Jumat, 21 Maret 2014

MA’RIFATULLAH


a. Pengantar.

Dalam pandangan Allah Swt, mengetahui tentang diri-Nya adalah wajib. Hal ini terlihat dalam firman-Nya:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ...
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah melainkan Allah”. (47:19).
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ(1)
“Katakanlah: “Dialah Allah Yang Maha Esa”. (112:1).
Kata “Fa’lam” dan “Qul” adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah. Yaitu perintah untuk mengetahui dan perintah untuk mengatakan. Dua perintah Ini menegaskan bahwa mengetahui Allah dan memberitahukan tentang Allah adalah wajib. Ayat ini selain menunjukkan wajibnya, juga memuat materi apa yang harus diketahui tentang Allah. Berdasarkan dua ayat ini, Allah adalah Satu (Esa), yaitu tidak ada ilah kecuali Allah atau Laa ilaha ilallah. Jadi untuk memahami siapa Allah terletak pada kata Laa Ilaha ilallah. Dalam ilmu tauhid kalimat ini disebut Kalimat tauhid atau kalimat thayyibah.

b. Tauhid teoritis dan tauhid terapan

1. Tauhid Teoritis

Tauhid teoritis dimaksudkan untuk memedomani secara mendalam tentang makna yang terkandung dalam kata Ahad atau kata Esa. Sebagai langkah awal, kata Esa atau Ahad dapat difahami sebagai suatu keyakinan yang integral, tidak terbagi, tetapi tunggal.
Selanjutnya Al-Quran memberikan penjelasan tentang kata Ahad atau Esa ini dalam Surah Al-Ikhlas, sebagai berikut:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ(1)اللَّهُ الصَّمَدُ(2)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ(3)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ(4)
“Katakanlah: “Dialah Allah Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada diperanakkkan, dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia”. (112:1-4).
Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw. atau siapa saja untuk mengatakan bahwa Allah adalah Maha Esa. Ke-Esa-an Allah ini dijelaskan-Nya dalam tiga garis besar, yaitu terlihat dalam kalimat:

a. Allahush-Shamad

Yaitu, Allah adalah Tuhan yang tergantung kepada-Nya segala sesuatu. Artinya, segala sesuatu bergantung dan tergantung atas kehendak dan keingin Allah. Tergantung atas aturan, ilmu, hukum dan sunnah Allah. Segala sesuatu tidak akan pernah terlepas dari pada-Nya. manusia tidak akan pernah menahan rasa lapar, menahan berkurangnya umur, menempatkan kaki berfungsi sebagai tangan atau sebaliknya, dan lebih jauh lagi manusia tidak akan pernah mampu merubah hukum alam yang lain, seperti hukum mendidih dan membeku air dan membalik gaya grafitasi bumi.
Dus, siapapun tidak akan mampu berbuat apa-apa kecuali tunduk patuh kepada yang telah digariskan, disunahkan dan diatur oleh-Nya, baik rela mapupun terpaksa. (Qs. 3:83).
Intinya, Allah adalah Rabbul ‘alamin, dimana segala sesuatu telah diatur, dipelihara dan diawasi-Nya dengan seksama, sistematis dan kokoh, sehingga tidak suatu apapun atau siapapun mampu merusak tatanan-Nya. Tidak ada yang harus dilakukan oleh makhluk-Nya kecuali tunduk patuh atau bergantung kepada-Nya.
Konsekuensi dari pemahaman ini secara teoritis adalah Allah tempat bergantung, Allah tempat sandaran, Allah tempat merujuk kebenaran, Allah tempat kembali bagi segala pikiran, harapan, keinginan, cita-cita dan keadilan. Berdasarkan teori ini, sangat logis jika manusia memilih Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung. Laa Shamada Illallah. Tidak ada tempat bergantung kecuali Allah. 

b. Lam Yalid Walam Yulad

Yaitu, Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Allah ada dan mewujud tidak disebabkan oleh hukum sebab-akibat. Allah SWT ada dan mengada-Nya hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya. Manusia hanya diberi tahu bahwa Allah ada dan mengada bukan melalui proses dilahirkan dan juga Allah tidak melahirkan. Jadi Allah itu ahad/tunggal mutlak. Demikian juga kekuasaan-Nya pun betul-betul mutlak. Berbeda jika Allah mempunyai  bapak atau anak seperti manusia, maka kekuasaannya tidak mutlak. karena kekuasaan tersebut, bisa jadi didukung atau dilemahkan oleh keduanya.
Allah SWT sudah pasti memiliki kekuatan dan kekuasaan penuh. Dia tidak mempunyai anak dan sekutu dalam kerajaan-Nya (Qs. 17;111). Tidak ditekan atau menekan siapapun. Dia adalah yang tidak menerima jasa dan pamrih dari siapapun. Dia Suci dan tersucikan, sehingga Dia Laa Malika Illallah, yang segala kerajaan yang ada di langit dan dibumi tunduk kepada-Nya. Ia memberikan kerajaan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Dia tidak lebih besar karena diibadahi dan tidak lebih kecil karena didurhakai.
Konsekuensi pemahaman seperti ini secara teoritis adalah bahwa menjadikan Allah sebagai satu-satunya raja, Laa Malika Illallah. Maha Raja abadi dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Berdasarkan teori ini, maka sangat logis jika manusia menjai khalifah-Nya dan melaksanakan amanat kekhalifahan-Nya (Wahyu).

c. Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad.

Yaitu, tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. Setara artinya sama. Sama rendah, sama tinggi, sama besar dan lain sebagainya. Tidak serata artinya tidak sama. Jadi makna siapapun tidak setara dengan Allah adalah Allah Maha Unggul dari siapapun dan dari apapun.
Sudah menjadi fitrah manusia, memilih yang lebih cantik, lebih baik, lebih pintar, lebih adil, lebih bijaksana dan memlilih yang lebih segala-galanya. Kepada yang unggul ini, manusia akan mampu memberikan segala cinta, kepatuhan, ketundukan, keridlaan untuk berbuat apa saja demi yang unggul tersebut. Oleh karena itu, secara teoritis, jika Allah adalah unggul dari segala-galanya (Qs. 2:255), maka tidak ada yang patut untuk ditaati, dipatuhi dan dibadahi kecuali Allah SWT. Sangat logis, jika menusia hanya mengangkat dan menjadikan Allah saja yang diibadahi, ditaati dan dipatuhi seumur hidupnya. Sebab tidak ada yang lebih unggul kecuali Allah. Laa Kafiya Illallah.

2. Tauhid Terapan

Tauhid terapan ini akan menuntun pembaca untuk menelusuri bagaimana tauhid diterapkan dalam kehidupan manusia. Tauhid terapan menguraikan bagaimana tauhid itu menjadi nyata dan bentuknya dapat dilihat lebih transaparan dan riil.
Berangkat dari ke-Maha Besar-an Allah  yang telah mewahyukan Al-Quran dengan paripurna, lengkap dan penuh pelajaran dan mengandung pelajaran mental spiritual bagi yang mengkajinya, maka pembahasan tauhid praktis ini akan mengacu pada keunggulan dan keutamaan surah pertama dan terakhir mushaf Al-Quran yang tauqi’fi. Kedua surat ini masing-masing akan dikaji dan ditelusuri isi dan suasana makna yang terkandung dalam kalimat -kalimatnya.
Firman Allah SWT dalam surah Al-Fatihah dab Surah An-Nas: 
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ(1)الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ(2)الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ(3)مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ(4)إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(5)اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ(6)صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ(7)
“Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi  maha Penyayang. Sebaga puji bagi Allah Rabb semesta alam. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Malik hari pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau Kami mohon pertolongan. Tunjukilah Kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai dab bukan (pula jalan) meereka yang sesat”. (1:1-7).
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ(1)مَلِكِ النَّاسِ(2)إِلَهِ النَّاسِ(3)مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ(4)الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ(5)مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ(6)
“Katakanlah: “Aku berlindung pada Rabb manusia. Malik manusia. manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan-syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jenis jin dan manusia”. (114:1-6).
Kedua surat ini secara keseluruhan ditampilkan dalam bentuk do’a. Di dalamnya mengajarkan tatacara berdo’a, yaitu do’a harus didahului dengan pujian kepada Allah SWT. Ayat ke 1 sampai ke 5 surat Al-Fatihah berisikan pujian dan ayat sisanya berisi do’a. Begitu pula dalam surat An-Naas, ayat ke 1 sampai ke 3 selain permohonan perlindungan juga berisi pujian dan penyebutan nama Allah keseluruhannya merupakan permohonan/do’a. Sedangkan doa merupakan muhhul ibadah (otak/hati ibadah), sedang ibadah merupakan tugas hidup yang mesti direalisasikan dalam praktek. Ajaran ini menunjukkan bahwa segala sesuatu  yang bersifat lebih kecil atau makhluk harus mengetahui tentang keberadaan Yang Maha Besar sebelum si kecil melakukan pengabdian kepada-Nya. Sebab, salah-salah, yang dianggapnya Maha Besar tidak diketahui secara riil seperti apa dan bagaimana kebesaran dari Yang Maha Besar tersebut. Niat beribadah kepada Allah SWT, bisa jadi salah kaprah, justru yang diibadahi adalah kebesaran dirinya dalam mempersepsikan (dugaan) tentang Tuhannya.
Bagian pertama kedua surat ini, berisikan pujian kepada-Nya, yaitu, dalam ayat ke 1 sampai ke 5 durat Al-Fatihah dan ayat ke 1 sampai ke 3 surat An-Nas. Di dalamnya menyebutkan tiga pokok kata Allah SWT.  yaitu, Rabb, Malik dan Ilah. Ketiga pokok kata sifat Allah SWT ini, tersusun di dalam kedua surat ini secara berurutan Rabb di urutan pertama, Malik diurutan kedua dan diurutan ketiganya kata Ma’bud/Ilah. 

a. Rabb.

Kata rabb dalam surat Al-Fatihah diikuti dengan kata al-’Alamin yang berarti seluruh alam. Dan Rabb dalam surat An-Nas diikuti dengan kata an-Nas yang berarti manusia. Al-Quran sendiri banyak memberikan arti dalam kata Rabb di antaranya dalam syrat Al-A’raf (7) ayat 54 dan surat Ali Imran (3) ayat 64, dengan arti pencipta, pemelihara, pengatur. Sebagaimana disebutkan dalam Firman-Nya:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ(54)
“Sesungguhnya Tuhan  kami ialah Allah yang telah  menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsyi. Dia menutupkan malam ke dalam siang yang mengikutinya dengan cepat. Dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan  dan bintang-bintang  (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan Semesta Alam”. (Qs. 7:54).
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ(64)
“Katakanlah: “Hai al-Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesutau apapun  dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagaian yang lain sebagai tuhan selain daripada Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah )”. (3:64). 
Ayat pertama terdapat kata Rabbukum berarti yang menciptakan. Dia pencipta dan pemegang perintah segala sesuatu.
Ayat kedua terdapat kata Arbaban, yang berarti yang mengatur. Asbab nuzul ayat ini, menceritakan bahwa Bani Israil telah menjadikan para rahib mereka menjadi pembuat hukum dan undang-undang  yang mereka taati selayaknya tuhan. Jadi, Allah Rabbul-‘alamin dan Rabbun berarti adalah Allah Pengatur alam semesta dan Pengatur manusia.  Secara praktis dapat difahami bahwa sebagai pemelihara dan pengatur, Allah SWT sudah pasti memiliki aturan, yaitu wahyu. Secara manusiawi terlihat dalam sejarah umat manusia, bahwa peradaban tertinggi manusia dapat dicapai dengan keteraturan dalam segala bidang. Ini menunjukkan bahwa dengan adanya aturan masyarakat akan mampu mencapai peradaban tertingginya. Dalam hal ini, Allah telah mengatur manusia (Qs. 114;2), alam semesta (Qs. 26;23-28) dan ‘Arsy (Qs. 23;116). Dus, Allah adalah pengatur segala sesuatu (Qs. 6:164).
Penjelasan selanjutnya, Allah rabbul ‘Alamin telah mengatur seluruh alam dengan ilmunya yaitu menata seluruh alam raya ini, sehingga tertata rapih, kokoh, seimbang dan karena sangat pastinya aturan ini, tidak ada seorangpun atau apapun yang mempu merubahnya. Ilmu Allah untuk alam ini dapat diketahui oleh manusia melalui mempelajari hukum-hukum alam yang berjalan tanpa perubahan, merumuskannya dan memanfaatkannya, sesuai dengan peruntukannya dami kelangsungan kehidupan manusia (Qs. 35;43-44).
Demikianlah Allah mengatur alam, yang berbeda ketika Allah mengatur manusia. Jika aturan bagi alam melekat dalam dirinya, bersifat pasti dan tetap, mengikutinya baik rela maupun terpaksa, maka aturan bagi manusia selain dalam dirinya, juga diberikan suatu aturan yang sama pastinya dengan hukum alam, yaitu wahyu. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk mengikutinya atau menolaknya. Yang jelas, kedua aturan tersebut (aturan alam dan manusia) kedua-duanya memiliki kepastian yag sama, artinya manusia tidak akan sanggup merubah hukum dan konsekuensi hukuman bagi yang melanggarnya. Contoh, jika hukum alam mengatakan bahwa air dapat mendidih dengan 90 derajat Celcius, maka manusia tidak akan pernah mampu mendidihkan air dengan 89,9 derajat Celcius. Hal ini sama dengan manusia tidak akan pernah hidup dalam keadilan tanpa memenuhi syarat-syarat keadilan yang harus diwujudkan sesuai dengan atuarn Al-Quran. Contoh riil, zina selamanya akan menjadi jalan terburuk bagi kelangsungan hidup manusia, dan tidak ada menusia yang mampu merubah jalan zina ini menjadi jalan baik.
Berdasarkan hal ini, maka nyatalah  bahwa Allah adalah Rabbul ‘Alamin dan Rabbin-Nas. Oleh karena itu, pengakuan manuisa terhadap Allah sebagai pangtur dirinya, harus mengakui Al-Quran sebagai wahyu dari-Nya, sebagai satu-satunya aturan yang hanya boleh mengatur dirinya.  (Qs. 16:89, 6;38). Inilah makna pengakuan tauhid Laa Rabba Illallah. Artinya, ia harus menafikan (menolak, menjauhi dan memerangi) segala bentuk hukum, ideologi, perundang-undangan dan adat-istiadat yang tidak dibangun berdasarkan wahyu Allah.
Kesimpulan, wujud nyata Allah sebagai Rabb adalah adanya Rububiyatullah, yaitu hukum alam dan wahyu Allah (Al-Quran).    

b. Malik.

 Dalam Al-Quran kata Malik diartikan dengan pemilik seperti terlihat dalam surat Ali Imran (3) ayat 26, dan diartikan Raja seperti terlihat dalam surat Al-Fatihah (1):3, An-Nas (114):2, Yusuf (12) ayat 76, sebagai berikut:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(26)
“Katakanlah : “Ya Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (3:26).
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِى دِينِ اْلمَلِكِ 
"Tidak patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja”. (12:76).
Dalam ayat pertama terdapat kata malikul mulki yang artinya pemilik kerajaan dan dalam ayat kedua terdapat kata Dienul Malik yang artinya undang-undang raja, Kesimpulan kata Malik, Pemilik dan Raja. Sudah barang tentu seorang raja pasti memiliki kerajaan dan pemilik kerajaan sudah pasti adalam seorang raja. Allah adalah Maliki Yaumidin. Artinya Dia-lah Allah yang merajai dan memiliki hari pembalasan karena setiap manusia diminta mempertanggung-jawabkan dien Allan yang telah Dia ajarkan kepada manusia.
Allah adalah Malikin-Naas. Artinya, Dia-lah yang merajai dan memiliki manusia. Tidak ada yanpatut menjadi raja  dan memperbudak manusai kecuali Allah SWT. Dia adalah raja langit dan bumi (Qs. 62;1). Demikianlah Allah SWT, Dia adalah Raja di dunia dan juga raja di akhirat. Manusia di hadapan Allah SWT, secara umum adalah hamba dan secara khusus adalah khalifah-Nya tidak lebih dari itu. Oleh karena itu, manusia tidak lebih dari sekedar pembawa amanat dari Allah (khalifatullah) untuk memimpin manusia menjadi hamba-Nya, menjalankan perintah-perintah-Nya, membimbing kearah ridla-Nya dan menegakkan keadilan-Nya (Qs.33;72). Berdasarkan hal ini, maka secara riil  bahwa manusia harus mewujudkan kekhalifahan Allah (Qs. 24;55) dan menafikan (menolak, menjauhi dan memerangi) segala bentuk kekuasaan, kerajaan, pemerintahan  dan kepemimpinan yang tidak ditegakkan atas kehendak Allah.
Allah telah nyata-nyata menggariskan:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ(55)
“Sesungguhnya Wali (pimpinan; penolong) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalah, menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Qs. 5;55).
Siapapun dalam kepemimpinannya tidak satu jalur denagn tersebut di atas, maka ia adalah batil. Inilah wujud kongrit dari Tauhid Laa Malika Illallah.
Kesimpulannya, Wujud nyata Allah sebagai Malik adalah adanya Mulkiyatullah, yaitu kerajaan Allah dan Khilafah Islamiyah.     

c. Ilah.

Kalimat Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in adalah kalimat ubudiyah yang ditujukan kepada Allah sebagai Ma’bud. Ma’bud sama maknanya dengan ilah, yaitu yang diibadahi. Ilah atau Ma’bud maknanya meliputi: Yang dicintai seperti terdapat dalam surat Al-Bqarah ayat 165, Yang diibadahi seperti yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 138:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ(165)
“Dan sebagian manusia ada yang membuat tuhan-tuhan tandingan selain Allah, mereka mencintai tunah-tuhan tandingan sama seperti mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman itu harus lebih tinggi cintanya kepada Allah”. (2;165).
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ(138)
“Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kamu menyembah”. (2:138).
Makna ilah dalam ayat tersebut, memuat rasa cinta, dan penghambaan. Cinta mampu membawa manusia pada penghambaan dan rasa aman yang luar biasa. Jika manusia telah terikat dengan rasa cinta, segala potensinya akan mampu merubah apa saja demi tercapainya penghambaan kepada yang dicintainya, sampai merasa tentram karena pengakuannya. Oleh karena itu, apa saja dilakukannya demi yang dicintainya sepanjang hal tersebut memenuhi tuntutan dan ridla-Nya.
Cinta didahului oleh tahu, artinya dengan ilmu. Cinta yang dilandasai oleh ilmu, tumbuh dan berkembang dengan ksadaran. Mencintai berarti tahu tentang keunggulan yang patut dicintai. Mencintai berarti ia telah mengambil risiko untuk meridlai apa yang diridla-Nya dan membenci apa yang dibenci-Nya. Inilah makna penghambaan kepada Ilah. Seorang pencinta tidak akan merasa tentram sebelum melakukan penghambaan dan berbuat sesuai dengan ridla yang dicintainya.
    Selanjutnya, segala sesuatu yang dicintai menimbulkan keterikatan, kecanduan, kecenderuangan dan ketakutan akan tidak mendapat atau kehilangan ridlonya, maka sesuatu itu menjadi tuhan. Dalam hal ini, rakyat, demokrasi, nasionalisme-kebangsaan, leluhur, sejarah, kekuasaan, pangkat, jabatan, pimpinan, harta benda, suami-istri, anak dan segala bentuk ketergantungan yang menghambat cinta, penghambaan kepada Allah SWT, maka ia telah menjadi saingan-Nya (Andad-Nya).
Jika hal ini mewujud dalam perasaan, pikiran, sikap dan tindakan apapun dalam diri seseorang, maka ia telah mengangkat ilah selain Allah. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sudah nyata bahwa ilah sangat tergantung pada perasaan, pikiran, sikap dan tindakan yang mengilahkannya. Jadi wujud kongrit adanya penghambaan kepada Allah SWT adalah adanya hamba Allah yang senantiasa  mencintai, menyerahkan penghambaan kepada-Nya dan merasa tentram karena ridla-Nya. Dus, bentuk nyata Tauhid Laa Ilaha Illallah adalah mewujdnya hamba-hamba Allah dalam masyarakat manusia. Manusia atau masyarakat Tauhid adalah  manusia atau masyarakat yang menafikan (menolak, menjauhi dan memerangi) segala bentuk perasaan, pikiran, sikap dan perilaku manusia atau masyarakat yang tidak menghambakan diri kepada Allah SWT.
Kesimpulannya, Wujud nyata Allah sebagai Ilah bagi manusia adalah adanya Uluhiyatullah, yaitu terwujudnya manusia dan masyarakat yang mengabdi kepada-Nya.
Demikianlah gambaran tentang Rabb, Malik dan Ilah dalam pembahsan Tauhid Praktis. Kesimpulannya, Allah sebgai rabb nampak dalam Al-Quran sebagai wahyu-Nya. Allah sebagai Malik nampak dalam kekhalifahan dan kepemimpinan orang-orang yang beriman. Allah sebagai Ilah nampak dalam masyarakat yang menjunjung tinggi penghambaan kepada Allah, yaitu masyarakat Islam. Selain hal tersebut, dapat diungkapkan pula bahwa dalam surat An-Naas kara Rabb, Malik dan Ilah ini tersusun berurutan tanpa penghalang apapun (tanpa huruf washal) ini menunjukkan adanya kesinambungan, satu kesatuan dan integral tak terpisahkan satu sama lain.
Hal ini pula, tiga kata tersebut tersusun secara berurutan dalam dua surat, menunjukkan bahwa baik teori maupun dalam praktek (kehidupan nyata) harus difahami sebagai urut-urutan yang pasti. Artinya Rabb harus didahulukan, diikuti oleh Malik yang akhirnya Ilah. Di sini dapat dilukiskan, manusia atau masyarakat tauhid tidak akan muncul tanpa terlebih dahulu menegakkan khalifatullah atau pemerintahan Islam, dan pemerintahan Islam tidak akan pernah terwujud jika ideologi atau perundang-undangan pemerintahan tersebut bukan wahyu Allah SWT. Inilah urutan berfikir yag diisyaratkn oleh Al-Quran dalam mewujdkan manusia atau masyarakat tauhid. Ini adalah ilmu pasti dan sunnah yang akan  terus berjalan sepanjang masa.     

c. Amtsal Tauhid

Dalam Al-Quran tidak saja berisi kumpulan-kumpulan cerita, hukum, nasihat dan aturan-aturan dasarmemahami alam semesta, namun juga memuat teori dan logika yang sangat falid. Allah SWT dalam hal ini tidak segan-segan membuat perumpamaan dalam setiap perkara besar, sekalipun perumpamaan tersebut seekor lalat. Allah tidak malu untuk membuat perumpamaan tersebut, sampai manusia memahami apa kehendak-Nya (Qs. 2;26). Tak terkecuali, masalah tauhid yang dalam studi agama adalah masalah-masalah ketuhanan adalah masalah pokok sebelum memahami unsur lainnya. Untuk masalah tauhid ini, Allah membuat perunpamaan seperti yang tertuang dalam surat Ibrahim (14) ayat 24-25 di bawah ini:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ(24)تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ(25)
    “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap, musim dengan seijin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. (14:24-25).
Pelajaran pertama yang harus diungkap adalah bahwa Allah SWT sangat memahami dan mempermudah manusia. Mengumpamakan sesuatu yang sangat penting dalam urusan agama, Allah mencontohkannya dengan sebuah pohon. Siapa manusia yang tidak kenal pohon dan siapa manusia yang tidak  mengenal tiga unsur pohon tersebut, yaitu akar, batang dan buah.
Semua pasti tahu. Disinilah ke Maha Besar-an Allah dan kecuian Al-Quran dalam mengajarkan kebenaran. Ia sangat dekat dengan manusia dan segala pengalanamnya. Setiap manusia yang berfikir akan mengetahui keberadaan dan fungsi masing-masing unsur pohon tersebut. Manusia tahu tidak akan pernah ada pohon yang tidak memiliki keberadaan dan fungsi tiga unsur pohon tersebut. Keberadaan pohon diawali tumbuhnya akar, lalu batang dan setelah kedua unsur ini berproses pada fungsinya masing-masing, maka menghasilkan buah. Pohon tidak pernah hidup tanpa akar dan akar tidak pernah menghasilkan buah tanpa ada batang. Ini adalah pelajaran yang harus terus diingat selama-lamanya oleh siapa saja.
Demikian gambaran singkat tentang pohon. Yang penting, bahwa pohon ini akan menjadi barometer untuk mengukur faliditas konsep tauhid yang diangkat dari Al-Quran, tentang kalimat Thayyibah yang diilustrasikan dalam kalimat Laa Ilalah Illallah atau kalimah tauhid. Inti tentang kalimah tauhid adalah memahami Allah SWT. Pemahaman tentang Allah SWT ini, telah diuraikan dalam tulisan ini dimuka. Oleh karena itu, penyebutan untuk Allah SWT, sebagai Rabb, Malik dan Ilah, wujud kongritnya memiliki kesamaan dalam keberadaan dan fungsinya, perannnya, namanya seperti akar, batang dan buah.
Untuk mempermudah memahami perumpamaan ini, dapat menggunakan metrik, yang hasilnya sebagai berikut:

Perumpamaan Syajarah Thayyibah
Amtsal Tauhid/Kalimat Thoyyibah
Wujud Kongkrit
Ashlun/Akar
Rabb/Rububiyah
Al-Quran/ Sunatullah
Far’un/Batang
Malik / Mulkiyatullah
Kerajaan/ Khilafah Islamiyah
Ukulun/Buah
Ilah / Uluhiyatullah
Manusia/ Masyarakat Tauhid
Selanjutnya, akan diuraikan perbandingan setiap unsur dari keduanya, sebagai berikut:

1. Perbandingan akar dengan Rabb atau Rububiyatullah

Akar bagi pohon mewujud di awal kehidupan dan berfungsi sebagai dasar dan sumber kehidupan bagi kelangsungan hidup pohon. Jika akar mati, maka pohon akan mati.
Rububiyatullah atau Rububiyah (aturan hidup) bagi manusia mewujud atau hadir dalam kehidupan manusia sebelum manusia mampu menata kehidupannya (ingat manusia diciptakan oleh Allah setelah Allah menciptakan alam raya ini dengan segala hukum-hukumnya) dan berfungsi sebagai sumber dari segala sumber kehidupan manusia, sebab manusia tidak akan  pernah sampai pada kemapanan kebudayaan dan peradaban, tanpa adanya sebuah aturan yang dijunjung tinggi. Manusia tanpa aturan akan menjadi masyarakat tak beradab; hidup tanpa aturan sehingga tidak tahu mana hak mana kewajiban dan lainnya. Uraian ini menunjukkan bahwa, kedua-duanya ada dan berada pada awal kehidupan dan berfungsi sebagai sumber kehidupan.  

2. Perbandinagn batang dengan Malik atau Mulkiyatullah

Batang bagi pohon ada dan mewujud untuk memproses suplai makanan dari akar ke tunas dan dengan proses yang terus menerus menjadi batang yang kokoh dan dengan memproses makanan yang bersumber dari akar, sehingga munculnya buah.
Mulkiyatullah atau Mulkiyah (kerajaan, kekuasaan, kepemimpinan) bagi manusia ada dan mewujud sebagai proses kelanjutan dari implikasi dan pengejawantahan Rububiyah. Sebab tidak ada kekausaan atau pemerintahan yang tidak menganut suatu ideologi (rububiyah), dan adanya kekuasaan diciptakan dari sentimen dan berlandasan pada ideologi yang dianut. Negera Liberal tidak pernah ada jika tidak muncul ideologi leberalisme dan lain sebagainya. Fungsinya, selain sebagai proses dan jaminan atas pelaksanaan hukum dan perundang-undangan, juga sebagai tempat atau wadah yang nyata menata dan menciptakan masyarakat ideal.
Uraian di atas menunjukkan, keduanya memiliki  kesamaan dalam keberadaan dan sekaligus fungsinya, yaitu sebagai tempat memproses dari hal yang mendasar menjadi hasil yang muncul dipermukaan.

3. Perbandingan buah dengan Ilah atau Uluhiyatullah

Buah bagi pohon adalah hasil dari sebuah proses suplai makanan dari akar yang diproses oleh batang. Ia selain sebagai bukti keberhasilan dari sebuah proses berkesinambungan antara akar dan batang serta tujuan dari sebuah proses penanaman sebuah pohon, juga berfungsi sebagai pelanjut keturunan dan perkembangan genetika sebuah pohon. Di dalamnya ada benih yang merupakan inti dari kehidupan pohon. Di dalamnya ada cikal bakal akar, batang dan buah.
Uluhiayah (pengabdian/Ibadah atau terbentuknya manusia dan masyarakat tauhid) bagi manusia dalah hasil dari pelaksanaan Rubiyatullah di dalam Mulkiyatullah. Manusia tauhid atau masyarakat tauhid mewujud selain sebagai bukti berjalannya proses tersebut di atas, juga merupakan tujuan dari penciptaan manusia. Ingat! Bahwa tujuan akhir dari seluruh proses lehidupan manusia adalah ibadah. Artinya, masyarakat manusia harus berupaya menciptakan suatu kondisi yang mengantarkan dan menjaga manusia agar tetap beribadah.
Jika buah yang diharapkan oleh petani ketika menanam pohon, maka Allah menerima ibadah manusia bila dilakukan dengan berlandaskan Rububiyah-Nya dan dilaksanakan dalam Mulkiyah-Nya. Dan sesuailah tujuan tujuan Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya (Qs. 51;56). Kloplah sudah perumpamaan ini. maha Suci Allah yang telah menciptakan perumpamaan ini dengan sejelas-jelasnya.
   Selanjutnya, pelajaran yang dapat ditarik dipermukaan dari perumapamaan tersebut, yaitu bahwa ketiga unsur pohon itu, memiliki hukum pasti yang mengajarkan bahwa buah mangga misalnya, akan dihasilkan dari akar dan batang buah mangga dan tidak mungkin dari akar dan batang durian. Begitu juga, batang buah tidak akan muncul dari akar durian.
Pelajaran ini jika diterapkan dalam kehidupan manusia, masyarakat Islami hanya akan muncul dari sebuah negara atau pemerintahan Islam, dan tidak pernah muncul dari negara atau pemerintahan non Islam. Begitu pula, negara Islami tidak akan pernah ada dari ideologi  atau ajaran bukan Islam. Ini peringatan dari Allah SWT, semoga Allah SWT memudahkan manusia dalam mencerap ajaran ini.
Untuk selanjutnya, pembaca boleh membandingkan dengan isi sari surat An-Nuur ayat 35-37. Setelah memahami ayat ini, kiranya perlu membuka satu kenyataan  lagi, bahwa tiga unsur ini berlaku  bagi kehidupan manapun. Jika ideologo komunisme dianut oleh suatu bangsa, maka sudah pasti bangsa tersebut akan menjadi negara komunis, selanjutnya akan menata danm embentuk masyarakat komunis yang dicita-citakan. Begitu pula bagi Liberalisme, kapitalisme atau nasionalisme. Dalam setiap kasus tersebut tidak terlepas dari tiga unsur tersebut. Ini adalah pandangan dunia tauhid. Pandangan dunia yang sesungguhnya, pandangan yang murni dan benar. 

d. Syirik dan akibat-akibatnya

1. Syirik Lawan Tauhid

Dalam kehidupan manusia, hidup senantiasa berpasangan. Baik yang bersanding saling mengisi atau justru pasangan tersebut saling bertentangan. Contoh yang bersanding dan saling mengisi seperti suami istri, siang  dan mala, dan contoh yang justru saling bermusuhan adalah hak dan bathil, Allah dan Syaitan, atau juga antara Tauhid dan Syirik.
Perlu dijelaskan di sini bahwa makna tauhid artinya satu, menyatukan, tunggal, tidak terbagi, tidak terpilah, lengkap dan sempurna. Yang lebih oprosional, tauhid sebagai suatu yang tidak membenarkan kesempatan kepada pihak manapun mencampuri yang satu tersebut. Oleh karena itu, ia mampu menjamin danm enjaga kesempurnaan dan kemapanan. Syirik berarti mencampur adukkan, menandingi, menyaingi dan mengisi kesempurnaan dengan yang lainnya.
Jika unsur tauhid sudah gamblang dijelaskan di muka, maka syirik berlawanan dengan tauhid, maka memiliki unsur yang sama. Jadi, ada syirik Rububiyah, syirik Mulkiyah dan syirik Uluhiyah.
Syirik Rububiyah ialah mensekutukan Allah dari sisi Rububiyah-Nya. Jadi siapapunyang tidak menafikan segela bentuk rububiyah selain Rububiyatullah adalah musyrik.  (72;1-2, 18;26).
Syirik Mulkiyah ialah mensekutukan Allah dari sisi Mulkiyah-Nya. Jadi siapapun yang tidak menafikan segala bentuk mulkiyah selain mulkiyatullah adalah musyrik. (Lih Qs. 17;111, 25;2).
Syirik Uluhiyah ialah mensekutukan Allah dari sisi uluhiyah-Nya. Jadi siapapun yang tidak menafikan segala bentuk pengabdian, cita-cita pembentukan masyarakat selaian pengabdian dan cita-cita pembentukan masyarakat tauhid adalah musyrik. (Lih Qs. 18;110).

2. Akibat-akibat yang menimpa Musyrikin

Untuk menjelaskan apa akibat orang yang mensekutukan Allah, akan terlihat dalam ayat-ayat sebagai berikut:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ(65)
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu; Jika kamu menpersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah termasuk orang-orang yang merugi”. (39:65).
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا(48)
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain  dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (Qs. 4;48).
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا(116)
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain  dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”. (4:116).
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ(72)
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: :Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam’, padahal al-Masih (sendiri) berkata: “Hai bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan  (sesuatu dengan) Allah, maka Allah pasti mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (Qs. 5;72).
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ(13)
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah), adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. (Qs. 31;13).   
Ayat-ayat tersebut di atas telah gamblang memberikan penjelasan tentang akibat apa yang diperoleh oleh orang yang mensekutukan Allah. Kesimpulan yang dapat diperoleh antara lain:
1.   Mensekutukan Allah akan mengakibatkan ditolaknya seluruh amal, sehingga merugi.
2.   Dosa syirik tidak terampuni dan syirik adalah dosa besar, serta siapa yang mensekutukan Allah, ia telah sesat dengan sesesat-sesatnya.
3.   Orang yang mensekutukan Allah haram masuk surga dan tempatnya di neraka.
4.   Sesungguhnya syirik adalah kedzaliman yang besar.?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar