Jumat, 21 Maret 2014

Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik

KALAU Islam mencela sikap orang-orang yang suka menentukan haram dan
halal itu semua, maka dia juga telah memberikan suatu kekhususan kepada
mereka yang suka mengharamkan itu
dengan suatu beban yang sangat
berat, karena memandang, bahwa hal ini akan merupakan suatu
pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang
sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan. Di samping hal tersebut memang
karena ada beberapa pengar
uh yang ditimbulkan oleh sementara ahli agama
yang berlebihan.
Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan
berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah
dengan mencela dan melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan
tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya:
"Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang
berlebih-lebihan itu." (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan:
"Saya diutus dengan membawa suatu agama yang
toleran."
(Riwayat Ahmad)
Yakni suatu agama yang teguh dalam beraqidah dan tauhid, serta toleran
(lapang) dalam hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua
sifat ini ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini
oleh Ra
sulullah s.a.w. dalam Hadis Qudsinya dikatakan, firman Allah:
"Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus,
tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini
kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan
mengharamkan atas mereka sesu
atu yang Aku halalkan kepada
mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau
menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan
keterangan padanya." (Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan
dengan syirik. Dan j
usteru itu pula al-Quran menentang keras terhadap sikap
orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan
tentang sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap
makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak
mengizinkannya.
Diantaranya mereka telah mengharamkan bahirah (unta betina yang sudah
melahirkan anak kelima), saibah (unta betina yang dinazarkan untuk
berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang
sudah membuntingi sepuluh kal
i; untuk ini dikhususkan buat berhala).
Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina
beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta
tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka
peru
ntukkan buat berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani
muatan dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut
al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.
Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit
dan
sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis seperti
apa yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan
saibah.
Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya
itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan
buat berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka
katakan: Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan
tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya. Kambing s
eperti ini
disebut washilah.
Dan jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya, maka mereka
katakan: Dia sudah dapat melindungi punggungnya. Yakni binatang tersebut
tidak dinaiki, tidak dibebani muatan dan sebagainya. Binatang seperti ini
disebut al-Haami.
Penafsiran dan penjelasan terhadap keempat macam binatang ini banyak
sekali, juga berkisar dalam masalah tersebut
Al-Quran bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini, dan tidak
menganggap sebagai suatu alasan karena taqlid kepada nenek-moyangnya
dalam kesesatan ini. Firman Allah:
"Allah tidak menjadikan (mengharamkan) bahirah, saibah,
washilah dan ham, tetapi orang-orang kafirlah yang berbuat
dusta atas (nama) Allah, dan kebanyakan mereka itu tidak mau
berfikir. Dan apabila dikatakan kepada merek
a: Mari kepada apa
yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul, maka mereka
menjawab: Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada
nenek-nenek moyang kami; apakah (mereka tetap akan
mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnya itu tidak
berpengetahuan
sedikitpun dan tidak terpimpin?" (al-Maidah :
103-104)
Dalam surah al-An'am ada semacam munaqasyah (diskusi) mendetail
terhadap prasangka mereka yang telah mengharamkan beberapa binatang,
seperti: unta, sapi, kambing biri-biri dan kambing kacangan.
Al-Qura
n membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya bahasa yang
cukup dapat mematikan, akan tetapi dapat membangkitkan juga.
Kata al-Quran:
"Ada delapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua,
dan dari kambing kacangan ada dua pula; katakanlah
(Muhamma
d): Apakah kedua-duanya yang jantan itu yang
diharamkan, atau kedua-duanya yang betina ataukah semua
yang dikandung dalam kandungan yang betina kedua-duanya?
(Cobalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil, jika kamu
orang-orang yang benar! Begitu juga da
ri unta ada dua
macam,-dan dari sapi ada dua macam juga; katakanlah
(Muhammad!) apakah kedua-duanya yang jantan itu yang
diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?" (al-An'am:
143-144)
Di surah al-A'raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan suatu
pen
egasan keingkaran Allah terhadap orang-orang yang suka
mengharamkan dengan semaunya sendiri itu; di samping Allah menjelaskan
juga beberapa pokok binatang yang diharamkan untuk selamanya. Ayat itu
berbunyi sebagai berikut:
"Katakanlah! Siapakah yang berani
mengharamkan perhiasan
Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan
beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya
mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya
dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak
bena
r dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu
mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak
mengetahui." (al-A'raf: 32-33)
 
Seluruh munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah yang
dit
urunkan demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta ketentuan di akhirat
kelak. Ini membuktikan, bahwa persoalan tersebut, dalam pandangan al-Quran, bukan termasuk dalam kategori cabang atau bagian, tetapi termasuk
masalah-masalah pokok dan kulli.
Di Madinah
timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada orang-orang yang cenderung untuk berbuat keterlaluan, melebih-lebihkan dan
mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang baik. Untuk itulah maka Allah
menurunkan ayat-ayat muhkamah (hukum) untuk menegakkan me
reka
dalam batas-batas ketentuan Allah dan mengernbalikan mereka ke jalan
yang lempang.
Di antara ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:
"Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu
mengharamkan yang baik-baik (dari) apa yang Allah telah
halalkan buat ka
mu, dan jangan kamu melewati batas, karena
sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka
melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yang Allah
berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu
kepada Allah zat yang kamu beriman denga
nnya." (al-Maidah:
87-88)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar