik
Mulkiyah
ialah mensekutukan Allah dari sisi Mulkiyah-Nya. Jadi siapapun yang tidak
menafikan segala bentuk mulkiyah selain mulkiyatullah adalah musyrik. (Lih Qs.
17;111, 25;2).
Syirik
Uluhiyah
ialah mensekutukan Allah dari sisi uluhiyah-Nya. Jadi siapapun yang tidak
menafikan segala bentuk pengabdian, cita-cita pembentukan masyarakat selaian
pengabdian dan cita-cita pembentukan masyarakat tauhid adalah musyrik. (Lih Qs.
18;110).
2. Akibat-akibat yang menimpa Musyrikin
Untuk
menjelaskan apa akibat orang yang mensekutukan Allah, akan terlihat dalam
ayat-ayat sebagai berikut:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ(65)
“Dan
sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu;
Jika kamu menpersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah
termasuk orang-orang yang merugi”. (39:65).
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا
عَظِيمًا(48)
“Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar”. (Qs. 4;48).
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا
بَعِيدًا(116)
“Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sesungguhnya ia
telah tersesat sejauh-jauhnya”. (4:116).
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ
مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي
وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ
أَنْصَارٍ(72)
“Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: :Sesungguhnya Allah ialah al-Masih
putra Maryam’, padahal al-Masih (sendiri) berkata: “Hai bani Israil, sembahlah
Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka Allah pasti
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidak ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (Qs. 5;72).
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا
تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ(13)
“Dan
ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: “hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah), adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. (Qs.
31;13).
Ayat-ayat
tersebut di atas telah gamblang memberikan penjelasan tentang akibat apa yang
diperoleh oleh orang yang mensekutukan Allah. Kesimpulan yang dapat diperoleh
antara lain:
1. Mensekutukan
Allah akan mengakibatkan ditolaknya seluruh amal, sehingga
merugi.
2. Dosa
syirik tidak terampuni dan syirik adalah dosa besar, serta siapa yang
mensekutukan Allah, ia telah sesat dengan
sesesat-sesatnya.
3. Orang
yang mensekutukan Allah haram masuk surga dan tempatnya di
neraka.
4. Sesungguhnya
syirik adalah kedzaliman yang besar.?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar